Anda di halaman 1dari 9

PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

FAKTOR PENYEBAB SERTA DAMPAKNYA BAGI KEHIDUPAN


MANUSIA

A. Pendahuluan
Perubahan iklim global merupakan malapetaka yang akan datang! Kita
telah mengetahui sebabnya - yaitu manusia yang terus menerus menggunakan
bahan bakar yang berasal dari fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas bumi.
Kita sudah mengetahui sebagian dari akibat pemanasan global ini - yaitu
mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang
berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar-besaran,
coral bleaching dan gelombang badai besar. Kita juga telah mengetahui siapa
yang akan terkena dampak paling besar - Negara pesisir pantai, Negara
kepulauan, dan daerah Negara yang kurang berkembang seperti Asia Tenggara.

B. Pengertian Perubahan Iklim Global


Yang dimaksud dengan perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim,
khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur
dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial).
Disamping itu harus dipahami bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh
kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian
bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Jadi perubahan yang disebabkan oleh
faktor-faktor alami, seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi, tidak
diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim. Dengan demikian fenomena
alam yang menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti siklon yang dapat terjadi di
dalam suatu tahun (inter annual) dan El-Nino serta La-Nina yang dapat terjadi di
dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak dapat digolongkan ke dalam perubahan
iklim global.
Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan
peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon
dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas inilah yang
selanjutnya menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya yang seperti
kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang-pendek yang tidak bersifat
panas, tetapi menahan radiasi gelombang-panjang yang bersifat panas seperti
terlihat pada Gambar 1. Akibatnya atmosfer bumi makin memanas dengan laju
yang setara dengan laju perubahan konsentrasi GRK.

C. Penyebab Perubahan Iklim Global


Perubahan iklim global pasti terjadi mengingat sifat iklim sendiri yang
dinamis dan selalu mengikuti perubahan siklus alaminya. Siklus alami tersebut
bisa dilihat dari segi botani. Seperti cara Vladimir Peter Koppen dalam
menentukan jenis iklim di suatu wilayah, lihatlah dari perubahan fisik tumbuhan,
endapan lautan, distribusi tanah dan inti lapisan es.
Dewasa ini, perubahan iklim global cenderung bersifat konstan mengingat
semakin meningkatnya suhu bumi secara menyeluruh. Penyebab perubahan
iklim global seharusnya dibiarkan terjadi secara alami. Namun, campur tangan
manusia terhadap alam semesta telah mempercepat perubahan tersebut secara
signifikan. Berikut penyebab perubahan iklim gobal :

1) Pemanasan Global
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah wadah
diskusi Internasional yang khusus menyoroti tentang perubahan iklim dunia,
pada 2007 lalu telah menyatakan secara eksplisit apa yang terjadi muka bumi
ini.
Di antaranya isu pemanasan global yang telah dan sedang terjadi saat
ini, temperatur bumi yang makin meningkat sebagai dampak dari tangan-
tangan manusia, dilihat dari gejala yang sedang terjadi sekarang seperti suhu
yang ekstrem, gelombang panas bumi, dan hujan lebat yang turun tidak sesuai
dengan siklusnya dalam frekuensi yang terus meningkat. Dapat dipastikan,
hal-hal tersebut akan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya.
Pada 2009 akhir, kondisi kaki Gunung Mount Everest terlihat cukup
memprihatinkan. Es dan salju yang membentuk gletser pada puncak Mount
Everest telah mencair hingga membentuk danau es. Kejadian ini
mencemaskan para penduduk Nepal yang ada di sekitar kaki gunung.
Untuk membicarakan hal tersebut kepala pemerintah Nepal bersama
para perdana menterinya berdiskusi dengan cara berkumpul di kaki Gunung
Everest. Tindakan ini merupakan inisiatif pemerintah terhadap perubahan
iklim yang ternyata bukan hanya mempengaruhi kondisi geografis Nepal,
namun juga kondisi bumi secara keseluruhan.
Hasil pembahasan ini dibawa ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB
di Kopenhagen, Denmark dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim
Internasional.
Dalam konferensi itu disepakati beberapa hal untuk menghentikan
perubahan iklim global. Di antaranya pengakuan mendesak bahwa suhu bumi
tidak boleh naik 2 derajat Celcius, bantuan finansial untuk negara berkembang
dalam bentuk dana iklim senilai 100 miliar dolar mulai tahun 2020, dan
pengawasan terhadap janji mengurangi emisi CO2 namun prosentase kadar
emisinya tidak ditentukan sampai batas tertentu.
Untuk bisa melakukan semua ide tersebut dibutuhkan kerja keras
seluruh pihak baik pemerintah maupun warga masyarakat tanpa terkecuali
sebagai penduduk bumi. Memulai sesuatu memang tidak mudah, tapi dengan
tekad yang kuat dan konsep yang tepat dan terarah, panas bumi dapat
diturunkan hingga batas normal.

