Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 1884, seorang dokter dan Denmark, Hans Christian Gram,
mengembangkan teknik untuk membedakan jenis bakteri berdasarkan ketebalan
lapisan peptidoglikan pada dinding sel dengan sistem pewarnaan. Bakteri diwarnai
dengan zat warna violet dan yodium, kemudian dibilas (dicuci) dengan alkohol, dan
diwarnai sekali lagi dengan zat warna merah.

Bila bakteri menunjukkan warna ungu, maka dikelompokkan pada jenis


bakteri Gram positif, dan bila bakteri menunjukkan warna merah maka
dikelompokkan pada jenis bakteri Gram negatif. Namun, ada pula bakteri yang pada
usia tertentu berubah dari Gram positif menjadi Gram negatif, yang disebut Gram
variabel. Contoh bakteri Gram variabel, yaitu bakteri yang tergolong famili
Bacillaceae.

Bakteri Gram positif adalah bakteri yang dinding selnya menyerap warna
violet dan memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal. Contoh bakteri Gram positif,
yaitu Actinomyces, Lactobacillus, Propionibacterium, Eubacterium,
Bifidobacterium, Arachnia, Clostridium, Peptostreptococcus, dan Staphylococcus.

Bakteri merupakan salah satu makhluk hidup yang jumlahnya banyak


disekitar kita. Bakteri pun berada di mana-mana. Di tempat yang paling dekat
dengan kita pun juga terdapat bakteri contohnya saja tas, buku, pakaian, dan banyak
hal lainnya. Maka dari itu bakteri merupakan penyebab penyakit yang cukup sering
terjadi. Karena banyaknya manusia yang mengabaikan penyakit tersebut karena
terkadang gejala awal yang diberikan ada gelaja awal yang biasa saja. Maka dari
itu alangkah baiknya jika kita masyarakat dapat mengetahui bagaimana cara bakteri
itu menginfeksi dan gejala-gejala apa yang akan dberikannya.
Banyaknya manusia yang mulai tidak begitu peduli dengan gejala awal
terjangkitnya bakteri salah satunya adalah pada saluran pencernaan. Saluran
pencernaan adalah saluran yang sangat berperan dalam tubuh. Jika saluran
pencernaan terganggu akan cukup mengganggu aktivitas tubuh saat itu. Tapi
banyak masyarakat yang tidak peduli dengan penyakit yang ditimbulkan. Misalnya
saja penyakit yang dapat ditimbulkan oleh bakteri ada diare, gejala awalnya ada
kondisi perut yang tidak enak gejala awalnya cukup biasa tetapi jika terlalu
didiamkan akan membuat kondisi itu menjadi akut dan fatal. Maka dari itu, bakteri
merupakan penyebab penyakit yang cukup banyak pada saat ini.

Pada dasarnya dari seluruh mikroorganisme yang ada di alam, hanya


sebagian kecil saja yang merupakan patogen. Patogen adalah organism atau
mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada organism lain. Kemampuan
pathogen untuk menyebabkan penyakit disebut dengan patogenisitas.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Definisi Patogenesis Bakteri Patogen?


2. Bagaimana Proses Bakteri Dalam Menimbulkan Penyakit ?
3. Apa Saja Contoh – contoh Patogenesis Dari Beberapa bakteri ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Definisi Patogenesis Pada Bakteri


2. Proses Bakteri Menimbulkan Penyakit
3. Contoh – contoh Patogenesis Dari Beberapa bakteri
BAB II

PEMBAHASAN

Patogen adalah materi atau organisme yang dapat menyebabkan penyakit


pada inang misalnya bakteri. Bakteri dapat merusak sistem pertahanan inang
dimulai dari permukaan kulit, saluran pencernaan, saluran respirasi, saluran
urogenitalia. Sedangkan Patogenesis sendiri adalah mekanisme infeksi dan
mekanisme perkembangan penyakit. Infeksi merupakan invasi inang oleh mikroba
yang memperbanyak dan berasosiasi dengan jaringan inang. Infeksi berbeda
dengan penyakit.

Kapasitas bakteri menyebabkan penyakit tergantung pada patogenitasnya.


