Anda di halaman 1dari 9

Penjelasan Turunan UU No.

4 Tahun
2009 (UU Minerba)

UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
memiliki 4 peraturan pemerintah (dimana satu diantaranya telah mengalamai dua
kali diubah) dan 1 peraturan menteri yang telah mengalami perubahan juga.
Naah... untuk mengetahui mengenai pasal-pasal berapa saja yang menyatakan
harus diatur lebih lanjut baik dengan peraturan pemerintah atau peraturan
menteri atau peraturan daerah dari UU Minerba sehingga peraturan tersebut
keluar dapat dilihat di bawah ini.

1. Pasal 5 ayat (5)


Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral dan/atau batubara
untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pengendalian produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

2. Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan WP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan
peraturan pemerintah.
(PP No. 22 Tahun 2010)

3. Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 22 Tahun 2010)

4. Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan penetapan WPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan
pemerintah.
(PP No. 22 Tahun 2010)

5. Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan
daerah kabupaten/kota.
(Perda masing-masing daerah)

6. Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas dan batas WIUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan
pemerintah.
(PP No. 22 Tahun 2010)

7. Pasal 34 ayat (3)


Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu komoditas tambang ke dalam
suatu golongan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

8. Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Eksplorasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan IUP Operasi Produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

9. Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 diatur dengan
peraturan pemerintah.
(PP No. 22 Tahun 2010)

10. Pasal 65 ayat (2)


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis,
persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

11. Pasal 71 ayat (2)


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

12. Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur dengan
peraturan daerah kabupaten/kota.
(Perda masing-masing daerah)

13. Pasal 76 ayat (3)


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh IUPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

14. Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 75 (3) diatur dengan
peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

15. Pasal 86 ayat (2)


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis,
persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

16. Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan
penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan pengelolaan data
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 22 Tahun 2010)

17. Pasal 101


Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 serta dana jaminan reklamasi dan dana jaminan
pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diatur dengan
peraturan pemerintah.
(PP No. 78 Tahun 2010)

18. Pasal 103 ayat (3)


Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

19. Pasal 109


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 diatur
dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

20. Pasal 111 ayat (2)


Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

21. Pasal 112 ayat (2)


Ketentuan lebih lanjut mengenai disvetasi saham sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

22. Pasal 116


Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Pasal 114, dan Pasal 115
diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah PP No. 1
Tahun 2014)

23. Pasal 127


Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 125, dan Pasal 126 diatur
dengan peraturan menteri.
(Permen ESDM No. 28 Tahun 2009 dirubah dengan Permen ESDM No.
24 Tahun 2012)

24. Pasal 143 ayat (2)


ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan pertambangan
rakyat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
(Perda masing-masing daerah)

25. Pasal 144


Ketentuan lebih lanjut mengenai standard dan prosedur pembinaan serta
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, dan
Pasal 143 diatur dengan peraturan pemerintah.
(PP No. 55 Tahun 2010)

26. Pasal 156


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 152 diatur dengan peraturan
pemerintah.
(PP No. 23 Tahun 2010 diubah PP No. 24 Tahun 2012 diubah

OM I
Sekilas Tantangan Penerapan UU No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara

1389864876977079087

Mulai12 Januari 2014, pemerintah Indonesia melarang ekspor mineral mentah (ore).Hasil mineral
dari pertambangan di Indonesia harus diolah dan dimurnikanterlebih dahulu sebelum kemudian di
ekspor keluar. Sejalan dengan pernyataan Menteri Perokonomian Hatta Rajasa di sela-sela
kunjungan kerjanya di PuslitKoka dan Universitas Jember “Mulai 12 Januari 2014, kita tidak boleh
menjual gelondongan bahan mentah pertambangan.[1]Ini merupakan salah satu ketetapan yang
diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jika kita teliti lebih
lanjutketetapan ini merupakan tindak lanjut dari implementasi UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Ada 2 Pasal yang menjadi sorotandalam penerapan UU No. 4
Tahun 2009 ini, Pasal 103 ayat 1 dan Pasal 170. [2]
Pasal103 ayat 1 : Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil pertambangan didalam negeri. Pasal170: Pemegang kontrak karya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat – lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan. Jika merujuk pada 2 Pasal diatas maka secara singkat Undang-Undang Nomor 4
Tahun2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengharuskan pemegang IUP (Izin Usaha
Pertambangan) melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan didalam negeri. Aturan
ini dilakukan paling lambat 5 tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara diterbitkan. Ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pemegang kontrak karya yang telah melakukan produksi di Indonesia harus melakukan pemurnian
selambat – lambatnya 5 tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara disahkan. Deadline-nya, 12januari 2014 baik pemegang IUP maupun kontrak
karya yang sudah berproduksi dilarang mengeskpor mineral mentah (ore).

Ini merupakan suatu usaha baik dari Pemerintah Indonesia untuk melindungi hasil kekayaan bumi
Indonesia dan patut kita kawal bersama. Ditambah lagi kekayaan SDA Indonesia yang begitu
melimpah merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga,dimanfaatkan sebaik – baiknya dan sebijak
– bijaknya. Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.Sebagai indikasi berlimpahnya SDA Indonesia dalam hal mineral dan batubara, dapat dilihat
pada tabel 1 tentang kegiatan ekspor batu bara dari Indonesia tahun 2014 – 2012. Bisakita lihat tren
produksi dan ekspor batu bara yang semakin meningkat tiap tahunnya. [caption
id="attachment_306383" align="aligncenter" width="809" caption="Tabel 1. Pasokan batu bara
2004-2012 (dalam skala ton) "][/caption] Peningkatan ini akan berdampak signifikan dan memberi
dampak yang besar bagi kesejahteraanrakyat Indonesia berupa peningkatan devisa Negara, jika pada
akhirnya dipergunakan dengan sebaik – baiknya untuk kesejahteran rakyat Indonesia. Namun ekspor
barang tambang mentah merupakan sesuatu yang merugikan Indonesia, barang tambang mentah
yang masih bercampur dengan pengotor, lumpur dan dikenai pajak jauh lebih rendah jika diekspor
keluar dibanding dengan barang tambang jadi. Logika sederhananya sama dengan mengekspor
“tanah” dengan “emas”. Tantangan pertama adalah ketika barang tambang mentah dimurnikan dan
diekspor untuk meningkatkan nilai tambah, maka perlu dipastikan tidak terjadi kecurangan dari
pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi dalam mengolah dan memurnikan barang tambang
mentah hasil produksinya dengan kadar kemurnian yang sangat rendah hanya untuk lolos dari UUNo
4 Tahun 2009 dan menghindari pajak ekspor yang besar. Sehingga tujuan peningkatan nilai tambah
yang diperlukan untuk mengoptimalkan konservasi sumber daya dan batubara, memenuhi
kebutuhan bahan baku industri domestik serta memberikan dampak positif bagi perekonomian yang
menghasilkan efek berantai signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik yang pada
akhirnya memicu pengembangan sektor hilir (industri)[3]pada akhirnya tidak dapat berjalan
maksimal.

Sudah seharusnya pemerintah lebih cermat dalam mengantisipasi celah – celah yang dapat
dimanfaatkan oleh“oknum-oknum” pemain barang tambang Indonesia. Sudah seharusnya pula kata
“pemurnian”disini harus dipertegas dengan tingkat kadar pemurnian yang jelas dan standar yang
baik untuk selanjutnya diatur dalam Undang – Undang atau ketetapan pemerintah. Direktur
Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rahkmanto mengatakan bahwa penerapan pengolahan dan
pemurnian bahan tambang di Indonesia masih fokus untuk "lolos" ekspor. Padahal, pemurniannya
juga pasti tidak akan mencapai 100 persen sehingga nilai tambahnya tidak terlalu besar.Seandainya
pemerintah mendorong bahan mentah yang sudah diolah itu digunakan untuk kepentingan industri
dalam negeri, dampak pengganda ekonominya akan lebih besar.[4]

Tantangan kedua adalah kesiapan pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi dalam membangun
fasilitas smelter. Smelter adalah sebuah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi untuk
meningkatkan kemurnian kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga
mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Bahan tambang yang
didapat dari perut bumi masih tercampur dengan pengotor, mineral – mineral lain, atau unsur –
unsur tanah lain yang tidak diperlukan. Oleh karena itu bahan tambang yang telah didapat kemudian
dibersihkan dan dimurnikan pada smelter. Pembangunan smelter membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, diperkirakan mencapai US$ 1,2-2miliar untuk membangun sebuah smelter. Maka akan
menjadi masalah dan efek "bola salju" jika pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi enggan
membangun smelter atau mereka ingin, namun tidak mampu dan terpaksa gulung tikar, maka
otomatis akan berdampak juga pada kestabilan perekonomian Indonesia. Pemerintah harus siaga
dalam mencari solusi ini jangan sampai pada akhirnya pemerintah melunak dan melanggar atau
membatalkan ketetapan dari undang – undang No. 4 Tahun 2009 ini. Kemudian untuk operasional
diperlukan tenaga – tenaga ahli yang terdidik dan terampil dalam pengoperasian smelter. Ini
merupakan suatu kesempatan emas bagi anak bangsa untuk “unjukgigi” bahwa anak bangsa tidak
kalah dengan bangsa lain dalam hal kemajuan dan penguasaan IPTEK, namun juga bisa jadi mimpi
buruk jika pada akhirnya SDM Indonesia pun belum memadai. Sehingga lagi – lagi “orang asing”
kembali mengambil kesempatan – kesempatan emas yang sudah seharusnya dapat digunakan
dengan baik oleh anak bangsa.

Tantangan ketiga adalah kemampuan Pemerintah dalam menindak tegas “oknum – oknum” yang
melanggar ketetapan Undang – Undang ini. Bukan rahasia lagi bahwa mayoritas pemegang IUP dan
IUPK Operasi Produksi adalah orang – orang dengan ekonomi atas, dengan jabatan yang tidak
sembarangan. Mengingat untuk mendapatkan IUP/IUPK Operasi Produksi tidaklah murah, serta
sektor pertambangan adalah sektor yang menjanjikan dalam hal keuntungan. Pemerintah diharap
tidak lengah dalam mendirikan hukum dan memastikan bahwa Undang – Undang apapun yang telah
disahkan dapat berjalan dengan baik tanpa pelanggaran. Merupakan suatu keharusan memastikan
semboyan “Indonesia adalah Negara hukum” bukan sebatas kata – kata retoris indah tanpa bukti
nyata. Jangan sampai penegakkan hukum di Indonesia seperti piasu yang tumpul keatas namun
tajam kebawah. Tantangan terakhir adalah pemerintah harus lebih aktif mengakomodasi
kepentingan dan aspirasi rakyat Indonesia dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dengan
nasib bangsa dan rakyat Indonesia. Karena pemerintah dipilih dari, rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat. Pemerintah harus banyak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan
pembuatan undang – undang.

Implementasi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini memang
bertujuan baik dan untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan bunyi pasal 33 UUD 1945 ayat 3
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negaradan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”. Namun, perlu diingat konteks pengertian “untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat” tidak boleh diartikan secara sempit hanya dalam bentuk pajak
yang ditarik oleh pemerintah, dan pendapatan negara dari pajak akan digunakan untuk sebasar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam merumuskan nasib bangsa ini juga
mutlak diperlukan sehingga menciptakan “untuk sebesar-besarnya kemkmuran rkyrt” yg ssungghnya

Anda mungkin juga menyukai