Case Epilepsy
Case Epilepsy
KEPANITERAAN KLINIK
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AR
Umur : 16 tahun
Pekerjaan :-
No RM : 348467
1
II. SUBJEKTIF
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis, pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 10.00 WIB
Pasien datang ke poli saraf dengan keluhan kejang berulang sejak 1 bulan yang lalu.
Menurut ibu pasien, saat kejang pasien tampak bengong, tidak berkedip, ada gerakan
mengunyah dan pandangan kosong lamanya ± 1 menit, frekuensi kejang ± 3 kali. Biasanya
apabila pasien sedang beraktivitas dan ketika pasien tidur pada malam hari. Tidak ada keluhan
seperti kaku, kelojotan, mata mendelik ke atas maupun mulut yang berbusa pada pasien.
Sebelum kejang terjadi, pasien tidak ada keluhan apapun dan tidak merasa ada nya
tanda. Saat kejang terjadi, pasien sedang menonton TV bersama ibunya. Menurut ibunya,
pasien tiba – tiba bengong dan ada gerakan mengunyah saat ibunya ingin mengambil remote
TV yang berada di sebelah pasien. Setelah kejang membaik, pasien langsung sadar dan setelah
itu pasien kembali beraktivitas seperti biasa, juga saat ditanya tentang dirinya, pasien masih
dapat menjawab dengan baik. Ibu pasien mengatakan pasien sudah tidak minum obat lagi sejak
sebulan yang lalu. Pandangan buram (-), nyeri kepala (-), mulut mencong (-), bicara pelo (-),
badan terasa lemas sebelah (-), kesemutan dan baal (-). BAK/BAB normal, demam (-), mual (-
), muntah (-), alergi obat disangkal
Pasien mempunyai riwayat kejang untuk pertama kalinya sejak pasien berusia 10 tahun.
Menurut ibu pasien, kejang muncul pada saat pasien sedang mengenakan pakian sehabis
mandi. Kejang yang dialami pasien seperti tampak bengong, tidak berkedip, ada gerakan
mengunyah dan pandangan kosong selama ± 1 menit. Menurut ibu pasien, pasien tidak
mengalami kejang pada saat kelahiran atau pada saat pasien bayi.
Semenjak kecil perkembangan pasien memang berbeda dengan anak seusianya. Ibu
pasien mengatakan pasien suka marah-marah sendiri dan suka membanting barang saat
keinginannya tidak di berikan. Ibu pasien mengatakan saat hamil anak ini tidak ada masalah
dalam perawatan selama kehamilan, ibu pasien mengatakan ini adalah anak yang diinginkan,
2
tidak ada keinginan untuk mengugugurkan kehamilannya. Dan pasienpun lahir dengan
keadaan baik tanpa cacat.
Pasien ditangani oleh dokter spesialis saraf dengan mendapat obat – obatan seperti
fenitoin, dan depakote.. Pasien sudah melakukan pengobatan dari saat usia 14 tahun sampai
sekarang, Dengan obat – obatan tersebut menurut ibu pasien sangat membantu pasien hingga
tampak jarang sekali kejang. Pasien juga rutin control tiap bulannya. Namun sebulan
belakangan ini, diakui pasien sudah tidak control dan tidak minum obat lagi.
Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), stroke(-), asma(-
) riw. Alergi (-).
Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes, tuberculosis, epilepsi, kanker dan stroke di
keluarga pasien.
Keadaan sosial ekonomi pasien cukup. Pasien tidak merokok maupun mengonsumsi alkohol
juga obat – obatan terlarang.
