Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIV/AIDS DENGAN TUBERKULOSIS


PARU
DI RUANG DAHLIA 3 RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Tugas Mandiri
Stase Keperawatan Medikal Bedah Tahap Profesi
Program Studi Ilmu Keperawatan

Disusun oleh:
NYOMAN MARTANA
16/406355/KU/19361

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
HIV/AIDS
A. Definisi HIV/AIDS
HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab AIDS. Virus ini
termasuk RNA virus genus Lentivirus golongan Retrovirus family Retroviridae. AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome, sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi
merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai macam
mikroorganisme serta keganasan lain akibat menurunnya daya tahan/kekebalan tubuh penderita.

B. Patofisiologis HIV/AIDS
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan sekret
vagina. Sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan seksual. Jika virus masuk ke dalam
tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse
transcriptase yang dimiliki oleh HIV, DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam
sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus. HIV menyerang jenis sel
tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama sekali limposit T4 yang
memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain
limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel langerhas pada kulit, sel
dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan
sel-sel mikroglia otak.
Virus yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga
menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Sistem kekebalan tubuh
menjadi lumpuh akibat hancurnya limposit T4 secara besar-besaran yang mengakibatkan timbulnya
berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS. Perjalanan
penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi

Faktor risiko epidemiologis infeksi HIV:


1.Perilaku berisiko tinggi :
- Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa menggunakan kondom

- Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum secara bersama tanpa sterilisasi
yang memadai.

- Hubungan seksual yang tidak aman : multipartner, pasangan seks individu yang diketahui
terinfeksi HIV, kontaks seks per anal.
2.Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3.Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa penapisan.
4.Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang tidak disterilisasi.

Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan
cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata
dan lain-lain.

C. Cara Penularan HIV/AIDS


Penularan HIV yang diketahui adalah melalui hubungan seksual (homo maupun
heteroseksual), darah (termasuk penggunaan jarum suntik), dan transplasental/perinatal (dari ibu ke
anak yang akan lahir). Ada lima unsur yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit
yaitu: sumber infeksi, vehikulum/media perantara, hospes yang rentan, tempat keluar dan tempat
masuk hospes baru
a.Transmisi Seksual
Hubungan seksual (penetrative sexual intercourse) baik vaginal maupun oral merupakan cara
transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual
pasif yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkiran tiga per empat pengidap HIV di
dunia mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dari
pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan
vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV
yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi
lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke
aliran darah pasangan seksual
b.Transmisi Nonseksual
Penularan virus HIV non seksual terjadi melalui jalur pemindahan darah atau produk darah
(transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dan melalui luka kecil di kulit), jalur
transplantasi alat tubuh, jalur transplasental yaitu penularan dari ibu hamil dengan infeksi HIV
kepada janinnya (Murtiastutik, 2008). Transmisi HIV non seksual dapat terjadi pula pada petugas
kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS dan petugas laboratorium yang menangani spesimen
cairan tubuh yang berasal dari penderita. Penularan terjadi karena tertusuk jarum suntik yang
sebelumnya digunakan penderita atau kulit mukosa yang terkena cairan tubuh penderita
D. Gejala Klinis HIV/AIDS
Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV
Stadium klinis 1

 Asimtomatik
 Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2

 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana


 Erupsi pruritik papular
 Infeksi virus wart luas
 Angular cheilitis
 Moluskum kontagiosum luas
 Ulserasi oral berulang
 Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
 Eritema ginggival lineal
 Herpes zoster
 Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis,
tonsillitis )
 Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3
 Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap

terapi standara
 Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih )

 Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau

konstan, > 1 bulan)


 Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
 Oral hairy leukoplakia
 Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
 TB kelenjar
 TB Paru
TB atau Tuberkulosis adalah penyakit yang menginfeksi saluran pernapasan dan paru-paru.
Gejala umum yang ditemui pada TB antara lain batuk parah, demam dan kehilangan berat
badan secara terus menerus. Penderita HIV/AIDS memiliki daya tahan tubuh yang sangat
rendah. karena virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh mereka. Resikonya, selemah
apa pun sel penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh karena sistem kekebalan tubuh
yang tidak bisa menangkal sehingga akan mudah untuk terserang bakteri TB yang sangat
kuat.
 Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
 Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
 Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis

 Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau

trombositopenia (<50 000/ mm3)


Stadium klinis 4
 Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons
terhadap terapi standar
 Pneumonia pneumosistis
 Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan
sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
 Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi
manapun)
 TB ekstrapulmonar
 Sarkoma Kaposi
 Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
 Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
 Ensefalopati HIV
 Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset
umur > 1bulan
 Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
 Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
 Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
 Isosporiasis kronik
 Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
 Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
 Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
 Progressive multifocal leukoencephalopathy

Gejala klinis pada stadium AIDS juga dibagi menjadi gejala mayor dan minor. Gejala
mayor terdiri dari: penurunan berat badan >10% dalam tiga bulan, demam yang panjang atau lebih
dari tiga bulan, diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus, dan TBC. Gejala
minor terdiri dari: batuk kronis selama lebih dari satu bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan
disebabkan jamur Candida Albicans. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap,
munculnya herpes zoster, berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.

E. Diagnosis HIV/AIDS
Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi
virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia
(nyeri otot), demam dan berkeringat. Pasien mugkin mengalami beberapa gejala, tetapi tidak
mengalami keseluruhan gejala tersebut di atas. Pada stadium awal, pemeriksaan laboratorium
merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi virus HIV atau tidak.
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:
a) Metode langsung yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan
mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus yang makin
popular belakangan ini adalah PCR (polymerase chain reaction). PCR untuk DNA dan RNA virus
HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain
tidak jelas.
b) Metode tidak Langsung yaitu dengan melihat respon zat anti spesifik, misalnya dengan ELISA,
western blot, immunofluorescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay (RIPA).

Untuk diagnosis HIV yang lazim dipakai:


a) ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme linked
immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat
sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif.
Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun,
infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif. Tes ini
mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar 98,1%-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil
positif 2-3 bulan setelah infeksi. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan western blot.

b. Western Blot
Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai
protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes
negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti hasil tes positif. Tes
Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh
karena itu, tes harus diulang lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes Western
Blottetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blotharus diulang lagi setelah enambulan. Jika
tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif. Western Blot mempunyai spesifisitas tinggi
yaitu 99,6%-100%. Pemerikasaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
F. Penanganan HIV/AIDS
a) Pengobatan suportif :
- Sebagian besar pasien dengan HIV/AIDS mengalami malnutrisi sehingga perlu
dukungan nutrisi yang sesuai
- Untuk mencegah sistem imunitas yang semakin menurun akibat terinfeksi HIV maka dibutuhkan
beberapa multivitamin seperti : B-complex, C, E

b) Pengobatan simptomatik: pada pasien dengan AIDS menunjukan beberapa gejala klinis yang
semakin parah ketika tidak ditindak lanjuti, sehingga diperlukan penanganan atau pengobatan
simptomatik sesuai kondisi pasien

c) Dukungan psikososial : pada pasien dengan HIV/ AIDS cenderung memiliki permasalahan
depresi dan atau ansietas dikarenakan faktor penyakit yang dialami, sehingga perlu untuk
mendapatkan penanganan untuk menurunkan adanya depresi atau ansietas dari pasien dengan
HIV/AIDS

d) Pengobatan antiretroviral ( ARV ): Terapi obat yang dikenal dengan nama antiretroviral
(ARV) berfungsi menghambat virus dalam merusak sistem kekebalan tubuh.
TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)

DEFINISI
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang menyerang parenkim paru, agen
infeksius utama adalah Mycobakterium Tuberculosis. Tuberkulosis paru merupakan problem
kesehatan masyarakat terutama di negara-negara berkembang.

A. ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis paru adalah Mycobacterium Tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 /µm dan tebal 0,3-0,6 /µm. sebagian besar kuman
terdiri dari asam lemak (lipid).
Sifat-sifat kuman:
1. Tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan fisik dan kimia karena adanya
lipid.
2. Bersifat aerob, sifat ini menunjukkan bahwa kuman menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya.
3. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin.
4. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yaitu dalam sitoplasma
makrofag.

B. PATOFISIOLOGI
Individu rentan yang menghirup basil tuberkulosis dan menjadi terinfeksi. Bakteri
dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka terkumpul dan mulai untuk
memperbanyak diri. Basil juga dipindahkan melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh
lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (lobus atas).
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan
makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit spesifik-tuberkulosis melisis (menghancurkan) basil
dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli,
menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah
pemajanan.
Massa jaringan baru yang disebut granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa,
bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bakteri dan makrofag menjadi
nekrotik, membentuk massa seperti keju, massa ini mengalami kalsifikasi, membentuk skar
kolagenosa. Bateri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit yang aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena
gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi
dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman, dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah,
melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronki, bakteri kemudian menyebar ke udara,
mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk
jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya
bronkopneumonia lebih lanjut.

PATHWAY
TANDA DAN GEJALA
1. Demam
Biasanya sub febril menyerupai demam influenza, kadang-kadang panas badan dapat
mencapai 40-41ºC, penderita merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza,
keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan berat ringannya infeksi kuman
tuberkulosis yang masuk.
2. Batuk
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering
(non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif, keadaan lanjut
adalah berupa batuk darah (hemoptoe) karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
3. Sesak nafas
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah
setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
5. Maleise
Gejala maleise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak nafsu makan, badan makin kurus,
sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

C. KOMPLIKASI
1. Hepatitis karena efek terapi obat-obatan
2. TB miliaris
3. Dermatitis
4. Gangguan GI
5. Hiperurisemia
6. Neuritis optika

D. PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
Pada apeks (puncak) paru, bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas yang bronkial, suara nafas tambahan berupa
ronkhi basah kasar dan nyaring.
Pada tuberkulosis paru yang yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot-otot interkostal. Bila jaringan fibrotik amat luas, lebih dari setengah
jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru-paru,
meningkatnya tekanan arteri pulmonalis mengakibatkan cor pulmonal dengan gagal
jantung kanan seperti: takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial
gallop, Graham-Steel murmur, bunyi P2 yang mengeras.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pada segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan
tempat-tempat yang sering menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas yang
lebih pekat, dapat juga terlihat adanya pembentukan kavitas dan gambaran penyakit yang
menyebar yang biasanya bilateral.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah
Terdapat peningkatan laju endap darah, peningkatan jumlah leukosit, jumlah limfosit
di bawah normal.
b. Sputum
Pada pemeriksaan ini akan ditemukan kuman BTA, kriteria sputum BTA positif
adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan.
c. Tes Tuberkulin
Biasanya dipakai cara Mantoux yaitu dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D
(purified protein derivative) intrakutan berkekuatan 5. T.U (intermediate strength),
setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yaitu reaksi persenyawaan antara antibodi
selular dan antigen tuberkulin.

E. TERAPI
Tuberkulosis paru terutama diobati dengan agens kemoterapi selama periode 6-12 bulan.
5 medikasi garis depan digunakan: isoniasid (INH), rifampin (RIF), Streptomisin (SM), etambutol
(EMB), dan Pirasinamid (PZA).
Pengobatan yang direkomendasikan bagi kasus tuberkulosis paru yang baru didiagnosa
adalah regimen pengobatan beragam, terutama INH, RIF, PZA selama 4 bulan, dengan INH dan
RIF dilanjutkan untuk tambahan 2 bulan (totalnya 6 bulan).

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d adanya sekresi bronkial
2. Hipertermia b/d proses penyakit
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi yang tidak
adekuat
4. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan
5. Kurang pengetahuan tentang regimen pengobatan dan tindakan kesehatan preventif b/d
kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaannya
G. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA TUJUAN/NOC RENCANA TINDAKAN/NIC


1 Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam 1. Manajemen jalan nafas
adanya transudat atau eksudat pada pasien mampu untuk mencapai skor 3 dalam: a. Buka jalan nafas dengan tehnik chin
rongga pleura lift atau jaw trust
1. Status pernafasan: ventilasi
b. Atur posisi klien untuk
a. Frekwensi pernafasan dalam batas yang diharapkan
memaksimalkan ventilasi
b. Irama pernafasan dalam batas yang diharapkan
c. Kaji kebutuhan insersi jalan nafas
c. Kedalaman inspirasi
d. Berikan terapi dada bila perlu
d. Ekspansi dada
e. Kurangi sekresi dengan menganjurkan
e. Kemudahan bernafas
klien batuk atau laukan suction
f. Pengeluaran sputum
f. Ajarkan klien batuk efektif
g. Keadekuatan secara verbal
g. Auskultasi bunyi nafas, adanya
h. Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
penurunan atau tidak adanya ventilasi
i. Tidak ada suara nafas tambahan
dan adanya suara nafas tambahan
j. Tidak ada pursed lip breathing
h. Berikan bronkhodilator sesuai indikasi
k. Tidak ada dispnea saat istirahat dan saat aktivitas
i. Berikan terapi nebulizer, oksigen jika
l. Suara perkusi dalam batas yang diharapkan
perlu
m. Suara auskultasi dalam batas yang diharapkan
j. Tingkatkan intake cairan untuk
Skala:
mempertahankan keseimbangan cairan
1: sangat bermasalah
k. Monitor status respirasi dan oksigenasi
2: bermasalah
3: sedang
2. Meningkatkan batuk
4: sedikit bermasalah
a. Monitor hasil tes fungsi paru
5: tidak bermasalah
b. Bantu klien dalam posisi duduk
dengan kepala sedikit fleksi, bahu
2. Status pernafasan: kepatenan jalan nafas
relaks dan lutut fleksi
a. Tidak ada demam
c. Anjurkan klien untuk nafas dalam dan
b. Tidak ada ansietas
tahan selama dua detik, lalu batukkan
c. Frekwensi pernafasan dalam batas yang diharapkan
saat ekspirasi dua atau tiga kali sekresi
d. Irama pernafasan dalam batas yang diharapkan
d. Tingkatkan hidrasi cairan sistemik jika
e. Pengeluaran sputum
perlu
NO DIAGNOSA TUJUAN/NOC RENCANA TINDAKAN/NIC
f. Tidak ada suara nafas tambahan
Skala:
1: sangat bermasalah
2: bermasalah
3: sedang
4: sedikit bermasalah
5: tidak bermasalah
2 Hipertermia b/d proses penyakit Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1 x 24 jam Pengaturan suhu tubuh
pasien mampu mencapai skor 5 dalam: 1. Monitor suhu tubuh setiap 2 jam
2. Monitor TD, nadi, respirasi
Termoregulasi:
3. Monitor warna kulit
1. Suhu tubuh 4. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
2. Sakit kepala tidak tampak 5. Ajarkan pasien untuk mencegah kelelahan
3. Tidak gelisah karena panas
4. Perubahan warna kulit 6. Berikan kompres air biasa untuk
5. Berkeringat saat demam mengurangi demam
6. Menggigil ketika dingin 7. Berikan selimut hangat saat pasien
7. Nadi, pernafasan dalam batas yang diharapkan menggigil
8. Hidrasi adekuat 8. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik

Skala:
1: sangat bermasalah
2: bermasalah
3: sedang
4: sedikit bermasalah
5: tidak bermasalah
3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 5 x 24 jam 1. Manajemen nutrisi
dari kebutuhan tubuh b/d intake pasien mampu mencapai skala 4 dalam hal: a. Kaji kemungkinan alergi makanan
nutrisi yang tidak adekuat b. Kaji makanan kesukaan klien
Status nutrisi:
c. Kerjasama dengan ahli gizi dalam
a. Intake makanan dan minuman
menentukan jumlah kalori, zat besi,
b. Intake nutrisi
NO DIAGNOSA TUJUAN/NOC RENCANA TINDAKAN/NIC
c. Kontrol BB protein dan vit.c
d. Masa tubuh d. Tawarkan makanan ringan bila perlu
e. Ukuran biomekanik tubuh e. Berikan diet tinggi serat untuk
f. Kebutuhan energi tercukupi mencegah konstipasi
f. Berikan informasi tentang kebutuhan
Skala: nutrisi klien
1: sangat bermasalah g. Pastikan kemampuan klien untuk
2: bermasalah memenuhi kebutuhan gizinya
3: sedang
4: sedikit bermasalah 2. Monitoring gizi
5: tidak bermasalah a. Timbang BB pasien pada interval
waktu tertentu
b. Monitor kehilangan BB klien
c. Monitor turgor kulit, rambut rontok dan
kulit kering
d. Monitor mual muntah
e. Monitor albumin, total protein, Hb, Ht
f. Monitor limfosit
g. Monitor tingkat energi, malaise,
kelemahan dan pucat
h. Catat adanya edema
4 Intoleransi aktivitas b/d kelemahan Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 5 x 24 jam Manajemen Energi:
pasien mampu mencapai skor 4 dalam: 1. Kaji kemampuan klien dalam
beraktivitas
Toleransi aktivitas:
2. Rencanakan aktivitas saat klien
1. Saturasi oksigen saat beraktivitas dalam batas yang mempunyai energi cukup
diharapkan 3. Berikan periode istirahat selama aktivitas
2. Tanda-tanda vital saat beraktivitas dalam batas 4. Monitor intake nutrisi untuk memastikan
yang diharapkan kecukupan energi
3. Hasil EKG dalam batas yang diharapkan 5. Bantu klien memenuhi kebutuhan
4. Warna kulit perawatan diri
5. Adanya usaha untuk bernafas akibat aktivitas 6. Monitor TTV
NO DIAGNOSA TUJUAN/NOC RENCANA TINDAKAN/NIC
6. Berjalan dalam jarak yang jauh 7. Evaluasi peningkatan aktivitas sesuai
7. Kekuatan toleransi
8. Pemenuhan ADL dilaporkan

Skala:
1: sangat bermasalah
2: bermasalah
3: sedang
4: sedikit bermasalah
5: tidak bermasalah
5 Kurang pengetahuan tentang regimen Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 X 24 jam 1. Pembelajaran: proses penyakit
pengobatan dan tindakan kesehatan pasien mampu meningkatkan: a. Kaji tingkat pengetahuan klien tentang
preventif b/d kurangnya informasi 1. Pengetahuan: proses penyakit penyakit
tentang proses penyakit dan a. Mengenal nama pemyakit b. Jelaskan patofisiologi penyait dan
penatalaksanaannya b. Deskripsi proses penyakit bagaimana kaitannya dengan anatomi dan
c. Deskripsi faktor penyebab atau faktor pencetus fisiologi tubuh
d. Deskripsi tanda dan gejala c. Deskripsikan tanda dan gejala umum
e. Deskripsi cara meminimalkan perkembangan penyakit
penyakit d. Identifikasi kemungkinan penyebab
f. Deskripsi komplikasi penyakit e. Berikan informasi tentang kondisi klien
g. Deskripsi tanda dan gejala omplikasi penyakit f. Berikan informasi tentang hasil
h. Deskripsi cara mencegah komplikasi pemeriksaan diagnostik
g. Diskusikan tentang pilihan terapi
Skala: h. Instruksikan klien untuk melaporkan
1: tidak ada tanda dan gejala kepada petugas
2: sedikit
3: sedang 2. Pembelajaran: prosedur/perawatan
4: luas a. Informasian klien waktu pelaksanaan
5: lengkap prosedur/ perawatan
b. Informasikan klien lama waktu
2. Pengetahuan: prosedur perawatan: pelaksanaan prosedur/perawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN/NOC RENCANA TINDAKAN/NIC
a. Deskripsi prosedur perawatan c. Kaji pengalaman klien dan tingkat
b. Penjelasan tujuan perawatan pengetahuan klien tentang prosedur yang
c. Deskripsi langkah-langkah prosedur dilakukan
d. Deskripsi adanya pembatasan sehubungan dengan d. Jelaskan tujuan prosedur/perawatan
prosedur e. Instruksikan klien untuk berpartisipasi
e. Deskripsi alat-alat perawatan selama prosedur/perawatan
f. Instrusikan klien menggunakan tehnik
Skala: koping untuk mengontrol beberapa aspek
1: tidak ada selama prosedur/perawat
2: sedikit
3: sedang
4: luas
5: lengkap
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2005. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC.

Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2013. Nursing


Interventions Classification (NIC) 6th Edition. USA: Elsevier Mosby.

Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Herdman, T. H., Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Nursing Diagnoses:


Definition & Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blakwell.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) 5th Edition. SA: Elsevier Mosby.

Price, S.A & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC.

Smeltzer, C. S. & Bare, G. B. 2008. Brunner & Suddarth’s Texbook of Medical-Surgical


Nursing11th Edition. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins.

Wijaya, A. S., Putri, Y. M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa).


Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai