Anda di halaman 1dari 31

A.

Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia sekarang seakan-akan selalu disuguhi dengan

pemandangan nyata, akan ketimpangan penegakan hukum lewat pemberitaan

media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan sampai pada

titik masyarakat sendiri yang menjadi korban ataupun pihak yang dirugikan

dari ketimpangan penegakan hukum tersebut.

Sebagai contoh, Kasus nenek Minah yang berusia lima puluh lima tahun,

Warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini

sudah menjalani masa tahanan selama 3 bulan. Hal ini ia jalani setelah

mendapatkan pemeriksaan dari pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto yang

menangani kasusnya. Minah dituduh mencuri buah kakao atau buah coklat

sebanyak 3 biji dari tempatnya ia bekerja di PT. Rumpun Sari Antan 4 di Desa

Darmakradenan tak jauh dari rumahnya.1 Berbeda dengan Dasni Yuzar S.H,

merupakan Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe yang kini tersangka kasus

dugaan korupsi dana hibah untuk yayasan Cakradonya Lhokseumawe senilai Rp

1 miliar dari Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat (Isra) Setda Aceh

tahun 2010, hanya jadi tahanan Kota.2

Fenomena seperti inilah yang mengakibatkan menurunnya rasa

kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum. Dalam hukum acara pidana

terdapat syarat obyektif dan subyektif yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan

penahanan terhadap seorang tersangka. Semua pelaku dugaan tindak pidana tidak

1
http://news.okezone.com, hakim-menitikkan-air-mata-baca-putusan-nenek-pencuri-3-
biji-buah-coklat Diakses 24 November 2014
2
file:///C:/Users/acer/Documents/Dasni%20Yuzar%20Jadi%20Tahanan%20Kota%20%20Serambi
%20Indonesia.html Diakses 28 November 2014
dapat dilakukan penahanan, hanya terbatas pada perbuatan yang diancam dengan

pidana penjara lima tahun atau lebih, atau tindak pidana tertentu sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP atau Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana. Hal ini merupakan syarat obyektif penahanan. Menurut

Van Bemmelen, penahanan adalah sebagai suatu pancung yang memenggal

kedua belah pihak, karena tindakan yang bengis ini dapat dikenakan kepada

orang-orang yang belum tentu bersalah.3 Sedangkan penahanan menurut S.M.

Amin berpendapat bahwa penahanan atas diri seseorang, merupakan

penyimpangan daripada ketentuan- ketentuan mengenai hak asasi kebebasan

bergerak, dan hanya dapat dilakukan oleh ketentuan dalam undang-undang.4

Syarat ini memiliki tolak ukur yang jelas, yakni hanya pada pidana yang

ancamannya lima tahun ke atas atau pidana tertentu yang telah diatur. Syarat

subyektif penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu perintah

penahanan atau penahanan lanjut dilakukan terhadap seorang tersangka atau

terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang

cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa

tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan

barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Rumusan kekhawatiran ini merupakan syarat subyektif penahanan, karena

penilaian terhadap ketiga poin tersebut merupakan penilaian sepihak dari penegak

3
Ansorie Sabuan, at.all, Hukum Acara Pidana, Angkasa Bandung, Bandung 1990, hal.87
4
S.M. Amin dalam Hari Sasangka, 2007, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan
Praperadilan dalam Teori dan Praktek, edisi pertama, Mandar maju, Bandung, hlm. 111.
hukum yang berwenang. Menurut Pasal 21 ayat (2) KUHAP tata cara penahanan

yaitu melalui Surat Perintah Penahanan yang berisi: identitas tersangka, alasan

penahanan, uraian singkat kejahatan yang disangkakan, serta dimana tersangka

ditahan untuk memberikan kepastian hukum bagi yang ditahan dan keluarganya.

Hal tersebut di atas sangat dimungkinkan apabila tersangka atau terdakwa

kasus korupsi mengatur jalannya proses pidana terhadapnya, karena seorang

koruptor memiliki kekuatan untuk mengatur jalannya pemeriksaan kasusnya

tersebut. Untuk itu mental dan moral aparat penegak hukum menjadi jaminan

keberhasilan penegakan hukum kasus korupsi. Hak-hak tersangka dan terdakwa

didalam KUHAP sudah dilindungi, dimana dalam KUHAP menerapkan prinsip-

prinsip yang diartikan sebagai patokan hukum yaitu asas legalitas yang

disebutkan dalam konsideran KUHAP, yang dapat dibaca pada huruf a berbunyi;

”bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-undang Dasar 45 yang menjunjung tinggi hak asasi

manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukan didepan

hukum dan didalam pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan

pemerintahan dengan tanpa terkecuali.

Penerapan pelaksanaan KUHAP harus bersumber dengan titik tolak rule

of law dimana semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan hukum dan

undang-undang serta menempatkan kepentingan hukum dan perundang-

undangan diatas segalanya, sehingga terwujud kehidupan berbangsa dalam

masyarakat dibawah ”supremasi hukum”.


Pada dasarnya Lembaga Kejaksaan berperan melakukan tindakan-tindakan

preventif yang ditujukan untuk meniadakan gejala-gejala yang mengarah

terjadinya tindak pidana yang menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan

ketertiban umum. Dalam perspektif sistem peradilan pidana, peranan Lembaga

Kejaksaan sangat jelas adalah sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.

Peranan Kejaksaan sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini baik dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun dalam Undang- Undang

Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum.

Di dalam buku petunjuk pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak

Pidana, disebutkan bahwa Jaksa adalah sebagai alat negara penegak hukum,

berkewajiban untuk memelihara tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia, serta ketertiban dan kepastian hukum.

Dengan demikian Jaksa berperan sebagai penegak hukum yang melindungi

masyarakat.

Dalam asas legalitas, aparat penegak hukum tidak dibenarkan untuk

bertindak diluar ketentuan hukum atau Undue to law maupun undue proces,

bertindak sewenang-wenang atau Abuse of power, karena setiap orang baik

tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum atau

equality before the law, mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh

hukum equal protection on the law, mendapatkan perlakuan keadilan yang sama

dibawah hukum equal justice under the law.

Asas kedua adalah mengenai asas keseimbangan, dimana penegak hukum


harus berlandaskan asas keseimbangan yang serasi, yaitu perlindungan terhadap

harkat serta martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan

ketertiban masyarakat, serta juga penegak hukum harus menerapkan asas equality

before the law yaitu asas praduga tidak bersalah, dimana aparat penegak hukum

harus berasumsi kepada pelaku kejahatan atau tersangka maupun juga terdakwa,

bahwa sebelum adanya vonis pengadilan yang ingkrach, maka terdakwa belum

bisa dianggap bersalah oleh hukum. Secara teknis yuridis penyidikan perkara

bahwa dinamakan “prinsip akusatur” atau accusatory procedure dimana

menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat

pemeriksaan adalah sebagai subjek hukum, dan yang menjadi objek pemeriksaan

adalah “kesalahan” atau tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa.

Selanjutnya, Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya murah

sebagaimana diatur dalam rumusan pasal 4 ayat 2 Undang- undang pokok

kekuasaan kehakiman No. 48 tahun 2009, yang menghendaki proses penegakan

hukum di Indonesia dengan cepat, tepat, sederhana dan biaya ringan. Dimana

dalam proses pemeriksaan perkara aparat penegak hukum jangan menjadikan

setiap perkara tersebut terselip kepentingan pribadi dari aparat penegak hukum,

sehingga terinjaknya harkat dan martabatnya manusia sebagai seorang

tersangka/terdakwa. Namun hak-hak tersangka atau terdakwa yang umum

tersebut, undang-undang masih memberi lagi hak yang melindungi tersangka atau

terdakwa yang berada dalam penahanan.5

5
Yahya, M. Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan), edisi kedua, sinar grafika, Jakarta, hlm. 325.
Penerapan syarat subyektif ini sangat sulit diukur takaran penilaiannya.

Misalnya, jika seorang tersangka yang alamatnya jelas dan selalu memenuhi

panggilan wajib lapor, masih tetap bisa dianggap memiliki probabilitas untuk

melarikan diri, sehingga dengan demikian tersangka yang kooperatif tersebut

masih tetap bisa ditahan karena dianggap memenuhi syarat subyektif

penahanan. Dengan demikian syarat subjektif ini memang tidak memiliki batasan

yang jelas sehingga terkesan berada di wilayah abu-abu (grey area) yang

sepenuhnya bergantung pada penilaian pejabat yang berwenang pada tiap

tingkatan.

Terkait penanganan kasus korupsi, ada fenomena menarik untuk dijadikan

sebagai suatu diskursus, hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sejauh mana

komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal yang dimaksudkan adalah

terkait dengan penangguhan dan pengalihan penahanan yang kerap diberikan

kepada para tersangka kasus korupsi. Penangguhan ataupun pengalihan tahanan

merupakan upaya yang senantiasa ditempuh baik oleh kuasa hukum/ pengacara

maupun oleh tersangka sendiri ataupun keluarganya dengan cara menjamin bahwa

tersangka akan kooperatif selama dalam proses hukum berjalan serta alasan-

alasan lainnya yang telah disyaratkan oleh undang-undang.

Hal demikian dilakukan karena disadari bahwa upaya tersebut adalah

merupakan suatu hak yang dimiliki oleh tersangka dalam system peradilan pidana

(criminal justice system) yang berlaku di Indonesia. Jika melihat dari perspektif

hukum maka pengabulan terhadap permohonan penangguhan ataupun

pengalihan penahanan adalah suatu hal yang sah menurut hukum dimana dalam
KUHAP jelas memberikan kewenangan kepada penyidik, penuntut umum atau

hakim sebagaimana yang termaktub pada pasal 23 ayat 1 KUHAP bahwa

penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis

penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud

pada pasal 22 yakni penahanan Rumah Tahanan (RUTAN), penahanan kota dan

penahanan ruma

KUHAP telah menentukan berbagai persyaratan pelaksanaan penahanan

agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan kesalahan dalam

melaksanakannya, baik kesalahan dalam prosedur terlebih-lebih kesalahan yang

sifatnya “human error” yang akan menimbulkan kerugian moril dan materil baik

bagi diri pribadi maupun keluarga tersangka apalagi bila akhirnya tidak terbukti

bersalah atau kesalahannya tidak sepadan dengan penderitaan yang telah

dialaminya.

Beberapa kasus aktual yang menjadi pembicaraan masyarakat

sebagaimana diundangkan dalam berbagai media massa, antara lain penahanan

anak usia 9 tahun selama 52 hari dalam kasus pencurian burung senilai Rp.

10.000,- di Yogyakarta (Kompas, 26 Juli 1995). Kelebihan masa penahanan Hia

selama 81 hari di Jakarta Timur (Kompas, 15 Juli 1995), Polisi mengembalikan

tersangka sudah menjadi mayat (Harian Waspada, Jakarta Timur, tgl. 15 Februari

1995). Beratnya menangguhkan penahanan dalam kasus pencurian lima buah silet

(Kompas, 01 Juli 1995), Dilepas setelah disiksa hingga cacat (Fajar, 26 Maret

1996), Penganiayaan hingga luka berat terhadap tersangka di Polsek Pondok

Bambu Jakarta Timur (Media Indonesia, 14 Agustus 1989).


Berbagai kasus diatas menggambarkan kepada kita betapa perlunya upaya

untuk lebih meningkatkan pemahaman dan penerapan prinsip proses hukum yang

adil sehingga tidak akan menimbulkan jatuhnya korban-korban baru tidak saja

sekedar korban dari kejahatan tetapi juga korban peradilan. Sahetapy menulis

bahwa korban yang dewasa ini begitu hangat dikasak kusukkan secara terselubung

adalah korban peradilan, yang dimaksudkan peradilan di sini yaitu mulai dari

proses pemeriksaan dan atau penahanan dikepolisian sampai diserahkan kepada

Lembaga Permasyarakatan6

Dalam rangka supremasi hukum, yang paling banyak disorot adalah

lembaga peradilan. Sebagai salah satu ciri negara hukum, lembaga peradilan

haruslah independent dan imparsial (tidak memihak). Peradilan yang bebas pada

hakikatnya berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-

adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa

pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan tidak memihat ditujukan

kepada proses pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses negatif,

sesuai dengan apa yang menjadi fungsi hukum acara pidana untuk melindungi

dan memelihara keseimbangan antara kepentingan hukum individu dan

kepentingan hukum masyarakat tanpa terkecuali.7

Asas-asas yang dianut oleh KUHAP sebagaimana dalam penjelasannya

disebutkan Asas Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum

dengan tidak mengadakan pembedaanperlakuan. Secara limitatif bahwa asas ini

6
JE. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai .(Bandung : Alumni) Hlm. 24
7
Loebby Loqman dalam Mien Rukmini, 2003, pada kata sambutan buku
Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan
Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, Halaman v.
menghendaki adanya perlakuan yang sama antara orang yang satu dengan seorang

lainnya (yang sama-sama sedang berada dalam proses peradilan pidana)

dengan mengenyampingkan berbagai faktor yang ada pada orang-orang tersebut,

sehingga proses hukum tersebut dapat berlangsung secara adil (due process

model).

Dalam realita, ada pandangan masyarakat penegakan hukum belumlah

adil, karena masih adanya perbedaan perlakuan yang didapat seorang pelaku

tindak pidana yang satu dengan pelaku tindak pidana lainnya dalam tindak

pidana korupsi. Seperti para terdakwa perkara korupsi Bantuan Sosial (Bansos)

Pemkot Bandung dialihkan penahanannya oleh Majelis Hakim Tipikor yang

ditetapkan pada tanggal 16 Mei 20128, kemudian Majelis Hakim Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi Bandung mengalihkan status tahanan terdakwa kasus

biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Eep Hidayat, Bupati Subang 9,

penangguhan penahanan terdakwa M Yaeni, dari tahanan rutan menjadi tahanan

kota dalam kasus pemeliharaan mobil dinas DPRD Grobogan senilai Rp 1,9

miliar oleh Pengadilan Tipikor Semarang 10, kemudian pengalihan penahanan

terhadap terdakwa Hendy Boedoro dan Suyatno11.

