Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera otak adalah suatu
kerusakan pada otak, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar.
Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 menunjukkan cedera
dan luka berada di urutan 6 dari total kasus yang masuk rumah sakit di
seluruh Indonesia dengan jumlah mencapai 340.000 kasus, namun belum ada
data pasti mengenai porsi cedera otak. Dari penelitian yang dilakukan pada
beberapa rumah sakit diperoleh data pada tahun 2005 RS. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, kasus cedera otak mencapai 434 pasien
cedera otak ringan, 315 pasien cedera otak sedang, kasus dengan mortalitas
sebanyak 23 kasus. Rumah Sakit Pirngadi Medan pada tahun 1995- 1998
berdasarkan tingkat keparahannya dijumpai cedera otak ringan 60,3% (2463
kasus), cedera otak sedang 27,3% (1114 kasus) dan cedera otak berat 12,4%
(505 kasus) sedangkan angka kematian akibat cedera otak sebesar 11% (448
kasus), pada tahun 2002-2003 dijumpai cedera otak 1095 kasus dengan
kematian 92 kasus (Case Fatality Rate/CFR 8,4%), RS. Adam Malik jumlah
680 kasus dengan jumlah kematian 66 orang (CFR 9,7%), RS. Haji Medan
pada tahun 200-2007 sebanyak 11,7%. Salah satu penilaian derajat keparahan
cedera otak dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), GCS sering
digunakan karena mudah untuk dinilai. Outcome dapat dinilai dengan
menggunakan GCS.
Insidensi dan mortalitas cedera otak di RS. Hasan Bandung masih
sangat tinggi. Secara umum cedera otak pada laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan, dan ini terjadi pada kelompok usia remaja sampai
dengan dewasa muda, penyebab trauma masih tinggi oleh kecelakaan
kendaraan roda dua dan mayoritas selama perawatan pasien pascaoperasi
outcomenya baik.

Keperawatan Medikal Bedah III | 1


B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dapat memberikan tindakan asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala
2. Tujuan Khusus
a. Dapat menjelaskan tentang definisi dari cedera kepala
b. Dapat menyebutkan etiologi cedera kepala
c. Dapat menyebutkan etiologi dari manifestasi klinis dari cedera kepala
d. Dapat menjelaskan patofisiologi dari cedera kepala
e. Dapat menentukan diagnosa keperawatan
f. Dapat memberikan asuhan keperawatan

C. Manfaat
Menjadikan mahasiswa memiliki pemikiran kritis sehingga mampu
menjadi perawat profesional yang berkualitas, mengerti dan memahami
kebutuhan pasien serta metode-metode dalam penerapan proses keperawatan
terhadap pasien.

Keperawatan Medikal Bedah III | 2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara
anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang
dan tentorium (helm) yang membungkusnya tanpa perlindungan ini otak akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, selain
neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang. Sebgian masalah merupakan akibat
langsung dari cidera dan banya lainnya timbul sekunder dari cidera.
Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada
kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (wijaya dan putri 2013).
Cedera kepala adalah adanya depormitas berupa penyimpangan garis pada
tulangan tengkorang, percepatan dan perlambatan (accelerasi/decelerasi) yang
merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh perubahan peningkatan pada
percepatan faktor dan penurunan kecepatan serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan (MUSLIHA 2010)
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera otak adalah suatu
kerusakan pada otak, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar. (Dikutip dalam jurnal
“Angka Kejadian dan Outcome Cedera Otak di RS. Hasan Sadikin Bandung
Tahun 2008-2010”)
Pada beberapa literatur terakhir dapat disimpulkan bahwa cidera kepala
atau cidera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstial dalam subtansi otak tanpa di
ikuti terputusnya kontinuitas otak. (dikutip dalam buku Arif Muttaqin. 2011,
“Asuhan Keperrawatan Dengan Gangguan Sistem Persarafan”)

B. ETIOLOGI
Penyebab trauma kepala menurut wijaya dan putri 2013, adalah :

Keperawatan Medikal Bedah III | 3


1. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi contosio
cerebral, hemetom serebral, kerusakan otak secunder yang disebabkan
perluasan masa lesi, pergerseran otak/hernia
2. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera penyeluruh atau
(difusi) kerusakna menyebar secara luas dan terjadi dalam betuk cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkan otak, menyebar
hemoragik kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau keduanya.

