2. Pembahasan:
Sebagai lembaga representasi 250 juta lebih rakyat Indonesia, DPR kembali
melakukan tindakan yang mengecewakan publik. Pada 12 Februari 2018, DPR
mengesahkan Revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang memuat
sejumlah pasal yang tidak hanya melukai prinsip demokrasi, tetapi juga independensi
peradilan. Pihak pemerintah yang dalam proses pembahasan diwakili oleh Menteri
Hukum dan HAM juga bersikap mengecewakan dengan menyetujui materi
kontroversial dalam Revisi UU MD3.
Dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3, setidaknya terdapat
empat materi kontroversial dalam UU MD3 yang baru saja disetujui oleh DPR dan
Pemerintah tersebut, yaitu:
Pertama, penambahan jumlah kursi pimpinan DPR dan pimpinan MPR.
Materi ini merupakan awal mula wacana revisi UU MD3. Partai PDI-Perjuangan
sebagai partai pemenang pemilu menuntut diberikan kursi pimpinan DPR. Dalam
perkembangannya, Partai Gerindra dan PKB yang merasa memiliki suara terbanyak
berikutnya di DPR juga menuntut mendapatkan tambahan kursi pimpinan MPR. Atas
dasar tuntutan ini, revisi UU MD3 digulirkan. Latar belakang ini menunjukkan bahwa
penambahan pimpinan MPR dan DPR hanya untuk memfasilitasi kehendak berkuasa
partai politik dan sama sekali tidak ada korelasinya dengan efektifitas kerja serta
perbaikan kelembagaan DPR.
Lebih mengecewakan lagi, salah seorang kader partai politik yang meminta
penambahan kursi pimpinan MPR secara terbuka mengatakan bahwa dengan menjadi
pimpinan legislatif akan menjadi panggung bagi pimpinan partai untuk bisa
menggerek elektabilitas partai jelang pemilu. Dalam pendapatnya, dengan menjadi
pimpinan mereka akan banyak mendapatkan sorotan media dan tampil di hadapan
publik. Pernyataan dan niat yang tidak ada korelasinya dengan kerja legislatif ini
merupakan sesuatu yang sangat mengecewakan. Bagaimana mungkin menjadi
pimpinan lembaga representasi rakyat, untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, justru
dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik semata dan mencari kekuasaan baru.
Kedua, pemeriksaan dan permintaan dari penegak hukum terhadap anggota
DPR harus melalui pertimbangan MKD sebelum izin presiden. Materi revisi ini
adalah bentuk perlawanan terhadap Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014. Dalam
putusan ini, disebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap
anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak perlu mengajukan izin atau
pertimbangan kepada MKD, melainkan cukup kepada presiden. Kemungkinan
perluasan terhadap pertimbangan MKD untuk permintaan keterangan terhadap
penegak hukum terhadap anggota DPR justru akan berdampak pada terhambatnya
proses penegakan hukum, dan membuat ketidaksamaan perlakukan negara terhadap
setiap warga negara di hadapan hukum.
Ketiga, pengkritik DPR dapat diberikan sanksi pidana. Ini adalah bentuk
kemunduran luar biasa dalam membangun negara yang demokratis. Ketentuan ini
menunjukkan anggota DPR dan elit politik hanya siap berdemokrasi terbatas hanya
untuk perebutan kekuasaan saja. Tetapi, ketika untuk demokrasi yang lebih
substansial, kontrol, pengawasan, dan kritik masyarakat sebagai pemegang kedaulatan
justru diancam dengan sanksi pidana. Ketentuan ini sekaligus menunjukkan DPR
gagal memaknai kecaman dan kritik publik selama ini. Kritik publik selama ini lebih
merupakan akibat dari buruknya kinerja DPR dan masalah-masalah yang banyak
diaktori anggota DPR, mulai kasus korupsi, etik, hingga pernyataan kontroversial.
Bagaimana mungkin DPR yang harusnya dikontrol oleh masyarakat sebagai pemilik
kedaulatan sesungguhnya, justru mengencamkan sanksi pidana kepada pemilik
kedaulatan itu, ketika sang pemilik kedaulatan hendak menagih dan meminta apa
yang harus dilakukan oleh wakil mereka?
3. Solusi
Adapun beberapa solusi yang sudah kelompok kami diskusikan, adalah
sebagai berikut:
a. DPR dan pemerintah kembali merevisi UU MD3 dan menghilangkan pasal-pasal
bermasalah di atas. Apabila DPR tidak melakukan revisi terhadap UU MD3 baru ini,
kami mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk mengambil langkah cepat
dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk
membatalkan revisi UU MD3 yang sangat merusak dan mengancam demokrasi dan
prinsip negara hukum Indonesia
b. Presiden Joko Widodo untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Kementerian
Hukum dan HAM sebagai wakil pemerintah yang setuju begitu saja terhadap point-
point tidak demokratis dan tidak menjunjung independensi peradilan dalam UU MD3.
c. DPR dan pemerintah untuk menggelar pembahasan setiap UU secara terbuka kepada
publik dan mempertimbangkan masukan publik.