PENDAHULUAN
1
integrasinya dngan menggunakan pendekatan normatif teologis, historis dan
filosofis.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Dari definisi Islamisasi pengetahuan diatas, ada beberapa model Islamisasi
pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap era globlisasi, antara lain:
model purifikasi, model moderenisasi Islam, dan model neo-moderenisme.
Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian ilmu pengetahuan agar
sesuai dengan nilai dan norma Islam.
Model moderenisasi Islam ini berangkat dari kepedulian terhadap
keterbelakangan umat islam di dunia kini, yang disebabkan oleh kepicikan
berpikir, kebodohan, dan keterpurukan dalam memahami ajaran agamanya,
sehingga system pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal
jauh dibelakang non-Muslim (Barat).
Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan
nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan
mempertimbangkan khaznah intelektual Muslim klasik serta mencermati
kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia iptek.
Landasasan metodologis Islamisasi pengetahuan model ini, menurut Saiful
Muzani (1993) adalah sebagai berikut:pertamporera, persoalan-persoalan
kontemporer umat islam harus dicari penjelasannya dari tradisi dan hasil ijtihad
para ulama yang merupakan hasil interpretasi terhadap Al-Quran. Kedua, bila
dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kondisi kontemporer,
harus menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat Al-Quran yang menjadi
landasan ijtihad para ulama tersebut. ketiga, melalui telaah historis akan terungkap
pesan moral Al-Quran. Keempat, setelah itu baru menelaahnya dalam konteks
umat Islam dewasa ini dengan bantuan hasil-hasil studi yang cermat dari ilmu
pengetahuan atas persoalan yang bersifat eavaluatif dan legiminatif sehingga
memberikan pendasaran dan arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi.
Dari berbagai pengertian dan model Islamisasi pengetahuan diatas dapat
disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali
semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui
kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis
dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-Quran dan sunnah Nabi, sehingga
umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketertinggalannya dari umat lain,
khususnya Barat.
4
2.2 Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Ilmu
Berbeda dengan Barat, bagi dunia Islam dikotomi bisa mengandung
bahaya. Pandangan dikotomi dapat mengancam realisasi Islam dalam ke hidupan
pribadi dan kebersamaan bermasyarakat, bahkan dikhawatirkan mendistorsi
syari’ah. Akibat yang dirasakan di dalam masyarakat ilmu, seni, dan teknologi
adalah menjadi wajarnya pendapat yang berpendirian ilmu, seni, dan teknologi
adalah bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu berkembang tanpa arah yang jelas dari
perspektif kesejahteraan umat manusia.
Di negara-negara maju (Barat), para ilmuwan seperti berlomba
mengembangkan sains dan teknologi yang mempunyai potensi destruktif sangat
tinggi bukan saja terhadap komunitas lain, melainkan juga terhadap komunitasnya
sendiri. Bisa dibayangkan jika saja beberapa negara maju terlibat perang dengan
menggunakan kemampuan senjata dan rudal andalannya, hampir bisa dipastikan
dunia ini akan hancur.
Bila dikotomi ilmu berkembang di dunia Islam, maka di antara akibatnya
adalah tersosialisasikan adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan
agama. Pengetahuan umum di samping pengetahuan yang mencakup berbagai
disiplin dan bidang kehidupan manusia secara kompleks dan plural, juga
dimaksudkan sebagai ilmu yang tidak ada kaitan sama sekali dengan agama.
Sedangkan ilmu pengetahuan agama dimaksudkan sebagai ilmu pengetahuan yang
terbatas bahasannya pada persoalan-persoalan akidah, ibadah, dan akhlak semata.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan agama adalah ilmu pengetahuan yang
wilayah bahasannya terbatas pada keimanan, ritual, dan ethik.
Selanjutnya Umat Islam akan mengalami salah paham terhadap Islam
sendiri. Agama Islam yang seharusnya memiliki ajaran yang universal, ternyata
disalahpahami, sehingga dianggap hanya memiliki ruang gerak pranata kehidupan
yang sempit sekali. Oleh karena itu, pembagian pengetahuan yang bersifat
dikotomis itu, tentu tidak diterima oleh Islam, karena berlawanan dengan
kandungan ajaran Islam sendiri. Jika ini terjadi terus-menerus, maka akan menjadi
malapetaka bagi masa depan umat dan peradaban Islam, sehingga harus ada usaha
keras untuk meluruskannya dalam perspektif Islam.
5
2.3 Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu-Ilmu Agama Islam dan Ilmu-
Ilmu Umum
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu
pengetahuan) dewasa ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual
muslim, antara lain Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi (1984: ix-xii),
tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pergumulan dunia global yang sarat
dengan kemajuan ilmu teknologi.
Potensi keyakinan terhadap sistem Islam yang bisa mengungguli sistem
ilmu pengetahuan Barat yang tengah mengalami krisis identitas inilah yang
kemudian memberikan kesadaran baru kepada umat islam untuk melakukan upaya
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9,
meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H/890 M)
gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil
penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi
penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Tak peduli dari saluran mana
saja, manusia – pencari ilmu pengetahuan – mendapatkan ilmu itu (osman Bakar,
1998:61-2). Dengan demikian, gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan
atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran Al-Quran dan Hadist.
Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan Islam
direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan
dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional yang
lebih banyak memuat pelajaran umum (Arman Arief, tt:iii). Tidak beda jauh
dengan gagasan yang dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya
menyatukan dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga
pendidikan tinggi Islam.
Setidaknya ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini.
Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum.
Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum
dan kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya
6
integralisme dan integrasi keilmuan Islam Islam dan umum, sampai
kapanpun akan tetap menyisakan dikotomi keilmuan.
Berbagai dikotomi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum
pada kenyataanya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi
sebagaimana dilakukan Abduh dan Ahmad Khan atau Mukti Ali dan Harun
Nasution, amak Ismail Raji Al-Faruqi dan Naquib Al-Attas melakukan pendekatan
berbeda dalam rangka Islamisasi pengetahuan (integrasi keilmuan), yakni dengan
pendekatan purifikasi atau penyucian.
Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat
Islam ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal
sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan
ilmu-ilmu umum juga disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia
Islam sejak abad ke-18 hingga abad ke-19, dimana negara-negara Islam tidak
mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan
peradabannya.
Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negatif terhadap kemajuan
Islam. Menurut Ikhrom (2001: 87-89), setidaknya ada empat masalah akibat
dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; dimana
selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah
mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak
tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan
mereka; sementara itu modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan
kurikulum pendidikan umum kedalam lembaga tersebut telah mengubah
citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut.
Kedua, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran
Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan
dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum
(Kuntowijoyo, 1991: 352).
Ketiga, terjadinya didintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-
masing sistem: (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh
mempertahankan kediriannya.
7
Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal
ini disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataanya
kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moraltelah dijadikan tolak ukur
kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa kita.
Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman
yang sangat dominan terhadap pandangan non-muslim, khususnya pandangan
ilmuwan Barat sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas
ajaran agamanya.
8
keislaman, juga dikembangkan integrasi-interkoneksi ilmu-ilmu keislaman dengan
ilmu umum. Diantara ilmu umum dan ilmu keislaman menyadari akan
keterbatasan pada masing-masing ilmu. Oleh karena itu perlu adanya dialog
diantara keduanya, kerjasama, guna melengkapi kekurangan pada masing-masing
ilmu jika masing-masing berdiri sendiri. Paradigma integrasi-interkoneksi ini
diharapakan mampu mendialogkan segitiga keilmuan UIN Sunan Kalijaga yang
dikenal dengan sudut hadarah al-nas, hadarah al-‘ilm, dan hadarah al-falsafah.
Sehingga semua matakuliah yang disampaikan dan dikembangkan di UIN Sunan
Kalijaga harus mencerminkan sebuah keilmuan yang terpadu. Saling menunjang
diantara ketiga entitas keilmuan yang ada (pengembangan keilmuan tidak secara
dikotomis). Selain itu, integrasi-interkoneksi diharapkan mampu menjadi solusi
dari berbagai krisis yang melanda manusia dan alam dewasa ini sebagai akibat
dari ketidakpedulian suatu ilmu terhadap ilmu yang lain.
c. Landasan Integrasi-Interkoneksi
Ada beberapa landasan dalam membangun integrasi-interkoneksi,
diantaranya, normative-teologis, filosofis, kultural, sosiologis, psikologis, historis.
Landasan Normatif-teologis
Cara memahami sesauatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini
berasal dari Tuhan. Bersifat mutlak. Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak
membedakan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum (sains-
teknologi dan sosial humaniora)
Landasan filosofis
Perpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum diharapkan mampu
memahami kompleksitas kehidupan manusia
Landasan cultural
Pendidikan tidak boleh mengabaikan budaya (potensi) local. Jika budaya
atau potensi local tidak dijadikan basis pengembangan keilmuan maka
akan terjadi proses elitism ilmu, sehingga ilmu menjadi kurang berfungsi
dalam kehidupan nyata.
Landasan sosiologis
Landasan sosiologis ini muncul karena adanya anggapan lulusan
Universitas Islam atau UIN Sunan Kalijaga kurang mampu menyelesaikan
9
masalah masyarakat. Dengan paradigma integrasi interkoneksi para
lulusan Universitas Islam atau UIN Sunan Kalijaga mampu menyelesaikan
masalah masyarakat
Landasan psikologi
Adanya pembacaan parsial dapat menyebabkan perpecahan kepribadian,
oleh karena itu adanya landasan Psikologis diharapkan mengubah menjadi
pembacaan secara terpadu dan menyeluruh memperkuat kepribadian.
Landasan historis
Pada abad modern tekanan dari ilmu-ilmu agama muolai berkurang,
bahkan hampir tidak ada. Ilmu umum mampu berkembang pesat, namun
mengabaikan norma-norma agama dan etika kemanusiaan. Diharapkan
hubungan ilmu agama dan ilmu umum meningkat, dari kompak menjadi
sejahtera dan mencapai puncak lestari.
10
ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan
Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari
segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya.
Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil
Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-
Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya,
sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-
lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan
sebagainya
Ilmu Akhlaq
Ilmu akhlak adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia
agar mempunyai adab dan sopan santun dalam pergaulan baik pergaulan
sesama manusia maupun dengan Sang Pencipta. Kita dibina untuk
mengetahui peraturan dan prosedur yang sesuai agar tidak bertindak
sesuka hati. Bila kita mampu mengimplementasikan ilmu ini maka
pergaulan akan menjadi indah dan sangat disayang baik oleh manusia,
hewan maupun Sang Pencipta seperti akhlak Nabi Muhammad SAW. Nabi
sendiri diutus, yang pertama tugasnya adalah memperbaiki akhlak manusia
yang saat itu semua menjurus akhlak Jahiliyah.
Kitab : Akhlaqul Libanin
Ilmu Hadits
Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan
Ulumul Hadits yang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’.
Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti
ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa
arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan
banyak. Kitab : Fathul Bari, Subulus Salam, Bulughul Maram dll
Ilmu Ushul Fiqih
kata ushul fiqh adalah kata ganda yang berasal dari kata “ushul” dan
“fiqh” yang secara etimologi mempunyai arti “faham yang mendalam”.
Sedangkan ushul fiqh dalam definisinya secara termologi adalah ilmu
11
tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum-
hukum syara’ dari dalil-dalinya yang terperinci. Kitab : Al-Ushul min Ilmil
Ushul
Ilmu Fiqih
Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan
dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh
atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath
(mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul
Fiqih”.
Kitab : Kifayatul Akhyar, Safinatun Najah
Ilmu Faraidh
Faroidh adalah bentuk kata jamak dari kata faridhoh. Sedangkan Faridhoh
diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Ilmu Faraidh
merupakan bagian dari Ilmu Fiqih yaitu Ilmu yang Membahas hukum-
hukum waris dan ketentua-ketentuan serta pembagian-pembagiannya.
Kitab : Matan Ar-Rahbiyah
Ilmu Tajwid
Pengertian Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah
sesuatu.Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan
tentang kaidah serta cara-cara membaca Al-Quran dengan sebaik-baiknya.
Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan Al-Quran dari kesalahan
dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca.
Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardlu kifayah, sedang membaca Al-
Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardlu ‘Ain.
Kitab : Tuhfatul Athfal, Hidayatul Mustafid dll
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.
2. Islamisasi adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya
adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek
lainnya.
3. Paradigma integrasi ilmu berarti cara pandang tertentu atau model
pendekatan tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat menyatukan,
disebut paradigma integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma
integrasi ilmu integralistik yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu
sebagai bagian dari keseluruhan.
4. Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun dalam pada sisi
tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan
menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan
subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terkait
dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif. Kendati agama dan
ilmu berbeda, keduanya memiliki kesamaan, yakni bertujuan memberi
ketenangan dan kemudahan bagi manusia.
3.2 Saran
Konsep ilmu pada masa abad pertengahan dan para ilmuwan Muslim
diantaranya Al Farabi, Ibnu Khaldun, Al Ghazali maupun Al Siraziy yang
dibawanya pada dasarnya masih belum ada klasifikasi ilmu disatu sisi dan agama
disisi lain. Klasifikasi ilmu yang diberikan para ahli pada masa ini bukan
bertujuan untuk lebih mempermudah manusia dalam mempelajari ilmu agar
manusia memiliki keahlian tertentu dalam disiplin keilmuan, tapi tidak
menafikkan ilmu lain sehingga terjadi keseimbangan dalam dirinya yang
membawa kemanfaatan. Dan inilah falsafah yang dikandung al qur’an terkait
dengan ilmu sebagaimana tercermin dalam wahyu pertama surat al ‘Alaq: 1-5.
13
DAFTAR PUSTAKA
14
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang sudah memberi Taufik, Hidayah,
serta Inayahnya sehingga kita semua masih bisa beraktivitas sebagaimana seperti
biasanya termasuk juga dengan penulis, hingga penulis bisa menyelesaikan tugas
pembuatan makalah yang berjudul Pengertian Dan Latar Belakang Integrasi Ilmu.
Makalah ini berisi mengenai Pengertian Dan Latar Belakang Integrasi Ilmu
Makalah ini disusun supaya para pembaca bisa menambah wawasan serta
memperluas ilmu pengetahuan yang ada mengenai Pengertian Dan Latar Belakang
Integrasi Ilmu yang penulis sajikan di dalam sebuah susunan makalah yang
ringkas, mudah untuk dibaca serta mudah dipahami.
Penulis juga tak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada rekan-rekan
satu Tim yang sudah membantu serta yang sudah membimbing penulis supaya
penulis bisa membuat makalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga jadi
sebuah makalah yang baik dan benar.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk para pembaca serta
memperluas wawasan mengenai Pengertian Dan Latar Belakang Integrasi Ilmu.
Dan tidak lupa pula penulis mohon maaf atas kekurangan di sana sini dari
makalah yang penulis buat ini.
Mohon kritik serta sarannya.
Terimakasih
15i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i
ii
16