Anda di halaman 1dari 18

Metode Penelitian Kualitatif Dalam Metodologi Penelitian Ilmu Hukum 155

METODE PENELITIAN KUALITATIF DALAM


METODOLOGI PENELITIAN ILMU HUKUM 1
Sulistyowati Irianto

This article aims to portray the role of the


empiric legal research methodology, specifically
qualitative in a typology framework of the
legal research methodology. This explanation
answers the uncertainties amongst the legal
academia regarding the correlation between
the doctrinal legal research methodology and
the empiric legal research methodology, as to
the context where both these approaches can
be practiced. By understanding these approaches
within the legal research methodology, the
legal academia is expected to conduct
researches on the legal phenomenon in a
more general bur contextual manner. While
conducting a research with a contextual approach, the methodological
approach is greatly influenced by which legal characteristic that the legal
academia tends to chose in accordance to the context of the problem ro be
researched.

Pendahuluan

Pertanyaan yang sering muncul sampat saat mi, khususnya di


kalangan sarjana hukum adalah, seperti apakah penelitian hukum yang
sesungguhnya . Dalam pertanyaan itu tersirat maksud yang hendak
mengatakan bahwa penelirian hukum bukanlah yang selal11a ini sudah
"dicemari" oleh penelitian ill11u so sial. Kel11udian berkembanglah has rat
terpendal11 untuk mencari bentuk dari penelitian hukum yang dirasa paling
tepat, sangat spesifik, mel11punyai ciri khas sendiri, dan berbeda dengan
penelitian ilmu sosial.

1 Disampaikan dalam Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif, yang diselenggarakan oleh


Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, 18 ~ 21
Maret 2001

Nomor 2 Tahun XXXII


156 Hukum dan Pembangunan

Makalah ini bempaya untuk menjawab permasalahan di atas, dari


perspektif pendekatan ilmu-ilmu sosial terhadap hukum, khususnya
antropologi hukum, dengan pendekatannya yang khas, yaitu pendekatan
kualitatif. Oalam hal ini akan ditunjukkan bahwa pendekatan ilmu-ilmu
sosial telah memberikan sumbangan metodologis yang berarti dalam
pengkajian masalah-masalah hukum . Beberapa contoh dari metode yang
biasa digunakan dalam penelitian antropologi hukum akan diberikan.
Kemudian akan dikemukakan bagaimanakah penerapan metode tersebut
dalam penelitian hukum empirik yang kualitatif. Namun sebelum sampai
pada inti diskusi tersebut, akan diuraikan terlebih dahulu persoalan-
persoalan mendasar yang membingungkan sebagian sarjana hukum dalam
hal memposisikan dirinya dalam suatu meta metodologi pada umumnya.
Kekhawatiran sebagian sarjana hukum terhadap tercermarnya
bidang ilmu hukum oleh pendekatan ilmu sosial nampaknya hams
diluruskan terlebih dahulu'- Kekhawatiran tersebut terjadi karena adanya
kesalah pahaman. Sebagian kalangan sarjana hukum memandang bahwa
pendekatan ilmu sosial 'semata-mata' adalah pendekatan kuantitatif yang
ciri khasnya adalah melakukan pengukuran, terikat pada prinsip
obyektifitas, pengujian hipotesa, keterwakilan dan universalitas secara
ketal. Bila demikian halnya, kekhawatiran kalangan sarjana hukum
tersebut sangat dapat dipahami. Kekhawatiran di atas semakin dapat
dimengerti karena dalam beberapa hal telah menimbulkan dampak yang
menyesatkan. Misalnya, pernah terjadi proposal penelitian seorang sarjana
hukum ditolak untuk diberi dana 'hanya' karena metode penelitian yang
digunakan adalah studi kepustakaan atau penelitian dokumen perundang-
undangan (Ibrahim, 1995: vi).
Oapat dibayangkan bahwa dalam pandangan orang yang menilai
proposal tersebut, proposal penelitian ilmiah haruslah yang disusun
berdasarkan komponen-komponen tertentu yang pad a umumnya sudah
dipandang sebagai standar baku di Indonesia. Oi dunia akademik dalam
konteks Indonesia pada umumnya yang dianggap standar baku dalam
penelitian adalah karakteristik tertentu yang dianggap seyogyanya melekat
pad a penelitian kuantitatif, yaitu ada pengukuran, ada output berupa
angka, dan label-label yang seragam terhadap komponen-komponen dalam
penulisan proposal atau laporan. Hal ini terjadi karena kurangnya
pemahamam mengenai metodologi secara mendalam, yang nampaknya

2 Kekhawatiran tersebut dapat dibaca misalnya dalam buku yang ditulis oleh Sunaryati
Hartono, Kembali ke Metode Pellelilian Hukum . Fakultas Hukum Unpad, 1985.

April - Juni 2002


Metode Penelitian Kualitatij Dalam Metodologi Penelitian Ilmu Hukum 157

menjadi problem yang umum di Indonesia, bahkan di kalangan akademik.


