Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KAJIAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN


AKSIOLOGI DALAM BIDANG ILMU
MATEMATIKA

OLEH:

KELOMPOK II
SUDARMING
MUAMAR QADAR
M. RIDWAN TAHIR
AHMAD JAMALUDDIN

PROGRAM STUDI PENELITIAN DAN EVALUASI


PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015
A. PENDAHULUAN
Istilah matematika berasal dari kata Yunani "mathein" atau "manthenein" yang
artinya "mempelajari". Patut diduga bahwa kedua kata itu erat hubungannya dengan kata
Sansekerta "medha" atau "widya" yang artinya "kepandaian", "ketahuan" atau "intelegensia"
(Nasution, 1978). Menurut Hadiwidjojo (1986).

Dalam bahasa lnggris ''mathemata" menjadi "mathematics", dalam bahasa Jerman


"mathematik", dalam bahasa Perancis "mathematique" dan dalam bahasa Belanda
"mathematica" atau ―Wiskunde‖. Wiskunde berarti ‖wisse of zekere kunde" dan berisi
''meetkunde en algebra". Wisse adalah kata lain dari stere yang berasal dari kata yunani kuno
"stereos" yang berarti ukuran isi 1 m3. Karena "wis" dalam wiskunde tidak berasal dari 'wis"
yang berarti "pasti", maka terjemahan Ilmu Pasti untuk "Wiskunde" kurang tepat.

Matematika sebagai subjek kajian dimulai pada abad ke enam SM. Pythagoras
membuat istilah ―mathematics‖ dari bahasa Yunani ―mathema‖ yang berarti ―materi
pelajaran‖ (Heath, 1981). Bangsa Yunani memberi sumbangan antara lain berpikir deduktif
dan keketatan dalam pembuktian. Bangsa-bangsa lain juga memberi sumbangan terhadap
perkembangan matematika, seperti Cina dengan nilai tempat (Joseph, 1991), Budaya Hindu-
Arab dengan sistem lambang bilangan dan aturan operasi bilangan yang dibawa oleh budaya
Islam ke budaya Barat (Kaplan, 1999). Budaya Islam membangun dan mengembangkan
matematika sehingga dikenal di Eropa. Pada waktu itu banyak buku matematika berbahasa
Yunani da Aranb diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada Abad Pertengahan,
perkembangan matematika mengalami kemandegan dan baru pada sekitar Abad 16 mulai
berkembang lagi.

Pada Abad 17 konsep logaritma, dikembangkan oleh Napier dan Bürgi, geometri
analitik oleh René Descartes, notasi desimal oleh Simon Stevin, secara terpisah kalkulus oleh
Newton dan Leibniz, dan teori probabilitas oleh Fermat dan Pascal (Eves, 1976). Pada Abad
18, Euler mengembangkan Teori Graph dengan problem Jembatan Königsberg yang amat
terkenal (Gerald, 2006). Ia juga memberi sumbangan yang signifikan terhadap topologi,
kalkulus, kombinatorik dan analisis kompleks. Salah satu rumus yang terkenal dari Euler
ialah V − E + F = 2, formula yang menghubungkan antara banyaknya sisi, titik sudut
(vertice), dan rusuk (edges) dalam polyhedron yang konveks. Lagrange yang memberi
sumbangan antara lain pada teori bilangan, aljabar, dan kalkulus diferensial. Abad 20
kecenderungannya sama dengan Abad 19, yaitu meningkatnya generalisasi dan abstraksi
dalam matematika, dimana gagasan aksioma sebagai pernyataan yang tidak menuntut bukti
(self-evident truth) banyak dibuang dalam rangka memberi penekanan pada konsep-konsep
logis seperti konsistensi dan kelengkapan (Eves, 1976). Tokoh-tokoh matematika pada Abad
19 dan Abad 20 antara lain Gauss, Lobachevsky, Boole, Hilbert, Cantor, Bolyai, Riemann,
Brouwer, Russell, Whitehead, dan Srinivasa Ramanujan. Pada abad ini matematika
mengalami perkembangan cukup pesat dan semakin abstrak. Topik-topik yang termasuk baru
antara lain geometri Non Euclides. Boole mengembangkan aljabar boole. Teori grup, teori
knot, teori analisis fungsional,topologi, teori catastrophe, teori keos (chaos), teori model,
teori kategori, teori permainan, teori kompleksits dsb, semakin berkembang pada dua abad
ini. Di bidang logika dan filsafat matematika muncul tokoh-tokoh seperti Brouwer, Russell,
Whitehead, dan Wittgenstein.

Banyak definisi matematika yang dirumuskan oleh para matematikawan dan tidak
ada definisi yang dapat disepakati oleh semua ahli. Beberapa pendapat tenatang matematika
antara lain bahwa matematika bersifat abstrak dan berasal dari abstraksi dan generalisasi dari
benda-benda khusus dan gejala-gejala umum (Eves and Newsom ,1964), bersifat deduktif
aksiomatik (Russell dalam Hadiwidjojo, 1986), dapat dipandang sebagai bahasa yang sangat
simbolis (Kline dalam Suriasumantri, 1983). Sebagai bahasa, matematika dapat
menjembatani antara manusia dan alam, antara dunia batin dan dunia lahir. Matematika juga
merupakan alat pikiran, bahasa ilmu, tata cara pengetahuan, dan penarikan kesimpulan secara
deduktif. Bahkan ada ahli matematika yang mengatakan matematika itu seni. Freudhental
dalam Marpaung (2003) mengatakan bahwa matematika adalah suatu aktivitas manusia.
Matematika dapat dianggap sebagai proses dan alat pemecahan masalah (mathematics as
problem solving), proses dan alat berkomunikasi (mathematics as communication), proses
dan alat penalaran (mathematics as resoning). Definisi yang lebih lengkap mengatakan
bahwa matematika merupakan kumpulan teori-teori yang bersifat deduktif hipotetis, setiap
teori merupakan sebuah sistem tertentu dari pengertian pangkal yang tak diterangkan, simbol-
simbol dan titik tolak berpikir yang tak dibuktikan, tetapi ajeg (aksioma atau postulat) dan
teorema yang dapat diturunkan secara logis yang semata-mata mengikuti proses-proses
deduktif (Fitch dalam Eves and Newsom, 1964). Semua definisi memberi ciri kepada
matematika yaitu abstrak, umum, dan memusatkan perhatiannya pada pola dan struktur
(Schaaf, 1966). Sifat general mengandung arti bahwa matematika semakin lama semakin
umum dan mempunyai lingkup penerapan yang lebih luas. Awalnya orang mengenal bilangan
asli, lalu bilangan cacah, bilangan bulat dst. Sifat komutatif penjumlahan yang mulanya
dikenal dan berlaku di himpunan bilangan asli, selanjutnya dapat dikenakan pada himpunan
yang lebih luas. matematika dibutuhkan oleh semua ilmu pengetahuan, sehingga dikatakan
Mathematics is a servant of sciences.Lambang atau simbol sangat diperlukan oleh para ahli
matematika untuk tukar ide atau gagasan. Kelebihan simbol dalam matematika adalah dapat
mewakili gagasan secara tepat dan efisien. Matematika sesuai dengan sistemnya bersifat
konsisten, logis, dan otonom. Beberapa topik matematika dapat dikembangkan tanpa
dukungan atau campur tangan ilmu yang lain, sehingga dikatakan Mathematics is a queen of
scienses. Di lain pihak, matematika dibutuhkan oleh semua ilmu pengetahuan, sehingga
dikatakan Mathematics is a servant of sciences.

B. PEMBAHASAN
1. Kajian Ontologi Matematika

Konsep dasar dari cabang matematika elementer adalah abstraksi dari


pengalaman- pengalaman (Klein, 1985). Konsep bilangan dan konsep-konsep geometri
Euclides sangat dipengaruhi oleh pengalaman. Namun demikian sejumlah konsep
matematika dilahirkan dari kreasi pikiran manusia dengan atau tidak dengan bantuan
pengalaman. Abstraksi dalam matematika ialah ―… the process of extracting the
underlying essence of a mathematical concept, removing any dependence on real world
objects with which it might originally have been connected, and generalizing it so that it
has wider applications or matching among other abstract descriptions of equivalent
phenomena‖ (Langer, 1953). ―Abstraction is the process of formulating a generalized
concept of a common property by disregarding the differences between a number of
particular instance‖. (Borowski dan Borwein, 2007). Abstraksi dalam matematika
berdasarkan pada intuisi dan pengalaman empiris (Dienes dalam Bell, 1981). Konsep
lingkaran dapat diperoleh dari pengamatan berbagai benda konkrit seperti roda, piring,
mata uang, tutup pemukaan sumur, permukaan ember, dsb. Masing-masing benda tersebut
memiliki berbagai sifat dan ciri. Salah satu ciri yang berserikat pada benda-benda tersebut
adalah bentuknya. Apabila yang diperhatikan hanya bentuk geometrisnya dan
mengabaikan sifat-sifat yang lain, seperti tebal, besar, warna, bahan, dsb, maka
terbentuklah konsep lingkaran (Hardi Suyitno, 2011).

Bilangan asli juga dapat dijelaskan sebagai hasil proses abstraksi benda-benda
konkrit. Manusia sesungguhnya adalah benda konkrit, foto manusia merupakan gambar
manusia yang sudah berkurang tingkat kekonkritannya. Apabila tingkat kekongkritan
diturunkan dan tingkat keabstrakannya ditingkatkan maka dapat diperoleh gambar sketsa,
tally, dan akhirnya angka. Gambar 3.1 memuat foto atau gambar ahli-ahli matematika
berturut-turut adalah Pythagoras, Muh ḥammad bin Mūsā al-Khawārizmī, Sir Isaac
Newton, Gottfried Wilhelm von Leibniz, .dan Kurt Friedrich Gödel. Lima tokoh
matematika itu dapat digambarkan dengan sket yang sederhana yang tetap
memperlihatkan seorang manusis, seperti pada Gambar 3.2. Selanjutnya dengan cara
lebih abstrak dapat dinyatakan dengan diagram batang dan akhirnya dengan lambang
bilangan (angka) ―5‖. Angka ―5‖ adalah nama atau lambang bilangan yang secara lesan
diucapkan ―lima‖ (Bahasa Indonesia), ―five‖ (Bahasa Inggris), dsb. Proses ini adalah
proses abstraksi yang bergerak dari konkrit, semi konkrit, semi abstrak, dan abtraks.
Dalam hal ini, esensi yang diperhatikan semata-mata hanyalah kuantitas dan
mengabaikan yang lain seperti bangsa, agama, tempat tinggal, bentuk fisik, dsb.

Sejumlah masalah yang berbeda dapat diabstraksikan dan menghasilkan model


matematika yang sama. Model matematika adalah ungkapan suatu masalah yang
disajikan dengan bahasa matematika (Hardi Suyitno, 2014). Berikut adalah hasil abstraksi
matematis dari sejumlah masalah.

1. Pak Karya menjala ikan lele di sungai dan dimasukkan ke dalam kantung. Di
tengah perjalanan ia memberi tiga ekor kepada cucunya. Sampai di rumah
dihitung masih tujuh ekor. Berapa ekor banyaknya ikan lele yang dijala pak
Karya?

2. Bu Broto membeli minyak goreng curah sebanyak satu jrigen. Di tengah


perjalanan ia memberi minyak kepada menantunya sebanyak tiga liter. Sampai di
rumah banyaknya minyak masih tujuh liter. Berapa liter banyaknya minyak yang
dibeli bu matiBroto?

3. Sebuah bus kota berangkat dari terminal dengan sejumlah penumpang. Sampai di
halte pertama turun tiga orang penumpang dan tidak ada yang naik. Menjelang
sampai di halte kedua, terdapat tujuh orang penumpang. Berapakah banyaknya
penumpang pada waktu bus meninggalkan terminal?

Semua masalah tersebut dapat dinyatakan dalam bahasa matematika dengan x-


3=10, x =…? Variabel x dapat mewakili lele, minyak, orang, dsb. Dalam masalah-
masalah tersebut, sifat yang berserikat dan esensial adalah sifat yang berkaitan dengan
kuantitas, bukan tentang warna, jenis makhluk, berat, tinggi, dsb (Hardi Suyitno, 2011).
Hasil abstraksi ini hanya memperhatikan kuantitas dan mengabaikan sifat-sifat yang lain.
Setelah menjadi model matematika, variable x menjadi artificial (tanpa arti), sebab x
dapat mewakili berbagai hal. Di dunia ini banyak masalah yang dapat dinyatakan dengan
model matematika tersebut. Abstraksi memilih beberapa sifat berserikat yang dimiliki
oleh sejumlah objek dan mengabaikan sifat-sifat lain yang tidak dipilih. Selanjutnya sifat-
sifat yang dipilih yang diperhatikan dan dikenakan pada obyek tersebut dalam suatu
pembicaraan tertentu. Abstraksi adalah proses pemisahan kualitas yang dimiliki sejumlak
objek atau situasi dari kualitas yang lain (Davidov,1990), proses pelepasan atau
penghilangan ciri-ciri tertentu dari suatu objek (Sierpinska, 1991), merupakan proses
penghilangan atau pengabaian sebagian kualitas dari pengalaman konkrit (Aristoteles
dalam Erlina Ronda, 2011). Hasil proses abstraksi disebut konsep (Skemp, 1976). Dengan
abstraksi, orang dapat berpikir lebih cepat dan tanpa terganggu oleh hal-hal yang konkrit
dan yang tidak diperlukan (Hardi Suyitno, 2011).

Selain melalui proses abstraksi, objek matematika juga dibangun melalui


idealisasi dan generalisasi. Di dunia nyata ini, tidak ada permukaan yang benar-benar
datar. Permukaan meja porselin yang halus, licin dan kelihatan rata bagi binatang-
binatang yang sangat kecil, seperti bakteri atau amuba akan tersa kasar bahkan mungkin
serasa berbukut-bukit. Tidak ada garis yang benar-benar lurus, tidak punya lebar, dan
tidak punya tinggi. Titik yang sering dijelaskan sebagai sesuatu yang tidak punya panjang,
tidak punya lebar, dan tidak punya tinggi juga tidak ada dalam realitas, yang ada adalah
noktah. Noktah punya panjang dan lebar, bahkan kalau diamati dengan teliti juga
memiliki tebal atau tinggi.

Generalisasi dalam matematika ada yang memberi makna sama dengan


abstraksi. Ada juga yang memberi makna yang mengandung pengertian secara empiriri
maupun matematis dari memperluas konsep atau proses penemuan dalam matematika,
Geometri Non-Euclid dapat dipandang sebagai hasil generalisasi dalam pengertian ini.
Generalisasi juga dapat dimaknai sebagai produk. Produk generalisasai adalah pernyataan
yang dalam matematika berupa teorema. Jadi, konsep adalah produk dari proses abstraksi,
sedangkan teorema adalah produk dari proses generalisasi. Sebenarnya antara abstraksi
dan generalisasi dapat dibedakan berkaitan dengan semesta pembicaraan. Proses abstraksi
tidak memperluas semesta pembicaraan, sedangkan generalisasi memperluas semesta
pembicaraan. Objek matematika yang merupakan hasil proses abstraksi atau generalisasi
muncul dari sistem personal (institutional) yang dibuat oleh sesorang, ketika menghadapi
beberapa masalah (Dörfler, 1991).

Konsep-konsep tentang bilangan negatip dan bilangan irasional tidak diperoleh


dari pengalaman melalui proses abstraksi, tetapi dibangun oleh kreatifitas manusia.
Konsep fungsi dan konsep-konsep pada aljabar abstrak adalah sebagian contoh konsep
yang dibangun atas dominasi suatu kegiatan mental/pikiran yang kreatif. Namun
demikian proses kreatif lahirnya konsep-konsep matematika seringkali melalui intuisi,
trial and error, pengalaman, percobaan, dsb. Proses ini dapat disebut proses generalisasi
dalam arti yang kedua. Para filsuf aliran formalisme dan intuitionisme menyatakan bahwa
matematika adalah hasil kreasi manusia. Para pengikut Platonis beranggapan bahwa
matematika itu sudah ada, manusia hanya melakukan discovery. Walaupun pandangan-
pandangan tersebut berbeda-beda, tetapi secara internal mereka konsisten dengan
pandangannya. Hersh (1997) berpendapat bahwa matematika adalah hasil proses
discovery dan invention yang dilakukan oleh manusia. Dari berbagai pendapat
nampaknya paling tidak ada satu kesamaan pendapat bahwa objek matematika adalah
abstrak.

Objek matematika bersifat abstrak berarti bahwa objek-objek matematika


adalah benda-benda pikiran. Dalam cerita Mahabharata dikisahkan bahwa ketika
Yudistira menjawab pertanyaan seorang yaksa yang sebenarnya Dewa Dharma yaitu
―Apakah yang lebih cepat dari angin?‖, maka jawabnya adalah ―pikiran lebih cepat dari
angin‖ (Lal, 1992). Karena objek matematika adalah benda pikiran, maka untuk
memahami matematika diperlukan ketajaman pikiran. Karena objek matematika adalah
benda pikiran, maka kebenaran matematika hanyalah kebenaran pikiran dan bukan
kebenaran empiris. Secara epistemologis matematika berbeda dengan fisika. Fisikawan
menolak kebenaran sesuatu apabila sudah dibuktikan bahwa sesuatu itu salah, sedangkan
matematikawan menerima kebenaran sesuatu apabila sesuatu itu sudah dibuktikan benar.
Ciri abstrak matematika menyebabkan kebenaran matematika sulit dipahami dan kadang-
kadang terasa aneh bagi orang yang belum memahaminya. Kalimat ―Jika jumlah sudut
dalam suatu segitiga lebih besar dari 2700, maka Hayam Wuruk Raja Majapahit adalah
suami Luna Maya‖ adalah kalimat yang barangkali menggelikan bagi orang yang awam
matematika. Dalam konteks geometri Euclides, berdasarkan hukum logika, kalimat
tersebut bernilai benar (Hardi Suyitno, 2011).

2. Kajian Epistemologi Matematika

Ilmu-ilmu pengetahuan semuanya telah menggunakan matematika, baik matematika


sebagai perkembangan aljabar maupun statistik. Philosophy modern tampaknya juga tidak
tepat bila pengetahuan tentang matematika tidak mencukupinya. Banyak sekali ilmu-ilmu
sosial sudah sampai mempergunakan matematika sebagai sosiometri, psychometri,
economimetri, dan sebagainya. Hampir dapat dikatakan bahwa fungsi matematika hampir
sama luasnya dengan fungsi bahasa (Santoso, 1976).

Matematika dan logika, sejarah berbicara, banyak studi yang membedakannya.


Matematika terkait dengan ilmu pengetahuan, sedangkan logika terkait dengan Yunani.
Tapi keduanya telah berkembang di zaman modern: logika menjadi lebih matematis dan
matematika menjadi lebih logis. Konsekuensinya adalah bahwa kini telah menjadi
sepenuhnya mustahil untuk menarik garis antara keduanya, bahkan, keduanya adalah
satu. Mereka berbeda sebagai anak dan manusia dewasa: logika adalah masa muda
matematika dan matematika adalah masa dewasa logika (Russel, 1919). Dari konsep
dasar logika nantinya dikembangkan sejumlah konsep matematika seperti himpunan,
aljabar, teori bilangan, fungsi, hingga limit yang melahirkan kalkulus nantinya (Bartle,
2000). Floyd (2005) menjelaskan matematika dan logika memiliki kemampuan untuk
menggali, merumuskan, dan menilai secara kritis asumsi mengenai ekspresi ilmu
pengetahuan, makna, dan berpikir dalam bahasa yang filosofis yang bergantung pada sifat
matematika dan logika kebenaran.

