Anda di halaman 1dari 29

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Penyamakan Kulit

Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah bahan mentah

kulit (hides and skin) menjadi bahan kulit atau tersamak (leather) dengan

menggunakan bahan-bahan kimia yang mendukung proses penyamakan.

“Pengolahan kulit mentah menjadi bahan tersamak akan menyebabkan kulit tahan

terhadap pengaruh mikroorganisme, kimia dan fisik” (Fahidin dalam Aningrum,

S., 2006).

Dalam industri penyamakan kulit terdapat tiga proses yaitu proses

pengerjaan basah (Beam House), proses penyamakan (Tanning), dan penyelesaian

akhir (Finishing). Ketiga proses tersebut memiliki beberapa tahapan pengerjaan

dan setiap tahapan menggunakan air maupun bahan kimia (UPT, 2012). Berikut

penjelasan dari masing-masing proses:

2.1.1 Proses Pengerjaan Basah (Beam House)

Proses pengerjaan basah (Beam House) adalah proses awal yang dilakukan

dalam industri penyamakan kulit. Fungsi dari proses ini adalah mempersiapkan

kulit untuk dimasuki bahan penyamak, menghilangkan bagian-bagian kulit yang

tidak perlu, dan memperbesar pori kolagen sehingga bahan penyamak dapat

masuk. Pada proses ini terdiri dari empat tahapan yaitu perendaman (soaking),

pengapuran, pembelahan, pengasaman. Masing-masing tahapan akan dijelaskan

sebagai berikut:

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
8

Perendaman (soaking) berfungsi untuk mengembalikan kadar air yang

hilang selama proses pengeringan sebelumnya karena kulit basah lebih mudah

bereaksi dengan bahan kimia penyamak, membersihkan sisa kotoran, darah,

garam yang masih melekat pada kulit serta mengembalikan sifat kulit mentah

menjadi lemas dan lunak. Bahan kimia yang digunakan adalah air, teepol, dan

soda abu. Limbah dari perendaman ini adalah desinfektan dan kotoran-kotoran

dari kulit.

Gambar 2. 1 Proses Perendaman Kulit Mentah


Sumber: Dokumentasi pribadi

Tahapan selanjutnya adalah pengapuran yang dilakukan selama 24 jam.

Pengapuran adalah proses membengkakan kulit untuk melepas sisa daging,

menyabunkan lemak pada kulit, pembuangan sisik, pembuangan sisa daging,

menghilangkan epidermis, bulu, kelenjar keringat dan kelenjar lemak. Bahan

kimia yang digunakan yaitu air, natrium sulfida dan kapur. Tahapan ini dapat

dilihat seperti pada gambar 2.2 berikut ini:

Gambar 2.2 Proses Pengapuran


Sumber: Dokumentasi pribadi

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
9

Tahap ketiga dari proses pengerjaan basah adalah pembelahan

(Magnalitting). Fungsi dari tahap ini adalah untuk membelah kulit menjadi dua

bagian yang mana kulit atasan diperoleh dari penipisan kulit mentah

menggunakan mesin belah (Magnalitting Machine). Proses ini dapat dilihat pada

gambar 2. 3 berikut ini:

Gambar 2.3 Proses Pembelahan


Sumber: Dokumentasi pribadi

Proses pengasaman (Pickling) berfungsi untuk menghilangkan kapur,

menetralkan kulit dari suasana basa, menghindari pengerutan kulit, menghindari

timbulnya endapan kapur yang dilakukan pada pH 3-3,5 dimana kulit dalam

keadaan tidak bengkak. Bahan kimia yang digunakan adalah asam-asam organik

lemah seperti asam formiat dan asam laktat. Pengasaman dilakukan karena pada

proses pengapuran terdapat sisa-sisa kapur pada kulit. Ini akan mengganggu

proses penyamakan selanjutnya. Proses yang dimaksud yaitu:

a. Kapur akan bereaksi dengan zat penyamak menjadi kalsium tannat yang

berwarna agak gelap dan keras ketika kulit disamak nabati, akibatnya kulit

menjadi pecah.

b. Kapur akan bereaksi menimbulkan pengendapan krom hidroksida pada

kulit disamak krom. Pembuangan kapur dilakukan dengan menggunakan

asam atau garam asam, misalnya H2SO4, HCOOH, dan (NH4)2SO4.

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
10

Selain mengasamkan kulit, tahap pengasaman ini memiliki fungsi

menghilangkan noda hitam akibat proses sebelumnya, menghilangkan noda besi

yang diakibatkan oleh Na2S dan menghilangkan noda putih akibat pengendapan

CaCO3 yang menyebabkan cat dasar tidak merata. Pengasaman ini menghasilkan

kulit yang tahan terhadap serangga bakteri pembusuk.

2.1.2 Proses Penyamakan (Tanning)

Prinsip dari proses penyamakan adalah memasukkan zat penyamak ke

dalam jaringan serat kulit (kolagen). “Proses penyamakan bertujuan untuk

mengubah kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas mikroorganisme, kimia,

atau fisik menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh

tersebut” (Softwana, 2001). Jenis penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil

akhir yang diperoleh. Ada 3 jenis bahan penyamak yang dapat digunakan serta

pengaruh penggunaannya, yaitu:

1. Bahan penyamak dapat berasal dari bahan nabati (tumbuh-tumbuhan),

mineral, dan minyak. Bahan penyamak nabati dapat berasal dari kulit

akasia, manggis, buah pinang, gambir dan lain-lain. Penyamak nabati

(tannin) memberikan warna coklat muda atau kemerahan, bersifat agak

kaku tapi empuk dan kurang tahan terhadap panas.

2. Bahan penyamak mineral adalah garam-garam yang berasal dari

senyawa-senyawa yang mengandung logam-logam seperti aluminium,

zirkonium, dan kromium. Penyamakan krom menghasilkan kulit yang

lebih lembut/lemas, daya tarik tinggi dan lebih tahan terhadap panas

dan bakteri.

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
11

3. Bahan penyamak dari minyak dapat berasal dari minyak ikan hiu atau

ikan lainnya.

Proses penyamakan ini biasanya menggunakan bahan kimia seperti

cromosal B dan formalin. Proses penyamakan ini dapat dilihat seperti pada

gambar berikut ini:

Gambar 2.4. Proses Penyamakan


Sumber: Dokumentasi pribadi

Dari proses ini akan diperoleh kulit yang tersamak dengan logam krom.

Kulit ini ditumpuk selama 1-2 hari. Untuk menghilangkan kadar air yang masih

tersisa maka dilakukan pemerasan dengan mesin ataupun tangan. Selanjutnya

diatur ketebalan kulit agar rata dengan mesin ketam. Tahapan ini disebut

pengetaman (Shaving). Tahapan ini dapat dilihat seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.5. Proses Pengetaman


Sumber: Dokumentasi pribadi

Tahap pemucatan dilakukan dengan menggunakan asam-asam organik

yaitu kalsium hipoklorida dan sodium hidroksida, dengan tujuan:

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
12

a. Menghilangkan flek besi dari mesin ketam

b. Menurunkan pH kulit yang berarti memudakan warna kulit.

Setelah tahap pemucatan dilakukan tahap penetralan (Neutralizing).

Tahapan ini bertujuan agar tidak menggangu tahapan selanjutnya karena kulit

yang tersamak bersifat asam dengan pH 3-4. Bahan kimia yang digunakan adalah

garam alkali misalnya NaHCO3.

Selanjutnya, tahapan pengecatan dasar (Dyeing) berfungsi untuk

memberikan warna dasar pada kulit agar cat pada kulit tidak mudah pecah. Bahan

yang digunakan adalah air, cat dasar dan asam formiat. Tahapan ini dapat dilihat

seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.6. Proses Pengecetan Kulit


Sumber: Dokumentasi pribadi

Tahapan peminyakan menggunakan bahan berupa air, minyak sulphonasi

dan anti jamur. Fungsi dari proses ini antara lain:

1. Untuk pelumas serat-serat kulit agar kulit menjadi tahan tarik.

2. Membuat kulit terpisah satu dengan yang lainnya.

3. Kulit menjadi tahan air.

Untuk mencegah warna kulit gelap dan permukaan yang mudah pecah bila

ditekuk maka harus dilakukan pelumasan (Oiling). Hal ini dilakukan untuk

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
13

mencegah keluarnya bahan penyamak sebelum kulit menjadi kering. Pelumasan

ini menggunakan 1 bagian minyak paraffin, 1 bagian minyak sulfonir dan 3

bagian air.

Selanjunya kulit diperas dengan mesin atau tangan lalu dikeringkan agar

tidak terjadi reaksi kimia didalam kulit.

Gambar 2.7. Proses Pengeringan Kulit


Sumber: Dokumentasi pribadi

Setelah kulit kering, kulit akan diregang untuk memperoleh kulit yang

lebih lebar hingga mendekati batas kemulurannya. Peregangan ini biasanya

dilakukan dengan tangan ataupun mesin regang. Proses peregangan ini dapat

dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.8. Proses Peregangan Kulit


Sumber: Dokumentasi pribadi

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
14

2.1.3 Penyelesaian Akhir (Finishing)

Setelah dilakukan proses penyamakan maka kulit jadi yang diperoleh

dapat diperindah dengan pengkilapan, pewarnaan juga dilakukan penghalusan

permukaan kulit serta menutup cacat atau warna cat dasar yang tidak rata.

2.2 Limbah Industri Penyamakan Kulit

“Limbah industri penyamakan kulit terdiri dari limbah padatan, lumpur,

cair dan gas (bau)” (Aningrum, S., 2006). Limbah industri penyamakan kulit juga

ditentukan oleh penggunaan bahan bakunya baik kulit besar maupun kulit kecil,

bahan pembantu (obat-obat kimia) maupun penggunaan teknologi proses dan

tahan proses, kapasitas sampai kepada jenis produk yang dihasilkan. Sumber

utama limbah industri penyamakan kulit terdiri dari:

a. Bagian-bagian kulit yang harus dibuang seperti rambut, bulu, berbagai

protein dan minyak, sisa-sisa pengguntingan kulit, sisa spliting dan bahan-

bahan kimia yang digunakan pada proses penyamakan.

b. Kelebihan bahan-bahan kimia dari proses penyamakan. Limbah ini dapat

berupa campuran yang mengandung beberapa bahan kimia yang

digunakan dalam proses penyamakan.