III. OBJEKTIF
1. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
GCS : E4V5M6 (15)
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 82x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,5 oC
Kepala : normocephal, distribusi rambut merata
Leher : pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar
Paru : SN vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Perut : supel, BU (+) normal, NT abdomen (-), hepar,lien tidak teraba
Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
3
2. Status Psikikus
Cara berpikir : Kurang
Perasaan hati : Eutim
Tingkah laku : Aktif
Ingatan : Baik
Kecerdasan : Kurang
3. Status Neurologikus
Kepala
1. Bentuk : Normocephali
2. Nyeri tekan : tidak ada
3. Simetris : kanan sama dengan kiri
4. Pulsasi : Tidak teraba
Leher
1. Sikap : Simetris
2. Pergerakan : normal
3. Kaku kuduk : (-)
4. Brudzinski : (-)
5. Laseque : >70o / >70o
6. Kernig : >135o/ >135o
4
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Eksoftalmus (-) (-)
Pupil
Besar pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Isokor Isokor
Reflex terhadap sinar (+) (+)
Reflex konversi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflex konsensual (+) (+)
Diplopia (-) (-)
N IV. (Troklearis)
Pergerakan mata Baik Baik
( kebawah-dalam )
Strabismus (-) (-)
Diplopia (-) (-)
N V. (Trigeminus)
Membuka mulut (+) (+)
Mengunyah (+) (+)
Menggigit (+) (+)
Reflex kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N VI. (Abduscens)
Pergerakan mata ke lateral Baik Baik
Sikap bulbus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diplopia (-) (-)
N VII. (Fascialis)
Mengerutkan dahi (+) (+)
Mengangkat alis (+) (+)
Menutup mata (+) (+)
Memperlihatkan gigi (+) (+)
Menggembungkan pipi (+) (+)
Perasaan lidah bagian 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
depan
5
NVIII.
(Vestibulokoklear)
Suara berisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N IX. (Glossofaringeus)
Perasaan bagian lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
belakang
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pharynx Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N X. (Vagus)
Arcus pharynx Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Bicara Baik Baik
Menelan Bisa Bisa
Nadi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N XI. (Asesorius)
Mengangkat bahu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Memalingkan kepala Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N XII. (Hypoglossus)
Pergerakan lidah Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Tremor lidah (-) (-)
Artikulasi Baik Baik
6
b. Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil (+) (+)
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. Refleks
Refleks kulit perut atas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks kulit perut Tidak dilakukan Tidak dilakukan
bawah
Refleks kulit perut Tidak dilakukan Tidak dilakukan
tengah
Refleks kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
(b) Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Baik Baik
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
7
(c) Refleks
Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Radius Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Ulna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Hoffman-Trommer - -
(b) Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Baik Baik
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
(c) Refleks
Kanan Kiri
Patella ++ ++
Achilles ++ ++
Babinski - -
Chaddock - -
Schaefer - -
Oppenheim - -
Gordon - -
8
Klonus - -
5. Gerakan-gerakan abnormal
Tremor Negatif
Miokloni Negatif
Khorea Negatif
IV. RINGKASAN
Subjektif:
Pasien datang ke poli saraf dengan keluhan kejang berulang sejak 1 bulan yang
lalu. Menurut ibu pasien, saat kejang pasien tampak bengong, tidak berkedip, ada
gerakan mengunyah dan pandangan kosong lamanya ± 1 menit, frekuensi kejang ± 2
kali. Biasanya apabila pasien sedang beraktivitas dan ketika pasien tidur pada malam
hari. Tidak ada keluhan seperti kaku, kelojotan, mata mendelik ke atas maupun mulut
yang berbusa pada pasien. Sebelum kejang terjadi, pasien tidak merasa ada nya tanda.
Saat kejang terjadi, pasien sedang menonton TV bersama ibunya. Menurut ibunya,
pasien tiba – tiba bengong dan ada gerakan mengunyah saat ibunya ingin mengambil
remote TV yang berada di sebelah pasien. Setelah kejang membaik, pasien langsung
sadar dan setelah itu pasien kembali beraktivitas seperti biasa, juga saat ditanya tentang
dirinya, pasien masih dapat menjawab dengan baik. Ibu pasien mengatakan sudah tidak
9
minum obat lagi sejak sebulan yang lalu. Pandangan buram (-), nyeri kepala (-), mulut
mencong (-), bicara pelo (-), badan terasa lemas sebelah (-), kesemutan dan baal (-).
BAK/BAB normal, demam (-), mual (-), muntah (-), alergi obat disangkal. Pasien
mempunyai riwayat kejang untuk pertama kalinya sejak pasien berusia 10 tahun dengan
pola kejang yang sama.
Objektif :
Saat diperiksa, pasien dalam keadaan compos mentis dengan hasil TTV; tekanan
darah 110/70 mmHg, nadi 82x/menit,, pernapasan 20x/menit dan suhu badan 36,5oC.
Pada pemeriksaan motorik tidak didapatkan tanda-tanda kelainan. Pada pemeriksaan
refleks fisiologis ekstremitas atas dan bawah, didapati refleks bisep, trisep, pattela dan
achilles normal. Tidak ada reflex patologis pada pasien.
V. DIAGNOSIS
1. Klinis : epilepsi kejang umum tipe lena/absens
2. Topis : korteks serebri
3. Etiologi : idiopatik
4. Patologis : gangguan impuls listrik
VI. PENATALAKSANAAN
Non medika- mentosa:
Menerangkan bahwa penyakit ini dapat dikendalikan dengan minum obat teratur dan
control rutin.
Medika mentosa:
2. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
10
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Bangkitan kejang merupakan keadaan yang sering ditemukan dalam praktik sehari hari. Bagi
yang baru menyaksikannya keadaan ini akan tampak menakutkan dan membuatkan panic.
Semua pasien yang datang dalam keadaan kejang harus kita anamnesis dan bedakan apakah
ini kejang epilepsi,status epileptikus atau kejang yang lain.
Beberapa etiologi yang dapat dikaitkan dengan bangkitan kejang, antara berikut:1
Usia di bawah 16 tahun. Individu pada usia ini mempunyai resiko terjadinya kejang
berulang hampir dua kali lipat berbanding kelompok individu 16-60 tahun.
Kejang yang terjadi antara tengah malam dan jam 08:59 pagi.
Riwayat kejang terprovokasi sebelumnya
Riwayat kejang demam
Riwayat keluarga dengan epilepsy
Status epilepticus atau kejang berulang terjadi dalam 24 jam
Kejang parsial
Riwayat defisit neurologis dari ahir seperti Cerebral Palsy atau retardasi mental
CT scan yang menunjukkan adanya tumor otak
EEG dengan gambaran epileptiform
11
Tipe Bangkitan Kejang
12
Epilepsi
Definisi
Sindrom epilepsy adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsy yang terjadi
secara bersama sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan(onset) jenis bangkitan,
factor pencetus, dan kronisitas.4
Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi (ILAE) terdiri
atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk
sindrom epilepsi.
1. Bangkitan parsial
a) Bangkitan parsial sederhana
Dengan gejala motorik
Dengan gejala sensorik
Dengan gejala otonomik
Dengan gejala psikis
b) Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
Bangkitan parsian yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
bangkitan
c) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
13
Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
tonik klonik
Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
tonik klonik
Bangkitan parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan berkembang
menjadi umum tonik klonik
2. Bangkitan umum3
a. Lena/Petit Mal (absence)
Terdiri dari 2 bentuk yaitu tipikal lena dan atipikal lena.
Tipikal lena
Atipikal lena
Tabel 1. Perbedaan tipikal absens dan Atipikal absens5
Karakteristik Tipikal Atipikal
14
neurologi, tipe
kejang multiple
b. Mioklonik
c. Tonik
d. Atonik/astatik
e. Klonik
f. Tonik-klonik/Grand Mal
15
Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang
tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi
kortikal tinggi, membaca)
Epilepsi lobus temporal
Epilepsi lobus frontal
Epilepsi lobus parietal
Epilepsi lobus oksipital
c. Kriptogenik
2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsy berurutan sesuai dengan peningkatan usia
a. Idiopatik (primer)
Kejang neonatus familial benigna
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
Epilepsi lena pada anak
Epilepsi lena pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
b. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
Sindrom Lennox-Gastaut
Epilepsi mioklonik astatik
Epilepsi mioklonik lena
c. Simtomatik
Etiologi non spesifik
o Ensefalopati mioklonik dini
o Ensefalopati pada infantil dini dengan burst suppression
o Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
Sindrom spesifik
Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
16
3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
Bangkitan neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
Kejang demam
Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksik, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
Prevalensi6
Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi daripada negara maju.
Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000 orang dan 5-74 per 1000
orang di negara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi
dibandingkan daerah perkotaan yaitu 15,4 per 1000 orang di pedalaman dan 10,3 di perkotaan.
Di negara maju prevalensi median epilepsi yang aktif dengan episode bangkitan dalam 5 tahun
terakhir adalah 4,9 per 1000, sedangkan pada negara berkembang di pedalaman 12,7 per 1000
dan di perkotaan 5,9 per 1000. Di negara asia, prevalensi epilepsi aktif tertinggi dilaporkan di
Vietnam 10,7 per 1000 orang dan terendah di Taiwan 2,8 per 1000 orang.
Prevalensi epilepsi pada usia lanjut di negara maju diperkirakan sekitar >0,9%, lebih
tinggi dari decade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun, prevalensi meningkat 1,5%.
Sebaliknya, prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2
dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan
angka harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis
kelamin di negara-negara asia dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita.
17
Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Pokdi
Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013
selama 6 bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama.
Rerata usia kasus baru adalah 25,06±16,9 tahun sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah
29,2±16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8%
berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat.
Etiologi Epilepsi
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung dengan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi,
yaitu sebagai berikut:
1. Pastikan adanya bangkitan epileptik
2. Tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
3. Tentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989
Dalam praktek klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis: auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal terkait
di bawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan:
18
Selama bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.
Selama bangkitan/iktal:
Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
Bagaimana pola/bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala,
gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, dan lain-lain.
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?
Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.
Pasca bangkitan/post-iktal:
Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s
paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antarbangkitan, kesadaran antarbangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respons terhadap OAE sebelumnya:
i. Jenis obat antiepilepsi (OAE)
ii. Dosis OAE
iii. Jadwal minum OAE
iv. Kepatuhan minum OAE
v. Kadar OAE dalam plasma
vi. Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis, psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan lain-lain
19
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis6
Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan kongenital
- Kecanduan alkohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan
Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan
dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, makan akan
tampak tanda pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi, seperti:
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan Penunjang6
Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk:
Membantu menunjang diagnosis
Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi
Membantu menentukan prognosis
Membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE
Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak. MRI beresolusi tinggi
(minimal 1,5 tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi
patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi
kavernosus, Dysembryoplastic Neuroepithelial Tumor (DNET), tuberous sclerosis.
20
Functional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Single
Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberika informasi tambahan mengenai
dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan
dengan bangkitan. Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI
kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada
usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari
adanya lesi struktural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus
kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak, MRI
kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan kepala.
Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, apusan darah tepi, elektrolit, kadar glukosa darah sewaktu, fungsi
hati, ureum, kreatinin, albumin. Pemeriksaan ini dilakukan pada:
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan
diagnosis banding dan pemilihan OAE
- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping
OAE
- Rutin diulang setiap setahun sekali untuk memonitor efek samping
OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE
o Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya dilakukan untuk meliat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal
atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
Pemeriksaan penunjang lainnya
Dilakukan sesuai dengan indikasinya misalnya pungsi lumbal atau elektrokardiografi
(EKG)
21
Diagnosis Banding Kejang
22
Gejala Sisa Mengantuk Lesu Lesu
Setelah Lidah tergigit
Serangan Nyeri anggota gerak
Defisit neurologis
fokal (Todd’s
paralisis)
Apabila diagnosis epilepsi sudah dapat ditegakkan, maka kita akan dihadapkan pada pelbagai
sindrom epilepsi. Penentuan sindrom yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan terapi.
Sindrom epilepsi memiliki beberapa perbedaan.
Riwayat Kejang
penyakit demam/kejang
demam dalam
keluarga(+)
Gangguan +/-
memori
23
Dapat
Manifestasi Bersifat cluster Beberapa kali
terlokalisir atau
bangkitan sehari
menyebar
Umumnya saat
secara
tidur
Jacksonian
Berlangsung
singkat
Manifestasi Kadang ada Umumnya
Parsial sederhana
motoric sensasi visual
seringkali menggerakkan
terhentinya tubuh(tangan,
diikuti hilang
otomatisme Fenomena
oroalimentary negative:
24
durasi> 1 Vertigo berat
menit, pulih atau disorientasi
secara bertahap ruang
Pencitraan PET:
hipometabolisme
Dapat normal
Gambaran Dapat normal Dapat abnormal Focal spike
Asimetris
EEG Asimetris epileptiform atau spike and
Frontal spike
ringan sampai waves
atau sharp
jelas
waves atau
dibandingkan
slow waves
aktifitas dasar
Unilateral atau
Spike, sharp
bilateral
waves dan atau
slow waves
Unilateral atau
bilateral
Sinkron atau
asinkron
25
Kejowniko’s
syndrome
Terapi6
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal
dan tercapainya kualitas hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan
penyakit dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Harapannya adalah “bebas
bangkitan, tanpa efek samping”. Untuk tercapainya tujuan tersebut, diperlukan beberapa upaya,
antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek
samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.
26
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan
OAE pertama, kedua OAE tetap diberikan. Bila respons yang didapat buruk, kedua
OAE harus diganti dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan
bila terdapat respons dengan OAE kedua, tetapi respons tetap sub optimal walaupun
penggunaan kedua OAE pertama sudah maksimal.
OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama
Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
o Pada pemeriksaa CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang bekorelasi dengan
bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis
herpes
o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak
o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung
o Riwayat bangkitan simtomatis
o Terdapat sindrom epilepsi yang beresiko kekambuhan tinggi seperti JME
(Juvenile Myoclonic Epilepsi)
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,
infeksi SSP
o Bangkitan pertama berupa status epileptikus
Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan profil
farmakologis tiap OAE dan interaksi farmakokinetik antar OAE
Strategi untuk mencegah efek samping:
o Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
o Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada
sindrom epilepsi dan karekteristik penyandang
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, jenis sindrom epilepsi, dosis OAE,
efek samping OAE, profil farmakologis, interaksi antara OAE.
27
Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan
OAE Fokal Umum Tonik Lena Mioklonik
Sekunder Klonik
Phenytoin +(A) +(A) +(C) - -
Carbamazepine +(A) +(A) +(C) - -
Valproic acid +(B) +(B) +(C) +(A) +(D)
Phenobarbital +(C) +(C) +(C) 0 ?+
Gabapentin +(C) +(C) ?+(D) 0 ?-
Lamotrigine +(C) +(C) +(C) +(A) +-
Topiramate +(C) +(C) +(C) ? ?+(D)
Zonisamide +(A) +(A) ?+ ?+ ?+
Levetiracetam +(A) +(A) ?+(D) ?+ ?+
Oxcarbazepine +(C) +(C) +(C) - -
Clonazepam +(D) - - - -
28
Phenobarbital 50-100 50-200 1 Mulai30-50mg malam hari naik 8-30
bila perlu setelah 10-15 hari
Clonazepam 1 4 1 atau 2 2-10
Clobazam 10 10-30 1-2x Mulai 10mg/hari bila perlu naik 2-6
sampai 20mg/hari setelah 1-2
minggu
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x Mulai 300mg/hari naik sampai 2-4
target dalam 1-3 minggu
Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 2x Mulai 500/1000mg/hari naik bila 2
perlu setelah 2 minggu
Topiramate 100 100-400 2x Mulai 25mg/hari naik 25-50 2-5
mg/hari tiap 2 minggu
Gabapentine 900-1800 900-3600 2-3x Mulai 300-900mg/hari naik 2
sampai target dalam 5-10 hari
Lamotrigine 50-100 50-200 1-2x Mulai 25mg/hari selama 2 2-6
minggu naik sampai 50mg/hari
selama 2 minggu, naik
50mg/2minggu
Zonisamid 100-200 100-400 1-2x Mulai 200-400mg/hari naik 7-10
sampai 1-2 minggu
Pregabalin 50-75 50-600 2-3x 1-2
29
disfungsi serebellar, penurunan absorpsi
kalsium pada usus
Phenobarbital Hepatotoksik, gang. Mengantuk, ataksia, nystagmus, ruam kulit,
Jaringan ikat dan depresi, hiperaktif, gang belajar pada anak,
sumsum tulang, SSJ disfungsi seksual
Valproate Hepatotoksisitas, Mual muntah, rambut menipis, tremor,
hiperamonemia, amenore, peningkatan BB, konstipasi,
lekopeni, hirsustisme, alopesia pada perempuan,
trombositopeni, polycystic ovary syndrome
pankreatitis
Levetiracetam Belum diketahui Mual, nyeri kepala, dizziness, kelemahan,
mengantuk, gang prilaku, agitasi, ansietas,
trombositopenia, leukopenia
Gabapentin Teratogenic Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness,
peningatakan BB, gang prilaku pada anak
Lamotrigine SSJ, gang hepar akut, Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia,
MFO, teratogenic pandangan kabur, nyeri kepala, mual muntah,
insomnia, trombositopenia, nystagmus,
truncal ataxia, tics
Oxcarbazepine Ruam, teratogenic Dizziness, ataksia, nyeri kepala, mual,
kelelahan, hiponatremi, insomnia, tremor,
disfungsi visual
Topiramate Batu ginjal, Gang kognitif, kesulitan menemukan katan,
hipohidrosis, gang dizziness, ataksia, nyeri kepala, kelelahan,
fungsi hati, teratogenic mual, penurunan BB, paresthesia, glukoma
Zonisamide Batu ginjal, Mual, nyeri kepala, dizziness, kelelahan,
hipohidrosis, anemia paresthesia, ruam, gang Bahasa, glaucoma,,
aplastic,skin rash letargi, ataksia
Pregabalin Belum diketahui Peningkatan BB
Penghentian OAE6
Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5
tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
30
penghentian OAE, maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk
menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan. Syarat
umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut:
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir kemudian
dievaluasi kembali. Rujukan ke spesialis epilepsi perlu dipertimbangkan bila:
Status Epileptikus
Status epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit atau adanya dua
bangkitan atau lebih di mana di antara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
31
kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan
konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. Status epileptikus merupakan
kegawatdaruratan yang memerlukan penangan dan terapi segera guna menghentikan
bangkitan. Dikenal dua tipe status epileptikus; status epileptikus konvulsif (terdapat bangkitan
motorik) dan status epileptikus non-konvulsif (tidak terdapat bangkitan motorik).6
- Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau
bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran di antara bangkitan.
SE dibedakan dari bangkitan serial(fequent seizure) uaitu bangkitan tonik klonik yang berulang
tiga kali atau lebih dalam satu jam.6
Berdasarkan klinis:
- SE Fokal
- SE General
Berdasarkan durasi
- SE dini (5-30 menit)
- SE menetap/ established (>30 menit)
- SE refrakter (bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
antikonvulsan awal dengan dosis adekuat)
Status epileptikus nonkonvulsius (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama
- SE-NK Umum
- SE-NK Fokal
32
Pemberian benzodiazepine rektal/midazolam buccal merupakan terapi utama selama
perjalanan menuju ke rumah sakit. Segera panggil ambulans pada kondisi berikut:
- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan
- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan
serial/bangkitan konvulsius
- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi atau tanda
vital lain. Terapi OAE harus diberikan bersama dengan terapi
emergensi.
Pemeriksaan Penatalaksanaan
Umum
Stadium 1 (0-10 - Pertahankan patensi jalan napas SE Dini
menit) dan resusitasi
- Berikan oksigen
- Periksa fungsi kardiorespirasi
- Pasang infus
- Lorazepam i.v 0,1 mg/kgBB (dapat
diberikan 4 mg bolus)
Stadium 2 (0-30 - Monitor pasien
menit) - Pertimbangkan kemungkinan
kondisi non epileptik
- Terapi antiepilepsi emergensi
- Berikan glukosa (D50% 50 ml) dan
atau thiamine 250 mg i.v bila ada
kecurigaan penyalahgunaan
alkohol atau defisiensi nutrisi
- Terapi asidosis bila terdapat
asidosis berat
Stadium 3 (0- - Pastikan etiologi SE Menetap
60menit) - Siapkan untuk rujuk ke ICU
- Identifikasi dan terapi komplikasi
medis yang terjadi
33
- Vasopressor bila diperlukan
- Phenytoin i.v 15-18 mg/kg dengan
kecepatan 50 mg/menit atau bolus
Phenobarbital 10-15mg/kg/iv
dengan kecepatan pemberian
100mg/menit
Stadium 4 (30-90 - Pindah ke ICU SE Refrakter
menit) - Perawatan intensif dan monitor *anestesi umum
EEG dilakukan 60/90 menit
- Monitor tekanan intrakranial bila setelah terapi awal gagal
dibutuhkan
- Berikan antiepilepsi rumatan
jangka panjang
- Anestesi umum dengan salah satu
obat di bawah ini
Propofol 1-2 mg/kgBB
bolus,dilanjutkan 2-
10mg/kg/jam dititrasi naik
sampai SE terkontrol
Midazolam 0,1-0,2 mg/kg
bolus, dilanjutkan 0,05-0,5
mg/kg/jam dititrasi naik
sampai SE terkontrol
Thiopental sodium 3-
5mg/kg bolus, dilanjutkan
3-5mg/kg/jam dititrasi naik
sampai terkontrol
Pemeriksaan emergensi
- Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium,
darah lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan
toksikologi bila penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk
evaluasi kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa
meliputi pencitraan otak dan pungsi lumbal.
34
Pengawasan
- Observasi status neurologi, tanda vital, ECG, biokimia gas darah, pembekuan darah
dan kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli
anestesi bersama neurologi.
- Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinan
status epileptikus nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan
utama adalah supresi aktifitas epileptik pada EEG dengan tujuan sekunder adalah
munculnya pola burst suppression.
5 menit 30 menit
Diazepam rektal Lorazepam i.v Phenytoin i.v Dan/ atau bolus Propofol 1-2mg.kgBB bolus
10-20mg, dapat 0,1mg/kgBB dosis 15-18 Phenobarbital dilanjutkan 2-10mg/kg/jam
diulang seali (diberikan 4mg mg/kg dengan 10-15 mg/kg i.v dititrasi naik sampai SE
setelah 15 menit bolus, diulang satu kecepatan dengan terkontrol, Atau,
atau midazolam kali setelah 10- pemberian kecepatran Midazolam 0,1-0,2mg.kg
buccal 10 mg 20menit). Berikan 50mg/menit pemberian bolus, dilanjuutkan 0,05-0,5
OAE yang biasa 100mg/menit mg/kg/jam ititrasi naik
digunakan bila sampai SE terkontrol , Atau,
pasien sudah Thiopental sodium 3-
mendapat terapi 5mg/kg bolus, dilanjut 3-
OAE. 5mg/kg.jam sampai SE
terkontrol
35
Tabel 8: Pemilihan terapi untuk Status Epileptikus6
Pembahasan
Pasien AR, usia 16 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan Pasien Kontrol dengan
keluhan mengalami kejang sejak 1 bulan yang lalu. Saat kejang pasien tampak bengong, tidak
berkedip, ada gerakan mengunyah dan pandangan kosong lamanya ± 1 menit, frekuensi kejang
± 3 kali. Biasanya apabila pasien sedang beraktivitas dan ketika pasien tidur pada malam hari.
Sebelum kejang pasien tidak memiliki keluhan dan tidak merasa adanya tanda, pada saat
36
kejang, ibu pasien mengatakan bahwa anaknya tiba-tiba bengong ,tidak berkedip, ada gerakan
mengynyah dan pandangan kosong. Tidak ada keluhan seperti kaku, kelojotan, mata mendelik
ke atas maupun mulut yang berbusa pada pasien. Setelah kejang membaik, pasien langsung
sadar dan setelah itu pasien kembali beraktivitas seperti biasa, juga saat ditanya tentang dirinya,
pasien masih dapat menjawab dengan baik. Ibu pasien mengatakan sudah tidak minum obat
lagi sejak sebulan yang lalu. Dari gejala tersebut bangkitan yang dialami pasien dapat
diklasifikasikan (ILAE 1981) pasien mengarah pada epilepsi serangan umum tipe absans/ lena
dimana pasien mengalami bengong, pandangan kosong, ada gerakan menguyah dan setelah
kejang sadar dan beraktivitas seperti biasanya. Namun selama sebulan belakangan ini pasien
sudah tidak minum obat lagi. Kejang di sini ditimbulkan akibat dari penghentian obat-obatan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tanda-tanda vital pasien dalam batas normal,
kekuatan motorik tidak ditemukan adanya kelainan, reflex fisiologis dalam batas normal, reflex
patologis tidak ada.
Pada pasien harus dilakukan pemeriksaan penunjang seperti rekaman EEG dan CT-
scan, Hal ini bertujuan untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan prognosis,
pertimbangan dalam penghentian OAE, membantu dalam menentukan letak fokus, bila ada
perubahan bangkitan dari bangkitan sebelumnya.3
Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan pada pasien ini adalah valproic acid 500-
1000 mg 2-3x dan juga obat lamotrigine 500 mg 1-2x. kedua obat ini merupakan obat OAE
lini pertama yang digunakan untuk mengatasi epilepsy absans. Pasien juga diberitahukan
mengenai efek samping dari kedua obat ini, salah satunya penggunaan OAE valproic acid akan
meningkatkan berat badan pasien.
Untuk prognosis ad vitam pasien adalah ad bonam karena pasein dalam kondisi stabil,
dan penyakit pasien tidak sampai mengancam nyawa pasein. Untuk prognosis ad fungsionam
pasein adalah ada bonam karena dari keterangan keluarga pasein, pasein masih dapat
menjalankan fungsi kehidupan nya dengan baik. Dan untuk prognosis ad sanationam pasein
adalah dubia ad bonam mengingat kejadian terulang kembali kejang pada pasein sangat besar,
namun apabila pasien patuh minum obat dan rutin kontrol dan juga bila pasein dapat
37
menghindari faktor-faktor pencetus terjadinya kejang maka frekuensi kejadian berulangnya
dapat kita turunkan ataupun kemungkinan pasien dapat bebas kejang sembari terus dilakukan
evaluasi.
Edukasi juga diberikan kepada pasien dan keluarga sebagai suatu bentuk
penatalaksaanaan non farmakologis seperti hindari pasien dari benda-benda tajam dan
berbahaya, awasi jalan nafas pasien pada saat serangan Selain itu pasien juga sebaiknya
menghindari faktor pencetus epilepsi seperti kebisingan, kurang tidur, stress, kelelahan,
alkohol, dan lain-lain.
38
Daftar Pustaka
39