Anda di halaman 1dari 6

A.

Hakikat Pendekatan Kontruktivisme


Secara umum pendekatan kontruktivis menekankan agar individu secara aktif
menyusun dan membangun (to construct) pengetahuan dan pemahaman. Menurut pandanag
kontruktivis yang dikutip dalam buku Brooks & Brooks (2001). Guru bukanlah sakadar
memberi informasi ke pihak anak, akan tetapi guru harus mendorong anak untuk
mengeksplorasi dunia mereka, menemukan penegtahuan, merenng dan berfikir secara kritis.
(Santrock, 2004:8). Dengan kata lain tujuan pendekatan teori kontruktivme ini untuk
meningkaktkan perkembangan konsep yang difokuskan kepada peserta didik agar lebih
kreatif dalam mengembangkan pemahaman yang mendalam yang harus membangun sendiri
pengetahuannya. Peranan guru dalam hal ini adalah untuk membantu peserta didik
membangun pengtahuannya sendiri dalam artian guru hanyalah sebagai motivator, fasilitator
maupun medikator dalam proses pembelajaran kontruktivisme ini karena teori tersebut lebih
menekankan proses daripada hasil, analaoginya seperti menjawab dengan baik itu lebih
penting daripada menjawab dengan jawaban yang benar karenanya menjawab dengan baik
artinya seseorang tersebut bisa berpikir dengan baik, bila dihadapkan dengan suatu masalah
bisa memecahkan suatu persoalan dengan baik. Sedangkan, menjawab dengan jawaban yang
benar seseorang itu hanya mampu menjawab jawaban yang benar saja belum tentu dapat
memecahakn persoalan yang lain.
Bagi pendekatan kontruktivisme belajar adalah suatu proses yang natural untuk
membentuk kreatifitas, untuk menemukan sesuatu yang baru bagi peserta didik, bukan proses
mekanik untuk mencari sebuah fakta. Peserta didik belajar meningkatkan pemikiran, peserta
didik diktekankan harus mampu mecari jawaban yang baik, mengekspresikan gagasan,
membuat hipotesis, meneliti, mengungkapkan petanyaan dan lain sebagainya. Memiliki
teman belajar yang sebaya juga sangat penting bagi teori ini karena belajar dengan teman
dapat memberikan pemikiran baru sehingga pemikiran baru tersebut dapat diolah menjadi
bahan untuk mengembangkan skema pemikirannya, selain itu manfaatnya juga dapat
meningkatkan pola pikir yang kritis karena bersumber dari pemikiran yang berbeda, dari
pemikran yang berbeda tersebut bisa saling menerima pendapat masing-masing.
Pandangan konstruktivisme terhadap proses belajar di atas berimplikasi pada
pandangannya terhadap si belajar (siswa). Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah
kegiatan aktif siswa, yang harus membangun sendiri pengetahuannya (Poedjiad, 1999:61).
Hanya dengan keaktifannya mengolah bahan, bertanya secara aktif, dan mencerna bahan
dengan kritis, siswa akan dapat menguasai bahan dengan lebih baik. Oleh karena itu, kegiatan
aktif dalam proses belajar perlu ditekankan. Bahkan, kegiatan siswa secara pribadi dalam
mengolah bahan, mengerjakan soal, membuat kesimpulan, dan merumuskan suatu rumusan
dengan kata-kata sendiri adalah kegiatan yang sangat diperlukan agar siswa sanggup
membangun pengetahuannya (Suparno, 2012:143).
Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan kontruktivis ini. beberapa
pendidik lama masih percaya bahwa guru harus mengarahkan dan mengontrol cara belajar
anak. Mereka juga percaya bahwa kontruktivis sering kalai tidak focus pada tugas akademik
dasar atau kurang memerhatikan prestasi anak. Beberapa pakar dalam psikologi pendidikan
percaya bahwa entah itu Anda menggunakan prespektif tradisional atau mengikuti tren dalam
reformasi pendidikan (Santrock, 2004:8).

B. Pandangan Para Ahli Tentang Pendekatan Kontruktivisme.


Ada dua teori dari tokoh aliran kontruktivis diantaranya : Teori Piaget dan Teori
Vygotsky.
1. Teori Piaget.
Teori perkembangan kognitif Piaget
Piaget terkenal dengan teori perkembangan mental manusia atau teori perkembangan
kognitif. Teori Piaget sesuai dengan konstruktivisme yang memandang perkembangan
kognitif sebagai suatu proses dimana peserta didik secara aktif membangun sistem makna dan
pemahaman nyata menggunakan pengalaman dan interaksi yang dimiliki (Trianto, 2011: 14).
Proses kognitif bertujuan untuk membentuk pengetahuan melalui eksplorasi
lingkungan seca aktif dan juga dapat memahami dunia mereka secara aktif dengan
menggunakan skema atau kerangka. Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui
tiga proses yang saling berhubungan, yaitu: Adaptasi (asimilasi dan akomodasi), Organisasi
dan Ekuilibrasi.
a. Adaptasi
Piaget (1952) mengatakan bahwa ada dua proses yang bertanggung jawab atas cara
anak menggunakan dan mengadaptasi skema mereka: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
terjadi ketika seorang anak memasukan pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang sudah
ada. Yakni, dalam asimilasi anak mengasimilasikan lingkungan ke dalam suatu skema.
Akomodasi terjadi ketika anak menyesuaikan skema mereka dengan lingkungannya
(Santrock, 2004:46). Di dalam adaptasi terdapat kecenderungan bawaan manusia
untukmelakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Ada dua macam adaptasi :
a) Asimilasi itu sendiri dapat dikatakan sebagai suatu proses kognitif yang dengannya
seseorang mengintregasikan presepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam
struktur atau skema yang sudah ada di dalam pemikirannya. Asimilasi terjadi ketika
orang menggabungkan informasi baru kedalam pengetahuan sistematik yang sudah
mereka punyai, misalnya merubah lingkungan agar sesuai dengan diri sendiri (dengan
skema yang ada pada diri kita). Contoh: seorang anak melihat gambar musang di buku
ceritanya lalu oleh ibu dari anak tersebut diberitahu bahwa itu adalah “Musang”.
Anak tersebut memasukan pengetahuan baru ke dalam skema yang dimilikinya.

b) Sedangkan akomodasi adalah membentuk struktur/ skema baru yang dapat cocok
dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi struktur/skema yang ada sehingga
cocok dengan rangsangan itu. Proses akomodasi berati merubah diri (skema yang ada
pada diri) agar sesuai dengan lingkungan yang ada. Pada akomodasi ini terjadi
penambahan skema baru. Skema lain tidak hilang. Tambahan skema-skema baru
inilah menurut Piaget sebagai perkembangan kognisi. Contohnya: ketika anak tersebut
ke kebun binatang lalu melihat sekor tupai dia menyebutkan tupai tersebut dengan
sebutan ‘Musang” lalu ibunya memberitahukan kembali bahwa itu adalah tupai
“bukan musa, itu tupai”. Penyesuaian ini mencerminkan kemampuannya untuk
mengubah sedikit pemahamannya tentang dunia.

b. Organisasi
Organisasi adalah konsep Piaget yang berati usaha mengelompokkan prilaku yang
terpisah-pisah ke dalam urutan yang lebih teratur, ke dalam system fungsi kognitif. Setiap
level pemikiran akan diorganisasikan. Organisasi terjadi pada tahap perkembangan (Santrock,
2004:47). Dengan kata lain, organisasi adalah system pengetahuan atau cara berfikir yang
disertai dengan pencitraan realitas yang semakin akurat. Contohnya setelah melakukan
akomodasi dan mengembangkannya dengan mengembangkan skema “oh itu ibu tupai, itu
ayah topai, itu anak tupai”. Denagn cara yang sama, anak-anak terus mengintegrasikan
banyak cabang pengetahuan lainnya yang sering kali berkembang dengan secara independen
atau bebas.
c. Ekuilibrasi
Ekuilibrasi (equilibration) adalah suatu mekanisme yang dikemukakan Piaget untuk
menjelaskan bagaimana anak bergerak dari satu tahap pemikiran ke tahap pemikiran
selanjutnya. Pergeseran ini terjadi ketika anak mengalami konflik kognitif atau
desekuilibrium dalam usahanya memahami dunia. Pada akhirnya anak mecahkan konflik ini
dan mendapatkan keseimbangan atau ekuilirium pemikiran (Santrock, 2004:47). Artinya
ekuilibrium itu seperti keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan
disekuilibrium itu seperti keadaan dimana tidak seimbangnya antra proses asimilasi dan
akomodasi sedangkan ekuilibrasi proses perpindahan dari disekuilibrium ke ekuilibrium.
Dalam hal ini teori Piaget menekankan bahwa anak-anak akan belajar dengan lebih
baik jika mereka aktif dan mencari solusi sendiri, bukan untuk menjadi siwa yang pasif, jadi
peranan seorang guru dalam teori Piaget ini untuk diri sebagai model dengan cara
memecahkan masalah tersebut dan membicarakan hubungan antara tindakan dan hasil. Guru
seharusnya hadir sebagai nara sumber, dan seharusnya bukan menjadi penguasa kelas untuk
memaksa murid mencari jawaban yang benar, murid lebih baik diajari untuk membuat
penemuan, memikirkannya, dan mendiskusikannya, bukan untuk diajari menyalin apa-apa
yang dikatakan atau dilakukan oleh guru, murid harus bebas membangun pemahaman mereka
sendiri.

2. Teori Vygotsky
Apabila teori Piaget lebih menekankan kepada perkembangan kognitf berbeda dengan
teori Vygotsky yang lebih menekankan pada kontrukvis social kultural dan interaksi social.
Karena interaksi social bisa dijadikan landasan terjadinya perkembanan kognitif, selain itu
perkembangan lingkungan dan factor biologis juga menjadi salah satu factor dan tidak bisa
dipisahkan dalam perkembangan kognitif anak. Teori ini lebih tertarik pada bagaimana anak
bisa mencapai konklusi-konklusi (simpulan) daripada apakah jawaban-jawabannya benar.
Proses belajar menurut Vygotsky terjadi dalam wilayah Zone Proximal Development
(ZPD, yakni wilayah antara apa yang diketaahui dengan apa yang belum diketahui. Oleh
karen aitu Vygotsky berfokus pada koneksi antara orang-orang dan konteks budaya dimana
mereka bertindak dan saling berhubunan dan saling berbagi pengalaman (Thalib, 2010:93).
Vygotsky memberi contoh cara menilai ZPD anak. Misalkan, berdasarkan tes kecerdasan,
usia mental dari dua orang anak adalah 8 tahun. Kita harus menentukan bagaimana masing-
masing anak akan berusaha menyelesaikan problem yang dimaksudkan untuk anak yang
lebih tua. Kita membantu masing-masing anak dengan menunjukan, mengajukan pertanyaan
dan memperkenalkan elemen awal dari solusi. Dengan bantuan atau kerjasama dengan orang
dewasa ini, salah satu anak berhasil memecahkan persoalan yang sesungguhnya untuk level
anak usia 12 tahun, sedangkan anak yang satunya memecahkan problem untuk level anak 9
tahun. Perbedaan antara usia mental dan tingkat kinerja yang mereka capai dengan
bekerjasama dengan orang dewasa akan mendefinisakan ZPD (Santrock, 2004:62). Jadi tugas
dalam ZDP terlalu sulit untuk dikerjakan sendirian, maka mereka butuh bantuan dari orang
dewasa atau anak yang lebih mamp, setelah anak mendapatkan informasi (baik itu berupa
intruksi verbal maupun demonstrasi), meraka menata informasi tersebut sehingga mereka
mampu untuk melakukan tugas tanpa bantuan orang lain. Dari contoh terebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa ZDP melibatkan kemampuan kognitif anak yang berada dalam proses
pendewasaan dan tingkat kinerja mereka dengan bantuan yang lebih ahli. ZPD sendiri
tergantu pada interaksi social, teman sebaya dan orang dewasa bisa berpengaruh dalam
interaksi ini.
Menurut pandangan Vyotsky, interaksi dengan sebaya (scaffolding) adalah factor
penting dalam memfasilitasi perkembangan kognitif termasuk dalam perkembangan bahasa.
Karena dialog adalah alat penting dalam teknik ini sebagai hasil dari dialog antara anak
dengan si penolongnya yang lebih ahli ini konsep anak akan menjadi lebih sistematis, logis
dan rasional.
Menurut Vygotsky bahasa berperan penting dalam perkembangan kognitif.
Perkembangan bahasa meliputi empat tahap yaitu tahap pra-intelektual, psikologi naïf, bahasa
egosentrik dan bahasa internal (inner speech). Bahasa pra-intelektual mengacu pada proses
dasar (elementary process) termasuk tangisan, mendengkur, celoteh, gerak-gerik fisik secara
biologis dan bertahap mengarah pada perkembangan bahasa dan prilaku yang lebih
kompleks. Bahasa psikologi naïf mengacu pada perkembangan bahasa di mana anak
mengeksplor objek konkrit dalam dunia mereka, anak sudah mulai memberi nama terhadap
objek di sekitar mereka memperoleh tentang kalimat atau hubungan kata dalam bahasa
mereka. Bahasa egosentrik, anak mampu mengela bahasa tidak hanya sakadar kata-kata ,
tetapi mengantar anak pada percakapan yang benar, dan mengekspresikan diri melalui
bahasa. Bahasa internal pada usia 5 tahun menunjukan bahwa bahasa memengaruhi gerakan
fisik dan menentukan prilaku anak (Thalib, 2010:97). Anak-anak harus menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi dengan orang lain sebelum mereka bisa focus ke dalam pemikirannya
sendiri.
Implikasi dari teori teori Piaget adalah memberi dukungan untuk strategi mengajar
dalam mendorong anak untuk mengeksplorasi dunia mereka untuk mendapatkan
pengetahuan. Implikasi utama dari teori Vygotsky untuk pengakjaran adalah bahwa kita harus
memberi banyak kesempatan kepada murid untuk belajar dengan guru mereka atau teman
yang lebih ahli. Baik dalam teori Piaget maupun Vygotsky guru berperan sebagai pemandu
belajar, bukan untuk pengatur dan pembentuk pembelajaran.
C. Penerapan Konstruktivisme dalam Pendidikan dan Pembelajaran
Menurut kaum konstruktivis, guru berperan membantu agar proses pengkonstruksian
pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan membantu siswa membentuk pengetahuannya sendiri (Budiningsih,
2005:59). Peranan guru dalam hal ini untuk melahirkan pemahaman baru pada peserta didik
dan bukan untuk membuat atau mentranferkan pengetahuan, karena peran mereka bukan
untuk menyalurkan tetapi untuk memberikan kesempatan terhadap peserta didik untuk
mendorong dan membangun sebuah pengetahuan. Fungsi dari guru sebagai mediator dan
fasilitator diantaranya:
1. Membuat rancangan belajar, karena memberikan ceramah kepada peserta didik
bukanlah hal yang bagus dan tidak efektif selain itu dapat menciptakan suasana kelas
yang bosan dan menjadikan siswa lebih cepat mengantuk.
2. Membuat kegiatan yang merangsan untuk aktif dan membantu mereka untuk
mengekspresikan ide dan gagasannya dalam kelas.
3. Mengevaluasi hipotesis siswa apakah pemikiran siswa jalan atau tidak.

Agar peran guru berjalan dengan optimal:


1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah
mereka ketahui dan pikirkan.
2. Guru perlu membicarakan tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas bersama siswa.
3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan
siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar di tengah pelajar.
4. Guru perlu meningkatkan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan
kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan
menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian
yang tidak diterima guru (Pannen, 2001:24)

Anda mungkin juga menyukai