Mengenai bagaimanakah esensi dari proposal penelitian yang
sesungguhnya menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan atau metodologi
kiranya harus ditampung dalam diskusi tersendiri.
Saya sendiri termasuk orang yang setuju seratus persen bahwa
masalah-masalah dan gejala-gejala hukum, tidak dapat direduksi ke dalam
variael-variabel yang dapat diukur. Mengapa? Masalah-masalah dan gejala
hukum demikian kompleksnya, dan sangat berkaitan dengan manusia.
Hukum tidaklah bekerja atau beroperasi dalam ruang hal11pa yang
terisolasi, tetapi berada dalam masyarakat. Hukum dalam proses
pembuatannya adalah hasil dari bargaining politik dari para pembuat
undang-undang, kemudian dalam implementasinya akan melalui
interpretasi para hakim, pengacara, polisi, pejabat, dan warga l11asyarakat
sendiri. Dalam melakukan interpretasi tersebut orang sangat dipengaruhi
oleh kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, sosia l, perhitungan
untung-rugi, pendeknya vested interest. Seorang sosiolog hukul11.
Lawrence Friedman, l11enyebut kepentingan-kepentingan tersebut sebagai
sub legal culture (Friedman, 1975). Oleh karena itu mengkaji hukum
tidak bisa dilakukan secara terisolasi, memisahkannya dari l11asyarakat di
mana hukum itu berada. Oleh karena berbicara mengenai manusia.
perilaku hukum manusia, dan bagaimana manusia menginterpretasikan
hukum, maka konsekuensinya adalah sulit untuk mengadakan pengukuran
kuantitatif mengenai gejala-gejala atau permasalahan hukum. Untuk
mengatasai persoalan di atas, kiranya metode penelitian kualitatif yang
biasa digunakan oleh para antropolog hukum dapat diketengahkan.
Sejauh ini sebagian dari sarjana hukum yang berpendapat bahwa
gejala-gejala hukum dapat diukur, telah melahirkan metode pendekatan
yang mereka beri nama jurimetri' (Soemitro, 1994). Pemikiran ini
sekarang dikembangkan dengan menggunakan penghitungan statistik yang
semakin diakomodasi oleh program-program tertentu dalam komputer
(Soemitro, 1984: 3). Melihat cara kerja dari pendekatan ini, kiranya dapat
diduga bahwa pendekatan ini mendapat pengaruh yang kuat dari
pendekatan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa terdapat dua kubu
pemikiran dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial terhadap studi hukum, yaitu
pendekatan kuantitatif yang antara lain berkembang menjadi jurimetri di
satu sisi, dan pendekatan kualitatif di sisi yang lain. Menjadi jelas pula
bahwa ketidaksetujuan kalangan sarjana hukum terhadap pendekatan
kuantitatif dalam ilmu hukum, seharusnya dialamatkan kepada pendekatan

Nomor 2 Tahun XXXII


158 Hukum dan Pembangunan

jurimetri ini, bukan kepada pendekatan ilmu sosial terhadap hukum pada
umumnya.
Menurut hemat saya, perdebatan mengenai pendekatan mana yang
paling tepat untuk dapat menjelaskan permasalahan hukum yang dikaji,
tidaklah dapat dijawab secara sederhana. Pendekatan manapun yang akan
digunakan adalah sangat tergantung pada apa yang menjadi permasalahan
penelitian. Penggunaan suatu pendekatan ditentukan oleh penjelasan apa
yang dibutuhkan oleh peneliti untuk mendapatkan jawaban dari apa yang
hendak diketahuinya. Bila peneliti misalnya hendak mengetahui hubungan
pengaruh dan hubungan sebab akibat antara kesadaran hukum dan tingkat
pendidikan seseorang, maka ia dapat menggunakan jurimetri. Namun bila
seorang peneliti meragukan apakah kesadaran hukum seseorang dapat
diukur, dan ia ingin mengetahui secara mendasar bagaimanakah kesadaran
hukum seseorang dapat dijelaskan secara luas dan mendalam, maka sudah
barang tentu lebih baik ia berpihak kepada pendekatan kualitatif.
Kiranya persoalan yang harus diuraikan dalam wacana pendekatan
metodologi dalam ilmu hukum, bukan saja perdebatan antara pendekatan
jurimeteri dan pendekatan kualitatif saja seperti yang sudah diuraikan di
atas. Persoalan lain yang tidak kalah besarnya adalah adanya beberapa
kubu pemikiran metodologis sebagai konsekuensi dari penafsiran
mengenai konsep hukum, seperti yang akan diuraikan di bawah ini.

Tipologi Penelitian limn Hnkum


Untuk dapat mengurai permasalahan yang muneul pada awal
tulisan ini, upaya pertama yang harus dilakukan adalah , membentangkan
kembali suatu peta mengenai apakah hukum illl , dan bagaimanakah
konsekuensi metodologisnya. Seperti diketahui tidaklah mungkin akan
didapat konsep dan pengenian yang tunggal mengenai hukum . Keragaman
pandangan dan konsep mengenai hukum, khususnya dalam kegiatan
i1miah, lahir sesuai dengan tunllltan kebutuhan dan kepentingan pada
jamannya. Dengan demikian perbedaan dalam menanggapi, memberi
makna dan interpretasi terhadap hukum, yang kemudian berdampak pad a
munculnya beberapa variasi dalam metode penelitian hukum adalah
sesuatu yang wajar. Pandangan-pandangan yang berbeda tersebut tidak
hanya saling mengkoreksi satu sarna lain, tetapi juga saling melengkapi.
Dengan demikian sesungguhnya kehadiran metode penelitian yang
bervariasi membuat ilmu hukum justru menjadi kaya .

April - Juni 2002


Metode Penelitian KualitatiJ Dalam Metodologi Penelitian I1mu Hukum 159

Upaya untuk memetakan pandangan-pandangan yang berbeda


mengenai hukum telah dilakukan, misalnya oleh Soetandyo
Wignjosoebroto (1974). Berdasarkan perbedaan mengenai konsep-konsep
dan penafsiran terhadap gejala hukum, bahan-bah an kajian dan
konsekuensi metodologisnya, beliau membuat tipologi penelitian hukum
dengan membaginya ke dalam dua golongan, yaitu penelitian hukum
normatif atau doktrinal, dan penelitian hukum empirik atau non-doktrinal.
Termasuk ke dalam penelitian hukum normatif atau doktrinal, adalah
pandangan yang mengkonsepkan hukum sebagai: (I) asas-asas moralitas
atau keadilan secara universal, (2) kaidah-kaidah positip yang berlaku
umum di wilayah tertentu in abstracto (hukum nasionallhukum negara),
dan (3) putusan-putusan hakim yang diciptakan in concreto. Selanjutnya
penelitian yang digolongkan sebagai penelitian hukum empirik atau non-
doktrinal adalah, pendekatan yang memandang hukum sebagai (\) institusi
sosial riil yang hidup dalam masyarakat, dan (2) makna-makna simbolik
yang dapat ditemukan dalam interaksi antar individu dalam masyarakat.
Dalam berbagai kesempatan Tapi Omas Ihromi J membagi
penelitian hukum tersebut dengan menerangkan konsep mengenai hukum
sebagai (1) kaidah atau norma, yang berisi perintah untuk berlaku tertentu
atau mengelakkan cara berlaku tertentu, (2) sebagai perilaku manusia yang
ditentukan oleh hukum. Dalam pandangan pertama hukum mengandung
suatu pemikiran, oleh karenanya berada dalam dunia idee, yang terdapat
dalam kesadaran manusia (das Sollen). Metode kajian untuk mempelajari
hukum dalam pengertian pertama ini, adalah dengan anal isis logika
(menguraikan dan menganalisis). Selanjutnya, hukum dalam pandangan
kedua, berada dalam dunia empirik, sehingga dapat diamati melalui
perilaku dan ditangkap sebagai fakta yang obyektif (das Sein), dengan
metode kajiannya yang bersifat menerangkan sebab akibat.
Dengan demikian hendaknya dipahami bahwa penelitian hukum
doktrinal maupun non-doktrinal adalah sama-sama merupakan upaya untuk
menemukan hukum yang hidup, meskipun dengan pendekatan yang
berbeda-beda. Upaya menemukan hukum (law in the books) dalam
penelitian hukum doktrinal, dilakukan dengan cara mempelajari bahan-
bahan utamanya berupa peraturan perundang-undangan, putusan lembaga
pengadilan (jurisprudensi), kasus-kasus hukum, dan pendapat para ahli

3 Disampaikan dalam berhagai perkuliahan Metode Penelitian Hukul1l dan penataran,


seperti Penataran Metode Penelitian Hukum yang diselenggarakan oleh FHUI, 20 - 31 Juli
1997.

Nomor 2 Tahun XXXII


160 Hukum dan Pembangunan

hukum. Dengan mengurai dokumen-dokumen hukum tersebut diharapkan


dapat dicapai hasil untuk tujuan praktis, berupa pemecahan masalah
hukum tertentu. Dalam hal ini juga dapat dicapai tujuan teoretik seperti
ditemukannya falsafah, asas-asas hukum, dan kerangka berpikir tentang
hukum yang mengatur suatu permasalahan tertentu. Sementara itu upaya
penelitian hukum empirik atau non-doktrinal dilakukan dengan cara
mengamati hukum yang sesungguhnya dianut oleh warga masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari atau sering dikenal s'ebagai law in action.

Kedudukan Pendekatan Socio-Legal dalam Penelitian IImu Hukum

Pentingnya penelitian non-doktrinal, atau pendekatan socio-Iegal


dalam studi hukum, berangkat dari adanya ketidakpuasan para ahli yang
menggunakan pendekatan doktrinal dalam kajiannya. Mereka merasa
bahwa banyak hal yang tidak terungkap dan tidak terjelaskan bila masalah
hukum hanya didekati secara juridis saja, terlebih lebih mengenai masalah
beroperasinya hukum dalam masyarakat.
Inti dari permasalahan di atas, antara lain, dapat diikuti dari
pembelaan socio-Iegal approach dalam perdebatannya dengan pandangan
legal positivism, seperti yang akan dikutipkan dari tulisan Roger Cotterrell
di bawah ini. Esensi dari pandangan legal positivism adalah tidak terlepas
dari pandangan dalam paradigma positivistik pada umumnya, yairu: "is a
philosophical position which asserts that scientific knowledge derives from
observation of the data of experience and not from speculation which
seeks to 'look behind' observed facts for ultimate causes, meanings or
essences" (Cotterrell , 1984: 10)
Pandangan positivistik dalam ilmu hukum berpendapat bahwa
hukum juga dapat diobse rvasi , karena hukum mengandung data, yaitu
yang terutama berupa aturan-aruran (rules). Selanjutnya pandangan
tersebut seperti yang diinterpretasi oleh Cotterrell mengatakan bahwa:
"These rules of law -possibly with some subsidiary legal phenomena -
constitute the law, the data which it is the lawyer's task to analyse and
"drder. In this sense law is a 'g iven' , -- part of the data of experience"
(Cotterrell, 1984" 10)
Namun karena adanya keterbatasan dari pendekatan legal
positivism dalam upayanya mengungkapkan hukum yang hidup,
muncullah ketidakpuasan terhadap pendekatan tersebut. Ketidakpuasan itu
terletak pada tidak dapat diungkapkannya dinamika dari gejala hukum:

April - Juni 2002


Melode Penelilian Kuali(Qli{ Dalam MelOdologi Penelilian lllllu Huklllll 161

To treat the data of law merely as legal rules may be a static (and
therefore inadequate) representation of a dynamic phenomenon: the
reality of regulation as the continually changing outcome of a complex
interaction of individuals and groups in society (Cotterrell. 1984: II)

Selanjutnya seperti dikatakan oleh Cotterrell, kelemahan lersebUl


disebabkan, pendekalan hukum positiv mengidentifikasi data hukum
sejauh mungkin tanpa meJihat ada apa di baJik aturan-aturan tersebul.
Sebagaimana diketahui aturan-aturan tersebut adalah produk tawar
menawar politik di lembaga legislatif, atau produk yang dihasilkan oleh
eksekutif, dan proses-proses mengenai bagaimana aturan-aluran lersebul
diciptakan. Pendekatan tersebut juga tidak memperhatikan bagaimana
perilaku-perilaku hukum dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakal. Apa
yang dianggap sebagai adil dan tidak adil. bijak dan lidak bijak. efisien
atau tidak efisien. signifikansi moral atau polilik dari suatu hukum tidak
dipandang sebagai esensial untuk dipahami. Hanya bila 'data hukum' lidak
jelas atau penerapannya dalam suatu kasus meragukan , maka barulah
unsur 'non-hukum' diperhatikan. Akhirnya bahkan dikatakan bahwa
pandangan positivistik seperti ini "cannot cope with the cnmplex
relationship between rules and discretionary powers of official s in legal
regulation in complex contemporary societies" (Cotterrell, 1984: II )
Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh metode penuekatan
yang biasa digunakan dalam penelitian ilmu antropologi hukum. sumu
spesiaJisasi yang berkembang dari kebutuhan para antropolog maupun
sarjana hukum. Sebagaimana diketahui berdasarkan tradisinya para
antropolog dikenal sebagai peneJiti yang terutama bekerja dengan melOde
peneJitian kuaJitatif. Pendekatan metodologi dalam antropologi hukum
tersebut adalah metode kasus sengketa, dan metode kasus non-sengketa.
beserta suatu metode yang dapat digunakan untuk dapat menggambarkan
setting sosial dari masyarakat yang diteJiti.

Metode Kasus Sengketa (trouble case method)


Salah seorang tokoh antropologi hukum Amerika, yailu Adamson
Hoebel berdasarkan identifikasi yang dilakukannya terhadap pemikiran
para ahli, mengemukakan adanya 'liga jalan raya' untuk dapat
menemukan hukum yang hidup, atau 'cara berhukum ' pad a masyarakat
(bersahaja). Pemikiran para ahli lersebut dikategorikan oleh Hoebel
sebagai: ideological approach, descriptive approach dan trouble case

Nomor 2 Tahun XXXII


162 Hukum dan Pembangunan

method. Oi antara ketiga pendekatan tersebut menurut Hoebel, metode


kasus sengketa adalah metode yang paling tepat untuk dapat
mengungkapkan hukum yang hidup, atau hukum yang sesungguhnya
dianut oleh masyarakat. Pandangan yang demikian ternyata banyak diikuti
bahkan sampai hari ini. Penjelasan mengenai ketiga pendekatan ini
disarikan dari apa yang telah dituliskan oleh Tapi Omas Ihromi (J 993) :
Ideological approach digunakan untuk mencari aturan-aturan yang
memuat pedoman mengenai cara berlaku dan yang mengawasi cara
berlaku itu. Pendekatan ini pada umumnya hampir sarna dengan yang
dilakukan oleh para ahIi hukum. Mereka menerima saja secara pas if
norma-norma ideal (tertuIis, Iisan) itu dan menganggapnya sebagai
benar-benar mencerminkan hukum. Padahal dalam interaksi sosial
tidak begitu kenyataannya. Ada 'hukum' yang dirumuskan secara agak
lain, atau bahkan benar-benar berbeda dengan standar umum itu.
Kelemahan pendekatan ini secara metodologis adalah peneliti tidak
mengadakan uj i coba melalui acuan terhadap kasus-kasus. apakah
norma ideal itu memang bertahan dalam situasi hidup yang nyata.
Apakah norma-norma ideal itu bekerja dalam kenyataan sehari-hari.
Memang merekam norma ideal itu penting, tetapi dalam kenyataan
ada saja tingkah laku yang jauh berbeda yagn menuruti norma-norma
yang berbeda dari yang sudah terumus.
Singkatnya, pendekatan ini hanya akan menghasilkan abstraksi
saja, kurang mempunyai makna, sehingga ibarat 'kerangka tanpa daging'.
Memang mudah mendapatkannya, tetapi hasil yang d idapatkan adalah cara
yang terlalu menggampangkan , artinya, hukum yang terungkap memang
kelihatan baik, dan kita lancar memperolehnya, tetapi terlalu banyak hal
pentig untuk pemahaman hukum yang tidak terungkap olehnya.
Pendekatan kedua, descriptive approach, banyak dipakai oleh para
antropolog pad a jamannya, seperti Ratray, Barton, dan Malinowski ,
dalam melakukan penel itian. Mereka berpendapat bahwa hukum bukan
hanya me lulu rumusan normatip , tetapi juga harus merekam bagaimana
sesungguhnya orang bertingkahlaku , atau menterjemahkan hukum dalam
perilakunya. Manusia dilukiskan secara bulat oleh Malinowski dengan
menggambarkan juga emosi dan rasionya , kepentingan ekonomi , sosial
dan politiknya. Ia tidak memusatkan perhatian kepada orang-orang yang
mengikuti hukum saja, tetapi juga bagaimana manusia menyesuaikan
hukum dengan perilakunya. Penyimpangan sama pentingnya dengan
kepatuhan dalam mengungkapkan pemahaman tentang hukum.

April - Juni 2002


Metode Penelilian Kuolitalif Dalam Metodologi Penelilian IImu Huklllll 163

Malinowski mengadakan penelitian pada masyarakat Trohiand


tentang perdagangan kula, dan yang ia lakukan adalah mendeskripsikan
secara detail pola-pola sosial, ekonomi, politik (holistik). Kelemahan
pendekatan deskriptif ini adalah, ia terlalu umum, masih belum dapa!
memberi pengertian tentang bagaimana hukum bekerja dalam real ita.
Kasus-kasus mengenai apa yang terjadi dan apa yang menjadi masalah
(sengketa) tidak diungkap secara detail.
Kelemahan dari kedua pendekatan di atas, dapat diatasi dengan
metode kasus sengketa, yang digunakan dengan cara mengkaji kasus-kasus
konflik , sengketa, sehingga diperoleh keterangan mengenai hukum apa
yang senyatanya berlaku. Kasus-kasus harus dianalisis untuk mengetahui
apa saja yang tersirat di dalamnya dan kemudian harus diperbandingkan
dengan kasus lain untuk l11endapatkan pola-pola umUI11. Bila ideological
approach bertitiktolak dari 'apakah hukul11 yang berlaku' saja. maka
metode kasus sengketa bertolak pada ' norma yang berlaku sebagai hasil
kajian'. Metode sengketa menu rut Hoebel merupakan metode yang paling
tepat untuk dapat mengungkapkan hukum yang hidup, karena hukum
berfokus pad a kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Hukum
bersemai di atas perselisihan dan berkembang sejalan dengan prospek
tentang adanya perselisihan.
Cara menggunakan metode kasus sengketa adalah dengan cara
mencari sebab-sebab perselisihan, siapa saja yang terlibat, kemudian
ditelusuri sejarahnya, bagaimana proses penyelesaiannya. dan baga imana
dampak dari hasil penyelesaian tersebut bagi masyarakat.