Matematika adalah ilmu deduktif, yang dimulai dari premis tertentu, setelah diterima
melalui proses yang ketat dari deduksi di berbagai teorema yang ada. Memang benar
bahwa dalam deduksi masa lalu, matematika sering sangat kurang tajam, namun
demikian, sejauh ketegasan yang kurang dalam bukti matematis atau bukti yang rusak,
maka tidak akan ada pembelaan yang mendesak akal sehat untuk menunjukkan hasil yang
benar, karena jika kita mengandalkan itu, maka akan lebih baik untuk membuang
argumen/bukti rusak yang sama sekali tidak digunakan, ketimbang membawa kekeliruan
dalam akal sehat. Tidak ada bandingan untuk akal sehat, atau “intuisi” atau apa pun
kecuali logika deduktif yang ketat, yang seharusnya diperlukan dalam matematika setelah
premis ditetapkan (Russel, 1919).

Ernest (1991) menjelaskan bahwa pendekatan epistemologi yang secara luas diadopsi
adalah dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan dalam bidang apapun diwakili oleh
seperangkat proposisi bersama dengan prosedur untuk memverifikasi kebenarannya. Atas
dasar ini, pengetahuan matematika terdiri dari satu set proposisi bersama dengan bukti-
buktinya.

Menurut Ernest (1991) secara tradisional filsafat matematika telah melihat tugasnya
sebagai penyedia landasan suatu kepastian pengetahuan matematika. Artinya,
menyediakan sistem dimana pengetahuan matematika dapat dibangun secara sistematis
kebenarannya. Hal ini tergantung pada asumsi, yang diadopsi secara luas, secara implisit
jika tidak secara eksplisit. Pengetahuan apriori terdiri dari proposisi yang menegaskan
atas dasar alasan saja, tanpa jaminan untuk dilakukan pengamatan di dunia. Alasan
tersebut terdiri dari penggunaan logika deduktif dan makna dari istilah yang dapat
ditemukan dalam definisi. Sebaliknya, pengetahuan posteriori terdiri dari proposisi
menegaskan atas dasar pengalaman, yaitu, berdasarkan pengamatan dari dunia.

Berdasarkan pengertian pengetahuan apriori dan posteriori, maka pengetahuan


matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan apriori, karena terdiri dari proposisi
yang ditegaskan atas dasar alasan saja. Alasan tersebut meliputi logika deduktif dan
definisi yang digunakan yang berkaitan dengan seperangkat asumsi aksioma atau postulat
matematika sebagai dasar untuk menyimpulkan pengetahuan matematika (Ernest, 1991).
Dengan demikian dasar pengetahuan matematika, yang merupakan alasan untuk
menyatakan kebenaran proposisi matematika, terdiri dari bukti deduktif. Bukti dari
proposisi matematika adalah urutan terbatas proposisi yang memenuhi sifat-sifat tertentu.
Setiap proposisi berdasarkan pada aksioma-aksioma yang sebelumnya telah ditetapkan,
atau proposisi dapat diturunkan oleh aturan inferensi dari satu atau lebih proposisi yang
terjadi sebelumnya dalam urutan. Seperangkat aksioma merupakan istilah yang dipahami
secara luas, yang meliputi proposisi yang diakui kebenarannya tanpa perlu dibuktikan
(Ernest, 1991).

Wittgenstein (1978) dalam Suyitno (2012) menjelaskan bahwa aksioma diitetapkan untuk
suatu tujuan tertentu tanpa melihat realisasinya, disusun bukan untuk mengekspresikan
pengalaman, tetapi untuk mengekspresikan ketidakmungkinan membayangkan sesuatu
yang berbeda. Aksioma ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Aksioma dibutuhkan karena
penalaran deduktif membutuhkan premis. Premis itu harus merupakan suatu pernyataan
yang bukan merupakan hasil penalaran deduktif, maka aksioma harus benar dengan
sendirinya (self evident trust, tidak memerlukan bukti). Aksioma memuat undefined
element dan relasi diantaranya (Soehakso dalam Suyitno, 2012). Semua pernyataan
matematika harus taat terhadap aksioma. Cara memperoleh aksioma diawali dengan
menetapkan unsur yang tidak diketahui (undefined term), mendefinisikan konsep, dan
kemudian menetapkan suatu pernyataan dasar atau asumsi dasar yang disebut aksioma.
Konsep-konsep dan aksioma dijadikan dasar penalaran untuk memperoleh konklusi
(Suyitno, 2012).

Teorema matematika merupakan hasil penarikan kesimpulan dengan penalaran deduktif


dari suatu himpunan aksioma (Kline, 1961). Teorema merupakan suatu informasi
matematika yang kebenarannya harus dibuktikan. Bukti dalam matematika merupakan
rangkaian argumen deduktif dan setiap argumen deduktif premis dan konklusi.
Pemahaman suatu teorema harus diiringi dengan pemahaman terhadap buktinya (Suyitno,
2012).

Matematika itu sendiri tampaknya menjadi sebuah pertemuan aktivitas pengetahuan.


Matematika berbicara tentang teorema yang diketahui orang yang tahu dan yang tidak.
Dengan demikian, filsafat matematika, setidaknya sebagian juga sama dengan cabang
epistemologi lainnya. Namun, matematika secara prima facie berbeda dari usaha
epistemik lainnya (Shapiro, 2005). Prinsip-prinsip dasar matematika, seperti “7 + 5 = 12”
atau “bilangan prima tak terhingga banyaknya”, kadang-kadang diadakan sebagai
paradigma yang diperlukan kebenarannya dan bersifat apriori, sebagai pengetahuan
sempurna. Tidak perlu dipertanyakan lagi tingkat kebenarannya, namun kepastian ini
tetap harus dijelaskan. Beberapa dari dasar prinsip-prinsip logika, atau tampaknya benar-
benar diperlukan secara keseluruhan dan apriori dalam matematika. Jika seseorang
meragukan prinsip dasar logika, kemudian, mungkin menggunakan definisi lain, maka dia
tidak berpikir logis sama sekali. Sebab Prima facie; untuk berpikir logis saja perlu
berpikir logis (Shapiro, 2005).

Hintikka (2000) menjelaskan bahwa filosofi matematika adalah bentuk paradigmatik dari
apa yang dikenal sebagai pendekatan logis untuk matematika. Tesis utamanya adalah (a)
bahwa kebenaran matematika adalah suatu analisis priori dan (b) bahwa matematika
adalah cabang logika. Tesis kedua dapat dipandang sebagai cara untuk membantu tesis
yang pertama. Dengan kata lain, (a) proposisi matematika tidak dapat dibantah oleh bukti
empiris, tetapi juga melalui analisis. Tesis kedua (b) mengenai status matematika sebagai
cabang logika berarti bahwa (a) semua konsep matematika, yaitu, aritmatika, aljabar dan
analisis dapat didefinisikan dalam konsep logika murni, (b) semua teorema matematika
dapat dideduksi dari definisi melalui prinsip-prinsip logika.

Brown (2008) menjelaskan karakteristik matematika, diantaranya yaitu, kepastian


(certainty); misalnya teorema yang membuktikan ketakterbatasan bilangan prima
tampaknya di luar dugaan merupakan hal yang pasti. Ilmu-ilmu alam tidak bisa
melakukan hal seperti itu. Meskipun memiliki prestasi yang indah, Fisika Newton telah
gagal dalam mendukung mekanika kuantum dan relativitas, dan tidak ada manusia yang
akan bertaruh terlalu berat dalam waktu yang panjang tentang teori itu. Matematika,
sebaliknya, tampaknya satu-satunya tempat di mana kita manusia dapat benar-benar yakin
kita sudah benar.

Karekateristik matematika lainnya adalah objektivitas (objectivity); barangsiapa pertama


memikirkan teorema ini dan buktinya, ia adalah penemu yang hebat. Ada hal-hal lain
dimana kita mungkin tidak dapat menemukan, melainkan menciptakannya. ”Raja
bergerak secara diagonal” Ini adalah aturan catur, itu tidak ditemukan, melainkan
diciptakan. Sudah pasti, namun kepastian yang berasal dari resolusi itulah yang
digunakan untuk memainkan permainan catur itu. Cara lain untuk menggambarkan situasi
ini dengan mengatakan bahwa teorema kita adalah kebenaran obyektif yang telah
dibuktikan, bukan hasil konvensi semata-mata. Bukti adalah hal terpenting (proof is
essential); dengan bukti, hasilnya pasti, tanpa itu, kepercayaan harus ditangguhkan. Itu
kekuatan matematika. Terkadang matematikawan percaya proposisi matematika
meskipun mereka tidak memiliki bukti. Mungkin kita harus mengatakan bahwa tanpa
bukti, proposisi matematika tidak dibenarkan dan tidak boleh digunakan untuk
menurunkan proposisi matematika lainnya. Dugaan Goldbach adalah contoh. Ia
mengatakan bahwa setiap bilangan genap adalah penjumlahan dari dua bilangan prima,
dan ada banyak contoh untuk itu, misalnya 4 = 2 + 2, 6 = 3 + 3, 8 = 3 + 5, 10 = 5 + 5, 12
= 7 + 5, dan seterusnya. Sudah diperiksa ke miliaran dan tidak ada contoh yang kontra,
tetapi hal tersebut bukanlah bukti (melainkan hanyalah eksplorasi induktif), jika hal itu
dianggap bukti, maka kita melanggar karakteristik matematika yang bersifat abstrak dan
deduktif. Tetapi bagi Ahli biologi jangan ragu untuk menyimpulkan bahwa semua gagak
bewarna hitam berdasarkan cara semacam ini, tetapi matematikawan (sementara mereka
mungkin percaya bahwa dugaan Goldbach adalah benar) tidak akan menyebutnya
teorema dan tidak akan menggunakan untuk membangun teorema lain, karena tanpa bukti
(Brown, 2008).

3. Kajian Aksiologi Matematika dalam Pendidikan


Matematika sebagai ilmu dasar, dipergunakan dalam berbagai bidang ilmu,
baik matematika sebagai pengembangan aljabar maupun statistic. Filosofi modern juga
tidak akan tepat bila tidak dilandasi pengetahuan tentang matematika. Matematika dalam
ilmu social juga dikembangkan sebagai sosiometri, psychometric, ekonometri, dan
sebagainya. Jujun S Sumantri (2001: 229) mengatakan bahwa matematika mempunyai
fungsi yang sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan
dan ilmu pengetahuan. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara lebih baik, diperlukan
sarana berpikir. Penguasaan sarana berpikir ini merupakan suatu hal yang bersifat
imperative bagi seorang ilmuwan, karena tanpa menguasainya maka kegiatan ilmiah
yang baik tidak dapat dilakukan. Sarana berpikir ini pada dasarnya merupakan alat yang
membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Oleh karena itu,
sebelum memperlajari sarana – sarana berpikir ilmiah seharusnya menguasai langkah –
langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah
dengan baik, maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika.
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir
ilmiah. Penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses logika deduktif dan induktif.
Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika
mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif (Amsal Bahtiar, 2011: 188).
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari
serangkaian pernyataan yang akan disampaikan. Bahasa verbal mempunyai beberapa
kekurangan, dan untuk menutupi kekurangan bahasa vaerbal, digunakanlah matematika,
karena matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan
emosional dari bahasa verbal.
Lambang – lambing dari matematika yang dibuat secara artificial dan
individual yang mengrupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang dikaji.
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika
mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran
secara kuantitatif. Dalam bahasa verbal, bila kita membandingkan dua objek yang
berlainan, umpamanya gajah dan semut. Akan sulit membandingkan keduanya. Jika ingin
mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut, dengan
bahasa verbal tidak dapat dikatakan apa – apa.
Bahasa verbal hanya mampu mengatakan pernyataan yang bersifat kualitatif.
Penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, sehingga
menyebabkan daya prediktif dan control ilmu kurang cepat dan tepat. Untuk
mengatasinya, dikembangkan konsep pengukuran. Melalui pengukuran, kita dapat
mengetahui dengan tepat berapa panjang sebuah logam dan berapa pertambahan
panjangnya kalau logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini, maka pernyataan
ilmiah yang merupakan pernyataan kualitatif “sebatang logam kalau dipanaskan akan
memanjang”, dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak, umpamanya
Pt = Po(1 + xt), dengan Pt adalah panjang logam pada temperature nol dan x adalah
koefisien pemuaian logam.
Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan control
dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan
pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu
mengalami prkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini
merupakan suatu hal yang imperative bila kita menghendaki daya prediksi dan control
yang lebih tepat dan cermat dalam ilmu (Amsal Bahtiar, 2011: 191).
Matematika merupakan ilmu deduktif. Istilah deduktif diperoleh karena
penyelesaian masalah – masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti
halnya yang terdapat dalam ilmu – ilmu empiric, melainkan didasarkan atas deduksi –
deduksi (penjabaran). Dewasa ini yang paling banyak dianut orang adalah bahwa deduksi
merupakan penalaran yang sesuai dengan hukum – hukum serta aturan – aturan logika
formal. Orang beranggapan bahwa tidaklah mungkin titik tolak yang benar menghasilkan
kesimpulan yang tidak benar.
Matematika merupakan pengetahuan dan sarana berpikir deduktif. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa artificial (bahasa buatan). Keistimewaan bahasa ini adalah
terbebas dari aspek emotif dan afektif serta jelas kelihatan bentuk hubungannya.
Matematika lebih mementingkan bentuk logisnya. Pernyataan – pernyataannya
mempunyai sifat yang jelas. Pola berpikir deduktif banyak digunakan baik dalam bidang
ilmiah maupun bidang lain yang merupakan proses pengambilan kesimpulan yang
didasarkan kepada premis – premis yang kebenarannya telah ditentukan. Kesimpulan
yang ditarik dalam pemikiran deduktif merupakan konsekuensi logis dari fakta – fakta
yang mendasarinya, yang disebut dengan silogisme, sebagai perwujudan pemikiran
deduktif yang sempurna.
Matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Fungsi
matematika menjadi sangat penting dalam perkembangan berbagai macam ilmu
pengetahuan. Perhitungan matematis menjadi dasar ilmu teknik, memberikan inspirasi
kepada pemikiran di bidang social dan ekonomi, bahkan pemikiran matematis dapat
memberikan warna kepada kegiatan arsitektur dan seni rupa.
Kontribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam, lebih ditandai dengan
penggunaan lambang – lambang bilangan untuk penghitungan dan pengukuran. Hal ini
sesuai dengan objek ilmu alam, yaitu gejala – gejala alam yang dapat diamati dan
dilakukan penelaahan yang berulang – ulang. Sedangkan ilmu – ilmu social
dapatditandai oleh kenyataan bahwa kebanyakan dari masalah yang dihadapinya tidak
mempunyai pengukuran yang mempergunakan bilangan dan pengertian tentang ruang
