Anda di halaman 1dari 7

A.

KOLESISTITIS

1. Definisi

Kolesistitis akut adalah inflamasi akut dari kandung empedu yang

dicetuskan oleh obstruksi dari duktus sistikus (Sulaiman, 2007;

Isselbacher, 2000).

Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu

yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.

(Sudoyo dan Aru, 2009)

Kolesistitis akut adalah inflamasi akut dinding kandung empedu. (Tao,

2013)

Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut

dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas,

nyeri tekan dan demam.

2. Gambaran Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik

perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta

kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif.

Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan

dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan

sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan

sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70%

pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.

(Sulaiman et al., 2007; Sudoyo dan Aru, 2009)


Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan

penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien

mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan

dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan

ekstraseluler. (Isslbacher et al., 2000).

Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri

bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba

kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk

sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri

dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).(Sulaiman et al.,

2007; Sudoyo dan Aru, 2009)

Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0

mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu

di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan

dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik

dan kadang hanya berupa mual saja . (Sudoyo dan Aru, 2009, Tao, 2013)

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan

dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada

pasien dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah

walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu.

Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda

– tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.(Isslbacher et al., 2000)

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta

kemungkinan peninggian serum transaminase, fosfat alkali/ gamma GT


dan bilirubin serum mencurigakan adanya obstruksi saluran empedu.

(Sulaiman et al., 2007; Sudoyo dan Aru, 2009, Tao, 2013)

B. Diagnosis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas

dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,

demam dan leukositosis sangat sugestif.(Sulaiman et al., 2007),(Isslbacher et

al., 2000; Sudoyo dan Aru, 2009)

Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan

15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.

Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada

45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase

serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase

biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim

amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis,

namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk

menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat

disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan

terjadi empiema dan perforasi kandung empedu dipertimbangkan.

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat

memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak

duktus kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu. (Sulaiman et al.,

2007; Isslbacher et al., 2000; Sudoyo dan Aru, 2009).


Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut.

Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus

pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. (Sudoyo

dan Aru, 2009; Tao, 2013).

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan

sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding

kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan

ketepatan USG mencapai 90 – 95%. (Sulaiman et al., 2007; Isslbacher et al.,

2000; Sudoyo dan Aru, 2009; Tao, 2013).

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu

memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin

tidak terlihat pada pemeriksaan USG. (Sudoyo dan Aru, 2009)

C. Diagnosa banding

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu

dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah

diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus

peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. (Sulaiman et al.,

2007, Sudoyo dan Aru, 2009)

D. Penatalaksanaan

Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,

pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang

rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase

awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis

dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup


memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada

kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada

pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram

negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,

apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu

setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50

% kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi

dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif

dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat

dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini

akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik

operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan

mengaburkan anatomi. (Sudoyo dan Aru, 2009),

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu

dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi

kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi.

Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak

berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman

komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24

sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien

yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda.

Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1)

pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila


dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya

masih meragukan.(Isslbacher et al., 2000),

Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di

Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat –

pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90%

dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional

menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar

dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%),

perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering

dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan,

kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi

laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi

rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih

baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat

aktivitas pasien. (Sudoyo dan Aru, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaiman, Ali.dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Batu empedu. Hal

161-178. Jakarta: Jaya Abadi

2. Isselbacher, Kurt.dkk, 2000. Harrison’s Principles of internal Medicines edisi

13 vol.4. Penyakit Kandung Empedu Dan Duktus Bilaris. Hal 1688-1699.

Jakarta: EGC.MC-Graw Hill.


3. Sudoyo, W. Aru.dkk. 2009. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Kolesistitis. Hal 718-720.

Jakarta: InternaPublishing

4. Tao, Kendall. 2013. Sinopsis Organ System Gastrointestinal. Kolesistitis. Hal

225-227. Jakarta : Karisma Publishing Group.

5. www.scribd.com/mobile/doc/61115589

Anda mungkin juga menyukai