Anda di halaman 1dari 10

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Penelitian tentang status gizi terhadap lama rawat inap ini telah

disetujui oleh komisi etik penelitian melalui nomor registerasi

194/KPEK/X/2017. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2017 –

Januari 2018 di bagian rekam medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto. Data pasien diambil dari bulan Januari 2015 - November

2017 dengan jumlah populasi terjangkau yaitu 250 balita. Sampel

penelitian merupakan pasien rawat inap yang menderita diare akut pada

balita berusia 2-5 tahun di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Sampel

yang diteliti sebanyak 85 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi dari data rekam medik.

1. Data Univariat
a. Karakteristik Responden
Karakteristik responden meliputi jenis kelamin, usia, status gizi,

dan lama rawat inap.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin Frekuensi (n) Presentase (%)
a. Perempuan 35 41,2
b. Laki-laki 50 58,8
Total 85 100
Sumber : Data yang diolah
Pada Tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah responden laki-laki

lebih banyak daripada perempuan dengan jumlah laki-laki 50 ( 58,8%)

dan perempuan 35 ( 41,2%).

37
38

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia

Usia Frekuensi (n) Presentase (%)


a. 24-35 bulan 51 60
b. 36-47 bulan 20 23,5
c. 48-59 bulan 14 16,5
Total 85 100
Sumber : data yang diolah

Usia dihitung berdasarkan tanggal ulang tahun terakhir

pasien pada saat masuk rumah sakit. Pada Tabel 4.2 dapat

diketahui bahwa kelompok usia terbanyak yang mengalami diare

yaitu 24-35 bulan.

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi

Status Gizi Frekuensi (n) Presentase (%)


a. Baik ( -2 SD - +2 SD) 67 78,8
b. Kurang (< -2 SD) 18 21,2
Total 85 100
Sumber : data yang diolah

Status gizi ditentukan berdasarkan BB/TB dengan

menghitung Z score. Nilai rujukan untuk status gizi baik adalah -2

SD sampai +2 SD, sedangkan status gizi kurang adalah < -2 SD.

Pada Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa status gizi baik berjumlah 67

pasien (78,8 %), sedangkan status gizi kurang berjumlah 18 pasien

(21,2%).
39

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama rawat

inap

Lama Rawat Inap Frekuensi (n) Presentase (%)


a. Tidak Lama ( < 4 hari) 30 35,3
b. Normal ( = 4 hari ) 37 43,5
c. Lama ( > 4 hari ) 18 21,2
Total 85 100
Sumber : data yang diolah

Lama rawat inap ditentukan berdasarkan lama hari mulai

pasien masuk sampai keluar rumah sakit. Lama rawat inap

digolongkan menjadi hari rawat tidak lama yaitu kurang dari 4

hari, normal yaitu 4 hari, dan lama yaitu lebih dari 4 hari. Batasan

tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata lama rawat inap dari

seluruh sampel yaitu 3,95 hari. Pada Tabel 4.4 dapat diketahui

bahwa responden yang mengalami hari rawat inap tidak lama yaitu

30 responden ( 35,3%), lama rawat inap normal yaitu 37 responden

( 43,5%), dan lama rawat inap lama yaitu 18 responden ( 21,2%).

2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk variabel status gizi dengan lama rawat inap

diare akut menggunakan uji Chi Square. Hasil analisis hubungan antara

status gizi dengan lama rawat inap pada pasien diare akut di RSUD Prof.

Dr. Margono Soekarjo dapat dilihat pada Tabel 4.5.


40

Tabel 4.5 Hubungan status gizi dengan lama rawat inap pasien diare akut
pada balita di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Lama Rawat Inap
Status Gizi < 4 hari 4 hari > 4 hari Nilai p
n % n % N %
Gizi kurang 5 5,9 5 5,9 8 9,4
Gizi baik 25 29,4 32 37,6 10 11,8 0, 023
Total 30 35,3 37 43,5 18 21,2
Sumber : Data yang diolah
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa responden yang

memiliki status gizi kurang dengan lama rawat < 4 hari yaitu 5 orang

( 5,9%), lama rawat 4 hari yaitu 5 orang ( 5,9%), dan lama rawat > 4 hari

yaitu 8 orang ( 9,4 %). Responden yang memiliki status gizi baik dengan

lama rawat < 4 hari yaitu 25 orang ( 29,4%), lama rawat 4 hari yaitu 32

orang ( 37,6 %), dan lama rawat > 4 hari yaitu 10 orang ( 11,8%).

Hasil uji statistik menggunakan chi square diperoleh p = 0, 023

( p < 0, 05), artinya ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan

lama rawat inap pasien diare akut pada balita di RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo.

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran umum

karakteristik balita yang mengalami diare akut di RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto bahwa balita yang mengalami diare akut

lebih banyak dialami pada jenis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 50 anak

(58,8%), sedangkan pada perempuan sebanyak 35 anak ( 41,2%). Hal

tersebut sesuai dengan data SDKI 2007 yang mendapatkan prevalensi

diare pada balita laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada balita


41

perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Manoppo ( 2010) di RSU Prof

D.U. Kandou Manado menunjukkan bahwa lebih banyak balita laki-laki

yang dirawat inap karena diare yaitu sebanyak 73,5%. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh higienitas yang buruk dan paparan terhadap dunia luar

yang lebih sering pada balita laki-laki ( Manoppo, 2010).

Berdasarkan status gizi yang telah dihitung dengan z-score

sebagian besar pasien diare akut pada balita berstatus gizi baik ( -2 SD

sampai + 2 SD) sebanyak 67 anak (78,8%) sedangkan yang berstatus gizi

kurang ( < -2 SD ) hanya 18 anak ( 21,2%). Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian oleh Dahlan (2002) di Jakarta yang menunjukkan bahwa

proporsi anak yang memiliki status gizi baik yaitu (44,7%) dibandingkan

dengan anak berstatus gizi kurang (31,9%).

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara status gizi dengan lama rawat inap pada pasien diare akut pada

balita di RSUD Prof. Margono Soekarjo ( p < 0, 05). Hasil penelitian ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan Iskandar, et al (2015) di Rumah

Sakit Mataram dan Palupi, et al ( 2009) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

yang menunjukan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan lama

rawat inap. Namun, penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Amin, et al ( 2014) dan Primayani (2009) bahwa status gizi

tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan lama hari rawat inap

pasien balita dengan diare akut.

Lama rawat inap dihitung ketika pasien mulai masuk rumah sakit

sampai dinyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit. Faktor-faktor yang
42

mempengaruhi lama rawat inap selama perawatan antara lain pemberian

ASI, asupan nutrisi selama perawatan, serta pemberian zink dan probiotik.

Lama rawat inap memegang peranan penting dalam mengetahui proses

penyembuhan dari diare. Rawat inap yang lebih panjang dapat

meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Rumah sakit dapat menularkan

infeksi kepada pasien ketika petugas rumah sakit tidak melaksanakan

prosedur dengan higiene dan sanitasi yang baik dan benar. Selama

perawatan, anak akan diberikan infus secara intravena sehingga hal

tersebut akan menganggu kenyamanan anak serta meningkatkan risiko

terjadinya peradangan pada vena apabila pemasangannya dilakukan lebih

dari 72 jam.

Salah satu faktor yang mempengaruhi lama rawat ialah pemberian

ASI. Penelitian ini dilakukan pada balita berusia 2-5 tahun. Hal tersebut

bertujuan untuk mengendalikan faktor pemberian ASI pada usia di bawah

2 tahun. Pemberian kolostrum dalam ASI dapat mempercepat kesembuhan

pasien diare akut pada bayi dan anak balita (Suwarba et al., 2006). ASI

memiliki fungsi anti-mikroba serta sebagai imunoregulator. ASI

mengandung probiotik seperti Lactobaciilus dan Bifidobacteria yang dapat

mempersingkat durasi penyembuhan diare. Pemberian ASI yang tidak

dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun memiliki risiko 3,94 kali

menderita diare ( Turin et al., 2014).

Status gizi disebutkan memiliki hubungan yang bermakna terhadap

kejadian diare serta lama rawat inap. Hal tersebut didukung melalui

perbedaan struktur vili yang berperan dalam proses penyembuhan diare.


43

Berdasarkan penelitian Vlasova, et al (2017), kekurangan protein dapat

menganggu proses perbaikan epitel usus pada saat terjadi infeksi.

Peneltian yang dilakukan oleh Vlasova, et al di Amerika pada babi

gnobiotik yang telah ditransplantasi dengan feses neonatus yang cukup

gizi dibandingkan dengan yang feses neonatus yang mengalami malnutrisi

menunjukan bahwa terdapat perbedaan jumlah ekspresi villin dan

ketinggian vili. Pada babi yang ditransplantasikan feses neonatus yang

cukup gizi, ekspresi vilin dan ketinggian vili lebih besar daripada yang

kurang gizi. Villin merupakan salah satu protein pada sitoskeleton

mikrovili. Integritas epitel intestinal telah ditunjukan dengan penemuan

perbedaan kadar lipopolisakarida (LPS). Pada babi yang kekurangan

nutrisi ditemukan kadar LPS lebih tinggi. Proses vakuolisasi epitel usus

lebih masif pada babi yang tidak ditransplantasikan daripada yang

ditransplantasikan feses bayi yang cukup gizi.

Pada anak dengan status gizi kurang terjadi defisiensi makronutrien

pada tubuhnya. Pada anak yang mengalami defisiensi, imunitas tubuh

dalam bekerja melawan patogen akan terhambat. Zat gizi yang terkandung

di dalam makronutrien sangat penting untuk membentuk respon imun

sebagai bentuk perlindungan tubuh. Pada keadaan defisiensi glukosa, akan

terjadi penurunan fungsi sel T serta proliferasi sel T. Aktivasi sel imun

dilakukan oleh asam amino seperti triptofan, arginin, dan sistein ( Kau et

al., 2011).

Status gizi seseorang tidak selalu berfokus pada nutrisi, namun saat

ini penelitian mengenai mikrobiota usus dinilai menjadi alasan yang


44

mendukung status kesehatan seseorang. Perbedaan jenis mikrobiota usus

antara anak yang bergizi baik dengan malnutrisi telah dilakukan oleh

Monira, et al di Bangladesh. Berdasarkan hasil penelitiannya, populasi

filum Proteobacteria termasuk genus yang patogen seperti Klebsilella dan

Eschericia lebih banyak ditemukan yaitu 174 kali dan 9 kali lipat lebih

banyak pada anak yang malnutrisi. Pada anak yang sehat filum

Bacteriodetes ditemukan dalam jumlah yang tinggi. Bakteri Bacteriodetes

telah lama dikenal mampu membantu tubuh untuk mencerna zat makanan

yang kompleks serta membantu meningkatkan kebutuhan nutrisi serta

energi dari makanan. Perbedaan jenis mikrobiota usus pada penelitian

Conlon, 2015 salah satunya dipengaruhi oleh pola diet. Hal tersebut

dihubungkan dengan kondisi kesehatan yang mungkin terjadi pada anak

dengan malnutrisi.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap lama rawat inap yaitu

keadaan pasien sebelum masuk rumah sakit seperti lama sakit sebelum

masuk rumah sakit yang tidak dikendalikan oleh peneliti. Frekuensi diare

pada penelitian Nuriken (2016) berhubungan secara signifikan terhadap

lama rawat inap pasien. Namun, pada penelitian ini, peneliti tidak

mengendalikan frekuensi diare sebagai faktor yang dapat mempengaruhi

lama rawat inap.

Derajat dehidrasi yang dialami pasien dapat berpengaruh terhadap

lama rawat inap. Pada penelitian yang dilakukan di RSUD Undata Palu,

derajat dehidrasi bermakna secara signifikan terhadap lama rawat inap

pasien diare akut (Muawana, 2014). Pada subjek penelitian derajat


45

dehidrasi tidak dikendalikan karena terbatasnya jumlah sampel apabila

subjek yang digunakan hanya pasien yang tidak mengalami dehidrasi.

Pada keadaan dehidrasi terjadi kekurangan perfusi cairan pada mukosa

usus sehingga dapat menginduksi terjadinya kerusakan mukosa serta invasi

mikroorganisme ( Oliveira et al., 2011).

Asupan nutrisi berpengaruh terhadap lama rawat inap pasien diare

akut (Islam et al., 2008). Kandungan gizi seimbang seperti protein dapat

meningkatkan sistem imun sehingga memperpendek durasi diare.

Lamanya hari rawat inap pasien dapat disebabkan oleh perbedaan

kandungan gizi dalam makanan yang diberikan selama maupun sebelum

perawatan. Peneliti tidak mengendalikan faktor asupan makanan selama

maupun sebelum masuk rumah sakit.

Etiologi diare seperti jenis mikroorganisme penginfeksi dapat

menjadi penyebab lamanya hari rawat. Terdapat perbedaan durasi

penyembuhan antara virus maupun bakteri. Diare dengan lendir darah

dapat memperpanjang lama rawat inap diare (Patel et al., 2012). Pada

penelitian ini, penulis hanya mengendalikan diare yang disebabkan oleh

Amoeba atau diare disentriform.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi lama rawat inap ialah faktor

mencuci tangan. Selama perawatan, orang tua membantu anak untuk

memberikan makanan. Jika orang tua tidak mencuci tangan ketika

memberikan makan kepada anak, maka durasi penyembuhan dapat

menjadi lebih lama karena makanan yang tidak higienis ( Hannif et al.,
46

2011). Pada penelitian ini, faktor kebersihan tangan dan makanan selama

perawatan tidak dapat dikendalikan oleh peneliti.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain data yang

digunakan merupakan data sekunder dari rekam medis sehingga peneliti

tidak bisa mengetahui lama sakit sebelum dirawat, jumlah sampel yang

tidak merata antara pasien yang berstatus gizi baik dan gizi kurang, selain

itu masih terdapat faktor perancu yang tidak dikendalikan antara lain :

lama sakit sebelum masuk rumah sakit, frekuensi diare, derajat dehidrasi,

serta kebersihan dan kecukupan asupan makanan selama perawatan

sehingga membiaskan lama hari yang sesungguhnya yang dialami pasien

anak diare akut.

Anda mungkin juga menyukai