Sifat dan karakteristik limbah cair penyamakan kulit menurut tahapannya dapat

dilihat pada Tabel 2.1

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
15

Tabel 2.1 Sifat dan Karakteristik limbah cair penyamakan kulit menurut
tahapannya
Input Proses Limbah

Kulit mentah kering, 200-1000% Perendaman Sisa daging, darah, bulu,


air, 1 g/l obat pembasah dan (Soaking) garam, mineral, debu dan
antiseptik (tepol, molescal) dan kotoran lain.
cysmolan.
Kulit yang sudah direndam 300- Buangan bulu Air yang berwarna putih
400% air, 6-10% kapur tohor (Unharing) dan kehijauan dan kotor
(Ca(OH2)), 3-6% natrium sulfida Pengapuran (liming) mengandung kalsium,
(Na2S). natrium sulfida dan albumin,
bulu, sisa daging dan lemak.
Kulit, 200-300% air, 0,75-1,5% Pembuangan kapur Nitrogen amonia
asam (H2SO4, KCOOH, (Deliming)
(NH4)2SO4, Dektal).
Kulit, 200-300% air hangat 35oC, Pengikisan protein Lemak
0,8-1,5% Oropon atau Enzylon (Batting)
Kulit, 80-100% air, 10-12% Pengasaman Protein, sisa garam sejumlah
garam dapur, 0,5-1% asam (Pickling) kecil mineral
(H2SO4, HCOOOH
Kromium Sulphat Basa Penyamakan krom Krom
(Chrome Tanning)
Sumber : Bapedal (2000)

2.3 Koagulasi

Prinsip dari proses koagulasi adalah mengurangi stabilitas partikel koloid

dengan cara meminimalkan gaya-gaya yang mengikat selanjutnya menurunkan

energi penghalang dan membentuk partikel menjadi flok-flok. Yang menjadi

pengaruh dari proses ini adalah karakterisasi larutan, jenis polutan, koagulan dan

mekanisme koagulasi yang terjadi.

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
16

Dalam koagulasi kimia terdapat dua cara untuk mengkoagulankan larutan


yaitu penambahan aluminium sulfat pada koagulasi kimia dan penambahan
aluminium pada elektrokoagulasi. Kedua cara ini memiliki pengaruh yang
berbeda. Penambahan aluminium sulfat pada koagulasi kimia akan membuat
air menjadi asam sedangkan penambahan aluminium pada elektrokoagulasi
yang tidak menyebabkan disosiasi pada anion garam didalam larutan akan
menyebabkan nilai pH relatif stabil dalam kisaran basa (Ogurveren dalam
Aldiani, 2008).

Gambar 2.9 Proses Pembentukan Flokulasi

Pada koagulasi kimia, bahan kimia yang ditambahkan sebagai koagulan

yang berbentuk garam akan mengalami disosiasi dalam larutan melalui hidrolisis

dari kation aluminium (dan berhubungan dengan anion larutan) yang diukur

dengan suasana larutan dan nilai pH.

2.4 Elektrokoagulasi

2.4.1 Metode Elektrokoagulasi

Salah satu metode yang sudah digunakan secara luas untuk pengolahan

limbah adalah elektrokoagulasi yang memiliki keunggulan diantaranya yaitu

merupakan metode yang sederhana, efisien, baik digunakan untuk menghilangkan

senyawa organik, tanpa penambahan zat kimia sehingga mengurangi

pembentukan residu (sludge), dan baik untuk menghilangkan padatan tersuspensi.

Proses elektrokoagulasi diduga dapat menjadi pilihan metode pengolahan limbah

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
17

radioaktif cair fase air alternatif mendampingi metode-metode pengolahan yang

lain yang telah dilaksanakan. Di Indonesia penerapan metode elektrokoagulasi

untuk pengolahan limbah belum banyak dilakukan, sehingga perlu dilakukan

pengkajian proses melalui percobaan-percobaan dan pengujian terhadap parameter

yang berpengaruh.

Elektrokoagulasi bukanlah teknologi baru, tetapi di Indonesia belum

memasyarakat dalam penerapannya. Proses ini sederhana dan mudah diterapkan

dengan kemampuan yang baik dalam menggumpalkan berbagai pengotor dan

polutan, baik bahan organik maupun anorganik. Mollah, M.Y.A., Schennach, R.,

J.R (2001) menyatakan bahwa “elektrokoagulasi adalah teknologi yang saat ini

berkembang secara efektif diaplikasikan untuk mengolah air limbah. Secara

umum keuntungan dari metode ini adalah efisiensi pemisahan yang lebih tinggi,

sederhana dan lebih ramah lingkungan”.

Proses elektrokoagulasi dapat dilakukan dengan sistem batch dan sistem

alir. Elektrokoagulasi sistem batch adalah proses elektrokoagulasi dalam wadah

yang tertutup tanpa aliran (gambar 2.10). Sedangkan elektrokoagulasi sistem flow

(alir) adalah proses elektrokoagulasi dalam wadah tertutup yang mana terjadi

aliran air/limbah (gambar 2.11). Dua sistem di atas dapat dilihat seperti pada

gambar 2.10 dan gambar 2.11 di bawah ini;

Gambar 2.10. Mekanisme Dalam Elektrokoagulasi (Ni’am, et.al, 2007)

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
18

Gambar 2.11. Proses Elektrokoagulasi Sistem Alir (Susetyaningsih, R., dkk, 2008)

Proses elektrokoagulasi menggunakan elektroda seperti aluminium

ataupun besi. Besi dan aluminium merupakan sacrificial electrode yang telah

berhasil dan efektif dalam penghilangan polutan. Sacrificial electrode adalah

elektroda yang berperan sebagai anoda dan katoda.