adalah sama sekali tidak relevan.
Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai aturan –
aturan berpikir, seperti setengah tidak lebih besar daripada satu. Berpikir tidak dapat
dijalankan semaunya. Realitas begitu banyak jenis dan macamnya, maka berpikir
membutuhkan jenis – jenis pemikiran yang sesuai. Pikiran diikat oleh hakikat dan struktur
tertentu, karena pikiran kita tunduk pada hukum – hukum tertentu. Sebagai perlengkapan
ontologisme, pikiran kita dapat bekerja secara spontan, alami, dan dapat menyelesaikan
fungsinya dengan baik, lebih – lebih dalam hal yang biasa, sederhana, dan jelas. Namun
tidak demikian halnya apabila menghadapi hal – hal yang sulit, harus dilakukan
pemikiran yang mendalam sebelum mencapai kesimpulan.
Amsal Bahtiar mengatakan bahwa belajar logika ilmiah perlu menegtahui
beberapa hal, diantaranya: (1) Dalam praktik, menjadi cakap dan cekatan, berpikir sesuai
dengan hokum dan prinsip, bentuk berpikir yang betul, tanpa mengabaikan dialektika,
yakni proses perubahan keadaan. Logika jangan hanya dijadikan mekanik dan
dikembangkan kesanggupan mengadakan eavluasi terhadap pemikiran orang lain dan
sanggup menunjukkan kesalahannya. Logika ilmiah melengkapi dan mengantar kita
untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis. (2) Sanggup mengenali jenis – jenis,
macam – macam, nama – nama, sebab – sebab kesalahan pemikiran, dan sanggup
menghindari, serta menjelaskan segala bentuk dengan segala sebab kesalahan dengan
semestinya.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperllukan
sarana yang berupa bahasa, logika, dan Matematika. Bahasa merupakan alat komunikasi
verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupkan alat berpikir
dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
Bahasa merupakan sarana komunikasi, maka segala sesuatu yang berhubungan
dengna komunikasi tidak terlepas dari bahas, seperti berpikir sistematis dalam menggapai
ilmu pengetahuan. Tanpa menguasai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat
melakukan kegiatan ilmiah secara sistematis dan teratur.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan.
Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap valid, apabila dilakukan menurut cara yang
benar. Cara penarikan kesimpulan ini dinamakan logika. Logika adalah pengkajian untuk
berpikir secara sohih. Logika induktif erta hubungannya dengan penarikan kesimpulan
dari kasus khusus ke kasus umum. Sedangkan logika deduktif membantu dalam menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual.
Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan –
pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas menyususn
argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan bersifat umum. Deduksi bersifat sebaliknya,
menggunakan cara berpikir yang disebut silogisme. Pernyataan yang mendukukng
silogisme dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Matematika adalah
pengetahuan yang disusun secara deduktif, dan merupakan bahasa yang melambangkan
serangkaian makan dari pernyataan yang ingin disampaikan.
Karakteristik matematika terletak pada kekhususannya dalam
mengkomunikasikan ide matematika itu melalui bahasa numerik. Dengan bahasa numerik
ini, memungkinkan seseorang dapat melakukan pengukuran secara kuantitatif. Sedangkan
sifat kekuantitatifan dari matematika tersebut, dapat memberikan kemudahan bagi
seseorang dalam menyikapi suatu masalah. Itulah sebabnya matematika selalu
memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak dalam memecahkan masalah.
Ilmu Matematika diantaranya meliputi aritmatika, geometri, aljabar dll
sehingga kalau mau sok idealis tentu saja banyak manfaat Matematika untuk ilmu
pengetahuan lain dan juga untuk kehidupan, misalnya:
1. Kombinasi (Statistika) bisa digunakan untuk mengetahui banyaknya formasi tim
bola voli yang bisa dibentuk.
2. Aritmatika hampir digunakan setiap hari, yaitu untuk hitung-menghitung.
3. Geometri bisa digunakan para ahli sipil karena geometri salah satunya adalah
membahas tentang bangun dan keruangan.
4. Aljabar bisa digunakan untuk memecahkan masalah bagaimana memperoleh laba
sebanyak mungkin dengan biaya sesedikit mungkin.
5. Mungkin dengan logika Matematika juga bisa membantu untuk berpikir logis, tapi
tentu saja bukan hanya Matematika saja yang bisa membantu dalam berpikir logis.
Tujuan mempelajari matematika adalah :
1. Melatih cara berfikir dan benalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui
kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukan kesamaan, perbedaan,
konsisten dan inkonistensi.
2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu,
membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba
3. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau
memgkomunikasikan gagasan melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta,
dalam menjelaskan gagasan.
Sebagai tambahan nilai matematika juga dapat kita lihat dalam:
• Digunakan dalam bidang sains dan teknik.
• Untuk penelitian masalah tingkah laku manusia.
• Membantu manusia dalam berdagang dan bidang perekonomian.
• Ilmu matematikan juga digunakan dalam bidang komputer.
• Membantu manusia berpikir secara matematis dan logis.
• Dengan bilangan, manusia dapat menentukan kuantitas.
DAFTAR PUSTAKA

Suyitno Hardi. 2014. Pengenalan Filsafat Matematika.. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

--. 2014.Filsafat Ilmu. diakses dari http://dewimardhiyana.blogspot.co.id/2014/01/makalah-filsafat-


ilmu.html pada 21 Desember 2015 pukul 13:57

Anda mungkin juga menyukai