Tinjauan Pustaka SN
Tinjauan Pustaka SN
SINDROM NEFROTIK
A. DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
B. EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per
tahun,1dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki
dan perempuan 2:1.
C. ETIOLOGI
Sebab yang pasti belum diketahui ; akhir-akhir ini dianggap sebagai satu
penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya
para ahli membagi etiologinya menjadi :
1. Sindrom nefrotik bawaan
a. Dirurunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
b. Resisten terhadap semua pengobatan.
c. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus.
d. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak
berhasil.
e. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
a. Malaria kuartana atau parasit lain, hepatitis B, schistosomiasis, lepra,
sifilis, streptokokus, AIDS.
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosisis vena
renalis.
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, racun oak, air raksa.
e. Amilodisosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano
proliferatif hipokomplementamik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya).
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk.
Membangi dalam 4 golongan yaitu :
a. Kelainan minimal
1) Dengan mikrospok biasa glomerulus tampak normal, sedangkan
dengan mikroskop elektron terdapat IgG atau imunoglobulin bet-1C
pada dinding kapiler glomerulus.
2) Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.
b. Nefropati membranosa
1) Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi set. Tidak sering ditemukan pada anak.
2) Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
1) Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus.
a) Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan
pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan Streptococcus
yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik.
b) Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan
setelah pengobatan yang lama.
2) Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(kapsular) dan viseral.
3) Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(simpai (kapsular) dan viseral.
4) Glomerulonefritis membranopliferatif.
Proliferasi sel mesangial dan penempaan fibrin yang menyerupai
membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta 1A
rendah.
5) Lain-lain : Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.
d. Glomeruloksklerosis fokal segmental.
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai
dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk.
D. PATOFISIOLOGI
1. Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan
gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria
dinyatakan “berat” untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih
ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama atau
lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria
berat.
2. Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi
bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang
keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan disebut sebagai
proteinuria selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara
sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000)
dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari
0.2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio
rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.
Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak
sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal)
dengan pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
3. Perubahan pada filter kapiler glomerulus
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal
bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat
penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun
terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin.
Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan
negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan
pada kedua-duanya.
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif
pada lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat
keluarnya molekul muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya
proteoglikan sulfat heparan dengan hepartinase mengakibatkan timbulnya
albuminaria.
4. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis
hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan
gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi
ini hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat
hubungan terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak responsif steroid, albumin
serumnya dapat kembali normal atau hampir normal dengan atau tanpa
perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam
keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal.
5. Kelainan metabolisme lipid
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini
tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi
tebalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid
lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan
hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia kongenital
dapat juga timbul hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid
ini tidak hanya disebabkan oleh penyakti ginjalnya sendiri. Pada pasien SN
konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotien
densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok.
Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada
anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol
total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat
disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang
menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya
produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin
dan sekudner terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan.
6. Edema
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory)
adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan
cairan merembes keruang interstisial. Dengan meningkatnya permealiblitas
kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria dan
hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunya tekanan onkitik koloid
plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan
transudat melewati dinding kapiler dari ruagn intravaskular ke ruang
interstial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Kelainan glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Tekanan onkotik hidorpatik koloid plasma
Volume plasma
Retensi Na renal sekunder
Edema
Terbentuknya edema menurut teori underfilled
Sebagai akibat pergeseran cairan volume plasma total dan volume
darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi
efektif. Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif
merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan
tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai
peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus
menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma
dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya
mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas
memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi terjadi kenaikan kadar
renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini
tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN
menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas
renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled.
Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan
cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling
cairan ke dalam ruang interstiasial. Teori overfilled ini dapat menerangkan
adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan
aldosteron menurun sekunder terhadap hipervolemia.
Kelainan glomerulus
Retensi Na renal primeri
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Volume plasma
Edema
2. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu
diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka
diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.
c. Metilprednisolon Pulse
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan
metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30
mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa
5%, diberikan dalam 2-4 jam.(Tabel 1)
P. PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun
menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada
GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian
besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai penelitian jangka
panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan
untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.
Oleh karena itu pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons
klinik yaitu:
1. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
2. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Q. BATASAN
proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2
Remisi
LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
Relaps proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
Relaps Jarang
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
Relaps Sering
atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
Dependen Steroid (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan
tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
Resisten Steroid
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
Sensitif Steroid
selama 4 minggu
BAB III
ANALISA KASUS
A. Diagnosis Kasus
Pada kasus ini ada seorang anak laki-laki berusia 5 tahun datang ke
RSUD Dr. Harjono S. Ponorogo. Berdasarkan alloanamnesa dengan orangtua
penderita, dan setelah dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan :
1. Keluhan utama berupa badan bengkak di sekujur tubuh
2. Lokasi bengkak pada daerah kelopak mata, perut, dan tungkai.
3. Terdapat batuk berdahak,demam
4. BAK keruh dan sedikit-sedikit.
5. Ascites (+).
Berdasarkan hal diatas diagnosa sementara yang dapat ditegakkan
adalah sindrom nefrotik (SN) dan Glomerulonefritis Akut (GNA). Untuk lebih
memastikannya maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dan diperoleh hasil
berikut :
1. Kadar serum albumin 1,1 g/dl (hipoalbuminemia)
2. Kadar kolesterol darah 466 mg/dl (hiperkolesterolemia)
3. Protein dalam urin +3 (Proteinuria masif)
Dari hasil pemeriksaan tersebut, telah ditegakkan diagnosisnya yaitu
Sindroma nefrotik. Dimana keadaan klinik pasien sesuai dengan definisi dari
SN yaitu kumpulan manifestasi klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, edema generalisata (anarsarka) dan hiperlipidemia
Proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100
mg/kgBB/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga <
2,5 gram/dl.
