Anda di halaman 1dari 18

Pengertian Obat

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, dikatakanbahwa obat


adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkanuntuk digunakan dalam
menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan,menghilangkan, menyembuhkan penyakit
atau gejala penyakit, luka atau kelainanbadaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan
untuk memperelok ataumemperindah badan atau bagian badan manusia.

Menurut Batubara (2008), obatadalah zat kimia yang dapat mempengaruhi jaringan
biologi. Dalam WHO, obatdidefinisikan sebagai zat yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik
atau psikis.

Sedangkan menurut Kebijakan Obat Nasional (KONAS), obat adalah sediaanyang


digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis ataukondisi patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,pemulihan dari rasa sakit,
gejala sakit, dan/atau penyakit, untuk meningkatkankesehatan, dan kontrasepsi. Dalam
pengertian umum, obat adalah suatu substansiyang melalui efek kimianya membawa
perubahan dalam fungsi biologik(Katzung, 2007).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat

(drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi

obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat

terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah

oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005).

Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah

efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat

potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya

beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009).


Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat

lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam

lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat

bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir

bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan

toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila

menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang

rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik

(Setiawati, 2007).

22
2.2 Mekanisme Interaksi Obat

Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B)

dengan satu dari dua mekanisme berikut:

1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di

cairan jaringan (interaksi farmakodinamik).

2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi

farmakokinetik).

a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B

sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan

kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan

menyebabkan toksisitas).

b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon

curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan

menyebabkan perubahan efek secara substansial).

c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang

sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti

penisilin hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena

batas keamanannya lebar.

d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas

terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama,

sebagai contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium,

sejumlah antineoplastik dan obat-obat imunosupresan.

(Hashem, 2005).

23
Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :

1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi,

distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau

mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya

(BNF 58, 2009).

Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

a. Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada

apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan.

Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi

usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai

contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada

pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).

ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus

untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun

lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam

dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan.

Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan

sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut

aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan

mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).

24
iii. Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil,

obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat

mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan

lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen),

sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008).

iv. Induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter

obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-

glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan

yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi

ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).

v. Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu

penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat

(Stockley, 2008).

b. Interaksi pada distribusi obat

i. Interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh

sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak

yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan

sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat

dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara

25
molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat

yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh

aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif

membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat

yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan

substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS

(Stockley, 2008).

c. Interaksi pada metabolisme obat

i. Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak

berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi

senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal.

Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan

terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini

disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-

kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum,

ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang

ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis

reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan

oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih

polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat

lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi)

26
untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I

dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

ii. Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus

dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik

yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim

mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya

(Stockley, 2008).

iii. Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga

obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang

mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk

berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2

sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur

metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh

isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi

enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika

serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara

klinis (Stockley, 2008).

iv. Faktor genetik dalam metabolisme obat

Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa

isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti

bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda

aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian

27
kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai

metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau

metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme

obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien

berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang

lain bebas dari gejala (Stockley, 2008).

v. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi

isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak

mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara

ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).

d. Interaksi pada ekskresi obat

i. Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)

sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak

dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin

dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5

sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah

obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley,

2008).

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus

ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh,

probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan

28
meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal,

sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak

obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs) (Stockley,

2008).

iii. Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator

prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi

beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

2. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang

memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.

Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-

obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat

diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi

(BNF 58, 2009).

a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan

bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika

diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya

ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan.

Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas,

nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley,

2008).

29
b. Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan

yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu

pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika

asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu

protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi

pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

2.3 Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam

tiga level : minor, moderate, atau major.

1. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi

mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap

pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin

oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).

2. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari

bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe

intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin

menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan,

perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit.

Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan

monitoring nefrotoksisitas (Bailie, 2004).

30
3. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat

probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian

yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie,

2004). Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian

eritromisin dan terfenadin (Piscitelii, 2005).

2.4 Prevalensi Interaksi Obat

Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan

karena (1) dokumentasinya masih sangat jarang; (2) seringkali lolos dari

pengamatan karena kurangnya pengetahuan pada dokter akan mekanisme dan

kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan

toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat

sedangkan interaksi berupa penurunan efektivitas seringkali diduga akibat

bertambahnya keparahan penyakit; selain itu terlalu banyak obat yang saling

berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; dan (3) kejadian atau keparahan interaksi

dipengaruhi oleh variasi individual (populasi tertentu lebih peka misalnya

penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas

metabolisme antar individu), penyakit tertentu (terutama gagal ginjal atau

penyakit hati yang parah), dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan

bersama-sama, pemberian kronik) (Setiawati, 2007).

Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi) yang menjadi

kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu survai yang

dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada penderita yang dirawat di

rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada penderita yang

31
mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20 macam

obat adalah 54%. Peningkatan efek samping obat yang jauh melebihi peningkatan

jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi

obat yang juga semakin meningkat (Setiawati, 2007).

Estimasi/perkiraan terbaik terhadap prevalensi reaksi obat merugikan

berasal dari program survey yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug

dimana interaksi obat ditetapkan sebanyak 7% dari reaksi obat merugikan di

rumah sakit (Caruthers, 2000).

Laporan secara keseluruhan terhadap frekuensi interaksi obat-obat sangat

bervariasi di literatur. Laju insidensi yang dilaporkan pada tahun 1970-an dan

1980-an dalam range 2,2 – 70,3 % untuk pasien rawat jalan, rawat inap, atau

pasien yang mendapat perawatan di rumah. Secara keseluruhan, insidensi interaksi

obat potensial yang berbahaya secara umum rendah, tetapi pada populasi seperti

orang tua, orang-orang dengan kemampuan metabolisme lama atau lambat, orang-

orang dengan disfungsi hati dan ginjal, dan orang-orang yang mendapatkan

banyak obat, khususnya penggunaan obat off-label lebih berisiko. Data yang

dikumpulkan pada tahun 1995-1997 menunjukkan bahwa interaksi obat potensial

sebesar 75% pada populasi pasien HIV, dengan insidensi interaksi yang

signifikansi klinisnya aktual sebesar 25% (Piscitelli, 2005).

Di Indonesia, sebuah hasil penelitian yang dilakukan di rumah sakit

pendidikan Dr. Sardjito Jogjakarta menunjukkan bahwa interaksi obat terjadi pada

59% pasien rawat inap dan 69% pasien rawat jalan (Rahmawati, 2006).

32
2.5 Faktor-faktor Penyebab Interaksi Obat

Sekarang ini, potensi efek yang tidak terduga sebagai akibat dari interaksi

antara obat dan obat lain atau makanan telah ditetapkan. Risiko interaksi obat

akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat yang digunakan oleh

individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan

mengalami penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih

banyak daripada populasi umum. Risiko juga meningkat bila rejimen pasien

berasal dari beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat

menurunkan risiko interaksi yang tidak terdeteksi (McCabe, et.al., 2003).

Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang

diresepkan banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat meningkat secara linear

seiring dengan peningkatan jumlah obat yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam

terapi, jenis kelamin dan usia pasien (Mara and Carlos, 2006).

Farmakokinetik

Farmakokinetik berasal dari kata “pharmakon” yang berarti obat atau racun dan “kinesis”
yang berarti pergerakan sehingga farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari proses
pergerakan obat di dalam tubuh. Farmakokinetik terdiri dari proses absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi obat dari dalam tubuh. Proses farmakokinetik tersebut menentukan
kecepatan, konsentrasi, dan lama obat tersebut berada pada organ target (Holford, 2007).
a. Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat kedalam darah. Menurut
Batubara(2008), kecepatan absorpsi obat tergantung dari kecepatan obat melarut
padatempat absorpsi, derajat ionisasi, pH tempat absorpsi, dan sirkulasi darah ditempat
obat melarut.
Cara pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorpsi.
Selain itu untuk dapat diabsorpsi, obat harus dapat melarut atau dalam bentuk yang sudah
terlarut sehingga kecepatan melarut akan sangat menentukan kecepatan absorpsi. Untuk
itu, sediaan obat padat sebaiknya diminum dengan cairan yang cukup untuk membantu
mempercepat kelarutan obat (Batubara, 2008).
Pada level seluler, obat diabsorpsi melalui beberapa metode, yaitu :
Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi obat
dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi
rendah.
Terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membran dan
berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membran seimbang.

Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energi untuk menggerakkan obat dari daerah dengan
konsentrasi obat rendah kedaerah dengan konsentrasi obat tinggi. Pinositosis adalah bentuk
transfer aktif yang unik dimana sel ‘menelan’ partikel obat. Biasanya terjadi pada obat-
obat larut lemak (vitA, D, E, K).
Kecepatan Absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit sel maka
absorpsi terjadi cepat sehingga obat segera mencapai level pengobatan dalam tubuh. Obat
yang diberikan melalui intra vena dan inhalasi biasanya dapat diabsorpsi dalam hitungan
detik sampai menit. Pemberian obat melalui oral, intra muskular, otot, dan kulit
memerlukan waktu absorpsi lebih lambat. Dan yang paling lambat hingga berjam-jam
bahkan berhari-hari biasanya obat yang diberikan per rektal.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi penyerapan misalnya aliran darah ketempat
absorpsi, total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi, dan waktu kontak
permukaan absorpsi.
Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi kecepatan absorpsi, antara lain :
Diperlambat oleh nyeri dan stres
Nyeri dan stres dapat mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna,
retensi gaster.
Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan
memperlambat waktu absorpsi obat
Faktor bentuk obat
Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release, dll)
Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat tergantung
jenis obat.

b. Distribusi
Di dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai
ikatan lemah (Setiawati dkk.,2007), lalu akan disebar ke jaringan atau tempat
kerjanya (Batubara, 2008).
Obat bebas akan keluar dari jaringan ke tempat kerja obat,
ke jaringan tempat depotnya, ke hati (obat mengalami metabolisme menjadi metabolit
yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke ginjal, dimana
obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin (Setiawati dkk., 2007).
Hanya obat bebas (tidak terikat) yang dapat mencapai sasaran dan
mengalami metabolisme sehingga lebih mudah diekskresikan. Berkurangnya obat
bebas dalam tubuh karena ekskresi akan menyebabkan pelepasan obat yang terikat
oleh protein. Terjadi keseimbangan yang dinamis antara obat bebas dengan obat
yang terikat. Perbandingan antara obat terikat dan obat bebas akan menentukan
lama kerja (durasi) obat (Batubara, 2008).
Metabolisme
Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia
dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi metabolitnya
(Batubara, 2008). Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh.

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.
Dengan perubahan ini obat aktif umumya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau
menjadi toksik (Setiawati dkk., 2007).
Proses metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase
I terdiri dari terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat
menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif
(Setiawati dkk., 2007). Reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat
endogen : asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan
hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat
dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan
diikuti dengan reaksi fase II. Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar
untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui fase II lebih dulu
(Setiawati dkk., 2007).
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara yaitu menjadi metabolit inaktif
kemudian diekskresikan, menjadi metabolit aktifmemiliki kerja farmakologi
tersendiribisa dimetabolis melanjutan
-Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme baru
menjadi aktif(=prodrugs)

Metabolisme dalam tubuh terjadi di hepar, ginjal, membran usus

Kondisi Khusus
•Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. Penyakit hepar seperti sirosis.

Pengaruh Gen
•Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme obat dengan
cepat, sementara yang lain lambat.

Pengaruh Lingkungan
•Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya:
–Rokok
–Keadaanstress
–Penyakitlama
–Operasi
–Cedera

Usia
•Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme

. Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal (Setiawati dkk., 2007).
Tempat ekskresi obat lainnya adalah intestinal (melalui feses), paru-paru, kulit,
keringat, air liur, dan air susu (Batubara, 2008). Obat dieksresi melalui ginjal
dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus
proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus (Setiawati dkk., 2007).
Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi
glomerulus masuk ke tubulus (Batubara, 2008). Filtrasi glomerulus menghasilkan
ultrafiltrat, yakni minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam
ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam darah
(Setiawati dkk., 2007). Kelarutan dan pH tidak berpengaruh pada kecepatan
filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah ukuran partikel, bentuk partikel, dan
jumlah pori glomerulus (Batubara, 2008).
Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi
kembali ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Reabsorpsi pasif terjadi di
sepanjang tubulus untuk bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena
derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk
mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa
(Setiawati dkk., 2007).
Kecepatan metabolisme dan ekskresi suatu obat dapat dilihat dari nilai
waktu paruhnya (T1/2). Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan sehingga
kadar obat dalam darah (Batubara, 2008) atau jumlah obat dalam tubuh tinggal
separuhnya (Holford dkk., 1997). Perlambatan eliminasi obat da
pat disebabkan
oleh adanya gangguan hepar atau ginjal sehingga memperpanjang
waktu paruhnya
(Batubara, 2008).
Ekskresi obat kedua penting adalah melalui empedu ke d
alam usus dan
keluar bersama feses (Suyatna dkk., 2007). Selain itu, ekskres
i melalui paru
terutama untuk eliminasi gas anestetik umum. Ekskresi dala
m ASI, saliva,
keringat dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi
ini bergantung
terutama pada difusi pasif dari bentuk non-
ion yang larut lemak melalui sel epitel
kelenjar, dan pada pH. (Suyatna dkk, 2007).

Anda mungkin juga menyukai