2) Efek Rumah Kaca


Perlu diketahui bahwa faktor utama penyebab terjadinya perubahan
iklim global adalah adanya efek rumah kaca yang banyak digunakan untuk
kegiatan industri yang dimulai sejak Revolusi Industri sejak abad 19. Lahan
hijau banyak yang diratakan dengan tanah untuk dijadikan kawasan industri
dengan dibangunnya bangunan-bangunan untuk kegiatan produksi dan
pemukiman penduduk.
Hal ini membuat penduduk dunia di berbagai belahan bumi
berbondong-bondong melakukan migrasi dari desa ke kota untuk ambil bagian
dalam kegiatan industri tersebut. Radiasi sinar matahari leluasa dipancarkan
ke bumi dan terperangkap dalam rumah-rumah kaca. Hal ini menyebabkan
peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi.
Atmosfer pun mengalami peningkatan suhu. Penggunaan aerosol dan
emisi gas nuangan yang tidak sesuai semakin menambah jumlah emisi yang
terperangkap dalam rumah kaca.

C. Dampak Perubahan Iklim Global


1) Pertumbuhan emisi dan konsentrasi gas rumahkaca
Menurut IPCC (2001) dalam dekade terakhir ini pertumbuhan CO2
adalah sebesar 2900 juta ton/tahun, sementara pada dekade sebelumnya
adalah sebesar 1400 juta ton/tahun. Sedang CH4 justru mengalami penurunan
dari 37 juta ton/tahun pada dekade terdahulu menjadi 22 juta ton/tahun pada
dekade terakhir. Demikian pula halnya dengan N2O meskipun kecil juga
mengalami penurunan dari 3,9 menjadi 3,8 juta ton/tahun. Sementara itu
tingkat emisi CO2, CH4, dan N2O di Indonesia pada tahun 1994 berturut-
turut adalah 952.199, 4.286, dan 61 Gg.
Uap air (H2O) pun sebenarnya merupakan GRK yang dapat dirasakan
pengaruhnya ketika menjelang turun hujan. Udara terasa panas karena radiasi
gelombang-panjang tertahan uap air atau mendung yang menggantung di
atmosfer. Namun demikian karena keberadaan (life time) H2O sangat singkat
(2-3 hari), maka uap air bukanlah GRK yang efektif. Sementara itu untuk
CO2, CH4, dan N2O keberadaannya di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15,
dan 115 tahun.

2) Peningkatan suhu bumi


Dalam 100 tahun terakhir suhu bumi terlihat mulai ditentukan oleh
peningkatan CO2 di atmosfer. Pada zaman praindustri (sebelum tahun 1850)
konsentrasi CO2 masih sekitar 290 ppm, sedang pada tahun 1990
konsentrasinya telah meningkat menjadi 353 ppm. Peningkatan suhu rata-rata
bumi sebesar 0,5 oC telah dicatat. Dengan pola konsumsi energi dan
pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, maka diperkirakan pada tahun 2100
konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dibanding zaman industri,
yaitu sekitar 580 ppm. Dalam kondisi demikian berbagai model sirkulasi
global memperkirakan peningkatan suhu bumi antara 1,7-4,5 oC (Gambar 2).
Peningkatan yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan
menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan
pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati,
produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia.

3) Perubahan pola dan distribusi hujan


Pola dan distribusi curah hujan terjadi dengan kecenderungan bahwa
daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin
basah. Konsekuensi-nya adalah bahwa kelestarian sumberdaya air juga akan
terganggu. Di Indonesia dikenal 3 macam pola distribusi hujan, yaitu pola
monsun (monsoonal), ekuatorial dan lokal. Pertama, daerah yang sangat
dipengaruhi oleh monsun memiliki pola hujan dengan satu pucak (unimodal).
Ciri dari pola ini adalah adanya musim hujan dan kemarau yang tajam dan
masing-masing berlangsung selama kurang lebih 6 bulan, yaitu Oktober -
Maret sebagai musim hujan dan April – September sebagai musim kemarau.
Kedua, daerah yang dekat dengan ekuator dipengaruhi oleh sistem ekuator
dengan pola hujan yang memiliki dua puncak (bimodal), yaitu pada bulan
Maret dan Oktober saat matahari berada di dekat ekuator. Ketiga, daerah
dengan pola hujan lokal, dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal dengan
puncak yang terbalik dibandingkan dengan pola hujan monsun yang
disebutkan di atas. Perubahan iklim (khususnya suhu dan curah hujan) tidak
hanya menyebabkan perubahan volume defisit atau surplus air, tetapi juga
periode daerah itu mengalami surplus atau defisit. Dalam suatu studi hidrologi
daerah aliran sungai (DAS) di daerah ekuatorial seperti Sulawesi, perubahan
iklim (dengan konsentrasi CO2 atmosfer 2 kali lipat dibanding konsentrasi
pada zaman pra-industri yang hanya 280 ppm) akan menyebabkan DAS
tersebut tidak mengalami defisit sementara surplusnya meningkat dua kali
lipat. Sedang DAS di daerah monsun seperti Jawa, surplus air hanya sekitar
30% dengan periode defisit yang lebih pendek dibanding jika iklim tidak
berubah (Murdiyarso, 1994).

F. Dampak perubahan iklim Secara spesifik


Dampak perubahan iklim secara global, antara lain sebagai berikut.
a. Mencairnya bongkahan es di kutub sehingga permukaan laut naik.
b. Air laut naik dapat menenggelamkan pulau dan menghalangi mengalirnya air
sungai ke laut dan pada akhirnya menimbulkan banjir di dataran rendah.
c. Suhu bumi yang panas menyebabkan mengeringnya air permukaan sehingga
air menjadi langka.
d. Meningkatnya risiko kebakaran hutan.
e. Mengakibatkan El Nino dan La Nina.
f. Terjadinya perubahan pada cuaca dan iklim.
El Nino dan La Nina merupakan gejala yang menunjukkan perubahan
iklim. El Nino adalah peristiwa memanasnya suhu per mukaan air permukaan laut
di pantai barat Peru–Ekuador (Amerika Selatan) yang mengakibatkan gangguan
iklim secara global.
Biasanya, suhu air permukaan laut di daerah tersebut dingin karena adanya
arus dari dasar laut menuju permukaan (upwelling). Menurut bahasa setempat El
Nino berarti bayi laki-laki karena munculnya di sekitar hari Natal (akhir
Desember). Sejak 1980, telah terjadi lima kali El Nino di Indonesia, yaitu pada
1982, 1991, 1994, dan 1997/98. El Nino tahun 1997/98 menyebabkan kemarau
panjang, kekeringan luar biasa, terjadi kebakaran hutan yang hebat di berbagai
pulau, dan produksi bahan pangan turun dratis, yang kemudian disusul krisis
ekonomi.
El Nino juga menyebabkan kekeringan luar biasa di berbagai benua,
terutama di Afrika sehingga terjadi kelaparan di Ethiopia dan negara- negara
Afrika Timur lainnya. Sebaliknya, bagi negara-negara di Amerika Selatan
munculnya El Nino menyebabkan banjir besar dan turunnya produksi ikan karena
melemahnya upwelling. La Nina merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina
menurut bahasa penduduk lokal berarti bayi perempuan. Peristiwa itu dimulai
ketika El Nino mulai melemah, dan air laut yang panas di pantai Peru - Ekuador
kembali bergerak ke arah barat, air laut di tempat itu suhunya kembali seperti
semula (dingin), dan upwelling muncul kembali, atau kondisi cuaca menjadi
normal kembali. Dengan kata lain,
La Nina adalah kondisi cuaca yang normal kembali setelah terjadinya
gejala El Nino. Perjalanan air laut yang panas ke arah barat tersebut akhirnya
akan sampai ke wilayah Indonesia. Akibatnya, wilayah Indonesia akan berubah
menjadi daerah bertekanan rendah (minimum) dan semua angin di sekitar Pasifik
Selatan dan Samudra Hindia akan bergerak menuju Indonesia. An- gin tersebut
banyak membawa uap air sehingga sering terjadi hujan lebat. Penduduk Indonesia
waspada jika terjadi La Nina karena mungkin bisa menyebabkan banjir.
Sektor pertanian akan terpengaruh melalui penurunan produktivitas pangan
yang disebabkan oleh peningkatan sterilitas serealia, penurunan areal yang dapat
diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara serta penyebaran hama dan
penyakit. Di beberapa tempat di negara maju (lintang tinggi) peningkatan
konsentrasi CO2 akan meningkatkan produktivitas karena asimilasi meningkat,
tetapi di daerah tropis yang sebagian besar negara berkembang, peningkatan
asimilasi tersebut tidak signifikan dibanding respirasi yang juga meningkat.
Secara keseluruhan jika adaptasi tidak dilakukan, dunia akan mengalami
penurunan produksi pangan hingga 7 persen. Namun dengan adaptasi yang
tingkatnya lanjut, artinya biayanya tinggi, produksi pangan dapat distabilkan.
Dengan kata lain stabilisasi produksi pangan pada iklim yang berubah akan
memakan biaya yang sangat tinggi, misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi,
pemberian input (bibit, pupuk, insektisida/pestisida) tambahan. Di Indonesia
dengan skenario konsentrasi CO2 dua kali lipat dari saat ini produksi padi akan
meningkat hingga 2,3 persen jika irigasi dapat dipertahankan. Tetapi jika sistem
irigasi tidak mengalami perbaikan produksi padi akan mengalami penurunan
hingga 4,4 persen (Matthews et al., 1995).
Suhu yang lebih hangat akan menyebabkan pergeseran spesies vegetasi
dan ekosistem. Daerah pegunungan akan kehilangan banyak spesies vegetasi
aslinya dan digantikan oleh spesies vegetasi dataran rendah. Bersamaan dengan
itu kondisi sumberdaya air yang berasal dari pegunungan juga akan mengalami
gangguan. Selanjutnya stabilitas tanah di daerah pegunungan juga terganggu dan
sulit mempertahankan keberadaan vegetasi aslinya. Dampak ini tidak begitu nyata
di daerah lintang rendah atau daerah berelevasi rendah. Jika kebakaran hutan
makin sering dijumpai di Indonesia, agak sulit menghubungkan antara kejadian
tersebut dengan perubahan iklim, sebab sebagian besar (kalau tidak seluruhnya)
kejadian kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia yang berkaitan
dengan pembukaan lahan.
Bahwa kejadiannya bersamaan dengan kejadian El-Nino karena fenomena
ini memberikan kondisi cuaca yang kering yang mempermudah terjadinya
kebakaran. Namun seperti diuraikan di atas El-Nino adalah fenomena alam yang
terkait dengan peristiwa iklim ekstrem dalam variabilitas iklim, bukan perubahan
iklim dalam arti seperti yang diuraikan di atas.
Meningkatnya jumlah penduduk memberikan tekanan pada penyediaan
air, terutama pada daerah perkotaan. Saat ini sudah banyak penduduk perkotaan
yang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih, terutama mereka yang
berpendapatan dan berpendidikan atau berketerampilan rendah. Dampak
perubahan iklim yang menyebabkan perubahan suhu dan curah hujan akan
memberikan pengaruh terhadap ketersediaan air dari limpasan permukaan, air
tanah dan bentuk reservoir lainnya. Pada tahun 2080 akan terdapat 2 hingga 3,5
milyar orang akan mengalami kekurangan air. Pada beberapa daerah aliran sungai
(DAS) penting di Indonesia ketersediaan air permukaan diperkirakan akan
meningkat karena meningkatnya suplus dan menurunnya defisit. Di DAS
Citarum, Jawa Barat peningkatan tersebut mencapai 32%, di DAS Brantas Jawa
Timur 34%, dan di DAS Saadang, Sulawesi Selatan 132% (Murdiyarso, 1994).
Sebagai konsekuensinya kejadian banjir akan meningkat karena
menurunnya daya tampung sungai akibat peningkatan limpasan permukaan dan
menurunnya daya tampung sungai dan waduk akibat peningkatan erosi dan
sedimentasi.
Secara global catatan bencana banjir menunjukkan peningkatan yang
signifikan selama 40 tahun terakhir dengan kerugian ekonomis ditaksir sekitar
US$ 300 milyar pada dekade terakhir dibanding hanya US$ 50 milyar pada
dekade tahun 1960-an. Kawasan pesisir merupakan daerah yang paling rentan dari
akibat kenaikan muka-laut. Dalam 100 tahun terakhir, mukalaut telah naik antara
10-25 cm. Meskipun kenyataannya sangat sulit mengukur perubahan muka-laut,
tetapi perubahan tersebut dapat dihubungkan dengan peningkatan suhu yang
selama ini terjadi. Dalam 100 tahun perubahan suhu telah meningkatkan
pemuaian volume air laut dan meningkatkan ketinggiannya. Demikian juga
penambahan volume air laut juga terjadi akibat melelehnya gletser dan es di
kedua kutub bumi. Dari berbagai skenario, peningkatan tersebut berkisar antara
13 hingga 94 cm dalam 100 tahun mendatang. Dengan panjang pantainya yang
lebih dari 80.000 km, di mana lebih dari 50 persen diantaranya merupakan pantai
landai, Indonesia cukup rentan terhadap kenaikan muka-laut seperti negara-negara
yang berpantai landai seperti Bangladesh.
Kenaikan muka laut hingga 1,5 m dapat berpengaruh terhadap 17 juta
penduduk Bangladesh. Tetapi hanya dengan kenaikan 1 m dampak sosial-
ekonomi terhadap pertanian pantai di beberapa kabupaten di Jawa Barat bagian
utara sudah sangat besar (Parry et al., 1992).Transmisi beberapa penyakit menular
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim.
Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor-faktor iklim,
khususnya suhu dan kelembaban. Penyakit yang tersebar melalui vektor (vector-
borne diseases,VBDs) seperti malaria, demam berdarah (dengeue) dan kaki gajah
(schistosomiosis) perlu diwaspadai karena transmisi penyakit seperti ini akan
makin meningkat dengan perubahan iklim.
Di banyak negara tropis penyakit ini merupakanpenyebab kematian utama.
IPCC (1998) memperkirakan bahwa dengan makin lebarnya selang suhu di mana
vektor dan parasit penyakit dapat hidup telah menyebabkan peningkatan jumlah
kasus malaria di Asia hingga 27 persen, demam berdarah hingga 47 persen dan
kaki gajah hingga 17 persen. Di Indonesia daerah-daerah baru yang menjadi
semakin hangat juga memberi kesempatan penyebaran vektor dan parasitnya.
Penjangkitan VBD bahkan terjadi lagi di daerah-daerah lama yang selama ini
sudah dinyatakan bebas. Hal ini disebabkan karena penggunaan bahan kimia
dalam jangka panjang telah menimbulkan daya tahan vektor. Disamping itu
predator bagi vektor tersebut juga ikut terbasmi.

Daftar Pustaka:
http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/perubahan-iklim-global/
http://climatechange.menlh.go.id
Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/earth-sciences/2248709-dampak-
perubahan-iklim-global/#ixzz1v6VohoGy

Anda mungkin juga menyukai