Metode Kasus Non-Sengketa (trobule-less case method)

Bila penganut metode kasus sengketa berpendapa! bahwa cara


yang paling tepat untuk menemukan hukum hanyalah melalui kasus-kasus
sengketa. maka penggagas metode kasus non-sengketa berpendapat bahwa
hukum juga dapat ditemukan dalam kasus-kasus biasa tanpa sengketa.
Kasus non-sengketa menawarkan data yang berlimpah-limpah, satuan-
satuan analisis yang tidak ternilai, yang dapat mengungkapkan prinsip-
prinsip dan keteraturan-keteraturan. Kasus non sengketa juga dapat
menghadirkan kekhususan-kekhususan yang nantinya dapat dibuat
generalisasi seperti kasus sengketa.
Menurut Holleman ada dua alasan mengapa metode kasus non-
sengketa harus mendapat perhatian yang sama dengan metode kasus

Nomor 2 Tahun XXXII


164 Hukum dan Pembangunan

sengketa secara analitis. Pertama, orang cenderung menghindari kontlik,


sehingga sulit untuk menemukan kasus sengketa dalam masyarakat. Dalam
hal tidak ditemukannya kasus sengketa di lapangan, orang dapat saja
menggunakan kasus hipotetik. Namun bila informan tidak memiliki
pengetahuan yang memadai mengenai hukum yang mengatur suatu
permasalahan yang diteliti, maka kasus hipotetik tidak ada gunanya .
Kedua, banyak transaksi hukum dilakukan dengan menghadirkan
pemegang otoritas loka!. Adapun tujuannya adalah sebagai peristiwa
penyaksian, dan indikasi adanya ketaatan secara sukarela terhadap hukum
karena terdukung secara otoritatif (gesteunde naleving) dan pemeliharaan
hukum preventif (preventieve rechtszorg) (Holleman, 1986)
Hal yang menjadi permasalahan adalah, bila kita berada dalam
lapangan non-sengketa, apakah dengan demikian dapat diungkap suatu
mata rantai interaksi sosial? Apakah substansi hukum yang hidup di
belakang perilaku masyarakat dapat diungkap? Aturan-aturan yang ada
dalam kegiatan sehari-hari, yang mendasari perilaku orang dalam
berinteraksi dengan orang lain, juga dapat mengungkapkan hukum yang
hidup. Dalam hal ini pengungkapan hukum yang hidup tidak hanya dari
keteraturan, tetapi juga dati kasus-kasus penyimpangan tethadapnya.

Seting Sosial Penelitian

Selanjutnya untuk kepetluan analisis, tetmasuk untuk dapat


menggambatkan seting sosial dati suatu penelitian, yaitu masyatakat atau
komunitas, maka masyatakat atau komunitas tetsebut dapat dipandang
sebagai tetsusun atas hetbagai semi-autonomous social field (selanjutnya
disingkat SASF), yang pengertiannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
The semi-autonomolls social field is defined and its boundaries
identified not by its organization (it may be a corporate group, may
be not), but by a processual characteristic, the fact that it can
generate rules and coerce or induce compliance to them. Thus an
arena in which a !lumber of corporate groups deal with each other
//lay be a semi-autonomous social field (Moore, 1983: 57)'

4 Sebagai seorang penganut pem.lekatan prosesual. dikatakan oleh Moore hahwa haws
SASF wrsehut tidak ditentukan secara jelas sepe ni sualu organisasi. mdainkan Ichi h
ditentukan olch karakter prost:!sualnya.

April - luni 2002


MelOde Penelilian Kualitali{ Dalam Melodologi Peneliliall /ln1ll HlIklllll 165

Masing-masing SASF mempunyai kapasitas untuk menc iptakan


aturan dan menerapkan sanksinya sendiri. Sanksi dalam pengertian ini
biasanya berupa sanksi sosial, seperti d ikueilkan dari pergaulan atau
dikueilkan dari akses kepada sumberdaya. Dengan demikian seorang
individu di dalam SASF tersebut menjadi bagian dari beberapa SASF
yang lain sekaligus. Sebagai eontoh: sebagai individu, kita adalah anggota
atau bagian dari suatu kelompok kekerabatan, perkumpulan organisasi
keagamaan, anggota dari organisasi sehubungan dengan pekerjaan,
organisasi profesi, organisasi politik, dan banyak lagi.
Aturan-aturan dari masing-masing SASF ini akan mempengaruhi
perilaku orang. Perilaku orang akan berubah-ubah tergantung dengan
siapa dia sedang berinteraksi. Perilaku seseorang terhadap sesamanya
yang berasal dari emis yang sama akan berbeda dengan orang lain dari
etnis yang lain, misalnya. Selanjutnya perilaku orang terseblll terhadap
reman seprofesinya akan berbeda dengan perilakunya terhadap orang lain
yang tidak sama profesinya, misalnya. Kemudian akan teljadi interaksi
yang intens antara SASF yang satu dengan SASF yang ain Illelalui para
individu yang menjadi bagian dari masing-masing SASF tersebut. Dengan
demikian akan terjadi saling pengaruh di antara berbagai SASF tersebllt
melalui para individunya. Perilaku para individu yang ditentukan ()Ieh
berbagai SASF. di mana ia berada itu selanjurnya akan Illenentukan
perkelllbangan SASF nya sendiri, dan seterusnya Illasyarakalilya. Dengan
demikian terjadi hubungan dua arah antara ind ividu dan kebudayannya.
Bukan hanya kebudayaan yang menentukan perilaku individu. tClapi
individu seeara berangsur-angsur juga dapat Illerubah kebudayaan.
Suatu SASF rentan terhadap pengaruh hllkulll dari luar. artinya,
aturan-aturan yang ada dalam suatu SASF tertentu sangat Illudah
dipengaruhi atau dimasuki oleh aturan dari SASF yang lain. terlllJllla
negara. Sistem hukum dari luar (dari SASF yang lain). yang masuk kc
dalam suatu SASF tertentu --yang masing- masing sudah mempunyai
sistem hukumnya sendiri - bisa l11enimbulkan berbaga i il11plikasi baik
secara budaya, sosial. ekonomi, l11aupun politik.
Seeara l11etodologis, SASF memberi eara (l11etode) yang lajam
untuk dapat menggambarkan seting sosial penelitian, di mana dalam
arena-arena tersebut seke lol11pok orang saling berinteraksi, dan dari proses
interaksi tersebut muneul aturan-aturan yang mereka eiptakan sendiri. dan
akan dimodifikasi. diubah, atau ditinggalkan sesuai dengan tunturan
kepentingan. Selanjutnya juga dapat dikenali bagailllana aturan-aturan dari

Nomor 2 Tahun XXXII


166 HukulIl dan Pembangunan

luar batas SASF yang lebih luas (negara), masuk dan memberi pengaruh
terhadap interaksi mereka.
Metode-metode yang biasa digunakan dalam lapangan antropologi
hukum ini sungguh memberikan sumbangan yang berharga dalam
penelitian ilmu hukum. Melalui metode-metode tersebut dapat ditemukan
hukum yang sesungguhnya beroperasi d i dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari berdasarkan hasil kajian kita. Sedangkan hukum yang
ditemukan berdasarkan peraturan perundangan, vonis hakim , dan sistem
normatif lainnya , karena baru sebatas pada das Sollen, belum bisa
menjawab hukum apa yang sesungguhnya dianut dalam masyarakat.

Contoh Penerapan Metode Penelitian Kualitatip dalam Studi Hllkllm

Berikut ini akan diuraikan suatu deskripsi yang memuat


pengalaman penelitian mengenai 'Strategi perempuan Batak Toba Untuk
Mendapatkan Akses Kepada Harta Waris Melalui Proses Penyelesaian
Sengketa"'- Oeskripsi ini berisi informasi mengenai subyek penelitian.
unit analisis. lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisis
data. Oi samping data lapangan, data yang saya butuhkan untuk dapat
me njawab berbagai pertanyaan penelitian yang sudah dirumuskan
terdahulu. adalah dokumen pengadilan, berupa vonis-vonis hakim dalam
masalah waris yang me libatkan janda dan anak perempuan Batak.
Saya membutuhkan dua jenis data lapangan. Pertama, kasus-kasus
sengketa waris yang berisi pengalaman perempuan (janda dan anak
perempuan). Kedua, pengetahuan atau data yang bisa memberikan
gambaran umum (seting) tentang orang Batak Toba di Jakarta , termasuk
juga bagaimana mereka memberi makna kepada kedudukan perempuan,
waris, nilai-nilai yang mereka hargai dalam hidup, dan sebagainya.
Untuk jenis data pertama, saya membutuhkan perempuan sebagai
subyek penelitian. Oalam mencari subyek penelitian, kriteria yang say a
gunakan adalah perempuan, baik yang berkedudukan sebagai janda
maupun anak perempuan, yang pernah atau sedang mengalami sengketa
'''waris, dan dalam hal ini saya tidak mempedulikan umur maupun golongan
sosial para perempuan itu.
Untuk jenis data kedua, kriteria subyek penelitian saya adalah
orang yang mempunyai cukup pengetahuan dan pengalaman karena

5 Diambil dari disertasi say.!.

April - JUlli 2002


Metode Penelilian Kualilali( Dalall! MelOdologi Peneiilianllll/ll Hllkllll/ 167

kedudukannya di masyarakat Batak atau masyarakat luas pad a umumnya,


seperti: orang yang dianggap sebagai Raja dalal11 komunitas ad at di kota,
atau orang Batak Toba yang pernah l11enduduki berbagai jabatan tinggi
atau profesi, Kebanyakan subyek penelitian untuk jenis data kedua ini
adalah laki-Iaki , atau kadang-kadang didampingi istrinya, Pengalaman
yang saya lihat. menunjukkan bahwa laki-Iaki Batak dalam mcmberikan
keterangan-keterangan pada umumnya tidak mau ditimpali oleh istrinya,
Istri pada ul11ul11nya dianggap tidak mempunyai pengetahuan yang sama
dengan dirinya, Atau istri dianggap mel11bocorkan hal-hal yang tabu untuk
diketahui orang lain, misa lnya rahasia keluarga, Padahal justru keterangan
yang diberikan secara sembunyi oleh istri-istri ini, menjadi data yang
berharga buat saya. Berdasarkan dua jenis data yang say" hutuhkan itu,
maka unit analisis dalam penelitian ini adalah individu dan peristiwa.
Data lapangan j e nis pertama yang berhasil saya dapatkan adalah 3
kasus sengketa waris berisi pengalaman perel11puan janda, dan 2 kasus
sengketa waris tentang pengalaman anak perempuan, Sementara itu saya
mendapatkan 10 lebih kasus dari suhyek penelitian untuk jenis data kedua
(gambaran umum), Selanjutnya dari penelusuran dokumen pengadilan say a
mendapatkan 2 kasus sengketa waris mengenai perempuan janda. dan 8
kasus sengketa waris mengenai anak perempuan. Dengan c1em ikian saya
mendapatkan 5 sengketa waris dari perempuan janda dan 10 seng keta
waris dari anak perempuan , dan berbagai informasi (Iehih dari 1() kaSUS)
mengenai gambaran umum orang Batak Toba di Jakarta.

Data Lapangan

Tidak sulit untuk menemukan orang Batak Toba di Jakarta. karena


mereka dapat dijumpai di mana saja, Nal11un menel11ukan perel11puan
Batak Toba yang pernah atau sedang mengalami sengketa waris, bukanlah
pekerjaan mudah. Kalaupun sudah bertel11u orang dengan kriteria yang
saya tentukan sebelumnya, belum tentu ia l11au bercerita karena se ngketa
biasanya melibatkan kerabat sendiri, dan dianggap l11alu l11enceritakan
"sengketa dengan saudara sendiri ", Namun pad a ul11umnya orang Batak
bersifat sangat terbuka kepada orang yang sudah dipercayainya. Bila
rapor sudah berkembang secara baik, tidak sukar untuk menanyakan
segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman subyek penelitian.
Upaya yang paling sukar pertama kali memang membangun rapor. Untuk
mengatasi hal tersebut, kadang-kadang saya menemui mereka dengan

Nomor 2 Tahun XXXII


168 Hukum dan Pembangunan

diantar oleh seorang ternan yang juga orang Batak Toba. Atau say a pergi
ke rumah subyek penelitian bersama seorang Pendeta dari gereja HKBP di
mana subyek menjadi anggota jemaat di situ. Kedatangan seseorang yang
sudah mereka kenaI menyebabkan munculnya kepercayaan, dan melicinkan
jalan untuk membangun rapor.
Karena sulitnya mencari kasus sengketa waris, maka saya tidak
membatasi diri pad a wilayah-wilayah tertentu di Jakarta. Subyek
penelitian saya tinggal berserakan di berbagai tempat di Jakarta, seperti di
Rawamangun, Utan Kayu , Pulo Mas, Grogol, Tebet, Kali Malang,
Ciputat , Narogong, Menteng, Matraman, Kayumanis, dan sekitarnya.
Bila rapor sudah tercapai , berkaitan dengan kasus-kasus sengketa,
maka biasanya perempuan-perempuan itu mulai menceritakan kronologi
sengketa, siapa-siapa yang terlibat dalam sengketa, bagaimana ll1ereka
mell1persepsikan dirinya sebagai perempuan dan kaitannya dengan dengan
orang-orang yang terlibat dalam sengketa itu, bagaimana para pihak yang
dihadapi bersikap terhadapnya , bagaill1ana dia sendiri bereaksi terhadap
sikap-sikap yang tidak bersahabat itu, upaya-upaya apa saja yang
dilakukannya guna untuk mendapatkan bagian dari harta yang
diperjuangkannya. darimana idee-idee untuk ll1elakukan upaya upaya itu .
siapa-siapa saja pihak yang membantunya, dan banyak lagi.
Mereka biasanya ll1enceritakan pengalall1an pahitnya dengan penuh
emosi, kadang-kadang menangis menyesali nasib, atau bahkan tertawa
mengingat kecerdikannya melawan pihak-pihak kerabat suamlllya.
Kadang-kadang mereka juga bertanya, apa yang harus dilakukan? Sebagai
seorang ternan, saya kadang-kadang juga memberi informasi bahwa bila
mereka mau, rnereka bisa mendapatkan bantu an atau nasihat hukum dari
lembaga-Iembaga bantuan hukum perempuan. Namun biasanya mereka
enggan berurusan dengan "orang lain" dalam berperkara, karena tidak
punya pengetahuan dan kenalan. Untuk membawa sengketa ke hadapan
komunitasnya secara terbukapun kadang-kadang mereka tidak mau, karena
lakut perselisihannya diketahui orang banyak , dan rnalu bila orang akan
mentertawakan sebagai perselisihan yang memperebutkan harta yang tidak
seberapa. Biasanya mereka sungguh-sungguh mengandalkan dirinya
sendiri , mengadakan resistensi berdasarkan kekuatannya sendiri. Padahal
yang ll1ereka hadapi biasanya adalah kerabat laki-Iaki , dan tak jarang yang
dihadapinya adalah seorang sarjana hukum , dan berada pada stratifikasi
sosial ekonomi yang lebih tinggi.
Saya ll1endatangi ll1ereka sebagai kenalan, teman, dan lidak
sebagai seorang peneliti yang dilengkapi dengan peralatan yang serba

April - funi 2002


MelOde Pelleliliall Kualitalif Dalam MelOdologi Pellelilian IImu Huklllll 169

eanggih. Beberapa di antara mereka tidak mau bila pereakapannya


direkam, bahkan untuk menulis di depan merekapun say a sangat berhati-
hati meminta ijin, karena itu akan mengganggu rapor yang sudah
dibangun. Dalam kondisi seperti itu saya meneatat hanya point-point
penting saja , pereakapan selebihnya saya ingat-ingat betu l di kepala.
begitu sampai di rumah saya segera meneatat di komputer. Untuk
meneatat diperlukan waktu yang sangat lama, bahkan jauh lebih lama
daripada pertemuan dengan subyek penelitian. Namun ada juga subyek
penelitian yang membolehkan saya meneatat dan merekam. dan bila hal
ini terjadi saya sungguh meneatat semua yang dikatakannya , dan ini
!l1emudahkan saya membuat eatatan di komputer.
Prim out dari komputer tidak dengan sendirinya membuat data
terklasifikasi seeara baik. meskipun eara saya menuliskan data tersebut
temu sudah melalui proses klasifikasi di kepala saya. Print out itu saya
edit dengan eara menggunting dan menempelkan di buku berdasarkan
klasifikasi tertentu. Setelah itu saya masih membutuhkan klasifikasi sekali
lagi, yaitu dengan eara mengambil kertas yang sangat lebar. dan meneatat
klasifikasi baru yang memudahkan say a menu lis kembali di komputer.
Dengan demikian barulah saya mendapatkan data sesuai dengan klasifikasi
yang say a butuhkan berdasarkan panduan teoretik.

Data Dokumen

Saya beruntung mendapatkan eukup banyak vonis pengadilan yang


berisi perkara waris di mana pihak yang berperkara adalah orang Batak.
Mula-mula yang ada di hadapan say a adalah begitu banyak bundel
kumpulan vonis mengenai berbagai hal. Dari situ saya mulai "menyisir"
mengidentifikasi vonis perkara adat, kemudian " memperkeeil " Iingkup
mengidentifikasi masalah waris yang melibatkan anak perempuan atan
janda. Pekerjaan selanjutnya adalah mengklasifikasi data berdasarkan
perkara waris anak perempuan dan janda.
Setelah saya dapatkan bahan-bahan yang saya butuhkan itu.
kesulitan baru mulai muneul, yaitu bagaimana membaeanya. Tidak jarang
vonis-vonis tersebut ditulis dengan kalimat - kalimat yang sukar diartikan.
Bahkan tidak jarang nama-nama pihak yang bersengketa ditulis secara
berlainan di vonis - vonis pengadilan yang berbeda. Atau jalannya
peristiwa sengketa ditulis tidak seeara sistematik sehingga sukar diketahui
hubungan antara para pihak yang bersengketa. Padahal say a harus

