Pengertian Obat
Pengertian Obat
Menurut Batubara (2008), obatadalah zat kimia yang dapat mempengaruhi jaringan
biologi. Dalam WHO, obatdidefinisikan sebagai zat yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik
atau psikis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat
obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat
oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005).
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah
efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat
potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya
lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat
bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang
(Setiawati, 2007).
22
2.2 Mekanisme Interaksi Obat
Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B)
farmakokinetik).
a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B
menyebabkan toksisitas).
sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti
(Hashem, 2005).
23
Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :
1. Interaksi Farmakokinetik
apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan.
Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi
usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai
contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada
24
iii. Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil,
obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-
(Stockley, 2008).
sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak
yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan
25
molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh
aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif
membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat
substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS
(Stockley, 2008).
senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal.
Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan
terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini
ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang
26
untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I
(Stockley, 2008).
enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika
serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara
27
kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai
i. Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)
sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak
dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin
dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5
2008).
ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh,
28
meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal,
2008).
2. Interaksi Farmakodinamik
memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.
Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-
obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika
diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya
2008).
29
b. Interaksi antagonis atau berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan
yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu
asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu
1. Keparahan minor
oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).
2. Keparahan moderate
perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit.
30
3. Keparahan major
karena (1) dokumentasinya masih sangat jarang; (2) seringkali lolos dari
toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat
bertambahnya keparahan penyakit; selain itu terlalu banyak obat yang saling
berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; dan (3) kejadian atau keparahan interaksi
penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas
penyakit hati yang parah), dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan
kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu survai yang
dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada penderita yang dirawat di
rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada penderita yang
31
mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20 macam
obat adalah 54%. Peningkatan efek samping obat yang jauh melebihi peningkatan
jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi
berasal dari program survey yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug
bervariasi di literatur. Laju insidensi yang dilaporkan pada tahun 1970-an dan
1980-an dalam range 2,2 – 70,3 % untuk pasien rawat jalan, rawat inap, atau
obat potensial yang berbahaya secara umum rendah, tetapi pada populasi seperti
orang tua, orang-orang dengan kemampuan metabolisme lama atau lambat, orang-
orang dengan disfungsi hati dan ginjal, dan orang-orang yang mendapatkan
banyak obat, khususnya penggunaan obat off-label lebih berisiko. Data yang
sebesar 75% pada populasi pasien HIV, dengan insidensi interaksi yang
pendidikan Dr. Sardjito Jogjakarta menunjukkan bahwa interaksi obat terjadi pada
59% pasien rawat inap dan 69% pasien rawat jalan (Rahmawati, 2006).
32
2.5 Faktor-faktor Penyebab Interaksi Obat
Sekarang ini, potensi efek yang tidak terduga sebagai akibat dari interaksi
antara obat dan obat lain atau makanan telah ditetapkan. Risiko interaksi obat
akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat yang digunakan oleh
individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan
banyak daripada populasi umum. Risiko juga meningkat bila rejimen pasien
berasal dari beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat
Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang
seiring dengan peningkatan jumlah obat yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam
terapi, jenis kelamin dan usia pasien (Mara and Carlos, 2006).
Farmakokinetik
Farmakokinetik berasal dari kata “pharmakon” yang berarti obat atau racun dan “kinesis”
yang berarti pergerakan sehingga farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari proses
pergerakan obat di dalam tubuh. Farmakokinetik terdiri dari proses absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi obat dari dalam tubuh. Proses farmakokinetik tersebut menentukan
kecepatan, konsentrasi, dan lama obat tersebut berada pada organ target (Holford, 2007).
a. Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat kedalam darah. Menurut
Batubara(2008), kecepatan absorpsi obat tergantung dari kecepatan obat melarut
padatempat absorpsi, derajat ionisasi, pH tempat absorpsi, dan sirkulasi darah ditempat
obat melarut.
Cara pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorpsi.
Selain itu untuk dapat diabsorpsi, obat harus dapat melarut atau dalam bentuk yang sudah
terlarut sehingga kecepatan melarut akan sangat menentukan kecepatan absorpsi. Untuk
itu, sediaan obat padat sebaiknya diminum dengan cairan yang cukup untuk membantu
mempercepat kelarutan obat (Batubara, 2008).
Pada level seluler, obat diabsorpsi melalui beberapa metode, yaitu :
Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi obat
dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi
rendah.
Terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membran dan
berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membran seimbang.
Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energi untuk menggerakkan obat dari daerah dengan
konsentrasi obat rendah kedaerah dengan konsentrasi obat tinggi. Pinositosis adalah bentuk
transfer aktif yang unik dimana sel ‘menelan’ partikel obat. Biasanya terjadi pada obat-
obat larut lemak (vitA, D, E, K).
Kecepatan Absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit sel maka
absorpsi terjadi cepat sehingga obat segera mencapai level pengobatan dalam tubuh. Obat
yang diberikan melalui intra vena dan inhalasi biasanya dapat diabsorpsi dalam hitungan
detik sampai menit. Pemberian obat melalui oral, intra muskular, otot, dan kulit
memerlukan waktu absorpsi lebih lambat. Dan yang paling lambat hingga berjam-jam
bahkan berhari-hari biasanya obat yang diberikan per rektal.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi penyerapan misalnya aliran darah ketempat
absorpsi, total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi, dan waktu kontak
permukaan absorpsi.
Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi kecepatan absorpsi, antara lain :
Diperlambat oleh nyeri dan stres
Nyeri dan stres dapat mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna,
retensi gaster.
Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan
memperlambat waktu absorpsi obat
Faktor bentuk obat
Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release, dll)
Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat tergantung
jenis obat.
b. Distribusi
Di dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai
ikatan lemah (Setiawati dkk.,2007), lalu akan disebar ke jaringan atau tempat
kerjanya (Batubara, 2008).
Obat bebas akan keluar dari jaringan ke tempat kerja obat,
ke jaringan tempat depotnya, ke hati (obat mengalami metabolisme menjadi metabolit
yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke ginjal, dimana
obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin (Setiawati dkk., 2007).
Hanya obat bebas (tidak terikat) yang dapat mencapai sasaran dan
mengalami metabolisme sehingga lebih mudah diekskresikan. Berkurangnya obat
bebas dalam tubuh karena ekskresi akan menyebabkan pelepasan obat yang terikat
oleh protein. Terjadi keseimbangan yang dinamis antara obat bebas dengan obat
yang terikat. Perbandingan antara obat terikat dan obat bebas akan menentukan
lama kerja (durasi) obat (Batubara, 2008).
Metabolisme
Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia
dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi metabolitnya
(Batubara, 2008). Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh.
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.
Dengan perubahan ini obat aktif umumya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau
menjadi toksik (Setiawati dkk., 2007).
Proses metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase
I terdiri dari terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat
menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif
(Setiawati dkk., 2007). Reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat
endogen : asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan
hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat
dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan
diikuti dengan reaksi fase II. Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar
untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui fase II lebih dulu
(Setiawati dkk., 2007).
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara yaitu menjadi metabolit inaktif
kemudian diekskresikan, menjadi metabolit aktifmemiliki kerja farmakologi
tersendiribisa dimetabolis melanjutan
-Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme baru
menjadi aktif(=prodrugs)
Kondisi Khusus
•Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. Penyakit hepar seperti sirosis.
Pengaruh Gen
•Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme obat dengan
cepat, sementara yang lain lambat.
Pengaruh Lingkungan
•Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya:
–Rokok
–Keadaanstress
–Penyakitlama
–Operasi
–Cedera
Usia
•Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme
. Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal (Setiawati dkk., 2007).
Tempat ekskresi obat lainnya adalah intestinal (melalui feses), paru-paru, kulit,
keringat, air liur, dan air susu (Batubara, 2008). Obat dieksresi melalui ginjal
dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus
proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus (Setiawati dkk., 2007).
Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi
glomerulus masuk ke tubulus (Batubara, 2008). Filtrasi glomerulus menghasilkan
ultrafiltrat, yakni minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam
ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam darah
(Setiawati dkk., 2007). Kelarutan dan pH tidak berpengaruh pada kecepatan
filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah ukuran partikel, bentuk partikel, dan
jumlah pori glomerulus (Batubara, 2008).
Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi
kembali ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Reabsorpsi pasif terjadi di
sepanjang tubulus untuk bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena
derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk
mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa
(Setiawati dkk., 2007).
Kecepatan metabolisme dan ekskresi suatu obat dapat dilihat dari nilai
waktu paruhnya (T1/2). Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan sehingga
kadar obat dalam darah (Batubara, 2008) atau jumlah obat dalam tubuh tinggal
separuhnya (Holford dkk., 1997). Perlambatan eliminasi obat da
pat disebabkan
oleh adanya gangguan hepar atau ginjal sehingga memperpanjang
waktu paruhnya
(Batubara, 2008).
Ekskresi obat kedua penting adalah melalui empedu ke d
alam usus dan
keluar bersama feses (Suyatna dkk., 2007). Selain itu, ekskres
i melalui paru
terutama untuk eliminasi gas anestetik umum. Ekskresi dala
m ASI, saliva,
keringat dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi
ini bergantung
terutama pada difusi pasif dari bentuk non-
ion yang larut lemak melalui sel epitel
kelenjar, dan pada pH. (Suyatna dkk, 2007).