Torch
Torch
DALAM KEHAMILAN
MAKALAH ILMIAH
BAB I. PENDAHULUAN
Tabel 1. Patogen yang potensial dapat menyebabkan infeksi sistem susunan saraf pusat
intrauterin
Virus
Rubella
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus type 2
Varicella zoster virus
Lymphocytic choriomeningitis
virus
Western equine encephalitis virus
Protozoa
Toxoplasma gondii
Plasmodium sp.
Trypanosoma
cruzi
Other
Treponema
pallidum
Pada makalah ini akan dibahas mengenai infeksi TORCH pada kehamilan
menyangkut diagnosis, pencegahan dan penatalaksanaannya. Diharapkan melalui makalah ini
kita dapat mengerti lebih jauh penatalaksanaan infeksi ini sehingga dapat membantu
meningkatkan kualitas pelayanan kita, mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal serta
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dilahirkan.
2
BAB II. TOXOPLASMA
Epidemiologi
Toxoplasma gondii adalah suatu protozoa obligat intraselular yang menginfeksi
burung dan beberapa jenis mamalia terutama kucing, di seluruh dunia.1
Infeksi toksoplasma gondii pada manusia dapat terjadi apabila mengkonsumsi
patogen ini dalam bentuk kista (bradizoit) dalam daging yang telah terinfeksi dan tak dimasak
dengan baik, lewat kontak dengan sel-sel oosit dalam feses kucing/binatang lain yang
terinfeksi atau diperoleh secara kongenital lewat transfer transplasental. Oookista dalam feses
kucing dapat bertahan hingga bertahun-tahun.1,2
Imunitas ibu memberikan efek perlindungan terhadap infeksi intrauteri, oleh karena
itu toksoplasmosis kongenital hanya dapat terjadi apabila infeksi terjadi pada saat kehamilan.
Salah satu penelitian mendapatkan data bahwa 1/3 wanita Amerika Utara telah memperoleh
antibodi yang bersifat protektif sebelum kehamilan, dan angka ini lebih tinggi pada mereka
yang memeiliki kucing sebagai binatang peliharaan. Toksoplasmosis akut diperkirakan terjadi
dalam 1-5 dari 1000 kehamilan . Resiko infeksi janin meningkat sesuai usia kehamilan, tetapi
secara keseluruhan mencapai 50%.3
Skrining
Sampai saat ini, skrining serologis untuk toksoplasmosis prenatal tidak bisa dilakukan
karena kesulitan teknis dan menginterpretasikan hasil tes. American College of Obstetricians
and Gynecologists merekomendasikan skrining serologis prekonsepsional (1993). Komite
3
multidisiplin dari Royal College of Obstetricians and Gynecologists merekomendasikan
untuk menolak skrining prenatal universal di Inggris. (1992)
Tabel 2. Gambaran Klinis bayi baru lahir yang terbukti mengalami infeksi intrauteri
cytomegalovirus, toxoplasma gondii atau rubella.
Approximate prevalence
Feature Cytomegalovirusa T. gondiib Rubellac
Petechiae 50% 20% 35%
Microcephaly 50% 15% 25%
Hydrocephalus 5% 40% —
IUGR 50% 10% 60%
Hepatomegaly 45% 50% 35%
Splenomegaly 45% 50% 35%
Jaundice at birth 40% 65% 15%
Sensorineural hearing loss 40% — 60%
Abnormal tone 25% 30% NDd
Chorioretinitis 10% 75% 10%
Seizures 10% 15% ND
Death 5% 5% ND
Pneumonitis 5% 10% ND
Congenital heart disease — — 70%
Jika antibodi IgG telah terdapat sebelum kehamilan, maka wanita tersebut tidak
memiliki resiko infeksi janin kongenital. Pada sebagian besar kasus tes serologis tidak
dilakukan sampai si wanita mengalami kehamilan. Apabila antibodi terdapat dalam titer yang
rendah, hal ini mungkin menunjukkan imunitas yang telah didapat sebelumnya. Akan tetapi,
hal tsb dapat saja merupakan IgM dari infeksi yang baru saja terjadi walaupun IgM dapat
bertahan sampai bertahun-tahun3. Membedakan kedua hal ini adalah sulit.
Konfirmasi yang paling akurat akan adanya infeksi akut adalah peningkatan titer IgG
dalam dua sampel yang berbeda. Titer di atas 1/512, sangat mungkin menunjukkan infeksi
akut. Penelitian menunjukkan peningkatan kejadian mikrosefali, ketulian dan retardasi mental
pada wanita dengan titer 1/256 atau lebih.
Telah dikembangkan teknik PCR dengan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi
untuk mendeteksi toksoplasmosis. Teknik tersebut memungkinkan diagnosis prenatal
diperoleh dalam sehari dengan melakukan pemeriksaan terhadap cairan ketuban. Juga dapat
dikerjakan untuk mendeteksi infeksi pada kehamilan kurang dari 20 minggu.2
4
Penatalaksanaan
Untuk wanita yang diduga mengalami infeksi aktif pada saat kehamilan, terapi yang
direkomendasikan oleh Wong dan Remington 1994 adalah menggunakan antibiotik
spiramycin. Terdapat bukti bahwa Spiramycin, suatu antibiotik makrolid yang dipergunakan
secara luas di Eropa dapat menurunkan insidens infeksi pada janin. Terapi juga dapat
diberikan dengan pirimetamin ditambah sulfadiazin
Daffos dkk (1988) melakukan pemeriksaan terhadap cairan ketuban dan darah janin
dari 746 wanita Perancis dengan infeksi aktif sebelum usia kehamilan 25 minggu. Infeksi
pada ibu didiagnosa denganantibodi IgM spesifik toksoplasma. Semua wanita dengan dugaan
infeksi diterapi dengan spiramycin 3gr/hari selama kehamilan. Hanya 6 persen dari janin
yang dilahirkan terbukti mengidap infeksi, dan 39 dari jumlah 42 bayi yang terinfeksi ini
didiagnosis dengan menemukan IgM spesifik antibodi dengan kordosintesis. Untuk wanita-
wanita ini, pirimetamin dan baik sulfadiazin atau sulfadoksin ditambahkan pada rejimen
spiramycin.4
Foulon dkk (1990) melaporkan insidens toksoplasmosis kongenital 12% pada 50
wanita Belgia yang terinfeksi sebelum usia kehamilan 20 minggu. Mereka menyimpulkan
bahwa skrining serologis dengan teknik diagnostik invasif terhadap janin adalah aman. 5
5
BAB III. RUBELLA
Rubella, atau campak jerman, suatu penyakit yang dianggap ringan di luar kehamilan,
telah dibuktikan dapat menyebabkan keguguran dan kelainan kongenital yang berat.2
Pencegahan
Untuk mengeradikasi penyakit ini secara menyeluruh, berikut ini rekomendasi untuk
memberikan kekebalan bagi populasi, terutama wanita dalam usia reproduksi:
1. Pendidikan terhadap pekerja kesehatan dan masyarakat akan bahaya dari
infeksi rubella
2. Vaksinasi terhadap wanita yang beresiko tertular sebagai bagian dari
pelayanan medis dan ginekologis, termasuk pelayanan kesehatan di sekolah.
3. Identifikasi dan vaksinasi terhadap wanita non-imunsegera setelah melahirkan
atau abortus.
4. Vaksinasi terhadap wanita yang beresiko tertular namun belum memiliki
kekebalan dengan serologi premarital
5. Vaksinasi terhadap seluruh pekerja kesehatan yang memiliki kemungkinan
kontak terhadap penderita rubella atau yang memiliki kontak dengan wanita hamil.
Disarankan untuk menghindari vaksinasi rubella beberapa waktu sebelum atau pada
saat kehamilan karena menggunakan virus hidup yang telah dilemahkan
Diagnosis
Diagnosa rubella sering sulit ditegakkan. Tidak hanya karena gambaran klinisnya
serupa dengan penyakit lain, namun juga sekitar ¼ dari infeksi rubella terjadi subklinis
walaupun telah terjadi viremia dan infeksi terhadap embryo/janin. Tidak terdapatnya antibodi
terhadap rubella menandakan suatu kondisi non-imun/belum memiliki kekebalan. Sedangkan
adanya antibodi menandakan respons imun terhadap viremia rubella. Jika antibodi ibu sudah
ada pada saat pajanan terhadap rubella atau sebelumnya, maka sangat tidak mungkin bahwa
si janin akan terinfeksi. Imunitas terhadap rubella dapat diperoleh/ditimbulkan/dipicu oleh
vaksin atau oleh infeksi rubella subklinis yang dapat terjadi pada saat wabah. Reinfeksi
asimtomatik dalam kehamilan telah dilaporkan tidak berpengaruh pada janin, walaupun ada
peneliti lain yang melaporkan infeksi pada janin yang terjadi pada 5 ibu yang seropositif.
6
Pada dua pasien ini abortus terapeutik dilakukan, dan pada tiga yang lain semua
menampakkan gejala sindroma rubella kongenital.2
Virus akan tetap bertahan di dalam darah dalam waktu sekitar satu minggu setelah
infeksi. Pasien non-imun yang mengalami viremia rubella akan memperlihatkan puncak dari
titer antibodi 1-2 minggu setelah timbul ruam, atau 2-3 minggu setelah viremia.
Gambar 2. Proporsi fetus dengan infeksi rubella tanpa stigmata dan fetus dengan
sindroma rubella kongenital
Dengan bertambahnya usia kehamilan, kemungkinan infeksi janin menyebabkan kelainan
kongenital akan makin berkurang. Pada usia kehamilan kurang dari 11 minggu, semua janin
dengan infeksi rubella akan memiliki kelainan kongenital, namun hanya sebanyak 35% janin
yang akan mengalami kecacatan apabila terinfeksi pada usia 13-16 minggu. Pada 63 janin
yang terinfeksi pada usia kehamilan lebih dari 16 minggu, tidak ditemukan kelainan maupun
defisit neurologis hingga usia 2 tahun. Hwa dkk (1994) melaporkan insidens infeksi janin
yang lebih rendah pada 103 janin dimana ibunya mengalami infeksi rubella sebelum
kehamilan 29 minggu.
Sindroma rubella luas (extended rubella syndrome) yang disertai panencephalitis dan
diabetes type I, dapat muncul secara klinis baru pada dekade kedua atau ketiga dari usia
kehidupan. Diperkirakan sebanyak 1/3 janin yang asimtomatik pada saat lahir akan
memperlihatkan kelainan perkembangan ini.2
7
Dapat disimpulkan bahwa manifestasi klinis dari infeksi rubella kongenital
berhubungan dengan saat infeksi ibu terjadi dan perkembangan organ janin. Sindroma rubella
kongenital mencakup satu atau lebih gejala berikut ini:
1. Lesi pada mata, termasuk katarak, glaukoma, mikroftalmia dan bermacam
kelainan lain.
2. Penyakit jantung, termasuk patent ductus arteriosus, septal defek, dan stenosis
arteri pulmoner.
3. Tuli sensorineural
4. Defek sistem susunan saraf pusat, termasuk meningoensefalitis
5. Pertumbuhan janin terhambat
6. Trombositopenia dan anemia
7. Hepatitis, hepatosplenomegali dan ikterik
8. Pneumonitis interstisial difusa kronik
9. Perubahan massa penulangan
10. Kelainan kromosom
Janin yang lahir dengan rubella kongenital dapat menularkan virus sampai beberapa
bulan oleh karena itu dapat menjadi berbahaya bagi bayi lainnya maupun orang dewasa yang
belum memiliki kekebalan.1,2
8
BAB IV. CYTOMEGALOVIRUS
Infeksi Maternal
Tidak terdapat bukti bahwa kehamilan akan meningkatkan resiko infeksi atau
memperberat gejala kliis infeksi sitomegalovirus. Kebanyakan infeksi adalah asimtomatik,
namun sekitar 15% akan mengalami demam, faringitis, limfadenopati dan poliarthritis.
Resiko terjadinya serokonversi selama kehamilan adalah 1-4%. Imunitas yang diperoleh dari
infeksi sebelumnya terapat pada 85% wanita sosioekonomi lebih rendah, sedangkan pada
golongan sosioekonomi lebih tinggi hanya 50% yang seropositif. Infeksi primer, dimana pada
40% kasus akan ditularkan ke janin lewat plasenta, seringkali menyebabkan morbiditas yang
berat7. Infeksi transplasental lebih sering terjadi pada paruh pertama kehamilan.
Seperti golongan herpesvirus lainnya, imunitas maternal terhadap sitomegalovirus
tidak mencegah timbulnya rekurensi/reaktivasi, juga tidak mencegah terjadinya infeksi
9
kongenital. Karena kebanyakan infeksi pada saat kehamilan adalah rekurensi, maka
mayoritas neonatus yang terinfeksi secara kongenital adalah dari golongan ini. Untungnya,
infeksi kongenital yang terjadi dari rekurensi infeksi lebih jarang menyebabkan sequelae
daripada yang terjadi dari infeksi primer.
Infeksi Kongenital
Infeksi cytomegalovirus kongenital, cytomegalic inclusion disease, merupakan suatu
sindroma dengan gejala-gejala; bayi berat lahir rendah, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial,
khorioretinitis, retardasi mental dan motorik, defisit sensorineural, hepatosplenomegali,
ikterik, anemia hemolitik dan trombositopenik purpura. Perlman dan Argyle (1992)
melaporkan gejala neurologis lebih berat apabila bayi lahir preterm. Maka dianjurkan untuk
mencurigai adanya infeksi cytomegalovirus apabila bayi preterm menunjukkan gejala-gejala
neurologis. Dari sekitar 40000 janin yang dilahirkan di Amerika Serikat yang terinfeksi
secara kongenital, hanya 10% yang menunjukkan gejala-gejala sindroma di atas, dimana
lebih sering tampak pada wanita yang mengalami infeksi primer saat paruh pertama
kehamilan.
10
Fowler dkk (1992) melaporkan hasil jangka panjang dari 197 bayi yang dilahirkan
dengan viremia sitomegalovirus kongenital. Sekitar 20% bayi dari kelompok infeksi primer
akan menampilkan infeksi simtomatik pada saat dilahirkan, sedangkan pada kelompok
reinfeksi tidak ada yang simtomatik pada saat dilahirkan. Setelah diikuti +5 tahun, sequelae
timbul pada 25% dari kelompok infeksi primer dan 8% dari kelompok reinfeksi.
Penatalaksanaan
Tidak terdapat terapi yang efektif terhadap infeksi pada ibu. Skrining serologis saat
kehamilan memiliki kegunaan yang terbatas karena (1) saat ini tidak dapat diprediksi secara
akurat adanya sequelae dari infeksi primer, (2) tidak terdapat vaksin dan (3) 1-2% dari semua
janin akan menularkan cytomegalovirus dan usaha untuk mengidentifikasi dan mengisolasi
mereka adalah mahal dan tidak praktis. (Demmler 1991, Hagay 1996)
Nilai prediksi dari kultur genitourinaria ibu atau sitologi serviks yang positif dalam
menilai infeksi terhadap janin juga minimal. Ekskresi cytomegalovirus ditemukan pada 10%
wanita hamil, dan sebagian besar memiliki resiko rendah terhadap infeksi rekurens. Infeksi
primer didiagnosis apabila terdapat peningkatan empat kali lipat titer IgG dalam serum
periode akut dan konvalesens atau dengan adanya IgM dalam serum. Infeksi rekurens
biasanya tidak disertai dengan peningkatan IgM.
Konseling akan luaran kehamilan bergantung pada usia kehamilan pada saat mana
infeksi primer berlangsung perlu diberikan kepada pasien dan keluarganya. Walaupun dengan
tingginya angka infeksi janin pada infeksi primer dalam paruh pertama kehamilan, mayoritas
janin akan berkembang secara normal.
11
Diagnosis Prenatal
Pada beberapa kasus, efek dari infeksi janin dapat dideteksi menggunakan sonografi,
tomografi komputer atau magnetic resonance imaging. Mikrosefali, ventrikulomegali atau
kalsifikasi serebral dapat dideteksi.
Lebih dari 20 tahun yang lalu, infeksi cytomegalovirus pada janin dideteksi dengan
kultur cairan amnion.
Lynch dkk (1991) mengevaluasi 12 fetus dengan menggunakan alat ultrasonografi,
amniosentesis dan kordosintesa dan melaporkan bahwa
12
BAB V. HERPES SIMPLEX VIRUS
Virologi
Telah dibedakan dua jenis herpes simplex virus (HSV) berdasarkan perbedaan
imunologis maupun klinis. HSV tipe-1 merupakan penyebab infeksi non-genital namun
terkadang dapat pula menginfeksi traktus genitalia. HSV tipe-2 hampis selalu ditemukan pada
organ genitalia dan ditularkan sebagian besar melalui hubungan seksual. Insidens antibodi
terhadap HSV tipe-2 meningkat dengan usia dan bervariasi pada populasi. Apabila tidak
terdapat antibodi, pajanan terhadap partner seksual dengan lesi herpes aktif akan
menimbulkan gejala klinis pada sebagian besar kasus.1,2
Infeksi Klinis
Gambaran klinis bergantung pada apakah telah terjadi infeksi primer sebelumnya,
bahkan infeksi orolabial pada virus type-1 akan dapat mempengaruhi gambaran infeksi
primer type-2. Prevalensi infeksi asimtomatik sebenarnya cukup tinggi, pada suatu survey
seroepidemiologis dari 1976 hingga 1980, 20% wanita memiliki antibodi terhadap virus tipe-
2. 2
Infeksi Rekurens
Selama periode laten dimana partikel virus bertahan dalam ganglion nervus, reaktivasi
sewaktu-waktu dapat terjadi disebabkan karena stimulus-stimulus yang sampai saat ini belum
diketahui. Reaktivasi dikenal sebagai infeksi rekurens dimana terjadi pula pelepasan partikel
13
virus. Lesi-lesi yang timbul lebih sedikit, lebih tidak nyeri dan melepaskan virus dalam
perioden yang lebih pendek (2-5 hari) daripada infeksi primer. Infeksi rekurens secara khas
terjadi pada tempat yang sama dari infeksi primer.
Pada suatu penelitian terhadap 110 wanita dengan infeksi herpes genital, Wald dkk
(1995) melaporkan bahwa 55% mengalami pelepasan partikel virus tanpa gejala sampai
selama 105 hari kemudian.9
Diagnosis
Ditemukannya virus pada kultur jaringan merupakan konfirmasi yang paling ideal
dari infeksi klinis maupun infeksi rekurens yang asimtomatik. Sensitivitas kultur adalah 95%
sebelum lesi menjadi krusta. Pada rekurens simtomatik, lebih dari 50% kultur akan positif
setelah 48 jam.
Pemeriksaan sitopatologi dengan fiksasi alkohol atau pewarnaan Papanicolau telah
digunakan untuk diagnosis cepat rekurensi klinis, dimana sediaan akan menampilkan sel-sel
multinuklear dan badan inklusi eosinofilik (Tzanck smear). Metode ini terbatas oleh karena
spesifisitas untuk infeksi serviks dan
Teknik reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction/PCR) baru-baru ini telah
diteliti sebagai alat deteksi DNA herpes genital. Cone dkk (1994) menemukan bahwa
frekwensi pajanan bayi baru lahir terhadap sekresi herpesvirus dari ibu seropositif lebih dari
delapan kali lebih tinggi bila digunakan teknik PCR untuk DNA virus dibandingkan dengan
teknik sebelumnya menggunakan kultur.
Penatalaksanaan
Tidak terdapat terapi yang efektif untuk infeksi virus ini. Acyclovir yang
dipergunakan secara topikal mungkin dapat mengurangi gejala. Sediaan oral atau parenteral
dapat mengurangi infeksi klinis juga durasi penularan virus, namun belum dipergunakan
secara luas dalam kehamilan. Untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan dapat diberikan
analgesik dan anestetik topikal, dan retensio urin yang berat dapat ditanggulangi dengan
pemasangan kateter menetap. Walaupun keamanan acyclovir pada kehamilan belum
ditetapkan secara jelas, namun dalam sebuah laporan mengenai 168 bayi baru lahir yang
mendapatkan acyclovir dalam trimester pertama, hanya terdapat 9 dengan kelainan
kongenital (Andrews 1992).
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV juga mengidap herpes genital, dan kegagalan
pengobatan dengan dosis acyclovir yang direkomendasikan telah dilaporkan. Dosis yang
14
lebih tinggi untuk acyclovir dapat bermanfaat untuk wanita imunokompeten dengan infeksi
virus HIV dan herpes genital rekurens yang berat.
Infeksi Rekurens
Acyclovir memiliki manfaat yang terbatas pada herpes genital rekurens. Baru-baru
ini, acyclovir telah dievaluasi sebagai terapi supresif yang diberikan pada saat kehamilan
untuk mencegah rekurensi saat aterm. Scott 1996 meneliti 46 wanita hamil dengan herpes
genital episode primer yang sebagian diberikan acyclovir dan sebagian lain placebo dari 36
minggu sampai partus. Tidak ada dari 21 wanita yang mendapatkan acyclovir dibandingkan 9
dari 25 (36%) wanita yang mendapatkan placebo mengalami infeksi rekurens saat
persalinan.2
Hampir separuh dari neonatus yang terinfeksi adalah preterm dan resiko infeksi
mereka tersebut berhubungan dengan jenis infeksi maternal primer atau rekurens. Nahmias
dkk (1971) melaporkan resiko 50% infeksi neonatal pada infeksi maternal primer namun
hanya 4-5% pada infeksi rekurens. Prober dkk (1987) melaporkan bahwa tidak ada dari 34
neonatus yang terpajan terhadap virus rekurens pada saat persalinan yang terinfeksi. Hal ini
diduga terjadi karna inocuum virus yang lebih kecil dan terdapat antibori yang ditransfer
lewat plasenta yang menurunkan insidens dan beratnya penyakit pada neonatal.
Infeksi yang terlokalisir biasanya memiliki luaran yang baik. Sebaliknya, infeksi
neonatal yang disseminata walaupun ditherapi dengan vidarabine atau acyclovir memiliki
angka mortalitas mencapai 60%. (Whitley dkk 91).
15
Luaran kehamilan yang buruk seringkali terjadi pada infeksi primer pada kehamilan
Resiko terjadinya komplikasi pada janin paling tinggi apabila terjadi infeksi primer dan tidak
terdapat antibodi yang bereaksi silang dari herpesvirus tipe-1. Infeksi nonprimer episode
pertama memiliki gejala yang lebih ringan dibandingkan infeksi primer genital tipe-2.
Penatalaksanaan Antepartum
The American College of Obstetricians and Gynecologists (1988), the Infectious
Disease Society for Obstetrics and Gynecology (Gibbs 1988) dan Canadian Paediatric
Society (1992) telah merekomendasikan hal-hal berikut:
1. Kultur diambil untuk menegakkan diagnosis apabila seorang wanita hamil
memiliki suatu lesi yang dicurigai sebagai suatu lesi herpes. Apabila tidak terdapat
lesi pada saat persalinan, maka persalinan pervaginam dapat dilakukan
2. Tidak perlu dilakukan kultur tiap minggu untuk wanita dengan riwayat infeksi
herpesvirus tapi saat ini tidak memiliki lesi.
3. Amniosentesis untuk mengkonfirmasikan infeksi janin tidak
direkomendasikan.
Oleh karena itu maka seksio sesarea dilakukan apabila lesi primer atau rekurens
timbul pada saat persalinan, apabila ketuban pecah atau terdapat gejala rekurensi. 1,2
Perawatan Neonatus
Bayi yang lahir dari ibu yang diketahui atau dicurigai mengidap herpes genital harus
diisolasi dari bayi lain dan diambil kultur darahnya. Fungsi hati dan cairan spinal harus
diperiksa secara serial juga pemantauan ketat secara klinis sampai usia 2 minggu. Tidak perlu
memisahkan antara ibu dengan bayinya, akan tetapi tetap harus diinstruksikan untuk mencuci
tangan dan mencegah setiap kontak antara lesinya, tangannya dan bayinya. Menyusui
diperbolehkan, namun orangtua dengan lesi herpetik oral tidak diperbolehkan mencium bayi
dan harus diajarkan menggunakan teknik mencuci tangan yang benar.
16
17
DAFTAR PUSTAKA
18