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi cedera kepala ada 2, antara lain
1. Cidera Kepala Terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam
jaringan otak dan melukai atau menyobek dura mater menyebabkan CSS
merembes. Kerusakan pada saraf otak dan jaringan otak.
2. Cidera Kepala Tertutup
Keadaan cedera kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidural hematoma, subdura hematoma, intrakranial hematoma.
Komosio atau gegar otak dengan tanda-tanda:
a. Cedera kepala ringan
b. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
c. Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit.
d. Tanpa kerusakan otak permanen
e. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
f. Disorientasi sementara
g. Tidak ada gejala sisa
h. Tidak ada terapi khusus

Kontusio serebri atau memar otak, dengan tanda-tanda:

Keperawatan Medikal Bedah III | 4


a. Ada memar otak
b. Perdarahan kecil lokal atau difus gejala adanya gangguan lokal dan
adanya perdarahan
c. Gejala :
1) Gangguan kesadaran lebih lama
2) Kelainan neurologis positif
3) Reflek patologis positif, lumpuh, konvulsi
4) Gejala TIK meningkat
5) Amnesia retrograt lebih nyata
(Arif Muttaqin. 2011. Dikutip dalam buku Asuhan keperawatan
Dengan Gangguan Sistem Persarafan)

Cedera kepala dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan GCS


(glass glow coma scale) yaiutu :
1. CKR (Cidera Kepala Ringan)
a. GCS > 13.
b. Tidak terdapat kelainan pada CT Scan otak.
c. Tidak memerluka tindakan operasi.
d. Lamma dirawat RS <48 jam.
2. CKS (Cidera Kepala Sedang)
a. GCS 9-13.
b. Ditemukan kelainan pada CT Scan otak.
c. Memerluka tindakan operasi untuk lesi intra kranial.
d. Dirawat di RS setidaknya 48 jam.
3. CKB (Cidera Kepala Berat)
Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma nilai GCS <9.
Hematom epidural adalah suatu hematom ang cepat terakumulasi
diantara tulang tengkorak dan durameter, biasanya disebabkan oleh
pecahnya arteri meninge media. Jika tidak diatasi akan membawa
kematian.

Keperawatan Medikal Bedah III | 5


Hematom subdural adalah terjadi ketika vena diantara durameter dan
parenkim otak robeek. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat terjadi
cedera dan timbul hidroma.
Kontusio adalah perdarahan kecil atau (ptechie) disertai edema pada
parenkim otak. Dapat timbul perubahan patologi pada tempat cedera
atau (coup) atau ditempat berlawan dari ceder atau (countre coup).
Hematom intra serebral biasanya terjadi karena cidera kepala berat, ciri
khasnya adalah : hilagnya kesadaran dan nyeri kepala beerat setelah
sadar kembali.
Pendarahan subarakhnoid adalah pendarahan yang terdapat pada ruang
subarakhnoid biasanya disertai hilang kesadaran, nyeri kepala berat
dan perubahan status mental yang cepat.
(Goerge Dewanto. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana
Penyakit Saraf)

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal bergantung pada jumlah dan
distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya
menunjukkan adanya fraktur. Fraktur diklasifikasikan lagi menjadi dua,
antara lain:
1. Fraktur kubah kranial
Menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan karena alesan ini
diagnosis yang akurat dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinarx.
2. Fraktur dasar tengkorak
Cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokal tengah
telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemoragik dari
hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dibawah konjuktiva.suatu
area ekimosis, atau memar, mungkin terlihat diatas mastoid (tanda
Battle). Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga
(otorea cairan serebrospinal) dan hidung (rinorea serebrospinal).
Keluarnya cairan serebrospinal merupakan masalah serius karena dapat
menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika organisme masuk kedalam

Keperawatan Medikal Bedah III | 6


isi kranial melalui hidung, telinga atau sinus melalui robekan pada dura.
Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.
(Smeltzer & Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah)

E. PATOFISIOLOGI
Trauma kepala dibagi menjadi tiga yaitu cedera pada kulit kepala, tulang
kepala dan jaringan otak. Pada kulit kepala terjadi karena adanya hematoma
pada kulit, sedangkan pada tulang kepala disebabkan karena adanya fraktur
linear, fraktur depresi. Jaringa otak ketika terjadi trauma kepala disebabkan
karena adanya komusio, hematoma yang akan nantinya mengarah pada
masalah perawatan TIK meningkat yang akan natinya akan merespon
fisiologis ke otak dengan manifestasi cedera otak sekuder yang mengarah
pada kerusakan sel otak, hipoksemia secebral, kelainan metbolisme,
gangguan kesadaran, gangguan TTP dan neuorlogis. Yang akan
meningkatkan rangsangan simpatis yang mengarah pada peningkatan tahan
vaskuler sistemik kemudian mempengaruhi tekanan darah pulmonal akan
menurun dan tekanan hidrostatik akan mengalami gangguan setelah itu
mengalami kebocoran pada cairan kapiler dan akan terjadi edema pada paru
lalu mengakibatakan cdurah jantung turun yang akan nantinya mengarah pada
masalah keperawatan perfusi jaringan dan gangguan pola nafas yang
mengarah pada hipoksemia, hiperkapnia, sedangkan pada stress lokalis akan
meningkatkan katekolamin dan sekresi asam maka akan muncul tanda gejala
mual muntah yang mengarah pada masalah keperawatan intek nutrisi tidak
adekuat. Pada ganggua autoregulasi akan mengakibatkan aliaran darah otak
menurun dimana suplai o2 akan menurun dan mengakibatkan gangguan
metabolisme sel dan tubuh akan merespon dengan produksi asam laktat
meningkat dan terjadinya edema pada otak yang mengarah pada masalah
keperawatan perfusi jaringan serebral.
(Arif Muttaqin. 2011. Dikutip dalam buku Asuhan keperawatan
Dengan Gangguan Sistem Persarafan)

Keperawatan Medikal Bedah III | 7


(Arif Muttaqin. 2011. Dikutip dalam buku Asuhan
keperawatan Dengan Gangguan Sistem Persarafan)

F. PATHWAY

Trauma Kepala

Kulit kepala Tulang kepala Jaringan otak

Hematoma pada kulit Fraktur linear, fraktur Komusio,


communited, fraktur hematoma, edema,
depressed, fraktur kontusio
Cidera otak
basis
Gangguan
Cidera otak ringan, MK: TIK Meningkat kesadaran,
sedang, dan berat gangguan TTV,
kelainan neurologis
Respon fisiologis
otak
Hipoksemia serebral

Kerusakan sel otak Cedera otak


meningkat sekunder Kelainan metabolisme

Gg. Autoregulasi Rangsangan simpatis Stress lokalis

Aliran darah ke otak Tahanan vaskuler Ketekolamin,


sistemik sekresi asam
O2 Gg.Metabolisme lambung
Tek. Pembuluh Mual, muntah
darah pulmonal
Produksi asam laktat
MK: intake nutrisi
Tek. hidrostatik tidak adekuat
Edema Otak

Kebocoran Cairan Kapiler


MK: Gg. Perfusi
Jaringan Serebral Edema paru MK: Gg. Perfusi
jaringan
Difusi O2 terhambat Curah jantung turun

MK: Gg. Pola nafas Hipoksemia, hiperkapnea


Keperawatan Medikal Bedah III | 8
G. KOMPLIKASI
1. Epilepsi pasca trauma
Suatu kelainan kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami
cedera karena benturan dikepala.
2. Afasia
Yaitu hilangnya kemampuan untuk mengguanakan bahasa karena
terjadinya cedera kepala pada area bahasa di otak.
3. Apraksia
Ketidakmampuan melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau
serangkaian gerakan.
4. Aknosis
Suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan benda
tetapi tidak dapat menghubungkanya dengan peran dan fungsi normal dari
benda tersebut.
5. Amnesia
Hilangnya sebagia atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa
terjadi sesat terjadi sebelum (amnesia retrograde) terjadinya kecelakaan
setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma).

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini
dapat dengan cepat dilakukan dan sensitifitas terhadap perdarahan. Satu
kelemahan ct-scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara
adekuat menangkap struktur fosa posterior.
2. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarah atau edema), fragmen tulang.
3. PET
Mendeteksi adanya perubahan aktivitas metabolisme otak.

Keperawatan Medikal Bedah III | 9


4. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
suprakahnoid
5. Analisa Gas Darah (AGD)
Salah satu tes diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status
respirasi yang dapat digambarkanmelalui AGD ini adalah status oksigenasi
dan status asam basa.
6. MRI
Pencitraan resonansi magnetic (magnetic resonance imaging atau MRI)
bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur pada
dasar tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih baik dan
perubahan neuronal yang disebabkan oleh DAI dapat diamati. Selain itu,
MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi cedera vaskuler serebral dengan
cara non invasive.
7. Serebral Angiografi
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi pembuluh darah dan tidak
adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicuriagai mengalami
kematian batang otak. Resiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh
darah otak, stroke akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan
pewarna radiopak, gagal ginjal akut akibat pewarna IV dan perdarahan
retroperitoneal dari area pemasangan selubung setelah infuse dilepaskan.
8. Ultrasonografi Doppler Transkranial (transcranial Doppler atau TCD)
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme
autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh
darah. Kemampuan peredaran darah ini dalam memberikan informasi
mengenai autoregulasi serebral dapat memengaruhi penatalaksanaan
dinamik intracranial pada pasien cedera kepala dimasa yang akan datang.
9. Pemeriksaan Neurofisiologis, meliputi:
a. Elektroensefalogram (EEG)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna
dalam mendiagnosa kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis
abnormal dengan fungsi kortikal abnormal. EEG adalah pemeriksaan

Keperawatan Medikal Bedah III | 10


yang penting dalam mengeliminasi kejang subklinis atau nonkonvulsif.
EEG juga telah digunakan sebagai suatu uji konfirmasi pada kasus
kematian otak. Temuan paling umum dalam pasien cedera kepala
adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada area cedera.
b. Brainstem auditory evoked respons (BAER).
c. Somatosensory evoked potential (SSEP)
BAER dan SSEP adalah pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada
pasien cedera kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan
tersebut dapat membantu meneggakkan diagnosis disfungsi batang otak
atau kortikol berat yang tidak akan menghasilkan pemulihan fungsional
yang bermakna.
(Patricia Gonce, dkk. 2013. Keperawatan Kritis)

I. PENATALAKSANAAN
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala berat dikembangkan oleh brain
trauma foundation dan american assosiation of neurological surgion pada
tahun 1995 dan diperbarui tahun 2000 untuk mendeminasi rekomendasi
ilmiah yang paling terkini. Diseminasi pedoman ini secara luas berusaha
untuk menciptakan standar asuhan yang konsisten guna pengobatan pasien
cidera kepala. Beberapa studi telah mengevaluasi dari pedoman ini pada
peningkatan hasil positif psien yang dirawat di institusi yang menerapkan
protokol spesifik berdasarkan pada pedoman tersebut. Dewasa ini, pedoman
spesifik untuk penatalaksanaan medis akut dari cidera otak traumatik berat
pada bayi, anak, dan remaja ditebitkan, yang secara garis besar menjelaskan
kebutuhan unik populasi pediatrik. Fokus pembahasan pada bab ini adalah
penatalaksanaan cedera otak traumatik berat pad orang dewasa.
Pengkajian dan penanganan awal pasien dengan cedera kepala dimulai
segera setelah cedera yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-
rumah sakit. Spesifik Prehospital Guidelines For Prehospital Managemen Of
Traumatic Brain Injury disusun dan diterbitkan oleh Brain Trauma
Foundation pada tahun 2002. Penanganan pra-rumah sakit pada pasien cedera
kepala berfokus pada pengkajian sistem secara cepat dan penatalaksanaan

Keperawatan Medikal Bedah III | 11


jalan napas definitif, intervensi yang dapat berdampak positif terhadap hasil
akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan hiperkapnia, yang telah terbukti
menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.
Penatalaksanaan jalan napas adalah langkah awal yang sangat penting
dalam merwat pasien cedera kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada
kondisi penurunan kesadaran, dan hipoksia serta hiperkapnia sangat
memperburuk kondisi pasien pada awal cedera. Strategi ventilasi mekanis
awal bertujuan ventilasi normal atau tekanan parsial karbon dioksida (Paco2)
dalam batas normal (35-45 mm). Evaluasi lebih lanjut terhadap status
neurologis dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat
tanda herniasi serebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis
awal; namun, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral atau oksigenasi
jaringan mungkin dapat dibutuhkan untuk mencegah iskemia serebral lebih
lanjut. Hiperventilasi harus dihindari jika memungkinkan dalam 24 jam
pertama setelah cedera otak.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan
meningkatkan perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi caira dan
penggunaan vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan perfusi serebral
merupakan proses dua-lipat (twofold) yaitu, dilakukan secara bersamaan
dengan penatalaksanaan TIK untuk menurunkan tahanan intrakranial terhadap
aliran darah. Tekana perfusi serebral diukur dengan alat pemantau TIK yang
terpasang dan jalur arteri untuk mengukur tekanan darah dari menit ke menit
secara akurat tetapi, tekanan perfusi serebral harus tetap diingat meskipun
pada fase resusitasi awal saat alat tersebut sedang tidak dipasang. Pemahaman
tentang konsep tekanan perfusi serebral mengarahkan klinis untuk melakukan
pengkajian neurologis secara cermat guna mendeteksi tanda peningkatan TIK
dan melakukan intervensi secara cepat untuk mengatasi tekanan darah yang
turun.
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk mengevaluasi perlunya terapi
medis tambahan atau intervensi bedah segera. Pencitraan radiografik esensial
meliputi pemeriksaan sinar-x dari spina servikal dan CT.Scan, yang berguna
dalam mendiagnosis lesi masa yng mungkin membutuhkan intervensi bedah.

Keperawatan Medikal Bedah III | 12


Penatalaksanaan kontinu diupayakan untuk mengendalikan TIK,
meningkatkan perfusi serebral, dan mengoreksi proses patologis primer.
Penatalaksanaan umum pasien cedera kepala membutuhkan pendekatan yang
holistik, multisistem, dan multidisiplin berdasarkan pada patologiprimer,
dengan mempertimbangkan keunikan kharakteristik fisiologis dan psikososial
individu.
(Patricia Gonce, dkk. 2013. Keperawatan Kritis)

Keperawatan Medikal Bedah III | 13


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada
gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cidera kepala tergantung
pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan
pengkajian psikososial.
1. Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
muda) , jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan
dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk, nomer register, diagnosis
medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
2. Riwayat Penyakit Saat Ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran yang
menurun atau (GCS<15), konfulsi, muntah, takipnea, sakit kepala,
wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi
sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga,
dan serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran dihubungkan dengan perubahan didalam intrakranial.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma. Perlu
ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien atau (bila
klien tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan

Keperawatan Medikal Bedah III | 14


penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka
ngebut-ngebutan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cidera kepala sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes melitus.
5. Pengkajian Psikososial Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi
dan konsep diri didapatkan klien merasa klien tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan
dan pengobatan memerlukan daya yang tidak sedikit. Cedera kepala
memerlukan biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan
dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya inidapat
memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak
gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.

Keperawatan Medikal Bedah III | 15


6. Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan
kesadaran (cidera kepala ringan atau cedera otak ringan, GCS 13-15,
cidera kepala sedang, GCS 9-12, cidera kepala berat atau cidera otak
berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8) dan terjadi perubahan
tanda-tanda vital.
a. B1 (Breathing) : Perubahan pada sistem pernapasan
bergantung pada gradasi dari perubahan jaringan serebral
akibat trauma kepala.
b. B2 (Blood) : Pengkajian pada sistem kardiovaskuler
didapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang sering terjadi
pada klien cidera kepala sedang dan berat.
c. B3 (Brain) : Cidera kepala menyebabkan berbagai
defisit neurologis terutama disebabkan pengaruh peningkatan
tekanan intrakranial akibat adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma.
d. B4 (Bladder) : Kaji keadaan urin meliputi warna, jumlah,
karakteristik, termasuk berat jenis. Pnurunan jumlah urin dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi ginjal.
e. B5 (Bowl) : Didapatkan adanya keluhan kesulitan
menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut.
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi.
f. B6 (Bone) : Disfungsi motorik paling umum adalah
kelemahan pada seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu,
kelembaban, dan turgor kulit. Adanya perubahan pada warna
kulit warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis tau ujung
kuku (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan
membran mukosa).

Keperawatan Medikal Bedah III | 16


7. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan
dalam kewaspadaan dan kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien cedra kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi,
stupor, semikomatosa, sampai koma.
8. Pemeriksaan Fungsi Serebral
a. Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status
mental mengalami perubahan.
b. Fungsi intelektual : pada beberapa keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
c. Lobus Frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual
kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
d. Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan
hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai
kerentanan terhadap sisi kolateral sehIngga kemungkinan terjatuh
kesisi yang berlawanan tersebut.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Pengkajian tingkat keterjagaan
Dalam mengkaji tingkat keterjagaan pada pasien cedera kepala,
stimulus maksimum harus diberikan secara sistematik dan meningkat
untuk mendapatkan secara efektif respons terbaik atau maksimum
pasien. Yang dilakukan anatara lain:

Keperawatan Medikal Bedah III | 17


a. Membangunkan pasien hanya dengan berbicara (dengan cara
yang sama ketika anda mencoba membangunkan individu ketika
sendang tidur)
b. Membangunkan pasien dengan cara berteriak (seperti anda akan
membangunkan indiviu ketika sedang mendengkur)
c. Dengan menggoyangkan dan selanjutnya dengan memberikan
rasa nyeri
Dengan pendekatan seperti ini memberikan pasien kesempatan
untuk mendemonstrasikan peningkatan keterjagaan atau respon
terbaiknya. Apabila pasien sudah terjaga, kemampuannya untuk
mengikuti instruksi sederhana yang harus dikaji dengan meminta
pasien menggerakkan ekstremitas atau menunjukkan dua jari. Ketika
meminta pasien untuk memegang atau meremas tangan evaluator,
penting untuk memastikan bahwa pasien dapat meremas dan
melepaskan genggaman. Pasien dengan cedera pada lobus frontalis
dapat mengalami kerusakan area inhibisi genggaman, yang muncul
setelah masa bayi. Pada kondisi ini pasien akan menggenggam karena
suatu refleks, bukan karena tindakan yang disadari.
Jika stimulus nyeri harus diberikan, dapat menggunakan teknik
berikut:
a. Cubit bagian otot trapezius yang menonjol dengan menggunakan
ibu jari dan jari telunjuk sehingga leher dan bahu bertemu.
b. Berikan tekanan pada takisupraorbital atau lakukan tekanan
setrenol.
Tekanan strenal tidak boleh sering dilakukan karena menimbulkan
memar yang parah jika pasien diperiksa berulang kali. Apabila respon
tidak timbul dengan manufer tersebut tekanan dapat diberikan pada
bantalan kuku jari tangan atau kaki pasien dengan menempatkan
pensil pada kuku dan menggulingkannya kebelakang, kedepan sambil
memberikan tekanan. Gerakan yang timbul karena tekanan pada
bantalan kuku mungkin dapat bersifat refleksif. Stimulus nyeri harus
diberikan selama 15-30 detik sebelum pasien dianggap tidak

Keperawatan Medikal Bedah III | 18


menunjukkan respon motorik karena pasien dengan cidera otak dapat
berespon secara lambat terhadap stimulus.
2. Pengkajian mata
Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakan
ekstraokuler, yang membantu dalam melokalisasi area disfungsi otak.
Pengujian saraf cranial 2 atau saraf optikus pada tempat
perawatan akut mencakup pendeteksian defek lapang pandang dan
ketajaman penglihatan yang besar. Lapang pandang dapat secara
adekuat dikaji melalui kemampuan pasien untuk mendeteksi gerakan
jari pemeriksaan setiap lapang pandang. Ketajaman penglihatan dapat
secara kasar dikaji dengan meminta pasien membaca kalimat yang
dicetak pada satu halaman atau menggunakan grafik mata snelen. Jika
terdapat kekhawatiran berkenaan dengan saraf optic, evaluasi lengkap
yang dilakukan oleh dokter spesialis mata di rekomendasikan.
Evaluasi saraf cranial ketiga atau saraf okulomotorius meliputi
inspeksi pupil, termasuk ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksinya
terhadap cahaya. Peningkatan TIK dapat menyebabkan ketidak
teraturan bentuk, ketidaksamaan pupil dan tidak adanya atau sangat
sedikitnya reaksi terhadap cahaya. Pasien dengan peningkatan TIK
juga dapat menunjukkan respon pupil yang disebut hippus, yaitu pupil
berdilatasi dan berkontaksi secara terus menerus ketika disorot
cahaya.
Saraf cranial tiga, empat, dan enam (okulomotorius, troklearis,
abdusens) sering kali dikelompokkan bersama untuk tujuan
pengkajian kareana saraf-saraf tersebut menggerakkan mata. Daraf
cranial tiga dan empat keluar dari tempat setinggi pons. Penkajian
saraf-saraf tersebut dilakukan dengan meminta pasien mengikuti jari
pemeriksa ketika jari tersebut digerakkan menurut pola huruf “H”.
Penglihatan ganda (diplopia) adalah tanda kelemahan otot mata dan
gangguan saraf cranial.
Pada pasien komatosa, pemeriksaan berikut dilakukan untuk
mengevaluasi saraf cranial tiga, enam dan delapan (saraf

