Anda di halaman 1dari 13

1.

Anatomi
Nasofaring adalah bagian superior pada faring di antara choanae rongga nasal dan
sudut palatum lunak inferior. Nasofaring terbagi atas tiga bagian: dinding lateral (termasuk
fossa Rosenműller, torus tuberis dan orifice tuba Eustachian), Vault of roof dan dinding
posterior.The fossa of Rosenműller merupakan tempat yang paling sering dijumpai
karsinoma nasofaring.Sistem limfa dari nasofaring berjalan dari arah antero-posterior
menuju ke basis tengkorak dimana nervus kranial IX (nervus glossopharyngeal) dan XII
(nervus hypoglossal) berada.Perjalanan limfatik yang lain adalah pengaliran ke noda limfa
servikal posterior and noda jugulo di gastric(Lee, 2008; Anil, 2008).
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang
rongga hidung. Diatas tepi bebas palatum molle yang berhubungan dengan rongga
hidung dan ruang telinga melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk
oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah. Dasar
nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum molle. Dinding depan dibentuk oleh
koana dan septum nasi dibagian belakang. Bagian belakang berbatasan dengan ruang
retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding faring. Pada dinding lateral terdapat
orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara tuba eustachius dengan batas
superoposterior berupa tonjolan tulang rawan yang disebut torus tubarius. Sedangkan
kearah superior terdapat fossa rossenmuller atau resessus lateral. Nasofaring diperdarahi
oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal asenden dan desenden serta cabang
faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena dari pembuluh darah balik faring pada
permukaan luar dinding muskuler menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis interna.
Daerah nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang terdiri dari nervus glossofaringeus
(N.IX) dan cabang maksila dari saraf trigeminus (N.V2), yang menuju ke anterior
nasofaring. Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening yang
saling menyilang dibagian tengah dan menuju ke kelenjar Rouviere yang terletak pada
bagian lateral ruang retrofaring, selanjutnya menuju ke kelenjar limfa disepanjang vena
jugularis dan kelenjar limfa yang terletak dipermukaan superfisial
2. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang berasal dari sel
epitel yang melapisi nasofaring.Penyakit ini disebutkan kali pertama oleh Regaund dan
Schmincke pada tahun 1921 (Brennan, 2006).Biasanya, patologis KNF bermulai dari sel
epitel yang berada di bagian lateral nasofaring (fossa of Rosenműller) (David et al., 2008).
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamous yang tumbuh dari epitel
nasofaring. Karsinoma nasofaring ini dapat tumbuh pada berbagai sisi nasofaring namun
lebih sering terlihat pada fossa Rosenmuller (Hsien et al, 2009).
Faktor resiko untuk terjadinya KNF adalah infeksi Epstein Barr Virus (EBV), selain
daripada itu ikan asin, asupan alkohol, merokok dan makanan cepat saji, terutama pada
masa anak-anak, juga menunjukkan hubungan dengan tingginya rata-rata kejadian KNF
(Randall, 2009). Nasofaring merupakan daerah yang sulit untuk diperiksa oleh dokter umum
sehingga karsinoma nasofaring sering terlambat untuk di diagnosis jika dibandingkan
dengan keganasan lainnya pada kepala dan leher. Oleh karena itu karsinoma nasofaring
cenderung ditemukan pada stadium lanjut (Randall, 2009)
3. Etiologi dan Faktor resiko
Kanker nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang sentiasanya berkembang di
sekitar ostium dari tuba Eustachian di sisi dinding lateral nasofaring (Jiadeetal., 2009).
Kanker nasofaring disebabkan oleh tiga faktor yaitu: (1) individual yang disertai predisposisi
genetik (A2, B17 dan Bw46, Cantonese Chinese), (2) faktor kebiasaan diet, sebagai contoh,
konsumsi ikan dan daging yang telah diawet dengan garam, (3) faktor lingkungan (asap
rokok, pencemaran udara dan kebiasaan konsumsi alkohol), serta (4) infeksi oleh virus
Epstein-Barr (EBV) (Clifton, 2001; David et al., 2008).
a. Kerentanan Genetik
Beberapa laporan penelitian menduga adanya peranan histocompatibility locus
antigens (HLA) dengan karsinoma nasofaring terutama pada ras Chinese (Ganguly
et al., 2003). Bagi Chinese yang telah migrasi ke negara lain tetap mempunyai
insidensi yang lebih tinggi (Dhingra, 2010).
b. Infeksi Virus Epstein-Barr (EBV)
Deteksi antigen nuklear yang berasosiasi dengan virus EpsteinBarr dan DNA viral
pada KNF tipe 2 dan 3 menunjukkan EBV dapat menginfeksi sel epitel serta terkait
dengan transformasinya. Menurut Lo et. al., DNA EBV dapat dideteksi pada sampel
plasma di antara 96% pasien KNF non-keratinizing.Selain itu, jumlah DNA EBV
berkorelasi dengan respons terhadap tindakan pengobatan dan dapat digunakan
untuk mencegah penyakit, disarankan bahwa ini mungkin boleh dipakai sebagai
indikator prognosis (Brennan, 2006).
c. Faktor Lingkungan
Eksposisi nonviral yang paling konsisten dan terasosiasi yang kuat dengan resiko
KNF adalah konsumsi ikan asin. Membandingkan individu yang mengkonsumi ikan
asin pada mereka yang tidak, resiko relative KNF berkisar di antara 1,7 – 7,5 (Ellen
et al., 2006). Pada sumber yang lain juga mengatakan insidensi KNF meningkat
pada populasi yang banyak mengkonsumsi ikan asin. Penelitian sebelumnya
mendapat bahwa di China Selatan, ditunjukkan hubungan sosioekonomi dengan
KNF di mana ikan asin merupakan makanan yang paling murah untuk dikonsumsi
bersama nasi (LiMin et al., 2005). Faktor lingkungan yang juga berasosiasi dengan
KNF adalah paparan terhadap debu kayu, debu besi dan debu perindustrian; oli dan
bahan bakar mobil; bahan cat; asap tertentu; dan asap rokok (kebiasaan merokok
(Armstrong et al., 2000).Resiko terjadinya KNF meningkat sebanyak 2 – 6 kali
dengan kebiasaan merokok. Sebuah penelitian di Amerika Syarikat mengestimasi
2/3 KNF berasosiasi dengan kebiasaan merokok (Ellen et al.,2006).
4. Klasifikasi
Klasifikasi histologi KNF yang diajukan oleh World Health Organization (WHO)
mengklasifikasikan tumor menjadi 3 kelompok, yaitu (Fachiroh et al, 2004; Randall, 2009;
William, 2006):
Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (keratinizing squamous cell
carcinoma)
Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratinisasi (non keratinizing squamous cell
carcinoma).
Tipe 3 : Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma)
Untuk jenis KNF yang non keratinizing yaitu WHO tipe 2 dan 3 bersifat radiosensitif
sehingga radioterapi menjadi pengobatan utama. Pada tumor stadium lanjut terdapat angka
yang tinggi pada metastase regional dan jauh yang akan membutuhkan kombinasi
radioterapi dengan kemoterapi. Kemoterapi dapat meningkatkan efek radioterapi melalui
pemberian bahan radiosensitif pada jaringan tumor dan dapat menurunkan mikrometastase
sistemik (Randall, 2009).
Tumor pada THT dapat diklasifikasikan berdasarkan TNM menurut sistem American
Joint Comitte on Cancer. Klasifikasi tersebut berdasarkan subletak anatomi. Metastase jauh
sekitar <10% ditemukan pada awal diagnosis tetapi pada pemeriksaan autopsy,
keterlibatan mikroskopik pada paru-paru, tulang, atau hati ditemukan paling sering,
terutama pada pasien penyakit advanced neck lymph node disease.
5. Manifestasi klinis
Gejala klinis karsinoma nasofaring (Dhingra, 2010)
Sering kali, gejala pertama yang dijumpai pada pasien adalah penyumbatan hidung atau
tuba Eutachian yang kronis sehingga menimbulkan rasa penuh atau nyeri dalam telinga
dan juga kehilangan kedengaran, secara spesifik pada satu sisi telinga. Apabila tuba
Eutachian tersumbat maka cairan akan terakumulasi dalam telinga tengah. Seseorang
pasien boleh mempunyai discharge pus dan darah dari hidung (epistaxis). Pada kasus
tertentu, tetapi jarang, sebagian wajah atau satu mata pasien menjadi paralise. Kanker ini
selalu menyebar ke noda limfa pada leher (Mark, 2003).
Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala
hidung, telinga, pembesaran kelenjar limfe, dan keterlibatan saraf kranial . Tanda dan
gejala KNF tidak spesifik dan tidak khas, dan nasofaring merupakan area yang sulit
diperiksa, sehingga KNF sering didiagnosis saat stadium lanjut (Ferrari et al, 2012).
a. Gejala Hidung
1. Epistaksis
Keadaan dinding tumor yang rapuh sehingga dengan rangsangan dan sentuhan
dapat terjadi perdarahan. Keluarnya darah biasanya bercampur dengan ingus,
jumlahnya sedikit, dan berulang-ulang (H,Benny, 2009).
2. Sumbatan Hidung
Menurut (H,Benny, 2009) sumbatan hidung terjadi akibat pertumbuhan tumor
kedalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,
dapat disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
b. Gejala Telinga
1. Sumbatan tuba eutachius
gejala ini disebabkan perluasan tumor posterolateral sampai ruang
paranasofaringeal. Pasien mengeluh rasa berdengung, rasa penuh ditelinga
kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.
2. Radang telinga tengah sampai perforasi membran timfani
Merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba,
dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan diproduksi makin
banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat
gangguan pendengaran (H,Benny, 2009).
c. Gejala Neurologis
1. Sindroma Petrosfenoidal
Akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale
sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior yaitu saraf
VI,III,IV, sedangkan saraf II akhir mengalami gangguan. Dapat juga
menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menimbulkan gangguan visus,
parese saraf III menyebabkan gangguan ptosis, dan parese saraf III,IV,dan VI
menyebabkan keluhan diplopia, dan saraf V dengan keluhan rasa kebas di pipi
dan wajah yang biasanya unilateral. Apabila semua grup anterior terkena, maka
akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi serta gejala nyeri
kepala hebat (H,Benny, 2009).
2. Sindroma Parafaring
Terjadi akibat gangguan saraf kranial grup posterior (N.IX,X,XI dan XII) karena
penjalaran retroparotidean dimana tumor tumbuh kebelakang masuk ke dalam
foramen jugularis dan kanalis nervus hipoglosus. Kelumpuhan pada nervus IX
menyebabkan sulit menelan karena hemiparese m.konstriktor faringeus superior.
Nervus X adanya gangguan motorik berupa afoni ,disfoni, disfagia dan spasme
Universitas Sumatera Utara esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah
laring dan faring,dan sesak. Nervus XI terdapat kelumpuhan m.trapezius,
sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, nervus XII terjadi
hemiparese dan atrofi sebelah lidah, nervus VII dan nervus VIII letaknya agak
tinggi jadi jarang terkena KNF (H,Benny, 2009).
d. Limfadenopati Servikal
Sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar baik unilateral atau
bilateral. Pembesaran kelenjar leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen
dari KNF. Pembesaran yang agak khas akibat metastasis adalah lokasi pada ujung
prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula yaitu kelenjar jugulodigastrik dan
kelenjar servikal posterior serta kelenjar servikal tengah (H,Benny,2009).
e. Gejala metastasis jauh
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran
limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, yang sering
adalah pada tulang,hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan
prognosis sangat buruk (Zhou et al, 2007)

6. Pemeriksaan Diagnostik
Gejala pada stadium awal jarang dijumpai. Gejala yang lebih umum adalah
pertumbuhan massa leher (biasanya level II atau V), aural fullnessi,dan disfungsi nasal.
Neuropati kranial (nervus kranial III-VI) juga sering dijumpai dan mengindikasi invasi pada
orbital dan/atau tapak tengkorak.Ekstensi yang lebih berat terhadap nervus kranial XII pada
foramen hipoglosal atau rantai simpatetik servikal, mengakibatkan sindrom Horner(Lee,
2008). Pada dasarnya, diagnosis KNF harus termasuk biopsi positif, terlihat massa pada
MRI atau CT, massa pada leher, epistasis atau nasal discharge, otitis media refraktori dan
nyeri pada telinga atau hilang pendengaran (Anil, 2008).
Metode diagnosis KNF dari Brennan (2006) seperti berikut:
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan pasien. Gejala dan keluhan yang
ditimbulkan antara satu pasien dengan pasien yang lain sangat bervariasi (Hidayat,
2009).
b. Pemeriksaan
1. Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan ini sering dijumpai kesulitan terutama pada pasien dengan variasi
anatomi atau yang tidak kooperatif (Hidayat, 2009).
2. Endoskopi
- Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy) Alat yang digunakan
terdiri dari teleskop dengan sudut 0, 30, dan 70 derajat. Dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu, transnasal dan transoral (Hidayat, 2009).
- Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy) Endoskopi fleksibel
memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap nasofaring,
meskipun masuknya melalui satu sisi kavum nasi. Alat endoskopi ini memiliki
saluran khusus untuk suction,sehingga tetap dapat dilakukan dengan
pandangan langsung (Hidayat, 2009).
c. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan lokasi tumor yang dapat membantu
dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke
jaringan sekitar (Hidayat, 2009).
d. Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak
e. CT scan nasofaring Pemeriksaan ini dapat juga mengetahui penyebaran tumor ke
jaringan sekitar yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis krani
dan penjalaran ke intrakranial. Selain itu, dapat menilai kekambuhan tumor setelah
pengobatan, adanya metastasis, dan juga akibat komplikasi paska radioterapi
seperti atrofi kelenjar hipofise dan nekrosis lobus temporal (Hidayat, 2009).
f. Positron Emission Tomography (PET) Pemeriksaan yang paling sensitif untuk
menilai adanya tumor rekuren pada KNF (Hidayat, 2009).
g. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan MRI dapat memperlihatkan
jaringan lunak nasofaring superfisial atau dalam dan untuk membedakan tumor
dengan jaringan Universitas Sumatera Utara lunak. Selain itu, MRI juga lebih sensitif
untuk menilai metastase kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam (Hidayat,
2009).
h. Biopsi Nasofaring Biopsi nasofaring adalah prosedur tetap terhadap pasien yang
dicurigai menderita KNF, apalagi bila dijumpai masa tumor. Agar biopsi tepat
sasaran, sebaiknya biopsi dilakukan di bawah kontrol endoskopi dan anastesi lokal
dengan posisi duduk atau telentang (Hidayat, 2009).
i. Pemeriksaan Patologi Anatomi
- Sitologi Bahan untuk pemeriksaan sitologi dapat diambil dari permukaan
nasofaring dengan menggunakan brush, swab atau spesial aplikator yang
mempunyai pengisap (Hidayat, 2009).
- Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA
untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tetapi hanya digunakan untuk menentukan prognosis
pengobatan (Hidayat, 2009).
- Imunohistokimia Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang
melibatkan deteksi substansi spesifik dalam jaringan dengan menggunakan
derivat antibodi terhadap substans (Hidayat, 2009).
- Histopatologi Histopatologi tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan
sub tipe KNF (Hidayat, 2009).
7. Penatalaksanaan medis
a. Radioterapi
Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama bertahun-tahun.
Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan struktur penting dan sifat
infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer sulit dilakukan. KNF
umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi
dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya (Guigay et al. 2006; Wei, 2006).
Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90%
kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai
90% pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi
70% pada kasus N2 dan N3 (Wei, 2006).
b. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai komponen terapi kuratif utama pada KNF pertama kali
dipergunakan pada tahun 1970-an. Indikasi pemberian kemoterapi adalah untuk
KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastase jauh, dan kasus-
kasus residif (Mould & Tai, 2002; Zakifman & Harryanto, 2002). Penelitian inter grup
1997 pertama kali menunjukkan bahwa pengunaan kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi meningkatkan overall survival apabila dibandingkan dengan penggunaan
radioterapi tunggal. Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitisizer dan membantu
dalam mengurangi metastase jauh (Mould & Tai, 2002; Wei, 2006).
c. Pembedahan
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas pada
diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase
leher setelah radiasi dan pada pasien tertentu, pembedahan penyelamatan (salvage
treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa
metastase jauh (Chew, 1997; Wei, 2003; Wei, 2006; Lutzky et al. 2008). National
Comprehensive Cancer Network (2010) mempublikasikan suatu petunjuk praktis
klinis penanganan KNF sebagai berikut :

Algoritma tatalaksana kanker nasofaring

Anda mungkin juga menyukai