Nomar 2 Tahun XXXII


170 Hukum dan PembangUlwn

mengerti betul bahan terse but supaya dapat membuat rekonstruksi jalannya
sengketa, siapa-siapa saja pihak yang terlibat, bagaimana jalannya
perbantahan di persidangan, mengenai apa, dan sebagainya. Untuk itu
saya harus membaca suatu vonis berulangkali, bosan dan meninggalkannya
bila terlalu sukar untuk kemudian mengulangnya setelah beberapa waktu.
Bagaimanapun bersentuhan dengan bahan dokumen pengadilan merupakan
suatu pengalaman tersendiri bagi saya.
Setelah rekonstruksi perkara itu dapat dilakukan, hal selanjutnya
adalah mengidentifikasi pola-pola apa saja yang dapat dijumpai dari kasus-
kasus tersebut. Kadang-kadang ada data yang membuat saya tertegun.
penyelesaian perkara terse but memakan waktu yang sangat lama , ada yang
lebih dari 30 tahun , 25 tahun bahkan perempuan yang berperkara itu
sampai meninggal, sehingga suami atau keturunannya meneruskannya.
Saya membayangkan betapa beratnya penderitaan psikologis dan beban
keuangan yang harus dipikul oleh para pihak selama puluhan tahun
berperkara, dan menunggu keputusan dari sengketa yang tak kunjung datang.
Keuntungan mendapatkan bahan dokumen dari perkara-perkara
yang sudah puluhan tahun yang lalu terjadi itu, adalah pertama, dapat
menghubungkannya dengan kasus-kasus di lapangan yang hari ini terjadi.
Kedua, dapat melihat bagaimana perkembangan dan perubahan apa saja
yang terjadi dari suatu permasalahan (kedudukan perempuan Batak Toba
dalam hal waris). Menggabungkan antara data sejarah (arsip) dan
etnografi masa kini juga merupakan pengalaman tersendiri buat saya.

Kesimpulan

Tipologi penelitian hukum dapat dibuat berdasarkan penafsiran


terhadap konsep-konsep hukum, dan akan menghasilkan penelitian hukum
doktrinal (pendekatan juridis normatif) dan non-doktrinal (pendekatan
hukum empiris atau socio-legal approach) . Selanjutnya dalam penelitian
hukum empirik, dapat ditunjukkan adanya dua kubu pemikiran , yaitu
(ienelitian hukum positivistik (kuantitatif) , yang di antaranya diberi nama
sebagai jurimetri, dan di sisi yang lain adalah pendekatan kualitatif yang
tidak percaya bahwa gejala hukum dapat disimplifikasi ke dalalll variabel
dan pengukuran. Wacana perdebatan terjadi di antara para pendukung
masing-masing aliran dalam tipologi tersebut. Namun perdebatan tersebut
juga berimplikasi terhadap terjadinya kesalahpahaman yang dalalll tulisan
ini berusaha diluruskan. Pendekatan hukum empirik kuantitatif (terlllasuk

April - Juni 2002


Metode Penelilian Kualitali{ Dalam Metodologi Penelilian IImu Hukllll1 171

jurimetri) yang berkembang dalam ilmu hukum, dengan disertai


dampaknya itu , menyebabkan sebagian kalangan ilmu hukum terperangah
dan menyatakan secara salah alamat bahwa sarjana ilmu sosial telah
mencemari bidang hukum terlalu jauh. Padahal di kalangan ilmuwan
sosial pemerhati masalah hukum, juga dikembangkan pendekatan kualitatif
yang berbeda dengan pendekatan jurimetri. Mereka tidak percaya pada
pengukuran dan direduksinya gejala dan permasalahan hukum ke dalam
variabel-variabel. Dalam kondisi inilah para antropolog hukum khususnya,
telah mengembangkan berbagai metode dalam ranah kualitatif, seperti
yang dikemukakan di 'Has, yang dapat memberi solusi alternatif yang
lebih baik bagi penelitian hukum .

Daftar Pustaka

Cotterrell, Roger. 1984, The Sociology of Law. An Introduction. London :


Butterworths.
Friedman, Lawrence, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective.
New York: Russel Sage Foundation
Hartono, Sunaryati 1985, Kembali ke Metode Penelitian Hukum. Bandung:
FH Unpad.
Hoebel, Adamson, 1983, The Law of Primitive Man. A Study ill Comparative
Legal Dynamics. Cambridge: Harvard university Press. Cetakan ke
8, cetakan pertama 1954.
Holleman, JF, 1985, Trouble cases and trouble-less cases in the study of
customary law and legal reform, dalam Keebet von Benda-
Beckmann dan Fans Strijbosch (eds), Anthropology of Law in the
Netherlands. Dordrecht: Foris Publications
Ibrahim, R, 1995, Pengantar Penyadur dalam Moris L Cohen, Sinopsis
Penelitian lImu Hukum (terjemahan), Jakarta: PT Raja Gratindo Persada
Ihromi, Tapi Omas, 1993, Beberapa catatan mengenai metode kasus sengketa
yang digunakan dalam antropologi hukum, dalam Ihromi (ed),
Antropologi Hukllm Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor.
Irianto, Sulistyowati, 2000, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum
(Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba Untuk Mendapatkan

Nomor 2 Tahun XXXII


172 Hukum dan Pembangunan

Akses Kepada Harta Waris Melalui Proses Penyelesaian Sengketa).


Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Moore, Sally Falk, 1983 , Law and Social Change: The Autonomous
Social Field as an Appropriate Subject of Study dalam Sally Falk
Moore , Law as Proces: An Anthropological Approach. London:
Routledge & Kegan Paul.
Soemitro, Ronny Hanitijo 1994, Metode Penelitian Hukum dan lurimetri.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soetandyo Wignyosoebroto, 1974, "Penelitian Hukum Sebuah Tipologi" .
Majalah Mayarakat Indonesia, Tahun ke I No.2 I 974.

April - funi 2002

Anda mungkin juga menyukai