Anda di halaman 1dari 4

Undur Diri

Setiap manusia pasti memiliki hal yang paling ingin ia kenang selamanya. Begitu juga
dengan setitap kenangan pahit yang membuatnya ingin cepat lupa. Sesuatu yang paling ingin
kita lupakan, justru akan semakin membekas dalam ingatan. Sepuluh tahun atau dua puluh
tahun kisah berlalu, otak akan menyimpannya dengan banyak kode dan sandi, terlebih untuk
yang paling menyakiti. Beberapa yang tersisa akan kembali karena suatu peristiwa. Aku ingin
pulang.
“Hadapi lah Ren, kamu tahu kamu terus saja ingin melupakan setiap hari. Bahkan
kunci motor saja ga ingin kamu lupain, tapi kamu suka lupa naruh. Kenapa harus niat banget
lupain sesuatu. Kamu pasti ingat bagaimana kamu bisa lupa cerita kita tanpa melupakanku.
Aku masih ingat waktu kamu datang dan bilang dengan lantang Aku Rena, mantan kamu”
Nasehat Tio tadi pagi yang masih terngiang di kepala ku dan membantuku menemukan jalan
keluarnya.
***
Perkenalkan, Rena Ellea Wulandari. Yang dalam cerita ini ku sebut sebagai aku, dan
segala macam kata ganti yang bermakna sama. Saat ini aku sedang makan es krim yang baru
dibeli tadi, harga promo. Aku tidak menceritakan lengkap biodataku disini, karena cerita ini
bukan ditulis sebagai biografi, cerita sejarah, dan sebagainya. Tujuanku hanyalah satu, agar
aku tidak lupa. Bahkan pelajar membawa banyak tulisan untuk membantunya tidak lupa.
Sebenarnya, aku bercita-cita menjadi seorang penjual pena karena luasnya minat pasar
terhadapnya. Ini adalah kisah akhir perjuanganku untuk melupakan sesuatu. Aku suka
melupakan barang tanpa bermaksud melupakannya, PR, letak kaus kaki, alamat rumah, nama
orang, dan banyak hal logis lain. Namun, untuk yang satu itu aku tidak bisa lupa. Hari itu,
aku menjadikan sesuatu itu sebagai hal yang paling ingin aku lupakan dalam hidup. Setelah
523 cara telah aku tempuh dan gagal.
“Kamu sudah ngelakuin semua saran ku, hapus nomernya, hapus fotonya, balikin
semua barang-barang dia, dan sudah banyak cara lain. Masa kamu harus pindah rumah sih?”
Tanya Tita. Ku jawab bahwa walaupun aku mengenal orang lain, aku tetap tidak bisa move
on. Aku pernah berakhir di tahun ke delapan dan tak mau itu terulang kembali bersama dia.
Apa yang bisa aku harapkan lagi dari dia yang sudah memiliki orang lain, lebih sepadan
dengannya.
“Besok itu hari bahagia, aku undang semua teman, termasuk dia. Apa kamu siap? Apa
kamu gak mau lihat aku bahagia besok?” Tita sungguh sangat cerewet. Ku tahu ini adalah
hari bahagia untuknya, namun apa pantas dia memaksakan kehendaknya untuk
mempertemukanku dengannya besok. Aku yakin, 1200 tamu undangan Tita, gak mungkin
gak dateng semua. Pasti banyak orang yang akan hadir besok, dan menyelamatkanku dari apa
yang aku takutkan. Aku berpamitan pulang untuk menghindari pemikiran-pemikiran negatif
catin cerewet yang satu itu.
Malam itu, aku benar-benar menyiapkan diri karena gagal melupakannya. Kalau dia
datang dengan Ana, aku harus lebih siap. Tidak mungkin terjadi apapun karena itu adalah
acara penikahan yang ramai. Tidak mungkin kami sempat berbincang dan mengobrol, apalagi
berdebat. Tak dapat dipungkiri aku pun memiliki perasaan khawatir jika besok aku bertemu
dengannya. Namun, ku abaikan perasaan itu sambil menyiapkan kado pernikahan sahabat
lama yang cerewet itu. Kita tidak bisa menebak apapun, termasuk seperdelapan zeptodetik
setelah menarik napas.
***
Pagi itu aku bersiap, Tita sudah booking jadwalku sejak lamaran untuk menjadi penerima
tamu, lima bulan lalu. Acara berlalu dengan lancar dan membuatku betah, karena banyak
makanan enak yang bisa aku cicipi setitap saat. Tiba-tiba Tita memanggilku, dia perlu
bantuan. Aku menemaninya ke kamar untuk berganti pakaian. “Tadi Tio telfon aku, katanya
bentar lagi sampai. Kamu temenin dia ya..” Ceplos dia sambil benerin konde. “Lah? Kok aku
sih.. Kan kamu tahu sendiri kita sudah bubar lama” jawabku tak mau tahu. “Tolonglah Ren,
dia kan atasan suami aku.” Selalu saja seperti ini, aku jadi serba salah dan akhirnya
menjerumuskan diriku sendiri ke lubang buaya.
Tak lama, aku kembali ke posisi ku untuk melanjutkan tupoksi sebagai penerima tamu yang
bertanggung jawab. “Ren?” Suara itu ku kenali, namun tak terdeteksi keberadaannya.
Mungkin itu halusinasi saja, sehingga ku lanjutkan untuk menata souvenir yang ada di meja.
“Ena??” Suara itu lagi, aku menoleh. Dia Tio, yang pernah kandas denganku setelah delapan
tahun. Dia sahabat yang ku sukai, cinta pertama. Aku tidak menyebutnya cinta monyet,
karena dia manusia. Aku mencoba ramah dan bersikap baik, atas arahan dan bimbingan Tita
tadi di kamar. “Kamu sama siapa?” Tanya ku sambil mengantarnya ke pelaminan Tita.
“Sendiri saja, Nala sedang ada urusan di luar kota” jawabnya. Ya, aku tahu Nala adalah orang
yang beruntung menang mendapatkannya. Tapi aku kagum dengannya, ini sudah sepuluh
tahun berlalu dan Nala masih sehat. “Kamu apa kabar?” Lanjutnya. “Baik, seperti yang kamu
lihat.” Jawabku dengan senyuman. Terus terang saja, sebenernya malam hari aku sudah
senam wajah dan pakai masker setelah membungkus kado-kado. Tentunya untuk senyuman
di acara ini sepuluh jam ke depan. Kami dulu dipertemukan saat usia belia sekali, sekolah
menengah pertama. “Temenin makan yuk Ren, sudah lama kita nggak ngobrol!” Ajak dia.
Aku diam dan mengangguk. Ku serap baik-baik perintah dari Tita, kalau tidak aku bisa
dihapus dari daftar penerima donasi hutang koperasi milik mama nya.
Mungkin satu jam lebih sedikit, Tio menyelesaikan jamuannya dan berpamitan pulang. Sudah
puas aku bercerita dengannya. Aku mengantarnya sampai parkiran. “Terima kasih sudah
nemenin, Ren..” Kata dia mengakhiri perbincangan kami. “Sama-sama pak, oh ya ini
souvenirnya. Jadi aku yang pegang terus keasyikan ngobrol, hehe” jawabku mulai terbiasa.
Dia mengacak rambutku, aku mendorongnya. Kalau rusak, bisa-bisa tamat riwayatku di
pernikahan ini. “Kamu ga berubah” Tio tertawa.
***
Sesuai dengan ekspektasiku kala itu, kami akhirnya bertemu pada malam hari. Setelah
semua firasat angka delapan yang selalu menghantuiku. Setelah semua usaha ku lakukan
untuk pergi melupakannya berkali-kali gagal. Setelah ku melihat semua luka, menolak semua
ajakan dia, terbiasa menyelesaikan semua sendiri, dan memutus segala media komunikasi ku
dengannya.
Dia datang dengan batik pekalongan. Ku lihat dia terlihat lebih baik sekarang, serasa
sudah lama tidak bertemu. Padahal tahun lalu, kami masih melakukan ritual mie ayam
bersama. Ana ada disampingnya sangat anggun, menggunakan sarimbit yang senada. Mereka
serasi di depan rombongan alumni. Aku melihat mereka dari bawah sambil berpura-pura
mengambil beberapa souvenir di bawah. Aku tetap di posisi itu sampai mereka mengisi buku
tamu dan berlalu. Untung saja, penerima tamu malam hari ditambah armada nya menjadi tiga
orang. “Tulilulilutttttulilulittttt.....”, panggilan mak si empunya hajat. Aku bergegas datang
sambil membawakan beberapa pesanan Tita, ternyata dia lapar. Dia memintaku untuk
menemaninya makan dulu karena suaminya sedang beribadah. Sambil mengunyah
makanan,“Eh kamu tadi lihat si Ana sama ..” “Iya lihat kok, lanjutin makannya cepetan. Ga
usah banyak cakap.” Jawabku dengan cepat memutus pertanyaannya. “Dia tadi nanyain
kamu, ku bilang kamu ada di meja terima tamu.” “Titaa, bisa ga sih kamu jangan sudutin aku
terus. Tio lah siapa lah. Banyak banget tamu yang hubungannya sama aku. Tahu ga sih
rasanya itu deg-degan seperti aku yang jadi pengantennya. Aku ke kamar mandi dulu deh,
nanti kalau ada apa-apa telpon lagi aja” cerocosku cukup panjang. Semakin lama semakin
membuatku muak dan tidak betah. Waktu berlalu semakin lambat. Ketika kembali dari kamar
mandi, ku lihat seluruh teman baikku dan Tita zaman sekolah sedang berkumpul. Ada dia
juga. Aku menghampiri mereka, dan kami semua terlihat bahagia. Cukup lama kami
bercanda bersama, aku pamit ke tempatku.
“Walaupun sebenarnya aku telah lelah, namun doa tersebut telah ku anggap sebagai
kekuatan terbesar manusia. Sudah lama aku mencoba menghubunginya, namun yang ku
dapat adalah jalan buntu. Setiap kali aku ingin pulang, selama itu pula aku tidak menemukan
jalan. Aku coba segala cara buat ketemu kamu. Aku ingin pulang!” Teriaknya menekan
kalimat terakhir memecah keheningan tempat itu. “Pulanglah, bahkan aku tidak ada
hubungannya dengan kepulanganmu.” Jawabku ringan. Suasana hening, aku kembali
meneruskan, “aku balik dulu ya, masih banyak tamu.” “sebentar, aku tadi dengar
percakapanmu sama Tita, apa benar aku adalah hal yang paling ingin kamu lupakan selama
ini?” Tanya nya sembari mendekat. Aku menggeleng dan berbalik arah, meneruskan langkah
kaki tanpa menoleh ke arahnya. “yang paling ingin aku lupakan dalam hidup ini sebenarnya
adalah keinginanku untuk melupakan kamu.” Jelasku dalam hati. Aku berhenti, melawan
semua yang semestinya tidak terjadi, Aku datang menghampirinya. Aku bilang padanya, “Hai
Di, aku Rena, mantan kamu. Aku mundur. Tenang saja aku pasti terbiasa.. Terima kasih
banyak.” perasaan lega hadir dalam hatiku, terima kasih Tita atas pernikahanmu.
Rasa pahit yang ku terima darinya, kini telah aku terima dengan lapang. Aku telah
menemukan cara menjelaskan kepada dunia bahwa delapan tahun ku bersama dia adalah hal
yang indah. Kami saling mendukung dan membahagiakan. Sisanya, untuk luka yang telah
terjadi pasti akan sembuh. Aku tidak akan menambah luka ku setiap hari dengan ke inginan
untuk melupakan dia dan semua cerita yang pernah kami lalui. Aku pun menyadari saat aku
gagal melupakannya saat itulah aku belum terobati, dan saat aku berniat melupakannya
bukanlah obat yang cocok untuk mengisi lukaku dengan baik. Aku akan melupakan
keinginan melupakan dia dan melanjutkan hidup tanpa beban masa lalu.

***
“Hadapi lah Ren, kamu tahu kamu terus saja ingin melupakan setiap hari. Bahkan
kunci motor saja ga ingin kamu lupain, tapi kamu suka lupa naruh. Kenapa harus niat banget
lupain sesuatu. Kamu pasti ingat bagaimana kamu bisa lupa cerita kita tanpa melupakanku.
Aku masih ingat waktu kamu datang dan bilang dengan lantang Aku Rena, mantan kamu”
Nasehat Tio tadi pagi yang masih terngiang di kepala ku dan membantuku menemukan jalan
keluar.

Anda mungkin juga menyukai