Anda di halaman 1dari 7

duniaku

Saturday, 10 November 2012

wahdatul wujud ibnu arabi


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam ilmu tasawuf yang membahas pendekatan diri manusia kepada Tuhan melaui
penyucian Roh ada sebuah tahapan dimana manusia dapat mencapai maghrifah bukan pada
tingkatan dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang Sufi akan berusaha mendekatkan diri kepada
Tuhan dengan menempuh jalan penyucian hati. Ia melakukan berbagai latihan rohani dengan
berzikir dan berkontemplasi sehingga Tuhan memberi cahaya kepadanya apabila hatinya
telah suci. Tahapan demi tahapan ditempuh hingga sampai pada keadaan dimana seluruh
kesadarannya lebur dalam kesadaran tentang Tuhan.
Pembahasan makalah ini lebih kepada wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi. Disini penulis
akan memaparkan beberapa dalil dari alquran dan hadits yang digunakan oleh para
Sufi tentang penyatuan manusia dengan Tuhan untuk memberi gambara yang jelas mengenai
munculnya paham-paham tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Panteisme : Wahdatul Wujud Tuhan dan Manusia


Wahdatul Wujud telah mewarnai keragaman pemikiran tentang sufistis. Dan juga
merupakan tokoh tasawuf yang fenomenal dalam peradaban Islam. Pemikirannya juga
spiritualis yang berkelahiran Spanyol kali ini menghentak-hentak kesadaran dan kemapanan.
Terlebih tema-tema yang diusung menyangkut hakikat dan makna hidup yang tak pernah
berhenti
Wahdah al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdah dan al
wujud. Wahdah artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedangkan al wujud artinya ada.
Dengan demikian wahdah al wujud berarti kesatuan wujud.dikalangan ulama klasik ada yag
mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang
lebiih kecil. Selain itu kata wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai
suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang
tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim
dan berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatu wujud yang terakhir itulah yang digunakan para
Sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan
wujud.[1]
Wahdatul wujud dalam mistisme Islam atau tasawuf falsafi juga kerap di sebut atau
disamakan dengan Panteisme. Panteisme adalah aliran yang menyakini bahwa Tuhan dan
mahluk itu satu. Salah satu konsep ketuhanan yang dulu dianut oleh banyak orang pandangan
bahwa Allah adalah segalanya dan semua orang, dan segala sesuatu adalah Allah.[2]
Gambaran tentang ajaran al- wahdah al- wujud , al hulul, atau al ittihad (panteisme)
yang di anut oleh semua aliran tasawuf dan tarekat sudah tersebutkan dalam pernyataan
tokoh-tokoh Sufi dan tarekat yang sudah kita anggap mewakili semua aliran yang ada di
dunia ini, seperti Abu Yazid al Busthami, atau Alhalaj, demikian juga dengan Rabiah al
Adawiyah, Abdul Qadir Jailani atau jaluludin Rumi dalam kumpulan syairnya yang berjudul
Matsnawi atau al Ghazali, kemudian Abdurahman jami dan Ibnu Arabi.
Dalam berbagai pernyataan yang diungkapkan oleh para tokoh Sufi dari
berbagai aliran, banyak ulama dan intelektual muslim yang berpendapat bahwa teori
dan dokrin tentang wahdatul wujud atau panteisme adalah inti atau esensi dari seluruh
teori atau dokrin sufi.
Filsafat monoisme dengan emanasinya juga menjadi prinsip dasar tasawuf Ibnu
Arabi dan Al Halaj. Ibnu Arabi mengatakan bahwa Allah adalah sesuatu dan satu, Dia
merupakan wujud yang mutlak, maka nur (cahaya) Allah merupakan bagian dari
dirinya. Itulah hakikat Muhammadiyah, itulah kenyataan pertama dalam ketuhanan.
Dari hakikat Muhammadiyah itulah terjadi alam dengan segala tingkatannya. Dan dari
hakikat Muhammadiyah itulah memenuhi tubuh Adam dan Muhammad. Dan apabila
Muhammad telah mati sebagai tubuh namun nur Muhammad atau Muhammadiyah itu
tetap ada sebab ia merupakan bagian dari Tuhan. Jadi Allah, Adam, Muhammad
adalah satu. Dan insan kamilpun adalah Allah dan Adam pada hakikatnya.[3]
Sementara al Halaj menggambarkan bahwa nur Muhammad atau hakikat
Muhamadiyah merupakan suumber kejadian alam semesta dari dirinyalah terpancar
segala makhluk di alam ini.[4]
Dalam dunia Kristen filsafat monoisme dengan teori emanasinya dianut oleh
aliran neoplatonisme dengan tokoh utamanya Plotinus. Teori plotinus dalam filsafat
monoisme dengan nama Plotinus Trinity: (Tuhan Yan Esa  akal  jiwa) plotinus
dengan torinya ini mengenal dua jalan:
a. Jalan menurun (a way sdown) dengan emanas : Tuhan- akal - jiwa -universum
yang serba aneka
b. Jalan menaik ( a way up) dengan panteisme yaitu bersatunya kembali manusia dengan
Tuhan : jiwa manusia  jiwa  akal  Tuhan. Panteisme ini hanya dapat dicapai
dengan jalan tasawuf

B. Dalil tentang penyatuan Tuhan dengan Manusia


Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah: pertama, tuhan bersifat
rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri diri dengan Tuhan adalah roh bukan
jasadnya.Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk
mendekatiNya adalah roh yang suci.
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam,
Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan
dalam al – Quran dan Hadits ayat 86 dari surat al Baqarah :
( ë=ƒÌ•s% ’ÎoTÎ*sù ÓÍh_tã “ÏŠ$t6Ïã y7s9r'y™ #sŒÎ)ur
(#qç6‹ÉftGó¡uŠù=sù ( Èb$tãyŠ #sŒÎ) Æí#¤$!$# Ü=‹Å_é&nouqôãyŠ
ÇÊÑÏÈ šcr߉ä©ö•tƒ öNßg¯=yès9 ’Î1 ’Í<(#qãZÏB÷sã‹ø9ur
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Kaum Sufi mengartikan doa disini bukan berdoa, tetapi berseru agar Tuhan
mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata
lain, Ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diriNya ke[ada yang berseru.
Tentang dekatnya Tuhan digambarkan oleh ayat berikut ini:
(#q— $yJuZ÷ƒr'sù 4 Ü>Ì•øópRùQ$#ur ä-Ì•ô±pRùQ$# ¬!ur
ÇÊÊÎÈ ÒOŠÎ=tæ ììÅ™ºur ©!$# žcÎ) 4 «!$# çmô_ur 9uqè?§NsVsù
“ Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Ayat ini berarti dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan Sufi tidak perlu
pergi jauh untuk menjumpaiNya. Ayat berikut mengambarkan lebih lanjut betapa dekatnya
Tuhan dengan manusia:
$tB ÞOn=÷ètRur z`»|¡SM}$# $uZø)n=yz ô‰s)s9ur
Ïmø‹s9Î) Ü>t•ø%r& ß`øtwUur ( ¼çmÝ¡øÿtR â¨Èqó™uqè?¾ÏmÎ/
ÇÊÏÈ È@ö7ymωƒÍ‘uqø9$# ô`ÏB
”Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
Ayat ini mengambarkan Tuhan bukan berada diluar diri manusia tetapi dalam diri
manusia sendiri.[5] Kemudian dalam hadits disebutkan :
‫من عرف نفسه فقد عرف ربّه‬
“ siapa yang mengetahui dirinya maka ia akan mengetahui Tuhanya”
Untuk mengetahui Tuhan Sufi tidak perlu pergi jauh dia cukup masuk kedalam
dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan Ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks
inilah ayat ini dipahami oleh Sufi
|Mø‹tBu‘øŒÎ) $tBur 4 óOßgn=tGs% ©!$# ÆÅ3»s9ur öNèdqè=çFø)s? öNn=sù
šúüÏZÏB÷sßJø9$#çm÷ZÏB u’Í?ö7ãŠÏ9ur 4 4’tGu‘ ©!$# ÆÅ3»s9ur |Mø‹tBu‘
ÇÊÐÈ ÒOŠÎ=tæ ìì‹ÏJy™ ©!$# žcÎ) 4 $·Z|¡ym ¹äIxt/
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah
yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi
kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Disini sufi melihat penyatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah
perbuatan Tuhan. Bahkan tuhan dejkat bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada
makhluk lain. Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu dan bukan manusia
saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalu ayat-ayat di atas mengandung arti iitihad dan hulul
persatuan manusia dan Tuhan. Hadits terakhir ini mengandung komsep wahdatul wujud,
kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al Quran menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada
manusia dan juga kepada makhluknya yang lain. Gambaran serupa tidak memerlukan
pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan. Dengan khusu’
dan banyak beribadah ia akaln merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan
matahatinya dan akhirnya mengalami penyatuan rohnya dengan roh Tuhan dan inilah hakikat
tasawuf.

C. Konsep Wahdatul Wujud Ibnu Arabi


Ibnu ‘Arabi dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam
percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir
paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Ibn ‘Arabi lahir
pada 27 Ramadhan 560 H/ 7 Agustus 1165 M, di Kota Murcia, ibu kota Andalusia Timur
(kini Spanyol).[6] Ibnu ‘Arabi bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu
Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu ‘Arabi
Muhyiddin, dan al-Hatami. Ia juga mendapat gelaran sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang
Kibritul Ahmar. Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang
ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan
kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak
terkecuali Ibnu ‘Arabi. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H
keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia.Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang
mengubah kehidupan intelektualisme ‘Arabi kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan
keperibadian Ibnu ‘Arabi. Keperibadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sasetra.
Kerana itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu
Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.[7]
Dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi Allah adalah khalik bagi seluruh alam. Seluruh yang
ada termasuk manusia adalah pancaran iradat Allahh. Inilah yang membawanya kepada suatu
simpulan yang menyatakan bahwa alam ini adallah esensi dari Tuhan itu sendiri. Teori
wahdatul wujud ini menegaskan bahhwa variasi bentuk dalam wujud ini pada esensi
merupakan substansi wujud Tuhan yang tunggal.
Menurut ibnu ‘Arabi Wahdat al-Wujud (‫ )وحدة الوجود‬berarti : kesatuan wujud. Faham
ini adalah lanjutan dari faham hulul. Dan faham wahdat al-wujud, nasuf yang ada dalam hulul
tersebut, dirubah oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk– dan lahut menjadi haq –
Tuhan–. Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut
khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq.[8]
Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa hakiakat wujud sejati dan realita ( wujud eksternal,
entitas, maujud) hanya terbatas pada Allah Swt. Sedangkan sksistensi entitas-entitas lain
mersifat metaforis. Dengan kata lain dia menganggap Tuhan sebagai satu-satunya hakikat
wujud sekaligus realitas obyektif dari keadaan. Sedangkan selain Allah hanyalah wujud-
wujud simbolis metaforis.[9]
Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada
dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud,
yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di
masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn
Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu :
a. Bahwa semua yang ada adalah zat tunggal
b. Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya
c. Bahwa tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh
sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang
secara mutlak tak terpecahkan / terbagikan (indivisible) dan seragam (homogen).
Zat, oleh sebab itu, menentukan diri sendiri, dan dari hasil dari penentuan diri
(ta’ayun) maka pembedaan dan perbedaan akan muncul dalam zat, dan penggandaan akan
berkembang dari kesatuan. Tetapi dalam proses ini, zat tidaklah membagi atau juga tidak
menjarangkan diri sendiri. Samalah juga dengan zat tunggal yang mengada dalam
keseluruhannya, di sini dengan satu bentuk dan di lain tempat dengan bentuk yang lain, tanpa
membagi atau menjarangkan diri secara memadai. Sebagai seorang aktor, ia tampak dalam
berbagai karakter, dengan nama-nama yang berbeda karakter dengan nama-nama yang
berbeda, dan melakukan berbagai fungsi. Ibnu al-Arabi menyamakan penampakan dari
sesuatu berbagai air, yang kini berwujud air, atau sebagai es, atau pula sebagai uap. Dan zat
juga yang menentukan diri sendiri dalam berbagai bentuk adalah zat Tuhan. Dan tentu tidak
bisa lain kecuali Tuhan; baginya tidak akan ada dua zat yang mengada bersama-Nya.
Kemudian juga, bahwa zat Tuhan adalah zat dunia; perbedaan di antara keduanya adalah di
atur dengan nalar yang sama. Karena Tuhan dan dunia adalah satu zat, maka hubungan antara
Tuhan dan dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau hubungan
antara pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini ahli ilmu kalam, atau hubungan antara
yang tunggal dengan yang emanasi (pancaran-Nya)
Menurut Hamka, Ibnu ‘Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada
puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan
pikir dan filsafatdan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang
agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, ancaman, kaum awam
sebagaimana yang dialami al Halaj.[10]
Baginya wujud yang ada itu hanya satu. Wujud makhluk adalah ‘ain ujud khaliq. Pada
hakikatnya tidak ada pemisah diantara manusia dan Tuhan. Kalau dikatakan berlainan
antara khalik dan makhluk itu hanyalah lantaran pendeknya pahan dan akal dalam mencapai
hakikat. Dalam Futuhat al Makkah sebagai kitab yang dikarangnya, Ibn Arabi berkata
sebagai berikut:
“ wahai yang menjadikan segala sesuatu pada diirinya Engkau bagi apa yang yang
Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Enkau jadikan barang yang tak berhenti adanya
pada Engkau maka Engkaulah yang sempit dan yang Lapang”. Pada bagian lain dari kitabnya
itu Ibn Arabi mengatakan bahwa wujud alam ini adalah ‘ain wujud Allah. Allah itu adalah
hakikat alam. Tidak ada disana perbedaan antara wujud yang qadim yang di sebiut Khalik
dnegan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antar ‘abid (manusia
yang menyembah) dengan ma’bud (Tuhan yang disembah). Perbedaan itu hanya rupa dan
ragam sedangkan esensi dan hakikatnya sama.[11]
Konsep sentral dari teori wahdah al wujud Ibn ‘Arabi ini adalah tajalliat al Haq, yakni
menampakkan diri Allah melui penciptaanalam, kata jalli dalam term Ibn ‘Arabi identik
dengan konsep faidh (emanasi, pelimpahan). Konsep dasar inilah yang secara ontologis
menghubungkan antara khalik dengan makhluk, yakni yang satu menjadi banyak. Dzat Allah
yang asli tetap azali dan transenden secara absolut.
Ibnu ‘Arabi merupakan figur representatif yang mengikuti jejak pendahulunya, al
Halaj. Ia juga beranjak dari pembacaan diatas Tuhan yang menurutnya tidak dapat terlihat
oleh siapapun (visible to no one). Ia menolak klaim para Sufi yang mengaku melihat Tuhan
dalam keadaan ekstasi atau fana’ mereka.

D. Karya-karya Ibn al-‘Arabi


Pertama-pertama karya Ibn al-Arabi, sebenarnya sebuah risalah doktrin yang bersifat
metafisis dan ma’rifat (tanpa suatu pengenalan awal lebih dahulu) yang mengambil al-Qur’an
dan sunnah sebagai sumbernya. Karena penguasaannya yang dapat dikatakan sebagai
penafsiran yang berwenang menjelaskan doktrin-doktrin esoteric (tasawuf) Islam. Yang
terlihat dengan “Misykat al-Anwar” yang terjemahannya sempurna. Dan ada karya-karya
yang lain, yang sangat penting adalah “futuhat” dan “fushush al-hikam”. Dari keduanya,
hanya fushush al-hikam yang diterjemahkan oleh Titus Burckharat, bagi orang orang
berbahasa Arab, teks-teks yang segera bisa didapatkan adalah kedua karyanya “Klineire
Scriften des Ibn al-Arabi” (Leyden, 1849) yang di cetak dalam Rasa’il Ibn al-
Arabi (Hyderabad, 1947). Belakangan ini “Tarjamun al-Asywaq” yang diterbitkan di Beirut
(1961) dan Diwan juga telah diterbitkan kembali.
Dan ada salah satu karyanya yang hilang tidak satupun ditemukan ringkasan
(ikhtisharaf), “Bukhari, Muslim, Tirmidzi”. Sedangkan karya kitab “Miftah as-Sa’adah” itu
juga hilang dan kitab yang berjudul “al-Misbah fi Jam bayna Shihab”. Dalam karangan
Misykatul yaitu kitab “al-Arba’ inath-Thiwalat” pada tahun 599/1202 terminus ad quem dan
beberapa hadits yang masih ada seperti, “Misykat al-Ma’qul al-Muqtabasah Min-nural
Manqul” yang terdiri dari 9 bab. Dan di dalam karya ini ada keistimewaannya tersendiri,
yaitu beliau hanya menekuni hadits-hadits “quds”, yaitu hadits-hadits di mana Rasul (semoga
turun atas berkatnya dan kedamaian abadi), menyikapi kalimat-kalimat disebutkan berasal
dari Allah sendiri.

KESIMPULAN
Persatuan dengan Tuhan bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadi atau hal yang
terlarang dalam Islam untuk mengupayakannya. Penyatuan dengan Tuhan adalah upaya
manusia untuk selalu dekat dengan Tuhan. Tentu saja mereka tidak bermaksud menentang
ajaran Tuhan. Tuhan juga tidak akan membiarkan hambanya yang sudah dekat denganNya
meninggalkan ajaran-ajaranNya.
Bila melihat uraian diatas dapat dinyatakan bahwa ajaran ittihad dan hulul serta wahdatul
wujud adalah sama yakni ketiganya menginginkan tercapainya penyatuan dua zat, makhluk
dan khalik meskipun terjadi sedikit perdepatan dalam penyatuan tersebut. Hulul
menempatkan zat Tuhan dalam zat makhluk, sedangkan ittihat yang asalnya beragam
kemudian menjadi satu baik dengan jalan bahwa salah satu teap sedangkat zat yang lain
hilang Atau tetapnya dua zat yang kemudian menyatu. Dan wahdatul wujudadalah penyatuan
Tuhan dan manusia. Tuhan menampakkan dirinya melalui penciptaan alam, teori yang ketiga
ini identik dengan konsep Ibnu ‘Arabi.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abudin Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006


Labib, Muhsin Mengurai Tasawuf, Irfan, & Kebatinan, Jakarta: Lentera Basritama, 2004
Hamka, Tasawuf perkembangann dan pemurniannya, Jakarta: 1980
nasution, Harun Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, UI-Press: Jakarta
‘Arabi, Ibn Bercengkrama Bersama Kaum Sufi , terjemahan, Bandung: Mizan, 2002
Abd. Haq anshari, Muhammad, Antara Sufisme Dan Syari’ah, jakarta: Rajawali, 1990
Rambu-rambu Tuhan Ibn Arabi, 2010, diakses 20 Oktober dari situs /ummahonline.com.htm

Anda mungkin juga menyukai