Keperawatan Medikal Bedah III | 19


okulomotorius dan abdusens dan bagian vestibular saraf akustikus).
Reflek okulosefalik (yaitu, fenomena “mata boneka”) diperiksa
dengan menggerakkan kepala dari sisi ke sisi dalam bidang horizontal
(setelah memastikan tidak adanya fraktur spinal servikal). Apabila
terdapat respon okulosefalik, mata akan bergerak secara bersamaan
kea rah yang berlawanan saat kepala digerakkan dari sisi ke sisi. Tidak
adanya gerakkan mata ketika kepala dibalikkan merefleksikan
disfungsi batang otak. Reflek okulovestibular diperiksa dengan
meneteskan air dingin kedalam masing-masing telinga dan
mengobservasi gerakan mata. Respon okulomostibular normal
ditandai dengan pergerakkan mata ke arah stimulus disertai nistagmus.
Tidak adanya gerakan mata menandakkan penurunan fungsi bagian
vestibular dan saraf cranial delapan dan batang otak.
3. Pengkajian respon batang otak
Batang otak dapat dikaji lebih lanjut pada pasien yang tidak sadar
dengan mengkaji reflek kroneal, batuk, dan gag. Reflek corneal
merefleksikan fungsi cranial V dan VII (saraf trigeminus dan fasialis),
yang keluar dari otak pada ketinggian otak tengah dan pons, secara
berturut-turut.refleksi ini diuji dengan mengusapkan gumpalan kapas
pada onjungtiva bawah setiap mata. Kedipan kelopak mata bawah
mengindikasikan adanya refleks. Sensasi stimulus yang mengiritasi
menunjukkan fungsi utama satu cabang saat trigeminus dan gerakan
kelopak mata bawah menunjukkan fungsi motorik saraf fasialis.
Perawat harus hati-hati dalam memeriksa reflek corneal untuk
menghindari abrasi kornea.
Saraf cranial XI dan X (saraf glosofaringeus dan vagus) keluar
pada ketinggian medulla dan bertanggung jawab atas reflek batuk dan
gag serta melindungi jalan napas dan aspirasi. Reflek batuk dan gag
harus dievaluasi pada pasien yang terjaga dan tidak sadar.
4. Pengkajian fungsi motorik
Fungsi motorik dievaluasi dengan menggunakan pendekatan
bertahap yang dibahas diawal. Pengkajian rinci lebih lanjut terhadap

Keperawatan Medikal Bedah III | 20


fungsi motorik dilakukan pada pasien terjaga dan kooperatif dengan
meminta pasien menggerakkan ekstremitasnya melawan gravitasi
dengan resistansi pasif, pergerakkan tersebut digolongkan
menggunakan skala 1-5.
Pasien yang tidak responsive tersebut dapat menampilkan sikap
tubuh lokalisasi, menarik diri atau fleksor atau ekstensor sebagai
respon terhadap stimulus yang berbahaya. Lokalisasi stimulus nyeri
diamati sebagai suatu respon yang bertujuan karena pasien mampu
menunjukkan sumber nyeri dan bergerak ke arah sumber nyeri
tersebut dengan satu atau dua ekstremitas melewati garis tengah
tubuh. Pasien mungkin mencoba untuk menyingkirkan tangan
pemeriksa ketika pemeriksa mencubit trapezius atau pasien dapat
berusaha memegang selang endotrakeal yang terpasang. Respon
menarik diri ditandai dengan gerakkan menjauhi stimulus nyeri. Sikap
tubuh fleksor, juga disebut sikap tubuh dekortikasi, terjadi akibat
cedera kortikal difus dan ditandai dengan menekuk atau memfleksikan
ekstremitas atas dan mengektensikan ekstremitas bawah serta kaki.
Harus diketahui bahwa pasien dapat menampilkan satu jenis
pergerakkan pada satu ekstremitas dan jenis pergerakkan lain pada
ekstremitas lain. Adanya refleks babinski (gerakkan mengibas ujung
jari kaki ke atas) juga diamati pada pasien cedera otak berat.
5. Pengkajian fungsi pernafasan
Pengkajian fungsi dan pola pernafasan penting dalam mendeteksi
perburukkan cedera neurologis dan kebutuhan dukungan mekanik.
Banyak bagian dari kedua hemisfer serebral yang mengatur kendali
volunter terhadap otot yang digunakan dalam bernafas, dengan
serebelum menyesuaikan dan mengkoordinasikan usaha otot.
Serebrum juga sedikit mengendalikan frekuensi dan irama pernafasan
nukle pada area pons dan otak tengah mengatur otomatisitas
pernafasan.
Pernafasan cheyne-stokes adalah bernafas periodic dengan
kedalaman setiap nafas meningkat sampai puncakdan kemudian

Keperawatan Medikal Bedah III | 21


menurun sampai apnea. Fase hiperpneik biasanya berakhir lebih lama
dibandingkan fase apneik. Pola nafas cheyne-stokes juga dapat
merupakan akibat normal dari penuaian jika terjadi pada lansia selama
tidur. Pola nafas cheyne-stokes juga dapat ditemukan pada pasien
dengan lesi bilateral dibagian dalam hemisfer serebral. Herniasi
tersebut juga dapat menyebabkan kompresi otak tengah, dan
hiperventilasi neurogenik sentral akan teramati. Hiperventilasi terjadi
terus menerus, regular, cepat dan dalam. Kondisi tersebut biasanya
disebabkan oleh lesi diatas otak tengah. Pernafasan disertai waktu jeda
yang lama pada inspirasi atau ekspirasi penuh. Etiologi pola tersebut
adalah hilangnya semua control serebral dan sereberal terhadap
pernafasan dengan fungsi pernafasan hanya pada tingkat batang otak.
Pernafasan kluster dapat ditemukan pada pasien jika posisi lesi tinggi
di medulla atau rendah di pons. Pola pernafasan tersebut tampak
tersebut seperti nafas terengah-engah dengan jeda yang tidak teratur.
Pusat kritis inspirasi dan ekspirasi terdapat dalam medulla
oblongata. Setiap lesi intracranial yang berekspansi secara cepat,
seperti perdarahan serebral, dapat mengompresi medulla dan
menghasilkan pernafasan ataksik. Pernafasan tidak teratur tersebut
terdiri dari nafas dalam dan dangkal disertai jeda tidak teratur. Pola
pernafasan tersebut menandakan perlunya control jalan nafas
definitive melalui intubasi endotrakial.
6. Pengkajian sistem tubuh lain
Selain pengkajian sistem saraf pusat yang menyeluruh. Pengkajian
komprehensif dari seluruh sistem tubuh lain sangat penting dalam
mengidentifikasi secara dini komplikasi dan sekuela pada pasien
cidera otak.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifas bersihan jalan nafas berhubungan dengan disfungsi
neuromuskular.
(Domain 11. Keamanan / perlindungan kelas 2 Cidera Fisik. 00031)

Keperawatan Medikal Bedah III | 22


2. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
(Domain 4. Aktifitas/ istirahat kelas 4 Respon
Kardiovaskuler/pulmonaL 00201)
3. Nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik.
(Domain 12. Kenyamanan kelas 1 Kenyamanan Fisik. 00132)
4. Resiko infeksi
(Domain 11. Keamanan / perlindungan kelas 1 Infeksi. 00004)

1. Sistem pernafasan
a. Inspeksi: bila tidak melibatkan system pernapasan, biasanya ditemukan
kesimetrisan rongga dada, klien tidak sesak napas, tidak ada penggunaan
otot bantu pernapasan.
b. Palpasi : taktil fremitus seimbangkiridankanan
c. Perkusi : Suararesonapadaseluruhlapangparu
d. Auskultasi: suaranapashilang/melemahpadasisi yang sakit, biasanya di
dapatsuararonkiataumengi.
2. Sistem kardiovaskuler
a. Inspeksi : mukosa bibir lembab, tidak terdapat kelenjar getah bening, tidak
terdapat distensi vena jugularis, tidak terdapat clubbing finger.
b. Palpasi : CRT<2 detik
c. Perkusi : bunyi ICS 1-6 sebelah kiri pekak
d. Auskultasi : S1 dan S2 tidak terdapat suara tambahan
3. Sistem pencernaan
a. Inspeksi : mukosa bibir ananemis, tidak terdapat stomatitis, turgor kulit
abdomen elastis, bentuk abdomen simetris
b. Auskultasi: bunyi bising usus normal 8-12x/menit
c. Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan pada area abdomen, tidak terdapat asites
d. Perkusi: Bunyi perkusi abdomen timpani
4. Sistem penglihatan
Bentuk mata simetris, warna sklera putih, tidak adanya kelainan pada mata,
reflek mengedipkan mata normal, dapat merapatkan mata.
5. Sistem pendengaran

Keperawatan Medikal Bedah III | 23


Bentuk telinga simetris, tidak adanya nyeri tekan, tidak terdapat serumen,
fungsi pendengaran baik
6. Sistem perkemihan
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada sistem
perkemihan, kecuali penyakit gout sudah mengalami komplikasi ke gijal
berupa pielonefritis, batu asam urat ,dan GGK yang akan menimbulkan
perubahan fungsi pada sistem ini
7. Sistem muskuloskeletal
Pada pengkajian ini ditemukan Look: keluhan nyeri sendi yang merupakan
keluhan utama yang mendorong klien mencari pertolongan (meskipun
sebelumnya sendi sudah kaku dan berubah bentuknya).
Nyeri ini biasaya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan
istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang menimbulkan nyeri yang lebuh
dibandingkan dengan gerakan yang lain. Deformitas sendi (temuan tofus)
terjadi dengan temuan salah satu pergelangan sendi secara perlahan membesar.
feel: ada nyeri tekan pada sendi yang membengkak. Move: hambatan gerakan
sendi biasanya semakin memberat
8. Sistem endokrin
Sering ditemukan keringat dingin, dan pusing karena nyeri.
9. Sistem integumen
Kulit biasanya mengalami perubahan warna menjadi merah pada area
yang membengkak.

Keperawatan Medikal Bedah III | 24

Anda mungkin juga menyukai