Etiologi SN pada kasus ini adalah diduga dari infeksi di mana terdapat
batuk berdahak. Pada teori, kasus sindroma nefrotik yang penyebabnya adalah
proses infeksi yaitu sindroma nefrotik sekunder. Sindroma nefrotik sekunder
timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
infeksi yang sering dijumpai pada sindroma nefrotik adalah hepatitis B,
malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
Terjadinya edema pada kasus sindroma nefrotik karena adanya
penimbunan cairan dalam ruang interstitial di seluruh tubuh. Edema sering
merupakan keluhan pertama pada pasien sindroma nefrotik. Pada pasien ini
terjadi hipoalbuminemia yang menyebabkan menurunya tekanan onkotik
koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan
transudat melewati dinding kapiler dari ruagn intravaskular ke ruang interstial
yang menyebabkan terbentuknya edema.
Selain itu, pada kasus juga ditemukan adanya protein dalam urin +3
yang mana sesuai dengan teori menunjukkan keadaan proteinuria masif.
Proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100
mg/kgBB/hari atau lebih. Protein urin ini sebagian besar berasal dari kebocoran
glomerulus (proteinuria glomerulus) dan hanya sebagian kecil berasal dari
sekresi tubulus (proteinuria tubulus) yang pada dasarnya mengakibatkan antara
lain :
1. Jumlah serum protein yang difiltrasi glomerulus meningkat sehingga serum
protein tersebut masuk ke dalam lumen tubulus
2. Kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mengabsorbsi serum protein
yang telah difiltasi glomerulus.
Selain itu, adanya reaksi antigen-antibodi menyebabkan permeabilitas
membran basalis glomerulus meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein
(albumin). Tubuh kehilangan albumin > 3,5 gr/hr sehingga menyebabkan
hipoalbuminemia. Albumin merupakan serum protein yang mempunyai berat
molekul kecil dan jumlahnya banyak sehingga mudah keluar bila terdapat
kerusakan basalis ginjal. Keadaan demikian sering ditemukan pada pasien
dengan kerusakan minimal. Sebagian besar pasien SN usia muda dengan
proteinuria selektif biasanya mempunyai lesi histopatologik minimal atau
minimal change lesion dan memperlihatkan respon yang baik terhadap
kortikosteroid.
B. Batasan Diagnosis SN
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan bahwa pasien didiagnosis sebagai Sindroma Nefrotik. Berdasarkan
alloanamnesis terhadap orang tua bahwa pada pasien ini sebelumnya pernah
menderita penyakit yang serupa yang kambuh-kambuhan sejak usia 1,5 tahun
dan sampai sekarang sebanyak ± 5 kali. Selain itu, selama pengobatan dirumah
sakit pasien mendapatkan terapi prednison yang sesuai dengan protokol. Dari
hasil pemeriksaan urin lengkap didapatkan hasil protenuria (+2) sampai dengan
(+3) selama 7 kali pemeriksaan dalam 3 minggu perawatan di RS.
Berdasarkan pernyataan dan hasil tersebut bahwa pada pasien
digolongkan sebagai Sindroma Nefrotik dengan Relaps, dimana Sindroma
nefrotik relaps merupakan proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. Selama 3 minggu pengobatan SN dengan
prednison didapatkan hasil proteinuria (+2) s/d (+3). Pasien dicurigai sebagai
Sindroma nefrotik yang resisten steroid (SNRS), dimana batasan SNRS adalah
tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2
mg/kgbb/hari selama 4 minggu, sedangkan remisi adalah proteinuria negatif
atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu. Evaluasi protein urin pada pasien hanya berlangsung selama 3 minggu
sehingga pasien di suspek sebagai SNRS.
Pasien kemudian di rujuk ke RS Surabaya untuk dilakukan rencana
biopsi ginjal dan diberikan terapi pengganti steroid. Indikasi rujuk pada pasien
ini adalah Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS). Indikasi biopsi ginjal pada
pasien adalah setelah dilakukan pengobatan inisial dan hasilnya adalah SNRS.
Biopsi di lakukan untuk melihat patologi anatomi dari jaringan ginjal, apakah
termasuk kelainan minimal atau bukan kelainan minimal.
C. Penatalaksanaan Kasus SN
Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non medikamentosa
dengan bedrest total, diet protein Diet protein 1,5-2 g/kgBB/hr serta diet rendah
garam 1-2 gr/hr. Sedangkan secara medikamentosa retriksi cairan menjadi 6
tpm makro, cefoperazone 3 x 400 mg iv untuk mencegah beratnya penyebab
infeksi sekunder pada anak ini. Edema pada pasien ini diberikan Sprionolakton
oral 1x50 mg serta ditambah injeksi Furosemide 1x75 mg. Pada perawatan di
bangsal, ditambahkan terapi prednison 2 mg/kgBB/hr dengan jumlah 3 – 2 – 2
tab sebagai terapi inisial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc, KPTI, Ilmu Penyakit Dalam,
Diagnosis dan Terapi. p : 19 - 23
2. M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP –
RSHS.
3. Rani,azis A, Soegondo,sidartawan, Uyainah Z,Anna. Panduan Pelayanan
Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.edisi 3.
Jakarta : Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
4. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
5. IDAI. 2012. Tatalaksana Sindorm Nefrotik Pada Anak. Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta.