Anda di halaman 1dari 14

Kasus 2

Nama : Tn. X
Usia : 45 tahun
Alamat : Cirebon
Pekerjaan : Buruh tambang
Keluhan utama : Nyeri dada sebelah kiri

RPS : Seorang laki-laki berusia 45 tahun dibawa ke unit gawat darurat RS


dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri disertai sesak nafas sejak 2 jam yang lalu.
Nyeri dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang nonton bola. Nyeri dirasakan seperti
ditusuk-tusuk dan menjalar ke bahu kiri. Nyeri juga dirasakan terutama saat
menarik nafas. Sesak nafas dirasakan bersamaan dengan nyeri dada timbul. Sesak
tanpa disertai bunyi mengi. Keluhan disertai batuk berdahak agak kehijauan sejak
2 minggu yang lalu. Tidak ada demam. Pasien sempat minum obat bauk tetapi
tidak sembuh juga

RPD :
Riwayat penyakit yang sama disangkal
Riwayat penyakit paru diakui sejak 2 tahun yang lalu (ppok/bronkhitis
kronis/radang saluran nafas kronis) jarang kontrol dan sering kambuh batuknya
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi diakui
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat penyakit kolesterol disangkal
Riwayat pelebaran pembuluh darah kaki disangkal
Riwayat trauma daerah dada kiridisangkal

RPK :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang sama
Riwayat pribadi :
Merokok sejak 20 tahun yang lalu, 20 batang/hari
Konsumsi alkohol disangkal
Makan makanan berlemak (-)
Olahraga jarang

Pemeriksaan fisik
Kesan umum : tampak sesak nafas
Kesadaran : kompos mentis
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 169 cm
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Denyut nadi : 100x/menit
Frekuensi nafas : 28x/menit
Suhu : 37,4oC
Hidung : NCH (+)
Mulut : sianosis
Leher : JVP 5±2 cm, deviasi trachea(-)
Thorax : inspeksi : dada sebelah kiri tertinggal, sela iga maelebar, otot
bantu pernafasan (+)
Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus taktil kiri < kanan, expansi
pernafasan kiri tertinggal
Perkusi : hipersonor paru kiri, vocal fremitus kiri < kanan
Auskultasi : suara nafas paru kiri menghilang, S1 > S2 reguler
Abdomen : dalam batas normal
Extremitas :akral dingin, edema(-)

Diagnosis Banding :
Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks Spontan Sekunder
Tension Pneumotoraks
Infark miocard akut
Emboli Paru
Gagal Jantung Kiri
Pemeriksaan laboratorium
Hb 12 (12-13mg/%)
Leukosit 10.000 (5000-11.000)
LED 35 (5-10mm/jam)
CK 50 (30-180 IU/L)
CKMB 7 (<10U/L)
LDH 110 (80-240 U/L)
Troponin l 0,10 (<0,16Ug/L
SGOT 30 (<37 U/L)
SGPT 35 (<42 U/L)

EKG : irama sinus takikardi


Rontgen : tampak radiolusen pada hemitoraks kiri. Kesan pneumotoraks kiri

Diagnosis Kerja : Pneumotoraks spontan sekunder sinistra e.c PPOK

JANTUNG
PARU Nyeri dada
-Infark Miokard
-Tension dan sesak nafas
akut
Pneumotoraks

- -Perikarditis akut
Pneumotoraks
-Gagal Jantung
spontan GIT
sekunder
- GERD
-Emboli Paru
-gastritis akut
-Abses Paru
erosif
-Tb Paru

-Flail chest
1. Pneumothoraks
A. Definisi
Pneumothoraks adalah penumpukkan udara yang bebas dalam dada
diluar paru yang menyebabkan paru kolaps. Pneumothoraks merupakan
suatu kondisi dimana terdapat uadar pada kavum pleura. Pada kondisi
normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa
mengembang terdapat rongga dada (Sherwood, 2011).

B. Klasifikasi
1. Klasifikasi Pneumothoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian
a. Pneumothoraks Spontans
1.) Pneumothoraks spontan primer
Pneumothoraks ini merupakan pneumothoraks yang
terjadi pada paru-paru yang sehat dan tidak ada pengaruh dari
penyakit lain. Mekanisme yang diduga mendasari adalah
rupturnya subpleura pada apeks paru-paru (Asdie, 2009).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam
patomekanisme pneumothoraks spontan primer adalah terdapat
sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya.
Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara viseral
dengan atau tanpa perubahan emfisematous paru-paru. Pada
sebagian kasus , gejala akan berkurang atau hilang secara
spontan dalam 24-48 jam (Alsagaff, 2009).
2.) Pneumothoraks Spontan Sekunder
Pneumothoraks ini merupakan pneumothoraks yang
terjadi pada pasien pasien dengan penyakit oparu yang
mendasari. Umumnya terjadi sebagai komplikasi COPD,
fibrosis kistik, tuberkulosis. Secara umum udara pada
pneumothiraks spontan sekunder memasuki rongga pleura
melalui alveoli yang melebar atau rusak (Asdie, 2009).
Causa terbanyak dari pneumothoraks spontan sekunder
adalah COPD, khususnya yang sedang-berat. Apabila
pneumothoraks terjadi pada pasien COPD gejala sesak napas
yang progresif muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri
pleuritik (Alsagaff, 2009).
b. Pneumothoraks Traumatik
1.) Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik
Pneumothoraks iatrogenik merupakan pneumothoraks
yang terjadi akibat pembukaan rongga paru secara paksa saat
tindakan diagnosis atau terapi invasif dilakukan. Tindakan
seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter
vena sentral, biopsi paru perkutan, dan ventilasi tekanan
positif dapat menjadi etiologinya (Alsagaff, 2009).
Penyebab utama terjadinya pneumothoraks iatrogenik
adalah aspirasi jarm halus transthoracic. Dua faktor yang
memgang penting adalah ukuran dan kedalaman lesi apabila
lesi kecil dan dalam maka resiko pneumothoraks akan
meningkat. Penyebab kedua terbanyak adalah pemasangan
kateter vena sentral (Alsagaff, 2009).
2.) Pneumothoraks Traumatik Non iatrogenik
Pneumothoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul
atau tajam yang merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada
trauma tajam, luka menyebabkan udara masuk ke rongga
pleura langsung ke dinding thoraks atau menujupleura
viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk
atau luka tembak secara langsung melalui paru-paru perifer
menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumothoraks di
lebih dari 80%lesi di dada akibat benda tajam.
Pada trauma tumpul pneumothoraks terjadi apabila
pleura viseralis terobek oleh fraktur atau dislokasi costa.
Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan peningkatan tekanan
alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat
alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisial dan terjadi
diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Manifestasi
klinisnya dapat berupa Fallenlung sign dimana hilus paru
terletak lebih rendah dari normal (Alsagaff, 2009).
2. Klasifikasi Pneumothoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya
a. Pneumothoraks Tertutup (Simple Pneumothora)
Pada pneumothoraks ini, pleura dalam keadaan terturtup (tidak
ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan
dengan dunia luas. Tekanan di dalam rongga pleura bawahnya
mungkin positif, namun lambat launberubah menjadi negatif karena
diserap oleh jaringan paru sekitarnya. pada kondisi tersebut paru
belum mengalami reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dadalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu
gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan napas
atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum
pleura negatif (Alsagaff, 2009).
b. Pneumothoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumothoraks terbuka yaitu pneumothoraks dimana terdapat
hubungan antara rongga pleura dengan bronkhuis yang merupakan
bagian dari dunia luar karena terdapat luka terbuka pada dada. Dalam
keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada
pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh
gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan
pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat
inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat
ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka
(Alsagaff, 2009).
c. Tension Pneumothoraks
Tension pneumothoraks adalah pneumothoraks dengan tekanan
intrapleura yang positif dan makin bertambah besar karena ada fistel di
pleura visceralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara
masuk melalui trakhea, bronkus serta percabangannya selanjutnya
terus meuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara
di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam
rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.
Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru
sehingga sering menimbulkan gagal napas (Alsagaff, 2009).

C. Patogenesis
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial,
ditunjang oleh jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah
bening. Rongga pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri
atas pleura parietas dan pleura viseralis. Pleura parietal melapisi otot-otot
dinding dada, tulang dan kartilago, diafragma dan mediatinum, sangat
sensitif terhadap nyeri. Pleura viseralis melapisi paru dan menyusup ke
dalam semua fisura dan tidak sensitif terhadap nyeri (Sudoyo, 2009).
1.Pneumotoraks Spontan Primer (PSP)
PSP terjadi karena robeknya suatu kantog udara dekat pleura
viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien
pneumotoraks spontan yang parunya direseksi tampak adanya satu atau
dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb dan bulla. Bulla merupakan
suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh fibrotic yang menebal,
sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh
jaringan paru emfisematous. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang
pecah melalui jaringan interstitial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura
viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista.
Mekanisme terjadinya bulla atau bleb belum jelas, banyak
pendapat menyatakan terjadinya kerusakan bagian apeks paru
berhubungan dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli
darah apeks paru akibat tekanan pleura yang lebih negative. Apabila
dilihat secara patologis dan radiologis pada pneumotoraks spontan
sering didapatkan bulla di apeks paru. Observasi klinis yang dilakukan
pada pasien gternyata angka kejadian lebih banyak pada pasien pria
yang berbadan tinggi dan kurus. Kelainan intrinsic jaringan konektif
seperti pada sindrom Marfan, prolapse katup mitral, kelainan bentuk
tubuh mempunya kecendrungan terbentuknya bleb atau bulla (Sudoyo,
2009).
Belum ada hubungan yang jelas antara aktivitas yang berlebihan
dengan pecahnya bleb atau bulla karena pada keadaan tanpa aktivitas
(istirahat) juga dapat terjadi penumotoraks. Pecahnya alveoli
berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran napas kecil
sehingga timbul distensi ruang udara bagian distalnya. Obstruksi jalan
napas bisa diakibatkan oleh penumpukan mucus dalam bronkhioli baik
oleh karena infeksi atau bukan infeksi.
Bayi aterm mampu menampung tekanan pleura antara -40
sampai -100 cm H2O. apabila tekanan udara melebihi jilai ambang
tersebut dapat menimbulkang pecahnya alveoli, misalnya akibat aspirasi
meconium (Sudoyo, 2009).
2. Pneumotoraks Spontan Sekunder (PSS)
PSS terjadi karena pecahnya bleb viseralis atau bulla subpleura dan
sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya.
Pathogenesis PSS multifactorial, umumnya terjadi akibat komplikasi
penyakit PPOK, asma, fibrosis kistik, tuberkulosis paru, penyakit –
penyakit paru infiltrative lainnya. PSS umumnya lebih serius keadaannya,
karena terdapat penyakit paru yang mendasarinya. Pneumotoraks
katamenial (endometriosis pada pleura) adalah bentuk lain dari PSS yang
timbulnya berhubungan dengan menstruasi pada wanita dan sering
berulang. Artritis rheumatoid juga dapat menyebabkan penumotoraks
spontan karena terbentuknya nodul rheumatoid pada paru (Sjamsuhidayat,
2007).

D. Manifestasi Klinis
Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri
jika penderita menarik nafas dalam atau terbatuk. Manifestasi
pneumothoraks yaitu (Asdie, 2009):AS BERATKERIN
- Sesak nafas berat
- Takikardi
- Sianosis
- Dada terasa sempit
- Mudah lelah dan gelisah
- Status mental berubah dan hiperkapnia.

Tanda-tanda lainnya terdiri dari penyimpang atau deviasitrakea


menjauhi bagian atau sisi paru yang menglamitension, dada mengalami
hiperekspansi, peningkatannada perkusi dan situasi hiperekspansi yang
pergerakan sedikit pada respirasi. Gerakan dinding dada asimetris /
tertinggal pada daerah pneumotoraks, Fremitus suara melemah, Perkusi
hipersonor, Deviasi mediastinum kontralateral, Auskultasi vesikuler
menghilang (Asdie, 2009).

E. Pemeriksaan Penunjang
Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada sebuah
penelitian didapatkan 17% dengan PO2 < 55 mmHg, 4% dengan PO2 < 45
mmHg, 16% dengan PCO2 > 50 mmHg dan 4% dengan PCO2 > 60
mmHg. Pada pasien PPOK lebih mudah terjadi pneumotoraks spontan.
Dalam sebuah penelitian 51 dari 171 pasien PPOK (30%) dengan FEV1<
1,0 liter dan 33% dengan FEV1/FVC < 40% prediksi (Light, 2003).
Penelitian lain menyebutkan bahwa gagal napas yang berat (PO2< 50
mmHg dan PCO2 > 50 mmHg, atau disertai dengan syok) terdapat pada
16% pasien dan secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%
(Sudoyo, 2009).
Pneumotoraks foto dada garis pleura viseralis Nampak putih, lurus
atau cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura
parietalis. Celah antara kedua garis pleura tersebut tampak lusen karna
berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vascular pada daerah
tersebut. Pada tension pneumotoraks gambaran foto dadanya tampak
jumlah udara pada hemitoraks yang cukup besar dan sususan mediastinum
yang bergeser kea rah kontralateral (Sudoyo, 2009).
Pemeriksaan Computed Tomography (CT-scan) mungkin
diperlukan apabila dengan pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat
ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan
intra dan ekstrapulmoner serta untuk membedakan antara pneumotoraks
spontan primer atau sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-scan untuk
mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumotoraks
spontan primer 80-90% (Sudoyo, 2009).
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan
invasive, tetapi memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan
pemeriksaan CT-scan. Menurut Swierenga dan Vanderschueren, hasil
pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat, yaitu (Sudoyo,
2009) :
1. Derajat I : pneumotoraks dengan gambaran paru yang
mendekati nomal (40%)
2. Derajat II : pneumotoraks dengan perlengketan disertai
hemotoraks (12%)
3. Derajat III : pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla < 2
cm (31%)
4. Derajat IV : pneumotoraks dengan banyak bulla yang besar,
diameter > 2 cm (17%).

F. Penatalaksanaan
Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung dari luasnya
pneumotoraks. Tuuan dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan
untuk kambuh lagi. British Thoracic Society dan American College of
Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan
pneumotoraks. Prinsip penanganan pneumotoraks adalah (Dohert, 2010):
Observasi dan pemberian tambahan oksigen
Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis
Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb
atau bulla
Torakostomi
a. Observasi dan pemberian tambahan oksigen
Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks , 15% dari
hemitoraks. Apabila fistula dan alveoli ke rongga pleura telah
menutup, udara dalam rongga pleura perlahan-lahan akan diresorbsi.
Laju resorbsinya diperkirakan 1,25% dari sisi pneumotoraks per hari.
Laju resorbsi tersebut akan meningkat jika diberikan tambahan
oksigen. Pemberian oksigen 100% pada kelinci percobaan yang
mengalami pneumotoraks ternyata meningkatkan laju resorbsi enam
kali lipat. Pasien dengan pneumotoraks kecil unilateral dan stabil,
tanpa gejala diperbolehkan berobat jalan dan dalam 2-3 hari pasien
harus control lagi (Dohert, 2010).
b. Aspirasi dengan jarum dan Tube Torakostomi
Tindakan ini dilakukan seawall mungkin pada pasien
pneumotoraks yang luasnya. 15%. Tindakan ini bertujuan
mengeluarkan udara dari rongga pleura(dekompresi). Tindakan
dekompresi dapat dilakukan dengan cara : 1) Menusukkan jarum
melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga tekanan
udara positif akan keluar melalui jarum tersebut. 2) Membuat
hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil yaitu dengan
(Sudoyo, 2009) :
 Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga
pleura, kemudian ujung pipa plastic di pangkal saringan tetesan
dipotong dan dimasukkan ke dalam botol air kemudian klem
dibuka, maka akan timbul gelembng udara di dalam botol.
 Jarum abocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah
mandarin dicabut, dihubungkan dengan pipa infus set.
 Water Sealed Drainase (WSD) : pipa khusus (kateter urine) yang
steril dimasukkan ke rongga pleura dengan penataran trikar atau
klem penjepit. Sebelum trocar dimasukkan ke rongga pleura,
terlebih dahulu dilakukan insisi kulit pada ruang antar iga ke enam
pada linea aksilaris media. Insisi kulit juga biasa dilakukan pada
ruang antar iga kedua pada linea mid-klavikula.
Sebelum melakukan insisi kulit, daerah tersebut harus
diberikan cairan desinfektan dan dilakukan injeksi anestesi local
dengan xilokain atau prokain 2% dan kemudian ditutup dengan
kain duk steril. Setelah trocar masuk ke dalam rongga pleura, pipa
khusus (kateter urine) segera dimasukkan ke rongga pleura dan
kemudian trocar dicabut sehingga hanya pipa khusus yang
tertinggal di ruang pleura.
Pemasukan pipa khusus tersebut diarahkan ke atas apabila
lubang insisi kulit di ruang antar iga keenam dan diarahkan ke
bawah jika lubang insisi kulitnya ada di ruang antar iga kedua.
Pipa khusus kateter tersebut dihubungkan dengan pipa yang lebih
panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang dimasukkan ke dalam
air di dalam botol (Sjamsuhidayat, 2009).
c. Pleurodesis dan Torakotomi
Pleurodesis adalah tindakan melekatkan pleura panietalis
dengan pleura viseralis untuk mencegah kekambuhan
pneumotoraks. Tindakan ini dilakukan dengan memasukkan
bahan kimia tertentu, seperti glukosa 40% sebanyak 20 ml atau
tetrasiklin HCl 500 mg dilarutkan dalam 2550 ml garam faal.
Karena tetrasiklin dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat,
maka pemberian bahan ini sebaiknya didahului dengan
pemberian analgesik.
Torakotomi adalah operasi pembukaan rongga toraks
kemudian dilanjutkan dengan penjahitan fistel pada pleura.
Operasi ini diindikasikan pada kasus pneumotoraks kronik,
pneumotoraks yang berulang 3 kali atau lebih, pneumotoraks
bilateral, serta jika pemasangan WSD mengalami kegagalan
(paru tidak mengembang atau terjadi kebocoran udara yang
menetap (Sjamsuhidayat, 2009).

G. Komplikasi
Pneumotoraks tension (tejadi pada 2-5% pasien pneumotoraks),
dapat mengakibatkan kegagalan respirasi akut. Pio-pneumotoraks,
hidropneumotorak/hemapneumotoraks, henti jantung paru dan kematian
(sangat jarang), pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagai
akibat komplikasi pneumotoraks spontan, bisanya karena pecahnya
esophagus atau bronchus, sehingga kelainan tersebut harus ditegakkan
(Sudoyo, 2009).

H. Prognosis
Prognosis pneumotoraks dipengaruhi oleh kecepatan penanganan
dan kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks. Hampir semua
penderita dapat diselamatkan jika penanganan dapat dilakukan secara dini.
Sekitar separuh kasus pneumotoraks spontan akan mengalami
kekambuhan. Tidak ditemukan komplikasi jangka panjang setelah
tindakan penanganan yang berhasil (Soetomo, 2008)

Daftar Pustaka

Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-dasart ilmu penyakit paru. Surabaya :


airlangga University Press

Asdie Ahmad H: Perdarahan Saluran Makanan dalam: Harrison: Prinsip-


Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Isselbacher Kurt J, Braunwald Eugene,
Wilson Jean D, Martin Joseph B, Fauci Anthony S, Kasper Dennis
L.Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr.Sardjito.Yogjakarta 2009. hlm
259-262

Dohert, M Gerard. 2010. Current diagnosis dan treatment surgery. Edisi 13.
Amerika
Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta:
EGC; 2011. Hal. 551- 2; 556-9
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta :
EGC, 2009. pp. 519-37

Sudoyo Aru W, Setyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata K Marcellus,


Setiati Siti.Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Sudoyo Aru W.Jakarta:Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta,Juni 2006.hlm 289-292

Soetomo dan Koemia. 2008. Bedah Gawat Darurat RSU haji. Surabaya

Anda mungkin juga menyukai