Dengan kriteria ini, bakteri dikelompokan menjadi 3, yaitu agen penyebab penyakit,
patogen oportunistik, nonpatogen. Agen penyebab penyakit adalah bakteri patogen
yang menyebabkan suatu penyakit (Salmonella spp.). Patogen oportunistik adalah
bakteri yang berkemampuan sebagai patogen ketika mekanisme pertahanan inang
diperlemah (contoh E. coli menginfeksi saluran urin ketika sistem pertahanan inang
dikompromikan (diperlemah). Nonpatogen adalah bakteri yang tidak pernah
menjadi patogen. Namun bakteri nonpatogen dapat menjadi patogen karena
kemampuan adaptasi terhadap efek mematikan terapi modern seperti kemoterapi,
imunoterapi, dan mekanisme resistensi. Bakteri tanah Serratia marcescens yang
semula nonpatogen, berubah menjadi patogen yang menyebabkan pneumonia,
infeksi saluran urin, dan bakteremia pada inang terkompromi.

Virulensi adalah ukuran patogenitas organisme. Tingkat virulensi


berbanding lurus dengan kemampuan organisme menyebabkan penyakit. Tingkat
virulensi dipengaruhi oleh jumlah bakteri, jalur masuk ke tubuh inang, mekanisme
pertahanan inang, dan faktor virulensi bakteri. Secara eksperimental virulensi
diukur dengan menentukan jumlah bakteri yang menyebabkan kematian, sakit, atau
lesi dalam waktu yang ditentukan setelah introduksi.

Mikroba patogen diketahui memasuki inang melalui organ-organ tubuh antara lain:
1. Saluran pernapasan, melalui hidung dan mulut yang dapat
menyebabkan penyakit saluran pernapasan seperti salesma,
pneumonia, tuberculosis.
2. Saluran pencernaan melalui mulut yang dapat menyebabkan
penyakit tifus, para tifus, disesntri, dll.
3. Kulit dan selaput lendir. Adanya luka mesekipun kecil dapat
memungkinkan mikroba seperti staphylicoccus yang menyebabkan
bisul.
4. Saluran urogenital
5. Darah

Mikroorganisme patogen dapat memasuki tubuh inang melalui berbagai


macam jalan, misalnya melalui membran mukosa, kulit ataupun rute parental.
Banyak bakteri dan virus memiliki akses memasuki tubuh inang melalui membran
mukosa saluran pernapasan, gastrointestinal, saluran genitourinari, konjungtiva,
serta membran penting yang menutupi bola mata dan kelopak mata.

1. Saluran pernapasan

Saluran pernapasan merupakan jalan termudah bagi mikroorganisme


infeksius. Mikroorganisme terhirup melalui hidung atau mulut dalam bentuk
partikel debu. Penyakit yang muncul umumnya adalah pneumonia, campak,
tuberculosis, dan cacar air.

2. Saluran pencernaan

Mikroorganisme dapat memasuki saluran pencernaan melalui bahan


makanan atau minuman dan melalui jari – jari tangan yang terkontaminasi
mikroorganisme pathogen. Mayoritas mikroorganisme tersebut akan dihancurkan
oleh asam klorida( HCL ) dan enzim – enzim di lambung, atau oleh empedu dan
enzim di usus halus. Mikroorganisme yang bertahan dapat menimbulkan penyakit.
Misalnya, demam tifoid, disentri amoeba, hepatitis A, dan kolera. Patogen ini
selanjutnya dikeluarkan malalui feses dan dapat ditransmisikan ke inang lainnya
melalui air, makanan, atau jari – jari tangan yang terkontaminasi.
3. Kulit

Kulit sangat penting sebagai pertahanan terhadap penyakit. Kulit yang tidak
mengalami perlukaan tidak dapat dipenetrasi oleh mayoritas mikroorganisme.
Beberapa mikroorganisme memasuki tubuh melalui daerah terbuka pada kulit,
folikel rambut, maupun kantung kelenjar keringat. Mikroorganisme lain memasuki
tubuh inang pada saat berada di jaringan bawah kulit atau melalui penetrasi atau
perlukaan membran mukosa. Rute ini disebut rute parenteral. Suntikan, gigitan,
potongan, luka, atau pembedahan dapat membuka rute infeksi parenteral.

4. Rongga mulut

Pada permukaan rongga mulut terdapat banyak koloni mikroorganisme.


Salah satu penyakit yang umum pada rongga mulut akibat kolonisasi
mikroorganisme adalah karies gigi. Karies gigi diawali akibat pertumbuhan
Streptococcus mutans dan spesies Streptococcus lainnya pada permukaan gigi.
Hasil fermentasi metabolisme, menghidrolisis sukrosa menjadi komponen
monosakarida, fruktosa, dan glukosa. Enzim glukosiltransferasi selanjutnya
merakit glukosa menjadi dekstran. Residu fruktosa adalah gula utama yang
difermentasi menjadi asam laktat. Akumulasi bakteri dan dekstran menempel pada
permukaan gigi dan membentuk plak gigi. Populasi bakteri plak didominasi oleh
Streptococcus dan anggota Actinomyces. Karena plak sangat tidak permeable
terhadap saliva, maka asam laktat yang diproduksi oleh bakteri tidak dilarutkan atau
dinetralisasi dan secara perlahan akan melunakkan enamel gigi tepat plak tersebut
melekat.

Tahap pertama dari infeksi mikroba adalah kolonisasi: pembentukan


patogen di portal masuk yang tepat. Patogen biasanya menjajah jaringan inang yang
berhubungan dengan lingkungan eksternal.
Mekanisme untuk kepatuhan mungkin melibatkan dua langkah:

1. Nonspesifik kepatuhan : lampiran reversibel bakteri untuk eukariotik


permukaan (kadang-kadang disebut” docking)
2. Kepatuhan Tertentu: lampiran permanen reversibel mikroorganisme ke
permukaan (kadang-kadang disebut “penahan”).

Situasi umum adalah bahwa lampiran lampiran reversibel mendahului


ireversibel tetapi dalam beberapa kasus, situasi sebaliknya terjadi atau kepatuhan
tertentu mungkin tidak akan pernah terjadi.

Faktor yang mendasari Mekanisme Patogenisitas Bakteri adalah sebagai berikut :

Invasiveness adalah kemampuan untuk menyerang jaringan. Ini meliputi


mekanisme untuk kolonisasi (kepatuhan dan multiplikasi awal), produksi zat
ekstraselular yang memfasilitasi invasi (invasins) dan kemampuan untuk
memotong atau mengatasi mekanisme pertahanan inang.

Toxigenesis adalah kemampuan bakteri untuk menghasilkan racun. Bakteri


dapat menghasilkan dua jenis racun disebut exotoxins dan endotoksin.

Exotoxins adalah racun yang dilepaskan dari sel bakteri dan dapat
bertindak di bagian jaringan yang menghapus situs pertumbuhan bakteri.

Endotoksin dapat dilepaskan dari pertumbuhan sel-sel bakteri hasil dari


pertahanan inang efektif (misalnya lisozim) atau kegiatan antibiotik tertentu.

Kerentanan terhadap infeksi bakteri tergantung pada kondisi fisiologis dan


imunologis inang dan virulensi bakteri. Pertahanan inang terhadap infeksi bakteri
adalah mekanisme nonspesifik dan spesifik (antibodi). Mekanisme nonspesifik
dilakukan oleh sel-sel neutrofil dan makrofag. Perkembangan imunitas spesifik
seperti respons antibodi memerlukan waktu beberapa minggu. bakteri flora normal
kulit dan permukaan mukosa juga memberi perlindungan terhadap kolonisasi
bakteri patogen. Pada individu sehat, bakteri flora normal yang menembus ke tubuh
dapat dimusnahkan oleh mekanisme humoral dan seluler inang. Contoh terbaik
tentang kerentanan adalah AIDS, di mana limfosit helper CD4+ secara progresif
berkurang 1/10 oleh virus imunodefisiensi (HIV). Mekanisme resistensi
dipengaruhi oleh umur, defisiensi, dan genetik. Sistem pertahanan (baik spesifik
maupun nonspesifik) orang lanjut usia berkurang. Sistem imun bayi belum
berkembang, sehingga rentan terhadap infeksi bakteri patogen. Beberapa individu
memiliki kelainan genetik dalam sistem pertahanan.

Contoh Patogenesis Bakteri Patogen


a. Bakteri pada Saluran Pernafasan

Saluran pernafasan terdapat berbagai penyakit yang dapat terjadi. Salah satu
penyebabnya adalah bakteri. Begitu banyak bakteri yang dapat menjangkit saluran
pernafasan. Maka dari itu akan diperkenalkan bakteri yang terdapat pada saluran
pernafasan

1. Mycobacterium tuberculosis
Mikroba dikeluarkan melalui sputum dan saluran pernafasan. Infeksi terjadi
melalui muntahan atau saluran pernafasan. Lesion utama terjadi pada paru-paru dan
limfoglandula.
Cara Pemeriksaan
Perlakuan pada bahan terduga harus hati-hati karena kemungkinan
penularan. Pemeriksaan langsung pada bahan tersangka dilakukan dengan
pewarnaan tahan-asam.
Pengobatan
Penggunaan obat mungkin tidak dapat diterapkan pada hewan. Obat yang
paling ampuh dalam pengobatan tuberculosis adalah isoniazid. Obat ini digunakan
bersama para-aminosalisilat atau ethambutol dan kadangkala bersama dengan
streptomycin merupakan “triple therapy”. Pengobatan dapat diberikan selam 3
tahun, namun untuk streptomycin pengobatan dilakukan untuk beberapa bulan saja.
Beberapa galur dapat menjadi resisten terhadap streptomycin dan gangguan
terhadap syaraf pendengaran dapat terjadi. Selain itu terdapat pula galur yang
resisten terhadap isoniazid. Rifampin juga merupakan obat manjur dan dapat
digabung dengan ioniazid. Penggabungan kedua obat ini sering diberikan pada
hewan penderita di kebun binatang.
Pencegahan
Di lapangan, diagnosis dilakukan dengan uji tuberkulin yang didasarkan
pada “Delayed-hypersensitivity”. Beberapa macam tuberculin dapat digunakan,
semuanya mengandung protein mycobacterium yang menyebabkan hewan
terinfeksi menjadi hipersensitif . “Old Tuberculin” menurut Koch merupakan filtrat
dari biakan M. tuberculosis yang berumur 8 minggu.
2. Corynebacterium diphtheriae

Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan


difteri berupa infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Ia juga dikenal
sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog
Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915).

Gambaran klinis
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan
klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa
manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
1) Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan.
Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat
diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2) Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan
demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap.
Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam
jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai
terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan
limfadenopati.
3) Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4) Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain
keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina,
serta kanal auditori eksternal.
Diagnosis
Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-
klinikus dan sering terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C.
Diphtheriae baik yang toksigenik maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula
spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa. Karena
itu bila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman khas difteri, maka hasil
presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan
pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat, dan dengan hasil
yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian, diagnosis
laboratorium harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti diagnosis klinik
agar penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau bahan
pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus
segera dikirim ke laboratorium.
Pengobatan
Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti
Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder
(Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan
eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram
/ hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian, intramuskular (300.000 U /
hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U / sehari bagi mereka
yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.Antitoksin difteri diproduksi dari kuda,
yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1891. Pengobatan
difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang tepat jumlahnya dan juga cepat.
Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis presumtif keluar, tanpa perlu
menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini dilakukan karena toksin dapat dengan
cepat terikat pada sel jaringan yang peka, dan sifatnya irreversibel karena ikatan
tidak dapat dinetralkan kembali. Jadi penggunaan antitoksin bertujuan untuk
mencegah terjadinya ikatan lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh
dan akan mencegah perkembangan penyakit.
Pencegahan
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan
diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu,
imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia
2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid)
dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan
pada saat anak akan bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan
antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering
berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai
pada keadaan yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap
penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.

b. Bakteri pada Saluran Pencernaan


Pada saluran pencernaan terdapat berbagai penyakit yang dapat terjadi.
Salah satu penyebabnya adalah bakteri. Begitu banyak bakteri yang dapat
menjangkit saluran pencernaan. Maka dari itu akan diperkenalkan bakteri-bakteri
yang terdapat pada saluran pencernaan.

1. Clostridium perfringens

Bakteri ini dapat menyebabkan keracunan makanan ´perfringens´ yang


merupakan istilah yang digunakan untuk keracunan makanan yang disebabkan
oleh C. perfringens . Keracunan perfringens secara umum dicirikan dengan kram
perut dan diare yang mulai terjadi 8-22 jam setelah mengkonsumsi makanan yang
mengandung banyak C. perfringens penghasil toxin penyebab keracunan makanan.
Keracunan perfringens didiagnosis dari gejala-gejalanya dan waktu dimulainya
gejala yang agak lama setelah infeksi. Lamanya waktu antara infeksi dan timbulnya
gejala merupakan ciri khas penyakit ini. Diagnosis dipastikan dengan memeriksa
adanya racun dalam kotoran pasien. Konfirmasi secara bakteriologis juga dapat
dilakukan apabila ditemukan sangat banyak bakteri penyebab penyakit di dalam
makanan atau di dalam kotoran pasien.

Keracunan perfringens paling sering terjadi dalam kondisi pemberian


makan bersama (misalnya di sekolah, kantin, rumah sakit, rumah-rumah perawatan,
penjara, dll.) di mana sejumlah besar makanan disiapkan beberapa jam sebelum
disajikan.

Patogenesis

–Menghasilkan toksin LT

–Toksin merangsang enzim adenilat siklase pada dinding usus yang mengakibatkan
bertambahnya konsentrasi cAMP sehingga hipersekresi air dan klorida dalam usus.

–Hal ini mengakibatkan reabsorpsi Na terhambat dan menyebabkan diare.

Peracunan disebabkan oleh sel-sel vegetatif pada waktu membentuk spora


di rongga usus. Pengobatannya hanya menghilangkan gejala karena tidak ada
pengobatan lain yang khusus.

2. Bacillus cereus

Bacillus cereus telah dikenali sebagai salah satu penyebab keracunan pada
makanan sejak tahun 1955, sejak saat itu mikroorganisme ini telah menarik banyak
perhatian dan menjadi salah satu penyebab keracunan pada pangan yang termasuk
sering ditemukan.
Bacillus cereus merupakan golongan bakteri Gram-positif (bakteri yang
mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu proses pewarnaan Gram), aerob
fakultatif (dapat menggunakan oksigen tetapi dapat juga menghasilkan energi
secara anaerobik), dan dapat membentuk spora (endospora).

Spora Bacillus cereus lebih tahan pada panas kering daripada pada panas
lembab dan dapat bertahan lama pada produk yang kering. Selnya berbentuk batang
besar (bacillus) dan sporanya tidak membengkakkan sporangiumnya.
3. Clostridium tetani
Bentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang 2-5 mikron, lebar 0,4-0,5
mikron, dapat bergerak, termasuk gram positif anaerob berspora, membentuk
exotoxin yang disebut tetanospasmin (tetanus spasmin), dan ketika bakteri ini
mengeluarkan eksotoxin maka akan menghasilkan 2 eksotoxin yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak


memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Spora
dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap
antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F
(121°C) selama 10–15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia
yang lainnya. Timbulnya tetanus ialah terutama oleh clostiridium tetani yang
didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.

Sifat Bakteri

Bentuk batang, berspora, dapat bergerak, Gram positif, mengeluarkan


exotoxin yang bersifat neurotoxin, hidup anaerob, bentuk sporanya lebih besar
dari selnya, dan letaknya terminal (di ujung) menyerupai sendok. Bentuk
sporanya dapat bertahan hidup sampai bertahun-tahun. Di alam, bakteri ini
terdapat pada tanah dan kotoran herbivora terutama kuda.

Morfologi

Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsin,


berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk
eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama
tanmah yang tercemar tinja manusia dan binatang. Clostridium tetani termasuk
bakteri gram positif anacrobic berspora, mengeluarkan eksotosin.

Clostridium tetani menhasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin


dan tetanolisin. Tetanospaminlah dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat
menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dapat menyebabkan penyakit tetanus.
Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5
nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram
manusia.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak


memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S.menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Spora dari
clostridium tetani resisten terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan
pada autoclave pada suhu 249.8ºf (121ºc) selama 10-15 menit. Juga resisten
terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya.

Penyakit yang ditimbulkan

Penyakit yang ditimbulkannya adalah tetanus dengan masa inkubasi


antara 3-21 Hari. Infeksi oleh Clostridium tetani dapat terjadi sebagai
komplikasi pada luka tusuk, patah tulang terbuka, luka bakar, pembedahan,
penyuntikan, gigitan binatang, aborsi, melahirkan atau luka pemotongan
umbilicus (tali pusat). Luka tusuk yang dalam lebih besar kemungkinannya
untuk terjadi tetanus, dibandingkan dengan luka pada permukaan atau luka lecet
(Entjang I, 2001).

Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium

Bahan pemeriksaan diambil dari luka, nanah, dan jaringan. Pada tetanus
diagnosa penyakit didasarkan atas gejala klinik dan anamnesis adanya luka.
Pengobatan dengan antitetanus toxin dan antibiotika segera dilakukan, tanpa
menunggu hasil pemeriksaa laboratorium. Sample diperiksa setelah pewarnaan
Gram dan dilakukan perbenihan.

Pencegahan

Hasil pengobatan terhadap penyakit tetanus sering kali tidak memuaskan,


angka kematiannya tinggi atau sembuh dengan gejala sisa. Karena itu, upaya
pencegahan merupakan hal yang sangat penting.
Pencegahan yang dilakukan meliputi :

a. Perawatan Luka Yang Baik, Terhadap Luka Yang Terkontaminasi


Tanah, Terutama Luka Tusuk Yang Dalam.

b. Pemberian Antitetanus Serum (Antitoxin) Pada Penderita Luk Yang


Diduga Terjadi Kontaminasi oleh Clostridium tetani.

c. Imunisasi aktif, baik bersama Dihpteria dan pertussis (DPT vaccine)


atau secara tersendiri (tetanus toxoid).

c. Bakteri pada Sistem Saraf


Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk
bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf
merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyaimpaikan rangsangan
dari respon untuk deteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem saraf memungkinkan
makhluk hidup tanggap dengan cepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
di lingkungan luar maupun dalam.

1. Mycobacterium leprae

Sifat Bakteri

Bentuk batang, Gram positif, tahan asam (acid-fast), tidak bergerak. Sampai
sekarang belum berhasil dibiakkan Basil lepra dalam suasana panas dan lembab
dapat tetap hidup selama 9-16 hari. Jika terkena sinar matahari secara langsung
dapat bertahan hidup selama 2 jam, terhadap sinar UV hanya dapat bertahan 30
menit.

Mycobacterium leprae ini mampu bertahan pada hembusan kering dari


hidung selama 7 hari pada suhu 20,6°C dengan kelembaban 43,7% dan 10 hari pada
suhu 35,7°C dengan kelembaban 77%. Mycobacterium leprae dikatakan mampu
bertahan diluar tubuhmanusia selama beberapa bulan pada kondisi yang sesuai,
misalnya: tanah, air. Ada juga yang mengatakan bahwa Mycobacterium
leprae bertahan selama beberapa minggu (2-4 minggu) di lingkungan khususnya
kondisi lembab. Kondisi ini ada di sekitar lingkungan hidup pada area-area
endemic. Reservior Mycobacterium leprae, selain manusia , dapat juga dijumpai
pada hewan armadillo, sejenis monyet dan tikus.

Diagnosa Laboratorium

Bahan pemeriksaan diambil dari goresan dengan skalpel pada lesi di kulit
atau mukosa hidung atau daun telinga. Dibuat sediaan apus pada gelas benda dan
dilakukan pengecatan menurut cara Ziehl-Neelsen. Adanya basil lepra tampak
berwama merah dengan susunan bentuk globus, cerutu atau satu-satu.

Penyakit lepra sangat menular , dan sumber penularan adalah penderita


lepra. Cara penularan belum diketahui secara pasti, sangat mungkin terjadi pada
masa kanak-kanak, dalam waktu yang sangat panjang selalu kontak dengan
penderita yang dalam sekretnya mengandung basil lepra,. Sekret hidung merupakan
sumber penularan utama, kemudian bare discharge dari lesi dikulit
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Patogenesis adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan


penyakit. Infeksi merupakan invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan
berasosiasi dengan jaringan inang

Bakteri dapat merusak sistem pertahanan inang dimulai dari permukaan


kulit, saluran pencernaan, saluran respirasi, saluran urogenitalia. Mikroorganisme
patogen dapat memasuki tubuh inang melalui berbagai macam jalan, misalnya
melalui membran mukosa, kulit ataupun rute parental. Banyak bakteri dan virus
memiliki akses memasuki tubuh inang melalui membran mukosa saluran
pernapasan, gastrointestinal, saluran genitourinari, konjungtiva, serta membran
penting yang menutupi bola mata dan kelopak mata.

B. Saran

Bakteri makhluk kecil yang jarang kita sadari keberadaanya. Maka jika terjangkit
salah satu penyakit dari bakteri kita jangan meremehkan gejala awal yang dialami
karena umumnya gejala awalnya sangat biasa. Karena jika diremehkan bisa saja
menjadi akut. Harus mengikuti tahap-tahap pencegahan yaitu dengan menjaga
kebersihan diri.
DAFTAR PUSTAKA

Pelczar Jr, Michael J. 1988. Dasar-dasar mikrobiologi jilid 2 terjemahan. Jakarta :


Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai