Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PORTOFOLIO RUMAH SAKIT

KASUS MEDIK

CONGESTIVE HEART FAILURE

HYPERTENSIVE HEART DISEASE

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun oleh :

dr. Adriansyah M, dr. Sindhu NM, dr. Suharsono, dr. M Nadhil SP, dr. Fithria Nurunisa
Pendamping :

dr. Heru S., dr. Priyanto

PROGRAM DOKTER INTERNSIP RUMAH SAKIT


UMUM DAERAH DR. R. SOEPREPTO CEPU
2017/2018

1
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 12 April 2018 telah dipresentasikan portofolio oleh :
Nama : dr. Adriansyah M, dr. Sindhu NM, dr. Suharsono, dr. M. Nadhil SP, dr. Fithria N
Kasus : Congestive Heart Failure, Hypertensive Heart Disease, Chronic
Kidney Disease
Topik : Ilmu Penyakit Dalam
Nama Pendamping : dr.Heru S, dr.Priyanto
Nama Wahana : RSUD Dr. R. Soeprapto Cepu

No Nama Peserta Tanda tangan

1 dr. Adriansyah 1.

2 dr. Sindhu NM 2.

3 dr. Suharsono 3.

4 dr. M.Nadhil SP 4.

5 dr. Fithria Nurunisa 5.

6 dr. Agung Kurniawan 6.

7 dr. Suzan Sugiarto 7.

8 dr. Luluk Andani 8.

9 dr. Farah Firdausi 9.

10 dr. Ihsan Fadilah 10.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Mengetahui,
Dokter Pendamping

dr. Heru S dr. Priyanto

NIP…………………… NIP……………………
Nama Peserta:

2
dr. Adriansyah
dr. Sindhu Nugroho Mukti
dr. Suharsono
dr. M. Nadhil SP
dr. Fithria Nurunisa
Nama Wahana: RSUD Dr. R. Soeprapto Cepu
Topik:
Congestive Heart Failure
Hypertensive Heart Disease
Chronic Kidney Disease

Tanggal (Kasus): 12 April 2018


Nama Pasien: Ny.P.W No RM: 0011979
Nama Pendamping:
Tanggal Presentasi:12 April 2018
dr. Heru S, dr. Priyanto
Tempat Presentasi: Hall komite medik RSUD Dr. R. Soeprapto Cepu
Obyektif Presentasi:
◻ Keilmuan ◻ Keterampilan ◻ Penyegaran ◻ Tinjauan Pustaka
✓ Diagnostik ◻ Manajemen ◻ Masalah ◻ Istimewa

◻ Neonatus ◻ Anak ◻ Remaja ◻ ✓Dewasa ◻ Lansia ◻ Bumil
Bayi
◻ Deskripsi: Perempuan 54 tahun dengan dx. CHF, PJH, dan CKD
◻ Tujuan: Mengetahui diagnosa dan penatalaksanaan CHF, PJH, CKD
Bahan
◻ Tinjauan Pustaka ◻ Riset ✓ Kasus ◻ Audit
Bahasan:
Cara
◻ Diskusi ◻ ✓ Presentasi dan Diskusi ◻ Email ◻ Pos
Membahas:
Nama: Ny.P.W
Data Pasien No Registrasi: 0011979
Usia: 54 tahun
Nama Klinik:
Telpon: - Terdaftar Sejak: -
Bangsal Dahlia (IPD)
Data Utama dan Bahan Diskusi
1. Keluhan utama : Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak napas diantar membawa surat rujukan dari
dr. Rusnandar Sp.PD.
Dua bulan SMRS pasien mengeluh sesak napas dan dirasakan semakin memberat. Sesak
dirasakan saat istirahat dan memberat dengan aktivitas berjalan sekitar 5 langkah.
Pasien sering terbangun dari tidur dimalam hari karena sesak, dan sesak berkurang bila

3
tidur diganjal bantal tinggi sekitar 3 bantal atau dalam posisi duduk. Sekitar 2 minggu
SMRS pasien mengeluh kedua tungkai bawah bengkak. Sekitar 2 hari SMRS pasien
mengeluh kedua lengan bengkak.
Keluhan penyerta batuk (+), lemas (+), nyeri dada (-), demam (-), mual (-), muntah (-),
BAB dalam batas normal dan BAK dalam batas normal.
2. Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan hipertensi (+) namun tidak terkontrol.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
Riwayat sakit hipertensi (+) sejak 28 tahun lalu (thn 1990-an)
Riwayat DM disangkal
Riwayat sakit kuning disangkal
Riwayat minum minuman keras disangkal
Riwayat batu ginjal atau saluran kemih disangkal
Riwayat trauma disangkal
4. Riwayat Keluarga
Riwayat Hipertensi (+) Ibu pasien
Riwayat keluhan serupa pada keluarga disangkal
Riwayat DM disangkal
5. Lain-lain: -
Hasil Pembelajaran
1. Menegakkan diagnosis congestive heart failure, hypertensive heart disease dan
chronic kidney disease.
2. Memberikan penatalaksanaan yang tepat pada kasus congestive heart failure,
hypertensive heart disease dan chronic kidney disease.

1. Subyektif
• Keluhan utama; Sesak napas
• Sesak napas saat istirahat (+)→ 1
• Sesak memberat dengan aktivitas berjalan sekitar 5 langkah (+) → 1
• Terbangun dari tidur malam karena sesak (+) → 1
• Sesak mereda bila tidur dengan posisi duduk atau diganjal bantal tinggi (+)→ 1
• Bengkak kedua tungkai (+) → 1,3
• Bengkak kedua lengan (+) → 1,3
• Batuk (+) *gejala komorbid
• Lemas (+) *gejala komorbid
• Riwayat hipertensi tidak terkontrol (+) → 2, 3
4
• Riwayat ibu dengan hipertensi (+) → 2

2. Objektif
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Pemeriksaan Fisik
● Keadaan umum : tampak sesak ringan
● Kesadaran : compos mentis
● GCS : E4M6V5
● Tekanan darah : 175/85 mmHg
● Nadi : 86 x/menit, regular, isi cukup
● Frekuensi Nafas : 24 x/ menit
● Suhu : 36.60 C
● SpO2 : 98 %
● Berat Badan : 60 kg
● Tinggi Badan : 156 cm

Status Internus
● Kepala : Tidak ada deformitas
● Leher : JVP meningkat (-)
● Mata : Konjungtiva pucat (+/+), sklera tidak ikterik
● Telinga : Bentuk normal, simetris, serumen (-/-)
● Hidung : Bentuk normal, pernafasan cuping hidung (-/-), sekret berlebih (-)
● Mulut : Bibir tidak kering, sianosis (-), lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis,
tonsil T1-T1
● Thoraks:
o Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : batas jantung kanan di linea sternalis dextra, batas jantung kiri
di linea midklavikula sinistra sela iga V
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, murmur negatif, gallop negatif

5
o Paru
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : ekspansi dada simetris,teraba fremitus kanan-kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+) , ronki basah halus (+/+) basal pulmo,
wheezing (-/-)
● Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, nyeri tekan (-) epigastrium, massa (-), hepar
dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness negatif, nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : bising usus normal
● Ekstremitas : pitting edema ekstremitas inferior (+/+), edema
ekstremitas superior (+/+), Akral hangat (+/+), ujung jari sianosis (-/-).

3. Assessment
Diagnosis kerja:
1. Congestive Heart Failure NYHA III-IV
2. Hypertensive Heart Disease
3. Chronic Kidney Disease

4. Plan
Diagnosis :
1. Congestive Heart Failure NYHA III-IV
2. Hypertensive Heart Disease
3. Chronic Kidney Disease

Anjuran Pemeriksaan
Hematologi:
-Darah Rutin :
● Hemoglobin : 9,9 gr/dl
● Eritrosit : 3,09 jt/mm3
● Leukosit : 8,62 ribu/mm3
● Trombosit : 327 ribu/mm3
● Hematokrit : 29,7 %

6
● MCV : 29,7 %
● MCH : 96,1 Fl
● MCHC : 33,3 gr/dl
-Faal hati :
● SGOT : 40 U/I
● SGPT : 17 U/I
-Faal ginjal :
● Ureum : 137 mg/dl
● Creatinin : 6,6 mg/dl
● Asam Urat : 8,3 mg/dl
-Gula Darah Sewaktu : 167 mg/Cl

Tata Laksana :
Posisi ½ duduk
O2 nasal canul 4 lpm
Kateterisasi Urin
IVFD Asering 15 tpm
Injeksi Furosemide 3 x 1 amp
Digoxin 2 x 1 tab
Bisoprolol 1x1 tab
Cek Ureum Creatinin ulang setelah 3 hari,
Cek Albumin
Edukasi pasien

Edukasi :
a. Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit, faktor risiko hingga
pengobatan.
b. Memotivasi agar obat diminum secara tuntas, teratur dan mengikuti saran dokter.

7
8
TINJAUAN PUSTAKA

1. Gagal Jantung
1.1 Definisi

Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang kompleks yang disebabkan oleh kelainan
struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi gangguan pada ejeksi dan pengisian. 1 Pada
keadaan ini jantung tidak lagi mampu memompa darah secara cukup ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.2

Gagal jantung adalah sindrom dimana pasien harus memilki gambaran sebagai
berikut: gejala gagal jantung, biasanya sesak nafas saat istirahat atau selama aktivitas, dan
atau kelelahan; tanda – tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau bengkak pada tungkai;
serta bukti objektif dari kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat. Respon klinis
terhadap pengobatan gagal jantung tidak cukup untuk menegakkan diagnosa, tetapi cukup
membantu ketika diagnosa tidak jelas meskipun telah dilakukan pemeriksaan yang sesuai. 1

Tabel 1.1. Definisi Gagal Jantung

Definisi Gagal Jantung


Gagal Jantung adalah sindroma klinis dimana pasien memiliki ciri-ciri berikut:
 Simpton yang sering dijumpai pada gagal jantung
(sesak nafas pada saat istirahat atau beraktivitas, fatigue, mudah lelah, edema
pretibial)
dan
 Tanda-tanda yang sering dijumpai pada gagal jantung
(takikardi, takipnoe, ronki basah, effuse pleura, peninggian tekanan vena jugularis,
edema perifer, hepatomegali)
 Bukti objektif abnormalitas struktural atau fungsional pada saat istirahat
(kardiomegali, bunyi jantung III, desah jantung, abnormalitas pada ekokardiogram,
peningkatan konsentrasi natriuretik peptida)

1.2 Etiologi

9
Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang paling sering
menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan atau berkurangnya otot
jantung, iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi vaskuler dengan hipertensi, atau
adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner adalah yang paling
sering menyebabkan penyakit miokard, dan 70% akan berkembang menjadi gagal jantung.
Masing -masing 10% dari penyakit jantung katup dan kardiomiopati akan menjadi gagal
jantung juga.

Tabel 1.2. Etiologi Gagal Jantung

Penyebab paling sering pada gagal jantung disebabkan penyakit myokardial


Penyakit Jantung Koroner Banyak manifestasi
Hipertensi Biasanya berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri dan fraksi ejeksi
yang dipertahankan
Kardiomyopati Familial/genetik atau non-familial/non-genetik (termasuk yang
didapat,e.g.myokarditis), hipertrofi (HCM), dilatasi (DCM), restriktif (RCM), ventrikel
kanan aritmogenik (ARVC), tidak diklasifikasikan
Obat-obatan B-Blocker, Kalsium antagonis, antiaritmia, agen sititoksik
Toxins Alkohol, medikasi, kokain, trace elements (merkuri, kobalt, arsenik)
Endokrin Diabetes mellitus, hipo/hipertiroidism, Cushing syndrome, adrenal
insufficiency, kelebihan hormone pertumbuhan, phaeochromocytoma
Nutrisional Defisiensi tiamin, selenium, carnitin, obesitas, cachexia
Infiltratif Sarcoidosis, amyloidosis, haemochromatosis, penyakit jaringan ikat
Lain-lai Chagas’ disease, HIV, peripartum kardiomyopati, end-stagerenal failure
Penyebab dari gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan gagal jantung kiri atau
gagal jantung kanan dan gagal low output atau high output.

Jantung kiri primer Jantung kanan primer


 Penyakit jantung iskemik  Gagal jantung kiri
 Penyakit jantung hipertensi  Penyakit pulmonari kronik
 Penyakit katup aorta  Stenosis katup pulmonal
 Penyakit katup mitral  Penyakit katup trikuspid
 Miokarditis  Penyakit jantung kongenital
 Kardiomiopati (VSD,PDA)
 Amyloidosis jantung 7  Hipertensi pulmonal

Gagal output rendah Gagal output tinggi

10
 Kelainan miokardium  Inkompetensi katup
 Penyakit jantung iskemik  Anemia
 Kardiomiopati  Malformasi arteriovenous
 Amyloidosis  Overload volume plasma
 Aritmia
 Peningkatan tekanan pengisian
 Hipertensi sistemik
 Stenosis katup
 Semua menyebabkan gagal ventrikel
kanan disebabkan penyakit paru
sekunder

(sumber: Concise Pathology 3rd Edition)

1.3 Klasifikasi

Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan Mew York Heart Association (NYHA) 1,3

Klasifikasi Fungsional NYHA


(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi aktivitas
sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang dengan
istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari – hari
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya kelelahan. Gejala
terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan akan semakin
meningkat.

Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan American College of Cardiology dan American
Heart Association 1

Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA


(Derajat Gagal Jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Tahap A Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak ada dijumpai abnormalitas
struktural dan fungsional, tidak ada tanda atau gejala.
Tahap B Berkembangnya kelainan struktural jantung yang berhubungan erat dengan

11
perkembangan gagal jantung, tetapi tanpa gejala atau tanda.
Tahap C Gagal jantung simptomatik berhubungan dengan kelainan struktural jantung.
Tahap D Kelainan struktural jantung yang berat dan ditandai adanya gejala gagal jantung
saat istirahat meskipun dengan terapi yang maksimal.

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal jantung akut dan
gagal jantung kronik.

A. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda akibat
fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya penyakit
jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik. Irama jantung yang abnormal, atau ketidakseimbangan preload dan afterload
dan memerlukan pengobatan segera. Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru
tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal jantung
kronis.
B. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang
disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam keadaan istirahat
atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan
istirahat.4
1.4 Patofisiologi

Gagal jantung dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu (1) gangguan kontraktilitas ventrikel,
(2) meningkatnya afterload, atau (3) gangguan pengisisan ventrikel. Gagal jantung yang
dihasilkan dari abnormalitas pengosongan ventrikel (karena gangguan kontraktilitas atau
kelebihan afterload) disebut disfungsi sistolik, sedangkan gagal jantung yang dikarenakan oleh
abnormalitas relaksasi diastol atau pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik.5

Pada dasarnya terdapat perbedaan antara gagal jantung sistolik dengan gagal jantung
diastolik). Gagal jantung sistolik disebabkan oleh meningkatnya volume, gangguan pada
miokard, serta meningkatnya tekanan. Sehingga pada gagal jantung sistolik, stroke volume dan
cardiac output tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh secara adekuat. Sementara itu gagal
jantung diastolik dikarenakan meningkatnya kekakuan pada dinding ventrikel.6

Disfungsi Sistolik

Pada disfungsi sistolik, ventrikel yang terkena mengalami penurunan kapasitas ejeksi
darah karena gangguan kontraktilitas miokard atau tekanan yang berlebihan (misal, kelebihan

12
afterload). Hilangnya kontraktilitas merupakan hasil dari destruksi myosit, abnormalitas fungsi
myosit, atau fibrosis. Tekanan yang berlebihan mengganggu ejeksi ventrikel dengan adanya
peningkatan resistensi aliran yang signifikan.

Hasil dari disfungsi sistolik adalah menurunnya stroke volume. Jika darah balik normal
dari paru ditambah dengan volume akhir sistolik yang telah meningkat karena tidak
sempurnanya pengosongan ventrikel maka volume bilik saat diastolik meningkat. Sehingga
volume dan tekanan pada akhir diastolik menjadi lebih tinggi.

Selama diastolik, meningkatnya tekanan ventrikel kiri yang menetap diteruskan ke


atrium kiri (melalui katup mitral yang terbuka) dan juga diteruskan ke vena dan kapiler
pulmonaris. Peninggian tekanan hidrostatik kapiler pulmonal > 20 mmHg menghasilkan
transudasi cairan ke interstisial paru sehingga menimbulkan gejala kongesti paru.

Disfungsi Diastolik

Sebanyak sepertiga pasien dengan klinis gagal jantung memiliki fungsi sistolik
ventrikel yang normal. Banyak dari mereka menunjukkan abnormalitas fungsi diastolik
ventrikel seperti : gangguan relaksasi awal diastolik, meningkatnya kekakuan dinding
ventrikel, atau keduanya. Iskemik miokard akut adalah salah satu contoh kondisi yang
menghambat pengahntaran energi dan relaksasi diastolik. Sedangkan hipertrofi ventrikel kiri,
fibrosis atau kardiomiopati restriktif menyebabkan dinding ventrikel kiri menjadi kaku. Pasien
dengan disfungsi diastolik sering menunjukkan tanda kongesti vaskuler karena paningkatan
tekanan diastolik yang diteruskan ke paru dan vena sistemik.5

Kontraktilitas yang terganggu Afterload


1. Infark miokard (Pressure overload)
2. Iskemik miokard transient
3. Overload volume kronik 1. Aortic stenosis
a. Mitral regurgitasi 2. Hipertensi tidak terkontrol
b. Aortic regurgitasi
4. Kardiomiopati dilatasi

Disfungsi Sistolik

13
Gagal jantung kiri

Disfungsi Diastolik

Relaksasi ventrikel yg terganggu Obstruksi pada pengisian ventrikel

1. Hipertrofi ventrikel kiri 1. Mitral stenosis


2. Kardiomiopati hipertrofik 2. Konstriksi miokard atau
3. Kardiomiopati restriktif tamponade
4. Iskemik miokard transient

(sumber : Pathophysiology of Heart Disease, Leonard S Lilly)

Pada penyakit jantung koroner terdapat kerusakan otot jantung. Kerusakan otot jantung
terjadi karena adanya sumbatan pada arteri koroner sehingga terjadi gangguan aliran darah dan
suplai oksigen menjadi berkurang. Jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama, otot
jantung akan nekrosis. Hal ini menyebabkan terjadi gangguan pompa jantung (disfungsi
sistolik). Selain itu, kurangnya aliran darah juga dapat menurunkan kemampuan jantung untuk
relaksasi sehingga terjadi gangguan pengisian jantung (disfungsi diastolik).

Beberapa mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien gagal jantung untuk
membantu mempertahankan tekanan darah yang adekuat untuk memompakan darah ke organ
– organ vital. Mekanisme tersebut adalah (1) mekanisme Frank-Straling, (2) neurohormonal,
dan (3) remodeling dan hipertrofi ventrikular.

Gagal jantung akibat penurunan ventrikel kiri menyebabkan pergeseran kurva


penampilan ventrikel ke bawah. Karena itu, pada setiap beban awal, isi sekuncup menurun
dibanding dengan normal dan setiap kenaikan isi sekuncup pada gagal jantung menuntut
kenaikan volume akhir diastolic lebih tinggi dibandingkan normal. Penurunan isi sekuncup
mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak sempurna sewaktu jantung berkontraksi.
Sehingga volume darah yang menumpuk dalam ventrikel semasa diastole lebih tinggi
dibanding normal. Ini sebagai kompensasi karena kenaikan beban awal merangsang isi
sekuncup pada kontraksi berikutnya. 2

Pada gagal jantung, stres pada dinding ventrikel bisa meningkat. Peninggian stress
terhadap dinding ventrikel yang terus menerus merangsang hipertrofi ventrikel. Kompensasi

14
ini mengurangkan stress didinding. Ini diikuti tekanan diastolic lebih tinggi dari normal.
Dengan demikian tekanan atrium kiri juga turut meningkat.2

Mekanisme kompensasi mencakup sistem saraf adrenergic, sisitim rennin angiotensin,


peningkatan produksi hormone diuretic untuk penurunan curah jantung. Mekanisme ini
berguna untuk meningkatkan tahanan pembuluh darah sistemik dan mengurangi setiap
penurunan tekanan darah.2

1.5 Diagnosa

A. Gejala dan Tanda Klinis


Manifestasi klinis dari gagal jantung adalah akibat dari gangguan cardiac output dan
atau peningkatan tekanan vena serta berhubungan dengan ventrikel yang terkena. Kebanyakan
pasien datang dengan keluhan gagal jantung kronik progresif yang akan dijelaskan di bawah
ini. Namun ada pula yang datang dengan tanda dekompensasi jantung kiri yang tiba – tiba
(misal, oedem paru akut)5

Simptom yang sering dijumpai dan manifestasi klinis pada Gagal Jantung

Simptom Manifestasi klinis


Jantung kiri
Dyspnea Diaphoresis (keringat)
Orthopnea Takikardi, takipnea
Paroxysmal nocturnal dyspnea Ronki basah pada pulmonari
Fatigue P2 mengeras
S3 Gallop (±S4)

Jantung kanan Distensi vena jugularis


Edema perifer Hepatomegali
Tidak nyaman pada kuadran atas kanan Edema perifer
(karena pembesaran hati)
(sumber : Pathophysiology of Heart Disease, Leonard S Lilly)

Berdasarkan kriteria Framingham, diagnosis CHF membutuhkan adanya 2 kriteria


mayor atau 1 kriteria mayor dengan tambahan 2 kriteria minor bersamaan.

Kriteria Mayor

 Paroxysmal nocturnal dyspnoe (PND)

15
 Distensi vena leher
 Ronki paru
 Kardiomegali
 Edema paru akut
 S3 gallop
 Peninggian tekana vena jugularis
 Refluks hepatojugular

Kriteria Minor

 Edema ekstremitas
 Batuk malam hari
 Dyspnea d’effort
 Hepatomegali
 Efusi pleura
 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
 Takikardi

B. Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiogram (EKG)

Rekaman EKG harus dilakukan pada setiap pasien yang dicurigai dengan gagal
jantung. Perubahan EKG biasanya dijumpai pada pasien yang diduga mengalami gagal
jantung. Abnormalitas dari EKG memiliki nilai prediksi yang kecil akan adanya gagal jantung.
1

Foto thoraks

Foto thoraks merupakan komponen penting dalam diagnostik gagal jantung. Pada foto
thoraks kita dapat menilai kongesti pulmonal serta dapat menunjukkan penyebab sesak nafas
oleh karena paru atau thoraks.

Foto thoraks digunakan untuk mendeteksi adanya kardiomegali, kongesti pulmonal


dan akumulasi cairan pleura, serta dapat menunjukkan adanya penyakit paru atau infeksi yang

16
menyebabkan atau yang memperberat sesak nafasnya. Temuan kongestif bersifat prediktir.
Namun kardiomegali bisa tidak dijumpai pada keadaan akut, tetapi selalu dijumpai pada gagal
jantung kronik.1

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan diagnostik yang rutin dilakukan pada pasien gagal jantung berupa
pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, leukosit, dan platelet), elektrolit serum, kreatinin
serum, Laju Filtrasi Glomerulus, kadar glukosa, tes fungsi hati, dan urinalisa. Abnormalitas
elektrolit atau hematologis tidak sering dijumpai pada pasien gagal jantung, meskipun anemia
ringan, hiponatremia, hiperkalemia, dan penurunan fungsi ginjal umum dijumpai, khususnya
pada pasien yang mendapat terapi dengan diuretik dan ACE-I/ARB/aldosteron antagonis. 1

Troponin

Pemeriksaan Troponin I atau T sebaiknya dilakukan pada pasien yang diduga gagal
jantung dengan tampilan klinis yang mengarah pada sindroma koroner akut. Peningkatan
troponin kardiak mengindikasikan adanya nekrosis myosit, dan jika ada indikasi sebaiknya
revaskularisasi dipertimbangkan dan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang sesuai.
Peningkatan troponin juga terjadi pada akut miokarditis. Peningkatan ringan pada troponin
kardiak sering dijumpai pada gagal jantung berat atau selama episode gagal jantung
dekompensasi pada pasien tanpa bukti adanya iskemik miokard yang disebabkan sindrom
koroner akut dan situasi lain seperti sepsis. 1

Ekokardiografi

Istilah ekokardiografi ditujukan kepada semua teknik pencitraan jantung yang


menggunakan ultra sound, termasuk colour Doppler dan Tissue Doppler Imaging. Konfirmasi
dengan ekokardiografi untuk diagnosa gagal jantung dianjurkan dan sebaiknya segera
dilakukan mengikut dugaan gagal jantung. Ekokardiografi sudah tersebar luas, cepat, non –
invasif dan aman dan menunjukkan informasi mengenai anatomi jantung (volume, geometri,
massa), gerakan dinding, dan fungsi katup.

Yang paling sering dinilai dari ekokardiografi adalah fungsi ventrikel untuk
membedakan antara pasien dengan disfungsi sistolik dan pasien dengan fungsi sistolik yang
masih baik (normal fraksi ejeksi > 45 – 50%) 1

1.6 Penatalaksanaan

17
Tujuan dari mendiagnosa dan mengobati gagal jantung tidak berbeda dari kondisi
medis lainnya, yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Namun, bagi kebanyakan
pasien, khusunya yang sudah lanjut usia, kemampuan untuk hidup mandiri, bebas dari gejala –
gejala yang menimbulkan ketidaknyamanan, dan mencegah masuk rumah sakit adalah tujuan
yang setara dengan keinginan untuk memaksimalkan kehidupan.1

Symptomatic Heart Failure + Reduces Ejection Fraction


Detect co-morbidities and
Precipitating Factor

Non-cardiovascular
Diuretic + ACEI (or ARB)
Anemia
Titrate to clinical stability
Pulmonary disease
b- Blocker
Renal dysfunction

Thyroid dysfunction
Persisting signs & symptoms?
Diabetes

YES NO

ADD aldosteron antagonist OR ARB

18
Persisting
Considersymptoms?
: Digoxin, No further
Consider : hydralazin/nitrate, LVAD, treatment
YES QRS > 120ms?transplantation
NO Consider ICD
YES LVEFindicated
< 35%?
NO
CRT-P or CRT-D YES
Angiotensin Converting enzyme inhibitors (ACE-I)

Jika tidak ada kontraindikasi atau tidak toleransi, ACEI sebaiknya digunakan pada
semua pasien gagal jantung dan LVEF ≤40%. Pengobatan dengan ACEI memperbaiki fungsi
ventrikel, pasien merasa baik, mengurangi angka rawatan di rumah sakit karena perburukan
gagal jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.

Indikasi ACEI adalah LVEF ≤40%, tidak berpengaruh terhadap gejala.

Kontra indikasinya adalah :

 Riwayat angioderma
 Stenosis bilateral arteri ginjal
 Konsentrasi kalium serum > 5 mmol/L
 Serum kreatinin > 0,22 umol/L
 Stenosis aorta berat1

β-blocker
Jika tidak ada kontraindikasi atau tidak toleransi, β-blocker sebaiknya digunakan pada
semua pasien gagal jantung dan LVEF ≤ 40%. Pengobatan dengan β-blocker memperbaiki

19
fungsi ventrikel, pasien merasa baik, mengurangi angka rawatan di rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.
Indikasi pemberian β-blocker adalah :
 LVEF ≤ 40%
 Gejala ringan hingga berat (NYHA fungsional kelas II – IV), pasien dengan disfungsi
LV sistolik tanpa gejala setelah infark miokard juga indikasi diberikan β-blocker.
 Sudah mencapai dosis optimal ACEI/ ARB (dan aldosteron antagonis, jika indikasi)
 Pasien harus dalam keadaan stabil secara klinis

Kontraindikasi β-blocker adalah :

 Asma ( PPOK bukan merupakan kontraindikasi)


 AV block derajat II – III, sick sinus syndrome, dan sinus bradikardia.1

Antagonis Aldosteron

Jika tidak ada kontraindikasi atau tidak toleransi, tambahan antagonis aldosteron
sebaiknya digunakan pada semua pasien gagal jantung dan LVEF ≤ 35% dan gejala yang
berat, misalnya NYHA III – IV, tidak adanya hiperkalemia dan disfungsi ginjal.

Indikasi antagonis aldosteron adalah :

 LVEF ≤ 35%
 Gejala sedang hingga berat (NYHA fungsional kelas III – IV)
 Dosis optimal β-blocker dan ACEI atau ARB

Kontraindikasi antagonis aldosteron adalah :

 Kadar potassium serum > 5 mmol/L


 Serum kreatinin > 0,22 umol/L
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB1

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


Indikasi Angiotensin Resptor Bloker adalah :
 LVEF ≤ 40%
 Alternatif pada pasien dengan gejala ringan hingga berat, dan tidak toleran dengan
ACEI

20
 Atau pada pasien dengan gejala persisten, meskipun perawatan dengan ACEI dan B-
Blocker

Kontraindikasi ARB adalah :

 Sama seperti ACEI, kecuali angioderma


 Pasien dalam pengobatan ACEI dan antagonis aldosteron
 ARB hanya dapat digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal dan konsentrasi kalium
serum yang normal.1

Hydralazine dan Isosorbid dinitrat

Indikasinya adalah alternatif untuk ACEI / ARB, jika keduanya tidak toleransi.
Kontraindikasinya adalah :
 Gejala hipotensi
 Sindroma lupus
 Gagal ginjal1

Digoxin

Pada pasien dengan gagal jantung dan atrial fibrilasi, digoxin digunakan pada slow a
rapid ventricular rate jika pasien dengan AF dan LVEF ≤ 40%, sebaiknya dilakukan kontrol
rate sebagai tambahan, atau diberikan beta bloker sebelumnya.

Indikasi pemberian digoksin adalah jika pada pasien dengan atrial fibrilasi, diberikan
jika rate > 80x/menit pada saat istirahat; > 110x/menit saat beraktivitas. Sedangkan pada
pasien dengan ritme sinus, maka indikasinya adalah LVEF ≤ 40%, gejala ringan hingga berat,
dan dosis optimal ACEI dan atau ARB, B-Bloker dan aldosteron antagonis, jika indikasi.

Kontraindikasinya adalah AV blok grade II – III (tanpa pacemaker permanen), pre-


eksitasi sindrom dan sebelumnya intoleran terhadap digoksin.1

2.1.7. Prognosis

Menentukan prognosis pada gagal jantung sangat kompleks. Beragam etiologi, usia,
komorbiditas, variasi dalam perkembangan individu harus dipertimbangkan. Beberapa kondisi
yang berhubungan dengan prognosis buruk pada gagal jantung dapat dilihat pada tabel
berikut.

Kondisi yang berhubungan dengan prognosis buruk pada gagal jantung1


Demografi

21
Usia lanjut, iskemik, ketidakpatuhan, disfungsi renal, diabetes, anemia, COPD, depresi
Klinis
Hipertensi, NYHA kelas III – IV, sebelumnya dirawat karena gagal jantung, takikardi, ronkhi
basah basal, stenosis aorta, IMT rendah, gangguan nafas yang berhubungan dengan tidur
Elektrofisiologi
Takikardi, Q-wave, QRS lebar, hipertrofi ventrikel kiri, aritmia ventrikular kompleks, heart
rate rendah, atrial fibrilasi, T-wave alternans
Fungsional
Aktivitas berkurang, low peak VO2, kelelahan berjalan 6 menit

Laboratorium
Peningkatan natriuretik peptide, hiponatremia, peningkatan troponin, peningkatan biomarker
neurohormonal, peningkatan kreatinin, peningkatan bilirubin, anemia, peningkatan asam urat
Imaging
LVEF rendah, meningkatnya volume ventrikel kiri, cardiac index rendah, meningkatnya
tekanan pengisian ventrikel kiri, restriktif mitral. Hipertensi pulmonal, gangguan fungsi
ventrikel kanan.

2. PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSIF

Penyakit jantung hipertensi adalah istilah yang diterapkan untuk menyebutkan penyakit
jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventrikel hipetrophy (LVH), aritmia jantung,
penyakit jantung koroner, dan penyakit jantung kronis, yang disebabkan karena peningkatan
tekanan darah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.1. Patofisiologi

Peningkatan tekanan darah secara sistemik menyebabkan meningkatnya resistensi terhadap


pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban jantung bertambah. Sebagai akibatnya
terjadi hipertofi ventrikel kiri untuk meningkatkan kontraksi. Hipertrofi ini ditandai dengan
ketebalan dinding yang bertambah, fungsi ruang yang memburuk, dan dilatasi ruang jantung.
Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi
kompensasi akhirnya terlampaui dan terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung semakin
terancam seiring parahnya aterosklerosis koroner. Angina pectoris juga dapat terjadi karena
gabungan penyakit arterial koroner yang cepat dan kebutuhan oksigen miokard yang
bertambah akibat pertambahan massa miokard.

22
2.2. Manifestasi Klinis

Pemeriksaan yang paling sederhana adalah palpasi. Pada hipertrofi konsentrik lama,
iktus bertambah. Bila telah terjadi dilatasi ventrikel kiri, iktus kordis bergeser ke kiri bawah.
Pada auskultasi pasien dengan hipertrofi konsentrik dapat ditemukan S4 dan bila sudah terjadi
dilatasi jantung didapatkan tanda – tanda insufisiensi mitral relatif.
Pada stadium dini hipertensi, tampak tanda – tanda akibat rangsangan simpatis yang
kronik. Jantung berdenyut cepat dan kuat. Terjadi hipersirkulasi yang mungkin diakibatkan
peningkatan aktivitas sistem neurohumoral disertai hipervolemia. Pada stadium selanjutnya,
timbul mekanisme kompensasi pada otot jantung berupa hipertrofi ventrikel kiri yang masih
difus dan peningkatan tahanan pembuluh darah perifer.
Gambaran klinis seperti sesak nafas adalah salah satu gejala gangguan fungsi
diastolik, dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel walaupun fungsi sistolik masih normal.
Bila berkembang terus, terjadi hipertrofi eksentrik dan akhirnya menjadi dilatasi ventrikel
kemudian timbul gejala payah jantung. Stadium ini kadangkala disertai dengan gangguan
sirkulasi pada cadangan aliran darah koroner dan akan memperburuk kelainan fungsi mekanik
/ pompa jantung yang selektif.

2.3. Pemeriksaan Penunjang

Pada foto toraks posisi posteroanterior pasien hipertrofi konsentrik, besar jantung dalam
batas normal. Pembesaran jantung ke kiri terjadi bila sudah ada dilatasi ventrikel kiri.
Terdapat elongasi aorta pada hipertensi yang kronik dan tanda – tanda bendungan
pembuluh paru pada stadium payah jantung hipertensi.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin yang diperlukan adalah ht serta ureum dan
kreatinin untuk menilai fungsi ginjal. Selain itu juga elektrolit untuk melihat kemungkinan
adanya kelainan hormonal aldosteron. Pemeriksaan laboratorium urinalisis juga
diperlukan untuk melihat adanya kelainan pada ginjal.
Pada EKG tampak tanda – tanda hipertrofi ventrikel kiri dan strain. Ekokardiografi
dapat mendeteksi hipertrofi ventrikel kiri secara dini mencakup kelainan anatomik dan
fungsional jantung pasien hipertensi asimtomatik yang belum didapatkan kelaina pada
EKG dan radiologi. Perubahan – perubahan yang dapat terlihat adalah sebagai berikut :
1. Tanda – tanda hipersirkulasi pada stadium dini, seperti hiperkinesis, hipervolemia
2. Hipertrofi yang difus (konsentrik) atau yang iregular eksentrik.

23
3. Dilatasi ventrikel yang dapat merupakan tanda – tanda payah jantung, serta tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri meningkat.
4. Tanda – tanda iskemia seperti hipokinesis dan pada stadium lanjut adanya diskinetik.

2.4. Penatalaksanaan

Pengobatan ditujukan untuk menurunkan tekanan darah menjadi normal, mengobati payah
jantung karena hipertensi, mengurangi morbiditas dan mortalitas terhadap penyakit
kardiovaskular, dan menurunkan faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskular
semaksimal mungkin.

Untuk menurunkan tekanan darah dapat ditinjau 3 faktor fisiologis yaitu, menurunkan isi
cairan intravaskular dan Na darah dengan diuretik, menurunkan aktivitas susunan saraf
simpatis dan respons kardiovaskular terhadap rangsangan adrenergik dengan obat dari
golongan antisimpatis, dan menurunkan tahanan perifer dengan obat vasodilator.

3. Gagal Ginjal Kronik


3.1. Definisi

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal kronik:1.2

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik

24
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam
lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal,
stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan
ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:1

Tabel 3.1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.1,3

Derajat Penjelasan LFG


(mL/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 3.2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan
atau dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).3

GFR Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal

Dengan HT Tanpa HT Dengan HT Tanpa HT


(ml/min/1,73 m2)

> 90 1 1 HT Normal

60 – 89 2 2 HT dengan Penurunan
penurunan GFR GFR

30 – 59 3 3 3 3

15 – 29 4 4 4 4

25
< 15 (atau dialisis) 5 5 5 5

3.2. Etiologi1,3,4

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).

a. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana


mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.
Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga
oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu
menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai
serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah
merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal
terganggu.2

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan


sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik
lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.2

Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada
pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi

26
hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas,
dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.2

b. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu


kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.2

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak
menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil
lebih sering ataupun berat badan yang menurun.2

Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang


meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan
mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan
munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal
diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria
dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein
urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk
mata, jantung, dan sistem saraf .2,4

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang
tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga
hipertensi renal.5,6

d. Ginjal polikistik

27
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena
sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.2

3.3. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1,2

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut


memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun interstitial.1

Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar
BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat

28
diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan
kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.1

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari
75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini
kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin
serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila
penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada
stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress
dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.1

Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium
akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron
telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10%
dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok
sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup
lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi
isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya
menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.1

Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,
tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.

3.4. Gambaran klinik

29
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.1,2,7

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan
pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.1

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit <
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi
total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya.1,7

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab


lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi
yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran
hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.2

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal

30
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai
timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.1,3

e. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.

3.5. Pendekatan Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.1,6

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)


31
4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan


yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan


dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk
semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan
melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

ii) sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia,
kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
chlorida).1

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,
hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi
proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.1

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1

32
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

3.6. Penatalaksanaan1,2,3,7

1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

a.Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi
dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
2. Terapi simptomatik

33
a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium


(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50
u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali
dalam seminggu.8

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym
Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan
antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular

34
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,


muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

35
c. Transplantasi ginjal

3.7. Prognosis

Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),
kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).2

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Sylvia Anderson Price, RN, Phd; Lorraine Mccarty Wilson, RN, PhD. 2005. Patofisiologi
konsep klinis proses-proses penyakit. EGC: Jakarta

2. Huon H.Gray; Keith D. Dawkins, John M.Morgan; dkk. 2003.Lecture Notes Kardiologi.
Erlangga : Jakarta

3. Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

4. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. 2008. Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure . European heart journal.

5. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti
S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.

6. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.


medscape.com/article/238798-overview, 05 April 2017.

7. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK. 05 April 2017.

37

Anda mungkin juga menyukai