Menurut Putero, S. H, dkk (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi

proses elektrokoagulasi antara lain:

a. Kerapatan arus listrik

Kenaikan kerapatan arus akan mempercepat ion bermuatan membentuk

flok. Jumlah arus listrik yang mengalir berbanding lurus dengan bahan

yang dihasilkan selama proses.

b. Waktu

Menurut hukum Faraday, jumlah muatan yang mengalir selama proses

elektrolisis sebanding dengan jumlah waktu kontak yang digunakan.

c. Tegangan

Karena arus listrik yang menghasilkan perubahan kimia mengalir melalui

medium (logam atau elektrolit) disebabkan adanya beda potensial, karena

tahanan listrik pada medium lebih besar dari logam, maka yang perlu

diperhatikan adalah mediumnya dan batas antar logam dengan medium.

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
19

d. Kadar keasaman ( pH )

Karena pada proses elektrokoagulasi terjadi proses elektrolisis air yang

menghasilkan gas hidrogen dan ion hidroksida, dengan semakin lama

waktu kontak yang digunakan, maka semakin cepat juga pembentukan gas

hidrogen dan ion hidroksida, apabila ion hidroksida yang dihasilkan lebih

banyak maka akan menaikan pH dalam larutan. pH larutan juga

mempengaruhi kondisi spesies pada larutan dan kelarutan dari produk

yang dibentuk. pH larutan mempengaruhi keseluruhan efisiensi dan

efektifitas dari elektrokoagulasi. pH larutan dapat dengan mudah diubah.

pH optimal untuk menambah efektifitas proses elektrokoagulasi yang

terdapat dalam larutan berkisar antara nilai 6,5 sampai 7,5.

e. Ketebalan plat

Semakin tebal plat elektroda yang digunakan, daya tarik elektrostatiknya

dalam mereduksi dan mengoksidasi ion logam dalam larutan akan semakin

besar.

f. Jarak antar elektroda

Besarnya jarak antar elektroda mempengaruhi besarnya hambatan

elektrolit, semakin besar jaraknya semakin besar hambatannya, sehingga

semakin kecil arus yang mengalir.

Proses elektrokoagulasi dilakukan pada bejana elektrolisis yang di

dalamnya terdapat dua penghantar arus listrik searah yang disebut elektroda, yang

tercelup dalam larutan elektrolit:

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
20

Gambar 2.12. Interaksi dalam proses Elektrokoagulasi (Holt, 2001)

Apabila dalam suatu larutan elektrolit ditempatkan dua elektroda dan

dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia (gejala

dekomposisi elektrolit) yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima

elektron yang direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan

menyerahkan elektron yang dioksidasi, sehingga membentuk flok yang mampu

mengikat kontaminan dan partikel-partikel dalam limbah.

Ada beberapa macam interaksi spesies dalam larutan pada proses

elektrokoagulasi, yaitu:

1. Migrasi ke elektroda yang bermuatan berlawanan (electrophoresis) dan

penggabungan (aggreration) untuk membentuk senyawa netral.

2. Kation atau ion hidroksida (OH-) membentuk endapan dengan polutan.

3. Logam kation berinteraksi dengan OH- membentuk hidroksi, yang

mempunya sisi yang mengadsorbsi polutan (bridge coagulation).

4. Hidroksi membentuk struktur besar dan membersihkan polutan (sweep

coagulation)

5. Oksidasi polutan sehingga mengurangi toxicitasnya

6. Penghilangan melalui elektroflotasi dan adhesi gelembung udara

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
21

Gelembung-gelembung gas/udara yang dihasilkan pada proses

elektrokoagulasi menyebabkan kotoran-kotoran yang terbentuk akan terangkat ke

atas permukaan air. Kotoran-kotoran yang terbentuk disebut flok karena

ukurannya relatif kecil. Semakin banyak kotoran yang terangkat ke atas maka

ukurannya akan bertambah besar. Kemudian dilakukan proses pengendapan

setelah air mengalami elektrokoagulasi. Proses pengendapan ini berfungsi untuk

mengendapkan flok-flok yang terbentuk.

2.4.2 Keuntungan Elektrokoagulasi

Mollah dalam Fitrianti, S. P (2011) menjabarkan keuntungan dan kerugian dari

penggunaan elektrokoagulasi. Beberapa keuntungan dari proses elektrokoagulasi

adalah sebagai berikut:

1. Peralatan yang dibutuhkan sederhana dan mudah dioperasikan

2. Air limbah yang diolah dengan elektrokoagulasi menghasilkan efluen yang

jernih, tidak berwarna dan tidak berbau.

3. Lumpur yang dihasilkan elektrokoagulasi relatif stabil dan mudah

dipisahkan karena sebagian besar berasal dari oksida logam. Selain itu,

jumlah lumpur yang dihasilkan sedikit.

4. Flok yang terbentuk pada elektrokoagulasi memiliki kesamaan dengan

flok yang berasal dari koagulasi kimia. Perbedaannya adalah flok dari

elektrokoagulasi berukuran lebih besar dengan kandungan air yang sedikit,

lebih stabil dan mudah dipisahkan secara cepat dengan filtrasi.

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
22

5. Elektrokoagulasi menghasilkan efluen dengan kandungan TDS (Total

Dissolved Solid) lebih sedikit, sehingga mengurangi biaya recovery bila air

hasil pengolahan digunakan kembali.

6. Elektrokoagulasi dapat mengolah partikel koloid yang sangat kecil karena

penggunaan arus listrik menyebabkan proses koagulasi lebih mudah terjadi

dan lebih cepat.

7. Gelembung gas yang dihasilkan selama proses elektrolisis dan membawa

polutan yang diolah untuk naik ke permukaan (floatasi) tersebut mudah

terkonsentrasi, dikumpulkan dan dipisahkan.

8. Proses elektrokoagulasi tidak memerlukan penambahan bahan kimia,

sehingga tidak bermasalah dengan netralisasi kelebihan bahan kimia dan

kemungkinan tidak membutuhkan pengolahan lebih lanjut bila terjadi

penambahan senyawa kimia yang terlalu tinggi seperti pada penggunaan

bahan kimia (koagulasi kimia).

9. Perawatan reaktor elektrokoagulasi lebih mudah karena proses elektrolisis

yang terjadi cukup dikendalikan dari penggunaan listrik tanpa perlu

memindahkan bagian didalamnya.

2.4.3 Kerugian/Kekurangan Elektrokoagulasi

Sedangkan kerugian dari penggunaan elektrokoagulasi adalah:

1. Pada metode ini, elektroda yang digunakan harus diganti secara teratur.

2. Elektroda yang digunakan dapat larut sehingga dapat menyebabkan

terjadinya oksidasi.

3. Listrik yang digunakan besar sehingga pengoperasiannya mahal.

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
23

4. Efisiensi pengolahan dapat dipengaruhi oleh lapisan yang terbentuk pada

elektroda.

5. Diperlukan konduktivitas yang tinggi pada proses elektrokoagulasi dalam

mengolah air limbah.

6. Hidroksida seperti gelatin cenderung solubilize pada beberapa kasus.

2.5 Elektroda Aluminium Sebagai Sacrificial Elektrode

Holt dkk (2005) menyatakan “elektrokoagulasi berkaitan dengan

pemecahan larutan logam dari anoda dengan pembentukan secara spontan ion

hidroksil dan gas hidrogen pada katoda.” Elektrokoagulasi adalah teknologi air

dengan menggunakan proses elektrokimia dimana anoda akan melepaskan

koagulan aktif berupa ion Al3+ atau Fe3+ ke dalam larutan. Besi dan aluminium

merupakan sacrificial electrode yang telah berhasil dan efektif dalam

penghilangan polutan. Aluminium merupakan material yang mudah didapat dan

tidak berbahaya. Pada penelitian “Penggunaan Metode Elektrokoagulasi pada

Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit Menggunakan Aluminium

sebagai Sacrificial Electrode” dilakukan proses elektrokoagulasi dalam skala

laboratorium dengan reaktor batch (tanpa aliran) dan flow (alir) menggunakan

aluminium sebagai sacrificial electrode.

Aluminium memiliki keunggulan seperti memiliki daya hantar panas

listrik yang baik, ketahanan karat yang tinggi, tidak beracun, tidak magnetis,

merupakan reflektor (pemantul balik) yang baik untuk panas, cahaya, dan

gelombang-gelombang elektromagnetis. Bila aluminium digunakan sebagai

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
24

elektroda, beberapa kemungkinan reaksi yang terjadi dalam sistem elektrokimia

adalah sebagai berikut:

a) Reaksi pada Katoda

Pada katoda akan terjadi reaksi-reaksi reduksi terhadap kation, yang termasuk

dalam kation ini adalah ion H+ dan ion-ion logam.

1. Ion H+ dari suatu asam dalam larutan akan direduksi menjadi gas hidrogen

yang akan bebas sebagai gelembung-gelembung gas.

Reaksi : 2H+ + 2e H2

2. Jika larutan mengandung ion-ion logam alkali, alkali tanah, maka ion-ion ini

tidak dapat direduksi dari larutan. Oleh karena itu, yang akan mengalami

reduksi adalah pelarut (air) dan terbentuk gas hidrogen (H2) pada katoda.

Reaksi : 2H2O + 2e 2OH- + H2

Dari daftar Eo (deret potensial logam/deret volta) diketahui bahwa reduksi

terhadap air limbah lebih mudah berlangsung dari pada reduksi terhadap

pelarutnya (air). K, Ba, Ca, Na, Mg, Al, Zn, Cr, Fe, Cd, Co, Ni, Sn, Pb, Sb, Bi,

Cu, Hg, Ag, Pt, Au.

3. Ion-ion logam dalam larutan akan direduksi menjadi logamnya dan terdapat

pada batang katoda.

b) Reaksi pada Anoda

Pada anoda akan terjadi reaksi-reaksi oksidasi terhadap anion.

1.Anoda yang digunakan logam Aluminium akan teroksidasi:

Reaksi :

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
25

Anoda : Al + 3H2O Al(OH)3 + 3H- + 3e E0 = +1,66

Katoda : 2H2O(l) + 2e- H2(g) + 2OH-(aq) E0 = -0,8277


2H+(aq) + 2e- H2(g) E0 = 0,00
O2(g) + 4H+(aq) + 4e- 2H2O(l) E0 = +0,682
Berdasarkan harga E0, disusun suatu deret unsur-unsur yang disebut deret

potensial logam (deret Volta) mulai dari unsur yang memiliki E0 terkecil hingga

unsur yang memiliki E0 terbesar.

Secara umum, bila potensial suatu elektroda bergerak melewati titik


keseimbangannya (arus nol) ke potensial yang lebih negatif, zat yang akan
direduksi pertama adalah oksidator denga E0 paling positif. Sedangkan bila
potensial elektroda bergerak dari arus nol ke potensial yang lebih positif, zat
yang akan dioksida pertama adalah reduktor dengan E0 paling negatif
(Aldilani dalam Fitrianti, S. P, 2011).

