Anda di halaman 1dari 6

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penentuan dimensi vertikal maxillomandibular merupakan satu tahapan

penting dalam perawatan prostodontik khususnya bagi pasien yang telah

kehilangan gigi-geligi yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan dimensi

vertikal (Zarb dkk., 2002). Pembuatan gigi tiruan bertujuan untuk mengembalikan

perubahan dimensi vertikal akibat kehilangan gigi tersebut. Keberhasilan suatu

gigi tiruan tergantung pada ketepatan penentuan dimensi vertikal selama prosedur

pembuatan gigi tiruan (Metha dkk., 1969). Penetapan dimensi vertikal diperoleh

berdasarkan dimensi vertikal pada saat rahang pasien dalam keadaan posisi

istirahat, yaitu dimensi vertikal rest position (DVRP) dan saat beroklusi, yaitu

dimensi vertikal oklusi (DVO) (Zarb dkk., 2002). Rahang dalam keadaan istirahat,

gigi-geligi dalam keadaan sedikit terpisah sehingga terdapat celah antara

permukaan oklusal gigi-gigi atas dan gigi-gigi bawah disebut freeway space atau

jarak interoklusal (Watt, 1992).

Freeway space atau jarak interoklusal adalah jarak antara permukaan

oklusal maksila dan mandibula ketika dalam keadaan istirahat berkisar antara 2-4

mm (Jahnson dkk., 2002). Freeway space sangat diperhatikan dalam pembuatan

gigi tiruan, karena memberi tempat bagi aksi otot mastikasi yang berperan

mengatur fungsi mastikasi dan dibuat agar meregang lebih panjang atau lebih

pendek dari normal selama pergerakan otot mastikasi, sehingga pada prothesa

1
2

yang digunakan telah menyediakan freeway space yang tepat (Hartono dkk.,

1992).

Menurut Tyson dan McCord (2002), jarak freeway space berkisar antara

2-5 mm dan pada pasien lanjut usia lebih besar dari kisaran yang ada, demikian

juga dengan pasien atrofi mukosa residual ridge. Menurut Barnes dan Angus

(1995) freeway space pada lansia lebih besar (4-5 mm) daripada pasien yang lebih

muda.

Penentuan dimensi vertikal merupakan satu tahapan penting dalam

pembuatan gigi tiruan. Kesalahan dalam penentuan dimensi vertikal dapat

mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dalam pemakaian gigi tiruan yang

dibuat, pasien menjadi tidak nyaman saat menggunakan gigi tiruan tersebut

sehingga dalam jangka panjang dapat berpotensi menyebabkan kerusakan elemen

pada sistem stomatognatik. Kesalahan pada penentuan dimensi vertikal oklusi

dapat mengakibatkan dimensi vertikal menjadi lebih tinggi atau lebih rendah dari

dimensi vertikal oklusi yang sebenarnya. Dimensi vertikal yang lebih tinggi dapat

meningkatnya risiko trauma pada jaringan di bawah gigi tiruan, karena hilangnya

freeway space sehingga mengakibatkan clenching gigi-geligi, sakit pada mukosa

dan otot masseter, suara ‘horse sound’ saat gigi berkontak, waktu bicara,

mengunyah, dan estetik menjadi buruk karena otot wajah seperti otot orbicularis.

Jika berlanjut akan berkembang menjadi gangguan temporomandibular joint

(McCord dan Grant, 2000).

Ketika terjadi kesalahan pengukuran yang mengakibatkan dimensi vertikal

lebih rendah, maka sudut mulut akan tampak kurang dukungan sehingga
3

menyebabkan terjadinya drooling, angular cheilitis, berkurangnya efisiensi

pengunyahan, estetik akibat kurangnya dukungan bibir dan pipi, dan protrusi dagu

pada saat penutupan rahang (McCord dan Grant, 2000).

Perhitungan dimensi vertikal maxillomandibular dikelompokkan secara

mekanis dan fisiologis. Secara mekanis meliputi pencatatan pra-pencabutan,

pengukuran, dan kesejajaran alveolar. Secara fisiologis meliputi pengunaan posisi

istirahat fisiologis, fenomena penelanan, dan fonetik. Estetika dan kenyamanan

dapat ditambahkan pada pendekatan mekanis maupun fisiologis, namun sampai

saat ini belum ada metode yang paling akurat bagi dokter gigi untuk mendapatkan

dimensi vertikal oklusi. Dimensi vertikal oklusi yang tepat sangat penting bagi

dokter gigi untuk menciptakan oklusi yang baik pada gigi tiruan (Zarb dkk., 2002;

Turrel, 2006).

Pengukuran dimensi vertikal dapat dilakukan secara langsung dan tidak

langsung. Secara tidak langsung salah satunya dengan media foto (foto

cephalometry, foto lama pasien, dan foto digital wajah pasien). Foto cephalometry

dapat dijadikan alat ukur dimensi vertikal rest position khususnya pada sepertiga

bagian bawah wajah (Souza, 2007; Broza, 2005). Media foto sendiri sudah tidak

asing lagi di dunia kedokteran gigi, penelitian yang menggunakan foto digital

sebagai pembanding dangan alat ukur yang berhubungan dengan wajah. Kiekens

dkk., (2008) dan Mizumoto dkk., (2009) meneliti proporsi golden ratio wajah

dengan melakukan pengukuran pada hasil foto digital. Mohindran dan Bulman

(2002) meneliti efek peningkatan dimensi vertikal pada estetik wajah dengan
4

mengunakan foto sebelum dan sesudah perawatan sebagai alat media penilaian

(Monhira, 2002).

Pengukuran dimensi vertikal secara langsung menggunakan metode Willis

dengan mengukur jarak antara ujung hidung ke ujung dagu menggunakan digital

vernier caliper. Metode Willis juga mengukur jarak antara canthus mata ke sudut

mulut sama dengan jarak antara ujung hidung ke ujung dagu. Metode ini mudah

digunakan karena stabil dan lebih akurat saat merekam jarak antara dasar hidung

ke ujung dagu (Debnath dkk., 2014).

Wirahadikusumah dkk., (2011) meneliti pengukuran dimensi vertikal rest

position pada subjek mahasiswa di Universitas Indonesia dengan menggunakan

analisis foto digital. Mereka menemukan bahwa pengukuran dimensi vertikal rest

position dapat dilakukan pada foto wajah secara digital dengan jarak sudut mata

ke sudut bibir sama dengan jarak dasar hidung ke ujung dagu. Jarak yang sama

antara kedua panduan anatomis ini akan mempermudah pengukuran dimensi

vertikal rest position pada wajah. Kita hanya perlu mengukur jarak dasar hidung

ke ujung dagu untuk mendapatkan jarak dimensi vertikal rest position.

Pengukuran yang pernah dilakukan di FKG UI hanya sebatas pengukuran

dimensi vertikal rest position dan tidak melibatkan metode Willis karena dianggap

dapat melukai pasien jika berkontak dengan kulit pasien seperti jangka sorong.

Penelitian ini akan menggunakan metode Willis dengan alat digital vernier caliper

dan analisis foto digital menggunakan kamera digital untuk mendapatkan nilai

freeway space.
5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas timbul suatu permasalahan: Apakah

terdapat perbedaan nilai Freeway space antara metode Willis dan analisis foto

digital?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian menggunakan metode foto digital sudah pernah dilakukan

sebelumnya, salah satunya oleh Wirahadikusumah dkk., (2011) yang berjudul

Analisis Foto Digital untuk Memprediksi Dimensi Vertikal Fisiologis. Hasil

penelitian menunjukkan adanya korelasi yang bermakna antara pengukuran pada

wajah dan pada foto digital sehingga dapat digunakan untuk memprediksi dimensi

vertikal rest position. Geerts dkk., (2004) telah melakukan penelitian yang

membandingkan tingkat keakuratan antara metode Willis dan metode Caliper.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata freeway space metode Willis secara

signifikan lebih tinggi dari freeway space control. Menurut Johnson dkk., (2002)

dalam penelitiannya yang berjudul The Determination of Freeway Space Using

Two Different Methods, mengukur freeway space pada pasien mengunakan Willis’

bite gauge dan spring divider. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan

yang signifikan antara kedua metode. Penelitian tentang analisis foto digital dan

metode Willis untuk mengukur freeway space sejauh ini belum pernah dilakukan.
6

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan nilai freeway

space antara metode Willis dan analisis foto digital.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan sumbangan ilmiah kedokteran gigi, terutama pada bidang

prostodonsia.

2. Memberikan informasi mengenai nilai freeway space dengan

menggunakan metode Willis dan analisis foto digital sebagai metode

alternatif atau tambahan untuk melengkapi metode yang sudah ada. Hasil

penelitian dapat digunakan sebagai acuan atau referensi untuk penelitian

selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai