Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Toxoplasma gondii merupakan protozoa yang digolongkan sebagai parasit

obligat intraseluler, dapat menginfeksi hampir semua hewan berdarah panas

termasuk manusia (Carruthers and Boothroyd, 2007; Craeye et al., 2008; Ma et

al., 2009; Sibley et al., 2009). Toxoplasma gondii merupakan parasit patogen

oportunistik yang menyebabkan penyakit toksoplasmosis (Dutta et al., 2000).

Toksoplasmosis pada manusia tersebar luas di seluruh dunia dengan prevalensi

yang bervariasi, berbeda-beda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain.

Prevalensi toksoplasmosis pada mausia di Amerika Serikat dan Inggris

diperkirakan mencapai 16-40%, sedangkan di Amerika Selatan dan Eropa daratan

berkisar antara 50-80% (Tenter, et al., 2000). Toxoplasma gondii diperkirakan

menginfeksi 30% hingga 50% dari seluruh populasi manusia di dunia (Aspinall et

al., 2002; Weiss and Dubey, 2009). Prevalensi toksoplasmosis di Indonesia pada

manusia berkisar 43-88% sedangkan pada hewan 6-70% (Subekti dan Arrasyid,

2006).

Infeksi T. gondii pada manusia dapat terjadi secara kongenital dan

perolehan, infeksi biasanya bersifat asimtomatik, tetapi pada kondisi tertentu

parasit dapat menyebabkan penyakit yang serius (Dubey, 1998). Toksoplasmosis

pada manusia dengan sistem kekebalan tubuh baik tidak menyebabkan masalah

yang serius bahkan tidak menunjukkan gejala klinis atau bersifat asimptomatik,

tetapi dapat berakibat fatal jika infeksi bersifat kongenital, dan pasien dengan
2

imunosupresi (Chintana et al., 1998), serta pada penderita dengan sistem

kekebalan terganggu seperti penderita encephalitis, acquired immunodeficiency

syndrome (AIDS), orang yang menjalani transplantasi organ, melakukan

pengobatan dengan kemoterapi, dan lesi okuler (Yamamoto et al., 2000; Sibley et

al., 2009).

Menurut Robert and Janovy (2000), tingkat penularan T. gondii dari induk

ke fetus berkisar 45%, dari jumlah tersebut 60% kejadian menunjukkan

subklinis, 9% menyebabkan fetus mati dan 40% menyebabkan gejala seperti

hydrocephalus, kalsifikasi intracerebral, retinochoroiditis dan retardasi mental,

namun demikian kejadian yang subklinis pada kehidupan selanjutnya dapat

berkembang menjadi toksoplasmosis okuler. Infeksi T. gondii pada fetus dapat

menghasilkan kematian fetus dan abortus spontan baik pada manusia maupun

hewan. Penularan T. gondii secara vertikal (dari induk ke anak) sangat penting

dalam penyebaran toksoplasmosis, karena tingkat penularan secara kongenital

dapat mencapai 19,8% (Hide et al., 2009). Metode diagnosis toksoplasmosis

kongenital yang mampu mendeteksi secara dini, sederhana, cepat, mudah, sensitif,

dan spesifik sangat diperlukan, mengingat tingginya prevalensi toksoplasmosis

dan pentingnya penularan secara kongenital.

Menurut Su, et al. (2009), pengembangan metode diagnosis yang

sederhana, sensitif, spesifik dan cepat untuk deteksi dan identifikasi T. gondii

merupakan kebutuhan penting. Diagnosis toksoplasmosis kongenital yang telah

dilakukan selama ini didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan darah atau

jaringan tubuh penderita, serta pemeriksaan serologis. Diagnosis berdasarkan


3

gejala klinis kadang kala sulit dilakukan, dikarenakan sebagian besar penderita

tidak menunjukkan gejala atau asimptomatik (Montoya and Liesenfeld, 2004;

Robert-Gangneux et al., 1999). Diagnosis berdasarkan penemuan parasit di dalam

jaringan atau cairan tubuh penderita secara langsung jarang dilakukan karena

kesulitan dalam hal pengambilan sampel yang akan diuji (Robert and Janovy,

2000).

Uji serologis merupakan uji yang selama ini banyak diterapkan dalam

diagnosis toksoplasmosis, merupakan metode diagnosis yang penting untuk

deteksi T. gondii dengan dasar bahwa antigen Toxoplasma akan membentuk

antibodi yang spesifik pada serum darah penderita, namun metode ini mempunyai

kelemahan yaitu tidak dapat menunjukkan fase aktif dari infeksi T. gondii

(Gandahusada, 1995). Menurut Gandahusada (1995), uji serologis juga tidak

selalu menghasilkan hasil akurat, karena tidak ditemukan IgM pada neonatus, atau

karena IgM dapat ditemukan selama beberapa bulan sampai lebih dari setahun

sedangkan pada penderita imunodefisiensi tidak menunjukkan adanya IgM dan

tidak dapat ditemukan titer IgG yang meningkat.

Metode diagnosis melalui pendekatan secara molekuler memungkinkan

untuk dapat digunakan dalam meningkatkan spesifisitas dan sensitivitas deteksi

T. gondii lebih dini. Metode diagnosis toksoplasmosis secara molekuler

berdasarkan Polymerase Chain Reaction (PCR) dinyatakan merupakan metode

diagnosis yang sederhana, sensitif, murah, dan dapat diterapkan pada semua jenis

sampel klinis dari manusia dan hewan (Bastien et al., 2007). Menurut Su et al.

(2009), metode molekuler dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Kelompok


4

pertama, metode molekuler yang memfokuskan pada deteksi secara spesifik DNA

T. gondii pada sampel biologi. Konvensional PCR, nested PCR (n-PCR) dan

quantitative real-time PCR (q-PCR) termasuk dalam kelompok pertama.

Kelompok kedua, metode molekuler yang memfokuskan pada identifikasi isolat

T. gondii, seperti multilocus PCR-RLFP, microsatellite, dan multilocus sequence

typing (MLST).

Teknik PCR telah banyak digunakan dengan spesifisitas dan sensitivitas

tinggi dalam mendiagnosis toksoplasmosis kongenital (Montoya and Liesenfeld,

2004) tetapi tidak semua laboratorium dapat melakukan karena keterbatasan

peralatan serta membutuhkan biaya yang mahal. Menurut Su et al. (2009), akhir-

akhir ini banyak metode berdasarkan PCR yang sudah dikembangkan untuk

diagnosis toksoplasmosis baik pada hewan maupun pada manusia seperti nested

PCR, dan quantitative real-time PCR dengan target amplifikasi berbagai gen,

seperti gen B1, SAG-1, SAG-2, SAG-3, GRA6, R-529 dengan tujuan untuk

mendeteksi DNA T. gondii dari berbagai sampel biologi, dengan hasil yang

bervariasi antara laboratorium yang satu dengan laboratorium yang lain (Sterker et

al., 2010). Menurut Sterkers et al. (2010), hasil yang bervariasi dalam

mendiagnosis toksoplasmosis dengan metode PCR dapat disebabkan oleh

beberapa hal, diantaranya primer yang digunakan, proses dalam ekstraksi DNA,

dan kondisi amplifikasi.

Metode PCR dengan target gen yang mempunyai banyak kopi seperti gen

B1 (Burg et al., 1989) yang memiliki 35 kopi dalam genom dan gen R529

(Homan et al., 2000) yang memiliki 200-300 kopi di dalam genom secara luas
5

banyak dipakai dalam diagnosis dan penelitian epidemiologi karena diangap

spesifik dan sensitif, meskipun kedua gen ini belum diketahui secara jelas

fungsinya. Fellisetti et al. (2003), lebih lanjut menyatakan bahwa target gen

banyak kopi seperti gen B1 dan R529 memiliki sensitivitas yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan single kopi seperti gen SAG-1.

Loop-Mediated Isothermal Amplifications (L-AMP) merupakan metode

diagnosis berbagai penyakit yang mampu mengamplifikasi DNA secara cepat,

akurat, dan efektif (Notomi et al., 2000; Nagamine et al., 2001; Mori and

Notomi, 2009). Metode L-AMP memiliki kemampuan mengamplifikasi DNA

dengan efisiensi yang tinggi pada satu suhu, memiliki spesifisitas yang tinggi pada

target sekuen serta sederhana dan mudah dikerjakan (Notomi et al., 2000), selain

itu metode L-AMP memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode

amplifikasi lainnya, antara lain: metode L-AMP hanya memerlukan suhu tunggal

antara 60-65°C yang merupakan suhu optimal dari enzim Bst DNA polymerase,

hal ini berbeda dengan PCR yang memerlukan beberapa suhu dalam proses

amplifikasi; tahap denaturasi, seperti dalam PCR, tidak diperlukan berkat

pemakaian Bst DNA polymerase yang diperoleh dari Bacillus stearothermophylus,

enzim DNA Polymerase tersebut memiliki aktivitas yang tinggi untuk

memisahkan rantai ganda DNA (Nagamine et al., 2002a; Notomi et al., 2000).

Metode L-AMP pada akhir-akhir ini juga sudah banyak dikembangkan

untuk mendeteksi berbagai parasit seperti Plasmodium falciparum (Poon et al.,

2006), African trypanosomiasis (Njiru et al., 2008), Babesia (Guan et al., 2008),

dan T. gondii (Krasteva et al., 2009)  dan semua penelitian tersebut melaporkan
6

bahwa L-AMP mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi dalam

mendeteksi penyakit-penyakit parasit. Laporan dari berbagai penelitian dengan

metode L-AMP menggunakan berbagai target gen T. gondii untuk diagnosis

toksoplasmosis menyatakan bahwa metode L-AMP memiliki sensitivitas dan

spesifisitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode PCR (Krasteva et

al., 2009; Lau et al., 2010; Kong et al., 2012).

Toxoplasma gondii memiliki berbagai gen target yang dapat digunakan

sebagai sarana deteksi, dan pilihan target gen sangat penting karena T. gondii

memiliki tiga bentuk infektif, yaitu: oosista, takizoit dan sista bradizoit (Homan et

al., 2000), dan salah satu gen yang mudah diisolasi dari takizoit T. gondii yaitu

gen Surface Antigen-1 (SAG-1) (Kazemi et al., 2007; Wang et al., 2009). Antigen

SAG-1 terdistribusi secara homogen di permukaan takizoit yang menyusun sekitar

3-5 % dari protein total takizoit dan merupakan protein mayor (Wu et al., 2009).

Antigen SAG-1 merupakan kandidat yang baik untuk pengembangan diagnosis,

karena:1). Surface antigen-1 (SAG-1) merupakan protein permukaan yang paling

dominan dan mempunyai peranan penting dalam perlekatan parasit pada sel inang

dalam proses infeksi, 2). Sekuen gen penyandi SAG-1 sudah diketahui sehingga

dapat dibuat primer untuk amplifikasi in vitro (Harning et al., 1996; Burg et al.,

1988), sehingga dipakai sebagai gen target dalam diagnosis toksoplasmosis

dengan metode L-AMP (Krasteva et al.,2009; Lau, et al., 2010).

Proses ekstraksi DNA dan macam sampel biologi yang digunakan menurut

Sterkers, et al. (2010), merupakan bagian yang penting dalam diagnosis secara

molekuler karena sampel yang tidak cocok dapat memberikan hasil yang berbeda.
7

Proses ekstraksi DNA merupakan tahap yang sangat penting pada reaksi PCR,

karena pada tahap tersebut dapat ditemukan adanya PCR inhibitor (Akane et al.,

1994), tetapi menurut Kaneko et al. (2007), metode L-AMP memiliki toleransi

yang baik terhadap PCR inhibitor tersebut, sehingga ada harapan untuk

menghilangkan proses ekstraksi DNA.

Sampel cairan amnion merupakan sampel yang cocok dan banyak dipakai

sebagai sampel untuk diagnosis toksoplasmosis kongenital karena aman dan

mudah dalam pengambilan sampel dibandingkan dengan sampel darah fetus dan

jaringan fetus (Grover et al., 1990; Hohlfeld, et al., 1994; Guy, et al., 1996).

Sampel lain sebagai pertimbangan dan banyak dipakai dalam mendiagnosis

toksoplasmosis kongenital secara molekuler adalah plasenta dan jaringan fetus

(Assmar et al., 2000), darah induk (Nimri et al., 2004), dan darah dari tali pusar

(Fellisetti et al., 2003).

Toxoplasma gondii isolat lokal (IS-1) merupakan isolat yang pertama

ditemukan di Indonesia, yang berhasil diisolasi dari otot diafragma seekor domba

dan selanjutnya dikembangkan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Veteriner (BB-LITVET) Bogor, Jawa Barat (Iskandar, 1998). Penelitian ini

menggunakan gen SAG-1 T. gondii isolat lokal (IS-1) sebagai target amplifikasi

dengan metode L-AMP; menggunakan primer L-AMP yang dirancang

berdasarkan sekuen gen SAG-1 isolat lokal (IS-1) yang ada dalam data GenBank

Acc.no. AY651825, dengan sampel cairan amnion, darah induk, plasenta, dan

jaringan fetus untuk mendiagnosis toksoplasmosis kongenital.


8

B. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan menggunakan metode L-AMP untuk diagnosis

toksoplasmosis pernah dikerjakan oleh Kong et al. (2012) yang membandingkan

metode L-AMP menggunakan berbagai target gen yaitu gen R-529 dan gen B1

dengan nested PCR dari sampel darah mencit yang diinfeksi dengan takizoit T.

gondii strain RH. Hasil penelitian Kong et al. (2012), menyatakan bahwa metode

L-AMP dengan target gen R-529 memiliki sensitivitas 100 – 1.000 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan target gen B1, sedangkan metode L-AMP dengan

target gen B1 lebih sensitif dibanding dengan nested PCR. Kong et al. (2012),

juga menyatakan bahwa metode L-AMP dengan target gen R-529 memiliki

spesifisitas 100%.

Penelitian menggunakan metode L-AMP dengan target gen B1 juga sudah

pernah dilaporkan dengan hasil yang baik dari berbagai sampel, seperti sampel

urin pada tikus yang diinfeksi dengan takizoit T. gondii (Hu et al., 2012), sampel

air (Sotiriadou dan Karanis, 2008) dan sampel darah (Lau et al., 2010). Penelitian

dengan metode L-AMP menggunakan target gen R529 dari berbagai sampel juga

pernah dilaporkan, seperti yang dilaporkan oleh Sunanta et al., (2009) dari sampel

darah sapi perah, Lin et al., (2012) dari sampel darah babi dan kambing, dan

Zhang et al., (2009) dari sampel jaringan limfonodus pada babi.

Penelitian menggunakan metode L-AMP untuk diagnosis toksoplasmosis

dengan target gen SAG-1 T. gondii isolat lokal sudah pernah dilaporkan oleh

Krasteva et al. (2009), yang membandingkan sensitivitas metode L-AMP dengan

konvensional PCR menggunakan template yang berbeda-beda yaitu: pGEX-SAG,


9

merupakan plasmid yang diinsersi dengan gen SAG-1; DNA takizoit, dan DNA

jaringan dari mencit yang diinfeksi takizoit T. gondii isolat lokal (IS-1). Hasil

penelitian menyatakan bahwa metode L-AMP memiliki sensitivitas 1.000 kali

lebih sensitif pada template pGEX-SAG; 100 kali lebih sensitif pada template

DNA takizoit dan 100.000 kali lebih sensitif pada template DNA jaringan jika

dibandingkan dengan metode konvensional PCR.

Penelitian dengan metode L-AMP menggunakan gen SAG-1 sebagai target

amplifikasi dibandingkan dengan metode qPCR juga pernah dilaporkan oleh

Wang et al., (2013) untuk mendeteksi toksoplasmosis dari sampel darah pada babi

yang diinfeksi buatan dengan takizoit T. gondii Gansu Jingtai Strain (GJS)

maupun pada babi dari lapangan yang diduga toksoplasmosis. Hasil penelitian

menyatakan bahwa metode qPCR dan L-AMP mempunyai sensitivitas yang sama

pada babi yang diinfeksi dengan takizoit T. gondii, sedangkan pada babi lapangan

yang diduga toksoplasmosis, L-AMP memiliki sensitivitas sedikit lebih rendah

jika dibandingkan dengan qPCR.

Lau et al. (2010), pernah melaporkan aplikasi metode L-AMP dibandingkan

dengan nPCR menggunakan berbagai target gen (SAG-1, SAG-2, B1) untuk

mendiagnosis toksoplasmosis akut pada manusia dari sampel darah. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa metode L-AMP dengan berbagai target gen

memiliki sensitivitas yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode

nPCR, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa metode L-AMP dengan berbagai

target gen memiliki spesifisitas 100%.


10

Penelitian dengan metode L-AMP untuk diagnosis toksoplasmosis di

Indonesia belum pernah dilaporkan, sedangkan metode diagnosis untuk

toksoplasmosis kongenital menggunakan metode PCR dengan berbagai target gen

dan berbagai sampel sudah banyak dilaporkan, tatapi metode L-AMP dengan

berbagai target gen, seperti gen SAG-1 T. gondii isolat lokal (IS-1) untuk

diagnosis toksoplasmosis kongenital belum pernah dilaporkan, secara garis besar

keaslian penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


11

Diagnosis toksoplasmosis dengan metode


L-AMP

Target gen
Diagnosis toksoplasmosis
kongenital pada mencit dengan
Gen SAG-1 L-AMP
1. sampel jaringan mencit
(Krasteva et al., 2009).
2. sampel darah manusia Target gen
(Lau et al., 2010) SAG-1 Sampel:
3. sampel darah babi (Wang isolat • darah
et al., 2013) lokal • cairan
amnion
Gen R529 • plasenta
1. sampel linfo nodus babi • fetus
(Zhang et al., 2009).
2. sampel darah sapi (Sunanta,
et al., 2009). dengan proses
3. sampel darah mencit (Kong ekstraksi
et al., 2012) DNA
4. sampel darah babi dan
kambing (Lin et al., 2012)
tanpa proses
Gen B1 ekstraksi
1. sampel air (Sotiriadou dan DNA
Karanis, 2008)
2. sampel darah manusia (Lau
et al., 2010).
3. sampel darah mencit (Kong
et al., 2012).
4. Sampel urin mencit (Hu et
al., 2012)

Keterangan:
= Penelitian yang sudah pernah dilaporkan
= Penelitian yang dilakukan

Gambar 1. Diagram penelitian toksoplasmosis dengan metode L-AMP yang sudah


pernah dilaporkan dan yang dikerjakan.
12

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dengan berbagai macam target gen dan sampel dengan tujuan

untuk mendiagnosis toksoplasmosis kongenital secara molekuler sudah banyak

dilakukan, penelitian ini bertujuan:

1. Membuat rancangan primer L-AMP berdasarkan gen SAG-1 isolat lokal

(IS-1), dan apakah rancangan primer yang dibuat dapat digunakan sebagai

primer dalam diagnosis toksoplasmosis kongenital dengan metode

L-AMP.

2. Mengetahui apakah metode L-AMP dengan target gen SAG-1 isolat lokal

mampu mendeteksi DNA T. gondii dari sampel cairan amnion, darah

induk, plasenta, dan jaringan fetus pada mencit penelitian.

3. Mengetahui apakah metode L-AMP dengan target gen SAG-1 isolat lokal

mampu mengamplifikasi DNA dari sampel yang tidak melalui proses

ekstraksi DNA.

4. Membandingkan sensitivitas metode L-AMP dengan PCR dalam

mendiagnosis toksoplasmosis kongenital dari sampel darah induk, cairan

amnion, plasenta, dan jaringan fetus mencit penelitian.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat diterapkan untuk diagnosis dini

toksoplasmosis kongenital secara cepat, akurat, sensitif, dan murah dengan

peralatan laboratorium yang terbatas dengan berbagai sampel biologi dari

manusia, dan dengan target gen SAG-1 isolat lokal (IS-1), diharapkan akan cocok
13

dengan strain T. gondii yang ada di Indonesia sehingga memberikan hasil yang

baik.

Metode diagnosis ini juga dapat menjadi salah satu metode diagnosis

pelengkap, melengkapi metode diagnosis yang sudah ada dan dapat diterapkan

secara rutin untuk mendiagnosis toksoplasmosis kongenital. Diagnosis dini

toksoplasmosis kongenital akan memberikan manfaat dalam penanganan penyakit

selanjutnya sehingga dapat mengurangi dampak penularan T. gondii pada anak

dalam kandungan.

Metode diagnosis ini juga dapat diterapkan dalam penelitian-penelitian

epidemiologi toksoplasmosis di Indonesia dari berbagai sampel, melengkapi

metode diagnosis serologis yang selama ini dipakai dalam penelitian

epidemiologi, karena metode L-AMP ini mudah pengerjaannya, cepat, tidak

membutuhkan peralatan laboratorium yang kompleks sehingga cocok diterapkan

di lapangan.

Hasil penelitian selanjutnya juga dapat dikembangkan untuk membuat kit

diagnostik berdasarkan gen SAG-1 T. gondii isolat lokal (IS-1) seperti yang

sudah dikembangkan oleh Eiken Chemical Co.Ltd.,Tokyo, Japan dengan

membuat kit L-AMP di dasarkan gen R-529 (Kong et al., 2012).

Anda mungkin juga menyukai