Aluminium merupakan logam yang sering digunakan sebagai anoda dalam

proses elektrokoagulasi. Kation aluminium yang terlepas (tergantung pada kondisi

polutan, pH dan konsentrasi larutan) secara langsung akan berinteraksi dengan

polutan dan akan terjadi hidrolisa membentuk kompleks hidro-aluminium atau

juga terjadi presipitasi. Proses pembentukkan kation ini sangat penting untuk

memahami mekanisme elektrokoagulasi. Adapun reaksi yang terjadi pada

aluminium ketika terlepas ke larutan sebagai berikut:

Al3+(aq) + H2O(l) AlOH2+(aq) + H+(aq)

AlOH2+(aq) + H2O(l) AlOH2+(aq) + H+(aq)

Al(OH)2+(aq) + H2O(l) Al(OH)30(aq) + H+(aq)

Al(OH)30(aq) + H2O(l) AlOH4-(aq) + H+(aq)

Reaksi tersebut menggambarkan reaksi yang sederhana dari ion aluminum

dalam air karena setelah itu terjadi reaksi spontan yang menghasilkan dimeric,

trimeric dan polinuklir, digambarkan pada skema berikut:

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
26

Gambar 2.13 Reaksi Hidrolisa Ion Aluminium


(Letterman dalam Fitrianti, S. P, 2011 )

Pada awalnya, ion logam aluminium di dalam air akan mengikat enam

atom oksigen dari air disekelilingnya. Namun ikatan atom oksigen dan hidrogen

pada air yang relatif lemah menyebabkan ion H+ terlepas atau mengalami

deprotonasi seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 2.14 Deprotonasi Ion Aqua Aluminium


(Letterman dalam Aldiani, 2008)
Kemudian pada reaksi hidrolisa, ion Al3+ akan menghasilkan Al(H2O)63-,

Al(H2O)5OH2+, Al(H2O)4(OH)2+ dan selanjutnya produk hidrolisa menghasilkan

berbagai bentuk spesi monomer dan polimer, seperti Al(OH)2+, Al(OH)2+,

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
27

Al2(OH)24+, Al(OH)4-, Al6(OH)153+, Al7(OH)174+, Al8(OH)204+, Al13O4(OH)247+,

Al13(OH)345+ dimana spesi yang terbentuk tergantung pada nilai pH.

Dengan hanya memperhatikan pembentukkan mononuklir, jumlah

aluminium dalam larutan (α) dengan nilai pH pada larutan dapat digambarkan

dengan grafik pada Gambar 2.14. Pada diagram tersebut, distribusi yang ada

menggambarkan proses hidrolisis yang tergantung pada konsentrasi total dari

logam dan pH larutan. Sedangkan diagram distribusi Al-H2O untuk Mononuklir

dan diagram kelarutan dari aluminium hidroksida dapat dilihat dalam gambar 2.15

dan gambar 2.16.

Gambar 2. 15 Diagram Distribusi Al-H2O untuk Mononuklir (Holt,2002)

Gambar 2. 16 Diagram Kelarutan dari Aluminium Hidroksida (Holt,2002)


Batas kelarutan ditentukan oleh kesetimbangan termodinamika yang

terjadi antara kandungan aluminium yang dominan dalam larutan pada pH tertentu

dengan padatan aluminium hidroksida. Kelarutan minimum (0,003 mg Al/L)

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
28

terjadi pada nilai pH 6,3 dan nilai kelarutan bertambah ketika larutan menjadi

semakin asam atau basa.

Kation logam aktif yang dihasilkan pada anoda akan bereaksi dengan ion

hidroksida yang akan berfungsi sebagai agen koagulan. Ketika berinteraksi

dengan partikel polutan, logam hidroksida akan membentuk agregat yang

memungkinkan untuk mengalami pengendapan atau juga dapat terbawa oleh

gelembung gas hidrogen (yang dihasilkan di katoda) ke permukaan. Pada

penambahan koagulan, setiap presipitasi logam dari aluminium hidroksida

menyebabkan penghilangan polutan melalui mekanisme sweep coagulation,

skema dari sweep coagulation dapat dilihat dalam gambar berikut;

Gambar 2.17 Proses sweep coagulation (Duan dalam Fitrianti, S. P, 2011)

2.6 Reaktor Elektrokoagulasi

Reaktor elektrokoagulasi merupakan elektrokimia dengan sebuah anoda

dan sebuah katoda. Reaktor elektrokoagulasi dioperasikan secara kontinu, dengan

menggunakan lempengan aluminium sebagai anoda bermuatan positif sebagai

elektroda. Ketika dihubungkan dengan sumber listrik, material anoda mengalami

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
29

korosi sedangkan katoda menjadi pasif. Berikut ini skema reaktor

elektrokoagulasi:

Gambar 2.18 Skema reaktor elektrokoagulasi dengan pengoperasian kontinyu (Hudori dan P.
Soewondo, 2009)

2.7 Kromium

Dalam lingkungan hidup, kromium ditemukan dalam bentuk kromium

logam, bivalen, trivalen, dan heksavalen. Kromium logam memiliki massa jenis

sebesar 7,19 g/cm3 pada suhu 20oC, titik leleh sebesar 1875oC, titik didih sebesar

2658oC, dan tergolong logam yang mengkilap, keras serta tahan karat sehingga

sering digunakan sebagai pelindung logam lain.

Logam kromium larut dalam asam klorida encer atau pekat. Jika tidak

terkena udara, akan terbentuk ion-ion kromium (II) atau kromium bivalen.

Kromium bivalen termasuk senyawa pereduksi kuat. Dengan adanya oksigen dari

atmosfer, kromium sebagian atau seluruhnya menjadi teroksidasi ke dalam

trivalen. Dalam bentuk heksavalen, kromium terdapat sebagai CrO42- dan Cr2O72- ,

sedangkan bentuk trivalen terdapat sebagai Cr3+, [Cr(OH)]2+, [Cr(OH)2]+, dan

[Cr(OH)4]-. Kedua bentuk kromium tersebut mempunyai karakteristik kimiawi

yang sangat berbeda.

Senyawa kromium umumnya dapat berbentuk padatan (kristal CrO3,

Cr2O3) larutan dan gas (uap dikromat). Kromium dalam larutan biasanya

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
30

berbentuk trivalen (Cr3+) dan ion heksavalen (Cr6+). Dalam larutan yang bersifat

basa dengan pH 8 sampai 10 terjadi pengendapan Cr dalam bentuk Cr(OH)3.

Sebenarnya kromium dalam bentuk ion trivalen tidak begitu berbahaya

dibandingkan dengan bentuk heksavalen, akan tetapi apabila bertemu dengan

oksidator dan kondisinya memungkinkan untuk Cr3+ tersebut berubah menjadi

sama bahayanya dengan (Cr6+). Kromium heksavalen hampir semuanya berbentuk

senyawaan anionik, sangat larut dalam perairan dan relatif stabil meskipun

senyawaan ini merupakan agen pengoksidasi yang kuat di dalam larutan asam.

2.8 Dampak Kromium Terhadap Kesehatan

Kromium memiliki daya racun yang tinggi. Logam atau persenyawaan

kromium yang masuk ke dalam tubuh dapat berinteraksi dengan bermacam-

macam unsur fisiologis dalam tubuh sehingga mengganggu metabolisme dalam

tubuh. Dampak kelebihan kromium pada tubuh akan terjadi pada kulit, saluran

pernafasan, ginjal dan hati. Pengaruh terhadap saluran pernafasan yaitu iritasi

paru-paru akibat menghirup debu kromium dalam jangka panjang dan mempunyai

efek juga terhadap iritasi kronis, polyp, tracheobronchitis dan pharingitis kronis.

Reaksi asma lebih sering terjadi akibat Cr (VI) daripada Cr (III). Pada pekerja

chrome-plating plants dan penyamakan kulit sering terjadi kasus pada mucosa

hidung. Krom heksavalen (Cr6+) dari buangan industri penyamakan kulit biasanya

terdapat dalam bentuk kromat (CrO4). Keracunan kromat ini dapat menimbulkan

iritasi pada kulit, terakumulasi dalam hati, dan keracunan sistemik.

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
31

2.9 Penelitian yang Terkait

2.9.1 Penelitian oleh Retno Susetyaningsih, dkk (2008)

Pada penelitian yang dilakukan Retno Susetyaningsih, dkk, pengolahan

limbah cair industri tekstil dengan teknik elektrokoagulasi (EC) menggunakan

teknik flow (alir). Sampel yang diuji diambil dari limbah radioaktif cair simulasi

yang mengandung kontaminan logam Pb. Dalam penelitian ini diharapkan dapat

diperoleh data teknis yang berupa data awal unjuk kerja tentang proses

elektrokoagulasi yang dapat diterapkan untuk kebutuhan pengolahan limbah

radioaktif serta dapat diaplikasikan pada industri kimia. Variabel yang dicoba

adalah kuat arus dan waktu operasi dan sebagai uji kualitas proses digunakan

pembanding standar nilai baku yang ditetapkan untuk limbah cair industri kimia

sesuai dengan surat keputusan Kepala BAPEDAL No 03/BAPEDAL/04/1995 dan

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 281/

KPTS/1998 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri Di Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu kadar maksimum yang diperbolehkan untuk

unsur timbal sebesar 0,30 mg/l serta untuk TSS sebesar 50 mg/l.

Alat yang digunakan adalah perangkat elektrokoagulasi hasil rekayasa

dengan debit 1,5 liter/menit, dan untuk analisis Pb digunakan perangkat AAS.

Sedangkan penentuan kadar zat padat terlarut (TSS) digunakan metode

gravimetri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa reduksi kadar Pb dalam limbah

terbesar dicapai pada kuat arus (I) 5,0 Ampere dan waktu kontak 120 menit. Pada

kondisi ini kadar Pb dalam filtrat sebesar 0,184 ppm dengan nilai efisiensi

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
32

elektrokoagulasi sebesar 99,16 %. Penurunan kadar Pb dalam limbah dipengaruhi

oleh kuat arus dan waktu kontak selama proses elektrokoagulasi.

2.9.2 Penelitian oleh Andik Yulianto, dkk (2009)

Andik Yulianto, dkk telah melakukan penelitian tentang pengolahan

limbah cair industri batik dengan teknik elektrokoagulasi (EC) menggunakan

teknik batch. Parameter yang diuji adalah bahan organik dalam bentuk Chemical

Oxigen Demand (COD), warna, TSS, dan minyak-lemak. Elektrokoagulasi

merupakan suatu proses koagulasi kontinyu menggunakan arus listrik searah

melalui peristiwa elektrokimia, yaitu gejala dekomposisi elektrolit, yang salah

satu elektrodanya terbuat dari aluminium. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh kuat arus, jarak elektroda dan waktu kontak pada metode

elektrokagulasi terhadap kadar COD, warna, TSS dan minyak lemak secara

elektrokoagulasi.

Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan bak elektrokoagulasi

dibuat dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 30 cm. Bak ini

terbuat dari kaca dengan tebal 0,5 cm. Elektrokoagulasi ini menggunakan 3 buah

lempengan Stainless Steel sebagai anoda bermuatan positif dan 3 buah lempengan

aluminium sebagai katoda yang bermuatan negatif sebagai elektroda dan masing-

masing berukuran lebar 6 cm, panjang 10 cm dan tebal 8 mm. Katoda dialiri arus

listrik searah dan disusun secara pararel. Penelitian ini mengolah limbah cair batik

di dalam reaktor dan dialiri listrik supaya ion-ion yang ada pada limbah cair batik

teradsorbsi oleh ion-ion pengikat yang dilepaskan oleh elektroda pada alat

elektrokoagulasi sehingga akan terjadi ikatan antara ion senyawa organik yang

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
33

ada pada limbah cair batik dengan ion yang disebabkan oleh proses

elektrokoagulasi. Sampel diambil dari limbah asli yang berasal dari tampungan

hasil proses pembatikan pada salah satu industri batik di Yogyakarta. Parameter

yang diuji adalah bahan organik dalam bentuk Chemical Oxigen Demand (COD),

warna, TSS, dan minyak-lemak. Pemeriksaan COD menggunakan metode refluks

tertutup secara spektrofotometri mengacu pada SNI 06-6989.2-2004. Sedangkan

analisa parameter TSS menggunakan metode gravimetri dengan mengacu pada

Air SK SNI M-03-1989-F Standard 2 Metode Pengujian Kualitas Fisika. Untuk

pengujian warna mengacu pada SNI M-03-1989-F secara spektrofotometri, dan

analisa parameter minyak lemak menggunakan metode gravimetri, yang mengacu

SK SNI M-68-19990-03.

Berdasarkan hasil laboratorium, setelah dilakukan analisa menunjukkan

adanya penurunan konsentrasi COD yang tidak signifikan dengan presentase

tertinggi mencapai 29,75 % terjadi pada menit ke 60, kuat arus 25 Volt, dengan

jarak elektroda 3 cm, dimana limbah cair batik dalam suasana basa serta rata-rata

pH pada waktu penelitian sebesar 10. Penurunan konsentrasi warna maksimum

adalah 64,46% pada menit ke 30, 12 Volt, jarak elektroda 1,5 cm. Dan kadar

konsentrasi minyak-lemak yang paling kecil ditunjukkan pada percobaan dengan

menggunakan tegangan 25 volt dengan jarak elektroda 1,5 cm sebesar 8 ppm dari

konsentrasi minyak lemak awal 66 ppm. Kemudian penurunan konsentrasi TSS

terbesar pada kuat arus 1 Ampere terjadi pada saat menggunakan tegangan 25 volt

dengan jarak elektroda 1,5 cm yaitu sebesar 77%. Penurunan COD, warna, TSS,

dan minyak-lemak dipengaruhi oleh waktu kontak, kuat arus dan jarak antar

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
34

elektroda yang digunakan pada saat melakukan pengolahan limbah cair batik

dengan menggunakan elektrokoagulasi.

2.9.3 Penelitian oleh Sunardi (2007)

Sunardi telah melakukan penelitian mengenai penggunaan

elektrokoagulasi sebagai metode alternatif untuk pengolahan limbah radioaktif.

Pengolahan kimia pada pengolahan limbah radioaktif cair fase air biasanya hanya

mampu mengatasi persoalan limbah dengan karakteristik tertentu, sehingga

beningan over flow biasanya masih mengandung sedikit logam berat dan zat padat

terlarut yang belum dapat dibuang ke lingkungan. Proses elektrokoagulasi diduga

dapat menjadi pilihan metode pengolahan limbah radioaktif cair fase air alternatif

mendampingi metode-metode pengolahan yang lain yang telah dilaksanakan.

Proses elektrokoagulasi disusun meliputi proses equalisasi, elektrokimia,

sedimentasi dan proses filtrasi.

Pada penelitian ini digunakan limbah cair B3 yang mengandung

kontaminan logam berat (Pb, Cd dan TSS). Sunardi berharap data teknis tentang

proses elektrokoagulasi yang dapat diterapkan untuk kebutuhan pengolahan

limbah radioaktif serta dapat diaplikasikan pada industri kimia. Variabel yang

dicoba adalah tegangan listrik dan kecepatan aliran dan sebagai standarnya

disesuaikan dengan surat keputusan Kep. Kepala BAPEDAL No

03/BAPEDAL/04/1995 tentang baku mutu limbah cair yaitu memiliki kadar

maksimum yang diijinkan untuk Pb 0,15 ppm, Cd 0,05 ppm dan nilai TSS sebesar

100 ppm.

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
35

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kadar logam berat (Pb, Cd dan

TSS) dalam limbah terbesar dicapai pada tegangan 12 volt (V) dengan kadar

logam berat dalam filtrat Pb sebesar 0,034 ppm, Cd 0,037 ppm dan TSS 24,905

ppm sehingga efisiensinya adalah Pb 99,479 %, Cd 98,129 % dan TSS 92,884 %.

Sedangkan nilai efisiensi elektrokoagulasi terbesar dicapai pada kecepatan alir

6,720 mL/dtk dengan nilai efisiensi elektrokoagulasi Pb sebesar 99,845 %, Cd

sebesar 98,938 % dan TSS sebesar 95,004 %. Penurunan dari ketiga kadar logam

berat ini dipengaruhi oleh tegangan listrik dan kecepatan alir.

Elfrida Siring-Ringo, 2012


Menggunakan Metode Elektrokoagulasi Pada Pengolahan Limbah Industri Penyamakan Kulit
Menggunakan Alumunium Sebagai Sacrificial Elektrode
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Anda mungkin juga menyukai