Berdasarkan pemikiran diatas perlunya pengkajian dalam bentuk

8
http://www.inilahjabar.com/read/detail/1861945/5-terdakwa-korupsi-bansos-pemkot-jadi-
tahanan- kota diakses 27/12/2014
9
http://antarajawabarat.com/lihat/berita/31823/lihat/kategori/87/lihat/kategori/86/Peristiwa
diakses 27/12/2014
10
http://www.koruptorindonesia.com/archives/12739 d i a k s e s 2 9 / 1 2 / 2 0 1 4
11
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/11/23/167468/Penyuap-Hendy-
Keluar- dari-Bui diakses 29/12/2014
penulisan skripsi dengan mengangkat judul “Eksistensi Penahanan Dalam Proses

Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Korupsi”, dimaksud untuk memberikan

beberapa analisis terhadap pelaksanaan penahanan tersangka/terdakwa korupsi

yang terjadi selama ini yang dilakukakan oleh aparat penegak hukum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, rumusan masalah yang

akan dibahas dan perlu dikaji untuk menemukan jawabannya dalam penulisan ini

adalah:

1. Bagaimanakah eksistensi penahanan dalam kasus korupsi?

2. Bagaimanakah penerapan syarat penahanan dalam kasus korupsi?

3. Bagaimana implementasi penangguhan penahanan dan pengalihan

penahanan dalam kasus korupsi?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini, secara umum akan membahas eksistensi penahanan dalam

proses pemerikasaan perkara tindak pidana korupsi, maka secara umum penulis

akan menguraikan beberapa analisis terhadap pelaksaan penahanan tersebut

terhadap tersangka/ terdakwa tindak pidana korupsi, namun secara khusus akan

menelaah beberapa bentuk persyaratan terhadap penahanan kepada tersangka /

terdakwa tindak pidana korupsi tersebut.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka

tujuan penulisan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui eksistensi penahanan dalam kasus korupsi.

b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan syarat penahanan dalam

kasus korupsi.

c. Untuk mengetahui implementasi penangguhan penahanan dan

pengalihan penahanan dalam kasus korupsi.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran

dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta

perkembangan hukum pidana khususnya mengenai eksistensi

penahanan dalam proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi.

b. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi

aparat penegak hukum mengenai sejauh mana implementasi

penangguhan penahanan dan pengalihan penahanan dalam kasus

korupsi.

E. Kajian Pustaka

1. Pengertian Penahanan
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengenai penahanan

diatur dalam HIR (Her Herziene Reglement). Akan tetapi setelah

berlakunya KUHAP, mengenai penahanan diatur dalam Pasal 20 sampai

Pasal 31, dimana untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan masing-masing penegak hukum berwenang melakukan

penahanan. Syarat penahanan dipertegas dalam Pasal 21 KUHAP yang

menentukan: (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan

terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan

tindakan pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan

yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan

melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau

mengulangi tindak pidana; (2) penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan

oleh penyidik atau Penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan

memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang

mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan

penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau

didakwakan serta tempat ia ditahan. (3) Tembusan surat perintah penahanan

atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagai mana dimaksud

dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya. (4) penahanan tersebut

hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan

tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak
pidana tersebut.12

Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penahanan dijelaskan

dalam Pasal 1 butir 21: “Penahanan adalah penempatan Tersangka atau

Terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau

Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam Undang-Undang ini”.

Martiman Projohamidjojo dalam bukunya memberikan kemerdekaan

Tersangka atau Terdakwa dan untuk menempatkannya di tempat

tertentu, biasanya ditempatkan di rumah tahanan negara yang dahulu

disebut Lembaga Permasyarakatan.13

Berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP di atas, semua instansi

penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Juga

dari ketentuan tersebut telah diseragamkan istilah tindakan penahanan.

Tidak dikacaukan lagi dengan berbagai ragam istilah seperti yang dahulu

dalam HIR, yang membedakan dan mencampur aduk antara penangkapan,

penahanan sementara dan tahanan sementara, yang dalam peristilahan

Belanda disebut de verdachte aan te houdan (Pasal 60 ayat (1) HIR). Serta

untuk perintah penahanan yang dimaksud Pasal 83 HIR dipergunakan

istilah zijn gevangen houding bevelen.14

Dalam KUHAP, semuanya sudah disederhanakan tidak lagi dijumpai

12
file:///C:/Users/acer/Documents/Mekanisme%20Penahanan%20Dalam%20Proses%20Per
adilan%20Hukum%20Pidana%20~%20Higinus%20Wilbrot.html diakses 27 Desember 2014
13
Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan (Seri Pemerataan Keadilan),
Ghalia Indonesia, Jakarta 1984, hal.15
14
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan
dan Penuntutan), cetakan kelima, Sinar Grafika, Jakarta 2003, hal.164
kekacauan antara pengertian penangkapan dengan penahanan sementara

atau tahanan sementara serta juga tidak ada lagi kekacauan mengenai

masalah wewenang yang berhubungan dengan penahanan sementara dan

tahanan sementara. Saat ini hanya ada dua istilah dengan batas wewenang

yang tegas, yaitu penangkapan yang wewenangnya diberikan kepada

penyidik. Batas waktunya hanya 1 (satu) hari dan mesti ada surat tugas

serta perintah penangkapan. Berbeda dengan HIR, memberi wewenang

penangkapan baik kepada Polri atau Jaksa, dan dalam tempo 10

(sepuluh) hari boleh dilakuka n penangkapan tanpa surat perintah.

2. Syarat Dalam Melakukan Penahanan Kasus Korupsi

Seperti kita ketahui bahwa penanganan kasus korupsi berpedoman pada

Undang- undang khusus yaitu Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo

Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (UU PTPK). Perlu diketahui bahwa UU PTPK juga

mengatur tentang Hukum acara tindak pidana korupsi, sehingga berlaku

adegium “Lex Specialis Derogat Legi Generali” artinya Undang-undang

yang bersifat khusus mengesampingkan Undang- undang yang bersifat

Umum. Ketika ketentuan khusus mengatur maka ketentuan yang umum

dikesampingkan.

Berkenaan dengan penahanan terhadap pelaku tindak pidana korupsi,

ada 3 (tiga) lembaga yang berwenang melakukan Penangkapan dan

penahanan pelaku tindak pidana korupsi yaitu : Polisi, Jaksa dan KPK.
Kalau Peyidik Polri dan Penyidik Kejaksaan menggunakan KUHAP serta

UU PTPK, sedangkan KPK menggunakan UU No.30/2002 (UU KPK).

Pasal 1 butir 21 KUHAP dijelaskan bahwa Penahanan adalah penempatan

tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut

umum atau hakim dengan penempatannya. Penahanan dilakukan dengan

tujuan (1) untuk kepentingan penyidikan yang pada dasarnya ditentukan

oleh kenyataan keperluan pemeriksaan penyidikan itu sendiri secara

obyektif, (2) untuk kepentingan penuntutan, dan (3) untuk kepentingan

pemeriksaan dipengadilan. Menurut H.M.A Kuffal, dengan berdasar kepada

Pasal 1 angka (21) jo Pasal 20 jo Pasal 21 ayat (1) jo Pasal 21 ayat (4)

KUHAP, ada 2 (dua) dasar untuk melakukan penahanan, yaitu:

a. Dasar hukum/dasar obyektif, yang terdiri dari:

1) Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)


tahun atau lebih;
2) Tindak-tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal
21 ayat (4) huruf b.
b. Dasar kepentingan/dasar subyektif, yang terdiri dari:

1) Kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

disidang pengadilan;

2) Adanya kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan

melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti dan/atau

mengulangi tindak pidana.15

15
HM A Kuffal, 2008, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, edisi kesepuluh,
UPT.hlm 132
3. Penangguhan Penahanan Kasus Korupsi

Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP.

Memperhatikan ketentuan Pasal 31, pengertian penangguhan penahanan

tersangka atau terdakwa dari penahanan, yaitu mengeluarkan tersangka atau

terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir.

Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis, namun

pelaksanaan penahanan yang harus dijalani tersangka atau terdakwa,

ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya

belum habis. Dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka

atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang

sah dan resmi sedang berjalan. Ketentuan ini tidak hanya beraku pada

tindak pidana umum, namun juga pada tindak pidana khusus seperti halnya

kasus Korupsi. Penangguhan penahanan tidak sama dengan pembebasan

dari tahanan. Perbedaan terutama ditinjau dari segi hukum maupun alasan

dan persyaratan yang mengikuti tindakan pelaksanaan penangguhan

penahanan dengan pembebasan dari tahanan.

Dari segi hukum, pelaksanaan dan persyaratan: 16

1. Pada penangguhan penahanan masih sah dan resmi berada dalam

batas waktu penahanan yang dibenarkan Undang-undang. Namun

pelaksanaan penahanan diberhentikan dengan jalan mengeluarkan

tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat

penangguhan penahanan yang harus dipenuhi oleh tahanan atau

16
Martiman Prodjohamidjojo, Opcit, hal.131
orang lain yang bertindak menjamin penangguhan.

2. Sedang pada pembebasan dari tahanan harus berdasar ketentuan

Undang-Undang, tanpa dipenuhi unsur-unsur yang ditetapkan

Undang- undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan.

4. Istilah Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu “corruptie” atau

“cooruptus”. Kata “corruptie” berasal dari kata Latin yang tua yaitu

“corrumpore”.17 Kata-kata tersebut kemudian diikuti dalam bahasa Eropa

seperti bahasa Inggris yaitu ”cooruption”, “corrupt”, bahasa Perancis yaitu

“corruption”, bahasa Belanda yaitu “corruptie” (korruptie).18 Ensiklopedia

Indonesia mendefinisikan corruptio artinya penyuapan, corrumpore artinya

merusak yang secara luas diartikan yaitu gejala para pejabat badan-badan

negara menyalahgunakan kewenangan sehingga terjadinya penyuapan,

pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Pengertian korupsi secara harfiah

adalah:

a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak normal, kebejatan, dan

ketidakjujuran;

1) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan

uang sogok dan sebagainya;

2) Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang

17
Lilik Mulyadi.,Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik,dan
Masalahnya (Bandung: Alumni, 2007), hal. 78.
18
Andi Hamzah., Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecehannya, (Jakarta:
Gramedia, 1984), hal. 9.
bersifat buruk, misalnya perbuatan yang jahat dan tercela

atau kebejatan moral; penyuapan dan bentuk ketidakjujuran;

sesuatu yang dikorup seperti kata yang diubah atau diganti

secara tidak tepat dalam satu kalimat; pengaruh-pengaruh

yang korup.19

5. Kedudukan Penegak Hukum Dalam Kasus Korupsi

a. Kedudukan Polri sebagai Penyidik kasus Korupsi

Istilah penyidikan merupakan padanan kata dari bahasa Belanda, dari

bahasa inggris “investigation” atau dari bahasa Latin “investigatio”.20

Pada ketentuan pasal 1 angka 2 KUHAP, dapat disebutkan bahwa: “

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Kegiatan penyidikan di samping merupakan yang tujuan akhirnya

keadilan, kepastian hukum dan ketentraman dalam hidup

bermasyarakat, juga menimbulkan beban dan nestapa bagi anggota

masyarakat sebagai akibat daya paksa yang melekat pada kegiatan

penyidikan. Penanganan suatu proses pidana tahap demi tahap

berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakkan dasar-dasar bagi

19
Lilik Mulyadi., Op. cit., hal. 78-79.
20
Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra
Aditya Bakti,.2006, hal 78.
tahap yang lain dan setiap tahap berhubungan erat dan saling mendukung

satu sama lain. Oleh karena itu proses penanganan perkara pidana

dikatakan suatu integrad criminal yustice system. Yang dimaksud

dengan integrad criminal yustice system ialah sistem peradilan

perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan

persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana

secara keseluruhan dan kesatuan.

Bagian penyidikan yang berkaitan dengan acara pidana adalah:

a. Ketentuan-ketentuan tentang data-data penyidikan


b. Ketentuan-ketentuan tentang diketahuinya terjadi delik
c. Pemeriksaan di tempat kejadian
d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa
e. Penahanan sementara
f. Penggeledahan
g. Pemeriksaan atau investigasi
h. Berita acara (penggeledahan, introgasi, dan pemeriksaan di
tempat)
i. Penyitaan
j. Penyampingan terdakwa
k. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan
pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan
Hukum memang tidak ada yang mutlak, senantiasa ada
pengecualian (geen recht zonder uitzondering).

b. Jaksa Sebagai Penyidik Tindak Pidana Korupsi

Dalam praktek penegakan hukum di bidang tindak pidana

korupsi kenyataan menunjukkan bahwa lembaga Kejaksaan juga melakukan


penyidikan atas perkara-perkara tindak pidana korupsi. Mengenai

berwenangnya Jaksa untuk melakukan tindakan penyidikan perkara

korupsi ini ada beberapa sarjana memberikan pendapat yang berlainan,

antara lain:

1) Darwan Prinst mengemukakan bahwa: Sesuai dengan ketentuan


Pasal 284 ayat (2) KUHAP, Penyidik untuk tindak pidana khusus
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sampai saat
ada perubahan atau dinyatakantidak berlaku lagi, penyidiknya
adalah Jaksa (Penuntut Umum ).21
2) Evi Hartanti mengemukakan sebagai berikut: Dengan berlakunya
KUHAP, ditetapkan bahwa untuk tugas penyidikan diserahkan
sepenuhnya kepada pejabat penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal
9 KUHAP, maka pada kejaksaan tidak lagi berwenang untuk
melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana
umum. Namun demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat
(2) KUHAP jo Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 bahwa jaksa masih berwenang untuk melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (Tindak Pidana
Khusus).22

c. Kewenangan Hakim
1) Hakim Pengadilan Negeri
Hakim Pengadilan Negeri, guna kepentingan pemeriksaan
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling
lama tiga puluh hari. Apabila digunakan untuk kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
Pengadilan Negeri tersebut paling lama enam puluh hari.
Ketentuan sebagaimana tersebut di atas, tidak menutup

21
Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindok pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 92
22
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 39
kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan sudah terpenuhi.
2) Hakim Pengadilan Tinggi
Hakim Pengadilan Tinggi guna kepentingan pemeriksaan
banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama tiga puluh hari. Apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. Ketentuan ini
tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari
tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
3) Hakim Mahkamah Agung
Hakim Mahkamah Agung, guna kepentingan
pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah
penahanan untuk paling lama lima puluh hari. Apabila
digunakan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai
dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling
lama enam puluh hari.
F. METODE PENELITIAN

Menurut Peter Mahmud Marzuki “Penelitian hukum adalah suatu proses

untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.23

a. Jenis Penelitian

Penelitian yang dipakai dalam penulisan ini yaitu jenis penelitian hukum

sosiologis atau empiris. Dalam pandangan sosiologis, hukum dikonsepkan

sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel-variabel

sosial yang lain .24 Secara khusus, penelitian ini mencoba menggambarkan

bagaimana hukum sebagai gejala sosial sebagai variabel bebas (independent

variable) yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek

kehidupan sosial, sehingga merupakan kajian hukum yang sosiologis (socio

legal-research).

b. Sifat Penelitian

Apabila dilihat dari sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

yaitu untuk mempertegas hipotesa, dapat membantu di dalam memperkuat teori

lama dalam kerangka menyusun teori baru. Sedangkan menurut bentuknya,

penelitian ini termasuk ke dalam bentuk penelitian evaluatif yaitu merupakan suatu

penelitian yang dimaksudkan untuk menilai program atau kebijakan yang

dijalankan.

23
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. Hlm 35
24
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum Jakarta
Rajawali. Hlm 133
Sementara dilihat dari tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian fact

finding, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta. Apabila

dilihat dari penerapannya, penelitian ini termasuk dalam penelitian terapan yaitu

penelitian yang tujuannya untuk memecahkan masalah-masalah

kemasyarakatan yang bersifat praktis.

c. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan interaksional atau mikro,

dengan analisis kualitatif yang selanjutnya dianalisis secara logis sistematis.

Yang dimaksud analisis kualitatif menurut Mills dan Huberman (dalam

Soerjono Soekanto, 1986 : 238) adalah merupakan suatu upaya yang berlanjut,

berulang, dan terus menerus.25 Definisi dari metode kualitatif adalah suatu tata cara

penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang

dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang

nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. 26

d. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih bertempat di wilayah hukum

Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Lokasi penelitian dipilih dengan

pertimbangan bahwa Pengadilan Negeri tersebut merupakan tempat diputus

perkara tindak pidana korupsi yang terjadi. Penelitian ini dimaksudkan untuk

25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI PRESS, 1986, hlm 238
26
Ibid, hlm 50
mengetahui eksistensi penahanan dalam proses pemeriksaan perkara tindak

pidana korupsi.

e. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek yang mau diteliti

dengan sifat yang sama.27 Penetapkan populasi dalam hal ini yaitu para pihak

yang terkait dengan eksistensi penahanan dalam proses pemeriksaan perkara

tindak pidana korupsi.

Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mampu mewakili

seluruh jumlah populasi yang diteliti. Dalam hal ini orang-orang yang

dianggap dapat memberikan informasi dan data tentang masalah yang

berhubungan dengan apa yang akan diteliti nantinya.

f. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam pnelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer, yaitu data dan informasi yang diperoleh secara

langsung melalui wawancara dengan para pakar, narasumber, atau pihak-

pihak terkait dengan penulisan proposal ini. Sedangkan data sekunder, yaitu

data atau dokumen yang diperoleh dari instansi terkait di lokasi penelitian.

27
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja grafindo persada, jakarta, hlm 118.
Adapun sumber data yang diperoleh, yaitu melalui hasil wawancara

dengan Penyidik Kepolisian, Para Jaksa, Hakim Pengadilan Negeri selaku

pemutus perkara tindak pidana korupsi, para Advokat serta para akademisi.

g. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data

berdsarakan metode , yaitu ;

1) Wawancara (interview) dilakukan dengan jalan mengadakan wawancara

dengan Informan dan Responden

2) Penelitian kepustakaaan (library Research) yaitu untuk mengumpulkan

data-data melalui kepustakaan dengan membaca referensi-referensi

hukum, peraturan perundang-undangan, dan dokumen-dokumen dari

instansi terkait untuk memperoleh data sekunder.

h . Analisis Data

Data-data yang telah diperoleh baik dari data primer maupun sekunder,

kemudian dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya data tersebut dianalisis

secara deskriptif guna memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada.

Dalam penelitian Kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal dan terus

berjalan sepanjang proses penelitian berlangsung atau Cycling Process. Pada

Umumnya, analisis data dapat dilakukan dalam empat tahapan kegiatan yaitu:
1) Tahap pengumpulan data

Tahap ini, data yang telah diperoleh sejak awal penelitian dan data

yang diperoleh di lapangan dituangkan dalam bentuk tulisan.

2) Tahap reduksi data

Tahap ini, penyajian data lebih memfokuskan pada hal-hal yang

penting dan berkesesuaian dengan masalah penelitian.

3) Tahap penyajian

Penyajian data ini diperlukan untuk melihat gambaran keseluruhan

penelitian sehingga dapat ditarik kesimpulannya yang tepat.

4) Tahap penarikan kesimpulan

Pada tahap ini, proses menganalisis dan mencari makna serta data-data

yang telah terkumpul untuk kemudian membentuk suatu pola yang

dapat menjawab permasalahan dapat penelitianm kemudian di

tuangkan dalam kesimpulan yang bersifat tentatif.


i. Jadwal Penelitian

Penulisan Tugas Akhir ini membutuhkan waktu selama 150 hari dengan

rincian sebagai berikut :

NO Jadwal Penelitian Waktu Yang Dibutuhkan

1 Persiapan Penelitian 20 Hari

2 Pengumpulan Data 30 Hari

3 Pengolahan Data 25 Hari

4 Analisis Data 25 Hari`

5 Penulisan Tugas Akhir 50 Hari

Jumlah 150 Hari


OUTLINE SKRIPSI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Ruang Lingkup Penelitian

D. Tujuan Dan Manfaa Penelitian

BAB II. KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian Penahanan

B. Istilah Dan Perumusan Tindak Pidana Korupsi

C. Penyidikan dan Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian

B. Lokasi Penelitian

C. Populasi dan Sampel

D. Jenis dan Sumber Data

E. Teknik Pengumpulan Data

F. Analisis Data

BAB IV. PEMBAHASAN

A. Bagaimanakah penerapan syarat penahanan dalam proses pemeriksaan

terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi


B. Bagaimanakah implementasi dari syarat penahanan terhadap

tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi

C. Faktor-faktor apakah yang menjadi dasar pengalihan penahanan dalam

permeriksaan perkara tindak pidana korupsi

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanase dan Ruben Achmad, Hukum Acara

Pidana, Angkasa Bandung, Bandung 1990

Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan (Seri Pemerataan

Keadilan), Ghalia Indonesia, Jakarta 1984

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Penyidikan dan Penuntutan), cetakan kelima, Sinar Grafika, Jakarta 2003

Lilik Mulyadi.,Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis,

Praktik, dan Masalahnya (Bandung: Alumni, 2007)

Andi Hamzah., Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecehannya, (Jakarta:

Gramedia, 1984

Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, PT

Citra Aditya Bakti,.2006

Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, buku pedoman tugas akhir, 2010

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja grafindo persada, Jakarta

Hamid, Hamrat, dan Harun, M.husein.1992. pembahasan permasalahan KUHAP

bidang penyidikan. Jakarta: Sinar Grafika.

S.M. Amin dalam Hari Sasangka, 2007, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan

dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek, Mandar maju, Bandung

JE. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai .(Bandung : Alumni)

Loebby Loqman dalam Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM Melalui Asas

Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada

Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung


HM A Kuffal, 2008, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, edisi kesepuluh, UPT.

Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindok pidana Korupsi, Citra Aditya

Bakti, Bandung,

Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, Jakarta

Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian


Hukum Jakarta Rajawali

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI PRESS, 1986

B. Internet

http://news.okezone.com/read/2009/11/20/340/277729/340/hakim-menitikkan-air-

mata-baca-putusan-nenek-pencuri-3-biji-buah-coklat diakses 24 November

2014

file:///C:/Users/acer/Documents/Dasni%20Yuzar%20Jadi%20Tahanan%20Kota%

20%20Serambi%20Indonesia.html diakses 28 November 2014

file:///C:/Users/acer/Documents/Mekanisme%20Penahanan%20Dalam%20Proses

%20 Peradilan%20Hukum%20Pidana%20~%20Higinus%20Wilbrot.html

diakses 27 Desember 2014

file:///C:/Users/acer/Documents/KORUPSI%20DI%20INDONESIA.html diakses

27 Desember 2014

file:///C:/Users/acer/Documents/Penahanan/20/Weblog.html diakses tanggal 28

Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai