“Analisis Kejadian Luar Biasa Difteri dan Bagaimana Kita Semua Berperan di
Dalamnya”
Pada penghujung tahun 2017 ini, Indonesia mengalami Kejadan Luar Biasa (KBL)
penyakit Difteri yang kembali mewabah. Difteri sendiri bukan merpakan penyakit yang baru.
Penyakit ini telah ada dan masih menjadi ancaman negara-negara tropis, seperti Indonesia.
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, jenis bakteri berbentuk batang
(bacillus), non-motil, tidak berkapsul, dan merupakan bakteri Gram-positif. Bakteri ini
menginfeksi nasofaring dan kulit. Eksotoksin yang dihasilkan oleh strain tertentu dari bakteri
ini dapat menyebabkan penyakit Difteri dengan gejala faringitis, demam, serta pembengkakan
leher, serta dapat mengakibatkan kematian melalui paralisis dan gagal jantung kongestif akibat
persebaran toksin ke dalam sistem sirkular tubuh. Lesi dari bakteri ini dapat memunculkan
pseudomembran (selaput tipis) berwarna putih keabuan pada tenggorokan (laring, faring,
tonsil) dengan sifat tak mudah lepas dan mudah berdarah. Toksin dari bakteri ini hanya dapat
dihentikan dengan pemberian Serum Antitoksin Difteri pada penderita.
1) Sumatera Barat
2) Jawa Tengah
3) Aceh
4) Sumatera Selatan
5) Sulawesi Selatan
6) Kalimantan Timur
7) Riau
8) Banten
9) DKI Jakarta
10) Jawa Barat
11) Jawa Timur
Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Indonesia telah meluas ke 142 kabupaten/kota di
28 provinsi di Indonesia dengan jumlah korban meninggal bertambah menjadi 38 orang dan
yang dirawat sebanyak 600 pasien. Kasus KLB Difteri di Indonesia saat ini merupakan yang
terbesar di dunia. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia memiliki populasi penduduk lebih
banyak jika dibandingkan dengan negara yang pernah mengalami KLB difteri sebelumnya.
Berikut adalah data jumlah kasus penyakit difteri yang tersebar pada 20 provinsi di
Indonesia. Data ini terus berkembang dari waktu ke waktu dan tidak menutup kemungkinan
bahwa belum sema jumlah kasus terdata dalam kejadian ini.
Gambar 1. Mapping KLB Difteri sampai Bulan Nivember 2017 (Sumber: Kemenkes RI)
Gambar 2. Provinsi dengan jumlah kasus terbanyak pada tahun 2017 (Sumber: Kemenkes RI)
Berdasarkan hasil surveilans dari waktu ke waktu, kasus difteri ini masih terjadi karena
masih ditemukan daerah yang memiliki cakupan imunisasi rendah. Hal itu merupakan akibat
dari adanya penolakan terhadap imunisasi, rendahnya partisipasi masyarakat, hingga geografis
yang sulit. Imunisasi masih merupakan upaya yang paling efektif dalam mencegah terjadinya
penyakit Difteri. Keberhasilan pencegahan Difteri dengan imunisasi sangat ditentukan oleh
cakupan imunisasi, yaitu minimal 95%. Imunisasi diberikan sebagai upaya pemberian
kekebalan khusus terhadap penyakit Difteri. Vaksin untuk imunisasi Difteri ada 3 jenis, yaitu
vaksin DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan vaksin Td yang diberikan pada usia berbeda. Imunisasi
yang diberikan berupa imunisasi DPT-HB-Hib sebanyak 3 dosis pada bayi dengan jarak 1
bulan ditambah dengan imunisasi lanjutan (booster) pada anak umur 18 bulan sebanyak 1 dosis
vaksin DPT-HB-Hib dan murid Sekolah Dasar (SD) kelas-1 diberikan 1 dosis vaksin DT,
murid kelas-2 diberikan 1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas-5 diberikan 1 dosis
vaksin Td. Efektivitas dari imunisasi dalam mencegah kejadian penyakit Difteri terlihat dari
data yang mengungkap bahwa tidak terdapat laporan mengenai kasus Difteri pada daerah
dengan cakupan imunisasi yang tinggi. Sementara itu, Outbreak Response Immunization (ORI)
yang dilakukan pada daerah yang pernah terjadi wabah Difteri terbukti efektif dalam memutus
rantai penularan penyakit ini.
Menurut data dari Basic Health Research pada tahun 2013, cakupan imunisasi DPT
untuk anak usia 2-6 tahun di Indonesia hanya mencapai 75,6%, sedangkan cakupan ideal dari
suatu imunisasi adalah sebanyak 90%. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 24,6% anak-anak
di Indonesia tidak mendapatkan vaksin tersebut. Penelitian ini juga membuktikan bahwa
terdapat daerah-daerah di Indonesia dengan cakupan imunisasi rendah, seperti Papua (40,8%),
Maluku (53,8%), dan Aceh (52,9%). Padahal, berdasarkan akumulasi data dari tahun 2007
hingga 2015 menunjukkan bahwa insiden Difteri akan dapat diturunka secara total dan optimal
jika cakupan imunisasi di Indonesia mencapai 99,3%.
Gambar 3. Cakupan imunisasi DPT dan jumlah kasus difteri di Indonesia tahun 2007-2015
(Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI)
Munculnya KLB Difteri dapat dikaitkan dengan adanya immunity gap, yaitu
kesenjangan/kekosongan kekebalan di kalangan penduduk di suatu daerah akibat adanya
akumulasi kelompok yang rentan terhadap Difteri karena kelompok ini tidak mendapat
imunisasi atau tidak diimunisasi dengan lengkap. Hal ini dapat disebabkan oleh munculnya
penolakan terhadap imunisasi di beberapa daerah di Indonesia akibat negative campaign
terhadap imunisasi, termasuk vaksin Difteri. Kegagalan vaksin dalam membentuk antibodi
pada orang yang telah divaksinasi pun dapat terjadi karena imunisasi tidak lengkap, imunisasi
tidak sesuai jadwal, atau bahkan imunisasi tidak diberikan. Ketidaktegasan pemerintah dalam
mewajibkan pemberian imunisasi pun turut andil dalam tidak optimalnya program imunisasi
Difteri. Resistensi antibiotik juga memainkan peranan penting dalam penanganan penyakit ini.
Sistem distribusi vaksin dengan memperhatikan faktor kondisi ideal vaksin, keamanan
penyebaran vaksin, dan kesesuaian penyimpanan juga tidak kalah penting dalam faktor
keberhasilan imunisasi penyakit Difteri.
KLB atau Kejadian Luar Biasa sendiri merupakan suatu status yang diterapkan di
Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit. Tujuh
kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) menurut Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) No.
1501/MENKES/PER/X/2010 Tahun 2010 adalah:
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam,
hari, atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun
sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan
perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan
dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu
yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.
Saat ini, dalam rangka menanggulangi KLB Difteri pada tahun 2017 ini, pemerintah
telah melakukan beberapa langkah penanggulangan, meliputi peningkatan jumlah produksi
vaksin, serta melakukan program ORI. Kementerian Kesehatan bersama dengan PT. Bio Farma
telah meningkatkan jumlah vaksin hingga 3,5 juta vial untuk penggunaan saat ini sampai pada
tahun 2018. Satu vial dapat digunakan oleh 8-10 orang. Pemerintah juga telah melakukan
program ORI atau imunisasi massal untuk mencegah penyebaran penyakit Difteri lebih lanjut.
Sementara waktu, Kementerian Kesehatan memprioritaskan penerapan program ini di Jakarta,
Banten, dan Jawa Barat.
Pemerintah dan kita sebagai warga negara Indonesia memiliki peran penting bersama
dalam penaggulangan KLB Difteri. Dalam rangka eradikasi terhadap penyakit ini, kita bersama
harus berusaha semaksimal mungkin menyukseskan program pemberantasan penyakit Difteri
hingga tercapai indikator keberhasilan dalam penanggulangan KLB, meliputi: menurunnya
frekuensi KLB; menurunnya jumlah kasus pada setiap KLB; menurunnya jumlah kematian
pada setiap KLB; memendeknya periode KLB; dan menyempitnya penyebarluasan wilayah
KLB.
DAFTAR PUSTAKA
Infodatin. 2016. “Situasi Imuniasi di Indonesia”. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI.
Mardiastuti, Aditya. “Kemenkes Hingga November Ada 32 Korban Meninggal Akibat Difteri”.
10 Desember 2017. (https://news.detik.com/berita/d-3763050/kemenkes-hingga-
november-ada-32-korban-meninggal-akibat-difteri diakses 12 Desember 2017)
Murphy JR. Corynebacterium Diphtheriae. In: Baron S, editor. Medical Microbiology. 4th
edition. Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at Galveston; 1996.
Chapter 32. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7971/
Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. “Pendapat Ikatan Dokter Anak Indonesia terhadap
Kejadian Luar Biasa Difteri”. (http://www.idai.or.id/about-idai/idai-
statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-indonesia-kejadian-luar-biasa-difteri)
Santoso, Audrey. “Pemerintah Siapkan 3,5 Juta Vial Vaksin Difteri”. 13 Desember 2017.
(https://news.detik.com/berita/3767698/pemerintah-siapkan-35-juta-juta-vial-vaksin-
difteri)
Sitepu, Mehulika. “Pemerintah dianggap lemah dalam mewajibkan orang tua memberikan
imunisasi”. (http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41626425)