Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah memegang pundaknya, lalu berkata,
Hadits di atas mengajarkan bahwa dunia ini bukanlah tempat kita menetap dan bukanlah negeri
kita sesungguhnya. Dari sini seharusnya setiap mukmin berada pada salah satu dari dua keadaan
berikut.
Pertama:
Hidup seperti orang asing yang tinggal di negeri asing. Yang ia lakukan:
1. Hatinya tidak bergantung pada dunia. Hatinya bergantung pada kampung sesungguhnya
yang nanti ia akan kembali, yaitu negeri akhirat.
2. Mukim di dunia hanya untuk menyiapkan bekal menuju ke kampung akhirat.
3. Tidak pernah bersaing yaitu antara orang asing tadi dan penduduk asli (penggila dunia).
4. Tidak pernah gelisah ketika ada yang mendapatkan dunia. Itulah orang asing.
ار َح ْم َم ْوقِ ِفي غَدا ً بَيْنَ يَدَي َْك َ ْار َح ْم فِي القَب ِْر َوح
ْ َو، شتِي ُ ار َح ْم فِي الدُّ ْنيَا
ْ َو، غ ْربَتِي ْ الله َّم
“Ya Allah, rahmatilah keasinganku di dunia, selamatkanlah dari kesedihan di kuburku,
rahmatilah aku ketika aku berdiri di hadapan-Mu kelak.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 379)
Orang yang tergila dengan dunia, lupa akan akhirat, gambarannya seperti yang disampaikan oleh
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi,
Kedua:
Hidup seperti seorang musafir atau pengembara yang tidak punya niatan untuk menetap sama
sekali. Orang seperti hanya ingin terus menelusuri jalan hingga sampai pada ujung akhirnya,
yaitu kematian. Yang ia lakukan:
1. Terus mencari bekal untuk safarnya supaya bisa sampai di ujung perjalanan.
2. Tidak punya keinginan untuk memperbanyak kesenangan dunia karena ingin sibuk terus
menambah bekal.
Cobalah ambil pelajaran dari perkataan Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Beliau pernah mengatakan pada
seseorang,
Ia menjawab,
ًسنَة
َ َِست ُّ ْون
“Enam puluh tahun.”
Fudhail menyatakan,
سنَةً ت َ ِسي ُْر ِإلَى َر ِب َك يُو ِشكُ أ َ ْن تَبلُ َغ َ فَأ َ ْن
َ َت ُم ْنذ ُ ِس ِتيْن
“Selama 60 tahun ini engkau sedang berjalan menuju Rabbmu dan sebentar lagi engkau akan
sampai.”
ُ أَت َ ْع ِر
ُف ت َ ْف ِسي َْره
“Apa engkau tahu arti kalimat yang engkau ucapkan tersebut?”
الح ْيلَةُ ؟
ِ فَ َما
“Adakah alasan yang bisa dibuat-buat untuk melepaskan diri?”
Fudhail menjawab,
Ia balik bertanya,
ي؟
َ َما ِه
“Apa itu?”
Fudhail menjawab,
ي
َ ضى َو ِب َما بَ ِق َ أ ُ ِخ ْذ، ي
َ ت ِب َما َم َ ْ سأ
َ ت فِ ْي َما بَ ِق َ َ ضى فَإِن َك ِإ ْن أ
َ ي يُ ْغفَ ُر لَ َك َما َم ُ تُحْ س
َ ِن فِ ْي َما بَ ِق
“Hendaklah beramal baik di sisa umur yang ada, maka akan diampuni kesalah-kesalahanmu
yang terdahulu. Karena jika engkau masih berbuat jelek di sisa umurmu, engkau akan disiksa
karena kesalahanmu yang dulu dan sisa umurmu yang ada.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:
383)
Adapun wasiat dari Ibnu ‘Umar diambil dari hadits, yang berisi nasihat supaya kita tidak
berpanjang angan-angan. Jika kita berada di petang hari, maka janganlah menunggu sampai pagi
hari. Jika kita berada di pagi hari, maka janganlah menunggu sampai petang hari. Bahkan kita
harus merasa bahwa bisa jadi ajal (kematian) menjemput kita sebelum itu.
Kita dapat ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad tentang maksud zuhud,
Sufyan juga pernah bertanya pada Imam Ahmad, “Bagaimana agar kita tidak panjang angan-
angan?” Jawab beliau, “Bisa seperti hanya taufik dari Allah.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:
384)
Ya Allah … Mudahkanlah kami untuk mempersiapkan bekal amalan shalih untuk menuju
kampung akhirat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali.
Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Yajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
Naskah Khutbah Jumat Masjid Klampok Purwosari, Jum’at Legi, 6 Rabi’ul Awwal 1437 H
Sumber : https://rumaysho.com/12553-butuh-bekal-ke-kampung-akhirat.html