Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan inervasi
usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi,
tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah
akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik
terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat
mengenai seluruh usus sampai pilorus (Wyllie, 2000).
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan
menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik
dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).
Penyakit hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering pada
neonatus, dengan insidens keseluruhan 1:5000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens pada kasus-kasus familial yang rata-
rata mencapai sekitar 6% (Wyllie, 2000).
Diagnosis penyakit hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin mengingat berbagai
komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien seperti enterokolitis, pneumatosis
usus, abses perikolon, perforasi, dan septikimia yang dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis
merupakan komplikasi yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak
ditangani dengan sempurna. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan rontgen dengan enema barium, pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan patologi
anatomi (Wyllie,2000).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit hirschsprung?
2. Apa saja penyebab penyakit hirschsprung?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit hirschsprung?
4. Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit hirschsprung?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit hirschsprung?
6. Bagaimana proses keperawatan pada pasien anak dengan penyakit hirschsprung?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan penulisan laporan pendahuluan ini, mahasiswa mapu melalukan
penerapan pengelolaan asuhan keperawatan pada pasien anak dengan penyakit hirschsprung.
1.3.2 Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan laporan ini, mahasiswa mampu:
1. Memahami patafisiologi penyakit hirrschsprung
2. Membuat proses keperawatan secra utuh mulai dari pengkajian, perumusan masalah
keperawatan berdasarkan NANDA, perencanaan keperawatan menggunakan NIC NOC.
Implementasi serta evaluasi keperawatan dengan kasus hirschsprung.
3. Mengidentifikasi prioritas masalah keperawatan yang berhubungan dengan respon pasien
dengan kelainan kongenital hirschsprung disease.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Hirschprung


Penyakit hirschprung atau congenital aganglionosis atau megacolon adalah tidak adanya
ganglion dalam rectum dan sebagian tidak ada dalam colon. Pentakit hirschsprung merupakan kelainan
bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari sphingter ani internal ke arah
proksimal dengan panjang yang bervariasi, termasuk anus sampai rektum. Penyakit hirschsprung
merupakan penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia, tetapi lebih
sering pada neonatus (Putra Sitiatava, 2012).
Penyakit hirschsprung atau megakolon kongenital adalah tidak adanya sel-sel ganglion dalam
rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya
peristaltis serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi,
mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul
di daerah tersebut dan menyebabkan dilatasinya bagian usus proksimal terhadap daerah itu (Betz &
Sowden, 2002).
2.2 Anatomi Fisiologi
2.1.1 Anatomi Fisiologi Kolon
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar
1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada
usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat dengan anus diameternya pun
semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup
ileosekal dan apendiks yan melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga
inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam
sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus
(Priyanto & Lestari, 2009).
Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon
membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut dengan
fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk
lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu
dengan rektum. Bagian utama usus yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari
kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut
sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum
dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci) (Priyanto & Lestari, 2009).
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi
usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit. Kolon sigmoid
berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah terdehidrasi sampai
berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml air per hari dengan berat akhir feses
yang dikeluarkan adalah 200 gram dan 80% - 90% diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari
residu makanan yang tidak terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak
terabsorpsi (Priyanto & Lestari, 2009).
2.1.2 Embriologi Kolon
Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista
neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke arah distal. Sel-sel saraf
pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima. Sel-sel saraf sampai di midgut dan
mencapai kolon distal dalam minggu kedua belas. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam
pleksus Auerbach, selanjutnya sel-sel ini menuju ke dalam pleksus submukosa. Sel-sel krista
neural dalam migrasinya dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf
yang berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural.
Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik, yang membentuk
jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke bawah menuju saluran gastrointestinal
dan kemudian bergerak menuju intestine, dimulai dari membran dasar dan berakhir di lapisan
muskular.
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri berasal
dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita yang disebut taenia
yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk
seperti sakulus (kantong kecil) dan biasa disebut haustra (bejana). Kolon tranversum dan kolon
sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesentrium.
Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan embriologik
sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesentrium yang lengkap. Keadaan ini
memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama halnya
dapatterjadi dengan mesentrium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.
2.3 Etiologi
Penyakit hirschsprung diduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor lingkungan, namun
etiologi sebenarnya tidak diketahui dengan pasti (Betz & Sowden, 2002).
Penyakit ini sering terjadi pada anak dengan down syndrome, kelainan kardiovaskular dan
kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus gagal eksistensi kraniokaudal pada
myenterik dan submukosa dinding fleksus (Putra Sitatava, 2012).
Pergerakan makanan di sepanjang traktus gastrointestinal bergantung pada gerakan otot dari
dinding usus. Kontraksi ini diatur oleh sistem saraf enterik di bawah pengaruh berbagai peptide dan
hormon. Sistem saraf enterik ini merupakan turunan dari sel-sel neural crest yang bermigrasi dari cranial
ke arah kaudal. Migrasi sel-sel neural ini selesai pada usia 24 minggu gestasi. Adanya gangguan pada
migrasi ini dapat menyebabkan terjadinya penyakit hirschsprung (www.medicinesia.com).
2.4 Patofisiologi

Kegagalan sel neural pada masa embrio


dalam dinding usus gagal eksistensi
kraniokaudal pada myenterik dan
submukosa dinding fleksus

Tidak adanya sel ganglion


pada rektosigmoid colon

Tidak adanya peristalsis dan Sfingter rektum tidak dapat


evakuasi usus spontan berelaksasi

Peristaltik tidak sempurna Akumulasi benda padat, Feses tidak mampu


gas, dan cairan melewati sfingter ani

Obstruksi parsial
Obstruksi kolon Pelebaran kolon
(megakolon)
Refluks peristaltik
Gangguaan rasa nyaman
Distensi abdomen Nyeri Akut
Mual muntah
Anoreksia
Gangguan defekasi
Ketidakmampuan absorbsi
air oleh intestinal Ketidakseimbangan
Nutrisi Kurang dari Konstipasi
Kebutuhan Tubuh
Resiko Kekurangan
Volume Cairan
Intervensi pembedahan

Kurang informasi

Ansietas
2.5 Tanda dan Gejala
Gambaran klinis penyakit hirschsprung dapat dibedakan berdasarkan pada usia (Betz &
Sowden, 2002), diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Periode Neonatal
Gejala klinis yang sering dijumpai pada periode neonatal adalah:
a. Pengeluaran mekonium yang terlambat.
b. Muntah hijau.
c. Distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda
klinis paling khas. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang bila mekonium
dapat dikeluarkan dengan segera.
2. Bayi dan Anak
Gejala klinis yang paling menonjol pada usia inia adalah konstipasi kronis dan gizi buruk.
Selain itu, dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan
pemeriksaan colok dubur, maka feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semiliquid, dan
berbau tidak sedap. Biasanya penderita buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari
dan sulit untuk defekasi.
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai pada penderita hirschsprung (Betz & Sowden, 2002), antara lain:
1. Gawat pernapasan (akut)
2. Enterokolitis (akut)
3. Striktura ani (pasca bedah)
4. Inkontinensia (jangka panjang)
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada penderita hirscchsprung (Betz & Sowden,
2002), antara lain:
1. Foto abdomen
Pada gambar radiologi sangat mungkin tampak ‘zona transisi’ yaitu titik di mana terjadi
perubahan dari usus normal ke aganglionik.
2. Enema barium
Biasanya dilakukan pada tiga bulan pertama setelah kelahiran. Setelah terjadi proses
dilatasi pada kolon, pada sekitar bulan ketiga tersebut, kolon yang sehat akan mengalami dilatasi
sementara kolon yang sakit akan tampak normal. Pemeriksaan barium enema tidak disarankan pada
pasien dengan enterokolitis karena ada risiko perforasi kolon
3. Biopsi rektal, untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion
4. Manometri anorektal, untuk mencatat respons refluks sfingter interna dan eksterna.
2.8 Penatalaksanaan
Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit hirschsprung hanya dapat dilakukan dengan
pembedahan. Setelah diagnosis penyakit hirschsprung ditegakkan maka sejumlah tindakan praoperasi
harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus
dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa
lambung. Apabila sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis, maka resusitasi cairan
dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad spectrum secara ketat kemudian segera dilakukan
tindakan dekompresi usus (http://repository.usu.ac.id).
Pembedahan pada penyakit hirschsprung dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama
dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif. Mula-mula dilakukan
kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat
kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3-4 bulan). Pada umur bayi diantara 6-12 bulan atau
beratnya antara 9 dan 10 kg, dilakukan prosedur operasi definitif dengan cara memotong usus
aganglionik dan mengantomosiskan usus yang berganglion ke recktum dengan jarak 1 cm dari anus.
Ketiga tindakan operasi definitif tersebut, antara lain: (Betz & Sowden, 2002)
1. Prosedur Duhamel, umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia 1 tahun. Prosedur ini terdiri atas
penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik,
menciptakan dinding ganda yang terdiri dari selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal
yang ditarik tersebut.
2. Prosedur Swenson, bagian kolon yang aganglionik itu dibuang, kemudian dilakukan anastomosis end
to end pada kolon berganglion dengan saluran anal yang dilatasi. Sfingterotomi dilakukan pada
bagian posterior.
3. Prosedur Soave, dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur yang paling
banyak dilakukan untuk mengobati penyakit hrischsprung. Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan
tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus, tempat dilakukannya anastomosis
antara kolon normal dan jaringan otot rekto sigmonial yang tersisa.
2.9 Proses Asuhan Keperawatan Pasien dengan Hirschsprung
2.9.1 Pengkajian
Menurut Suriadi (2001) fokus pengkajian yang dilakukan pada penyakit hischprung
adalah sebagai berikut:
1. Riwayat pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama setelah lahir, biasanya ada
keterlambatan.
2. Riwayat tinja seperti pita dan bau busuk
3. Pengkajian status nutrisi dan status hidrasi:
a. Adanya mual, muntah, anoreksia, mencret
b. Keadaan turgor kulit biasanya menurun
c. Peningkatan atau penurunan berat badan
d. Penggunaan nutrisi dan rehidrasi parenteral
4. Pengkajian status bising usus untuk melihat pola bunyi hiperaktif pada bagian proximal
karena obstruksi, biasanya terjadi hiperperistaltik usus.
5. Pengkajian psikososial keluarga berkaitan dengan:
a. Anak : kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme koping yang digunakan.
b. Keluarga : respon emosional keluarga, koping yang digunakan keluarga, penyesuaian
keluarga terhadap stres menghadapi penyakit anaknya.
6. Pemeriksaan laboratorium darah hemoglobin, leukosit dan albumin juga perlu dilakukan
untuk mengkaji indikasi terjadinya anemia, infeksi dan kurangnya asupan protein.
2.9.2 Masalah Keperawatan yang Lazim Muncul (Unarif, 2015)
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan refluks
peristaltik mual muntah.
2. Konstipasi berhubungan dengan ketidakmampuan kolon mengevakuasi feses.
3. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, ketidakmampuan absorbsi
air oleh intestinal.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan distensi abdomen/refluks peristaltik.
5. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis (obstruksi parsial pada dinding
usus).
6. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, kurangnya informasi, rencana
pembedahan.
2.9.3 Diagnosa (NANDA) dan Intervensi (NIC, NOC)
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang Tujuan: 1. Kaji nafsu makan, lakukan pemeriksaan
dari kebutuhan tubuh berhubungan Perbaikan satus nutrisi: intake makanan dan abdomen,adanya distensi, hipoperistaltik.
dengan refluks peristaltik mual cairan. 2. Ukur intake dan output, berikan per oral / cairan
muntah. Kriteria Hasil: intravena sesuai program (hidrasi adalah masalah
Batasan karakteristik: a. Adanya peningkatan berat badan sesuai yang paling penting selama masa anak-anak).
a. Berat badan 20% atau lebih di dengan tujuan. 3. Sajikan makanan favorit anak, dan berikan sedikit tapi
bawah ideal. b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi sering.
b. Dilaporkan adanya intake badan. 4. Atur anak pada posisi yang nyaman (fowler)
makanan yang kurang dari c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan 5. Timbang BB tiap hari pada skala yang sama.
recomended daily allowance nutrisi. 6. Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin,
(RDA). d. Tida ada tanda-tanda malnutrisi. albumin dan elektrolit.
c. Membran mukosa dan e. Tidak terjadi penurunan berat badan 7. Identifikasi faktor pencetus mual dan muntah.
konjungtiva pucat yang berarti. 8. Catat warna, jumlah dan frekuensi muntah.
d. Kelemahan otot yang 9. Kolaborasi: pemberian obat antiemetik.
digunakan untuk
menelan/mengunyah.
e. Mudah merasa kenyang sesaat
setalah mengkonsumsi
makanan.
f. Dilaporkan adanya perubahan
sensasi rasa.
g. Kehilangan BB dengan
makanan yang cukup.
h. Keengganan untuk makan.
i. Kram pada abdomen
j. Tonus otot jelek
k. Nyeri abdominal dengan atau
tanpa patologi
l. Kurang berminat terhadap
makanan
m. Pembuluh darah kapiler mulai
rapuh
n. Diare dan/atau steatorhea
o. Kehilangan rambut yang cukup
banyak (rontok).
p. Suara usus hiperaktif.
q. Kurangnya
informasi/misinformasi
2. Konstipasi berhubungan dengan Tujuan: 1. Lakukan Wash out
ketidakmampuan kolon Konstipasi menurun. Rasional: Untuk mengencerkan feses sehingga feses
mengevakuasi feses. Kriteria Hasil: dapat keluar.
Batasan Karakteristik: a. Pola eliminasi dalam rentang yang 2. Monitor cairan yang keluar dari kolostomi.
a. Subjektif: diharapkan. Rasional: Mengetahui warna dan konsistensi feses dan
- Nyeri abdomen b. Feses lunak dan berbentuk. menentukan rencana selanjutnya.
- Nyeri tekan pada abdomen c. Mengeluarkan feses tanpa bantuan. 3. Pantau jumlah cairan kolostomi.
dengan atau tanpa resistensi Rasional: Jumlah cairan yang keluar dapatdipertimbangkan
otot yang dapat dipalpasi untuk penggantian cairan
- Anoreksia 4. Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.
- Mual Rasional: Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola
- Peningkatan tekanan defekasi terganggu.
abdomen
- Indingesti
b. Objektif
- Distensi abdomen
- Perubahan pola defekasi
- Penurunan volume feses
- Penurunan frekuensi
- Bising usus hipoaktif /
hiperaktif
- Masa abdomen dapat
dipalpasi.
- Masa rektal dapat di[alpasi.
- Borborigmi
3. Resiko kekurangan volume cairan Tujuan: 1. Monitor tanda-tanda dehidrasi.
berhubungan dengan muntah, Perbaikan status hidrasi. Rasional: Mengetahui kondisi dan menentukan langkah
ketidakmampuan absorbsi air oleh Kriteria Hasil: selanjutnya.
intestinal. a. Mempertahankan urine output sesuai 2. Monitor intake dan output cairan.
Batasan Karakteristik “Faktor usia dan BB, BJ urine normal, Ht normal. Rasional: Sebagai rujukan dalam mempertahankan
Resiko”: b. Tekanan darah, nadi, dan suhu dalam keseimbangan cairan tubuh.
a. Penyimpangan yang batas normal. 3. Berikan cairan sesuai kebutuhan dan yang
mempengaruhi absorbs cairan. c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi. diprograrmkan.
b. Kehilangan berlebihan melalui d. Elastisitas turgor kulit baik, membran Rasional: Untuk rehidrasi cairan.
rute normal (diare). mukosa lembab, tidak ada rasa haus
c. Penyimpangan yang berlebihan.
mempengaruhi asupan cairan.
4. Gangguan rasa nyaman Tujuan: 1. Observasi tanda-tanda vital.
berhubungan dengan distensi Peningkatan kenyamanan. Rasional: Peningkatan TTV menunjukan kualitas nyeri
abdomen/refluks peristaltik. Kriteria Hasil: yang meningkat.
Batasan Karakteristik: a. Status lingkungan yang nyaman 2. Kaji tingkat rasa nyeri
a. Ansietas b. Mampu mengintrol nyeri Rasional: Sebagai rujukan untuk perencanaan tindakan
b. Menangis c. Status kenyamanan meningkat selanjutnya.
c. Gangguan pola tidur d. Adanya social support 3. Atur posisi yang nyaman bagi klien.
d. Ketidakmampuan rileks e. Kualitas tidur dan istrirahat adekuat Rasional: Untuk meningkatkan perasaan nyaman
e. Melaporkan perasaan tidak (relaksasi)
nyaman 4. Beri kompres hangat pada daerah abdomen.
f. Gelisah Rasional: Untuk melancarkan peredaran darah di daerah
abdomen.
5. Kolaborasi: Pemberian terapi analgetik jika perlu.
Rasional: Untuk mengurangi nyeri.
5. Nyeri akut berhubungan dengan Tujuan: 1. Observasi dan catat keluhan lokasi beratnya (skala 0-10)
agens cedera biologis (obstruksi Peningkatan kenyamanan, nyeri terkontrol, dan efek yang ditimbulkan oleh nyeri
parsial pada dinding usus). nyeri berkurang/hilang. Rasional : Membantu membedakan penyebab nyeri dan
Batasan Karakteristik: Kriteria Hasil: memberikan informasi tentang kemajuan atau perbaikan
a. Peningkatan tekanan darah a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyakit, terjadinyaa komplikasi dan keefektifan
b. Perubahan frekwensi jantung penyebab nyeri, mampu menggunakan intervensi.
c. Perubahan frekwensi tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi 2. Pantau tanda-tanda vital
pernapasan. nyeri). Rasional : Peningkatan nyeri akan meningkatkan tanda-
d. Laporan isyarat b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang tanda vital.
e. Diaforesis dengan menggunakan manajemen nyeri. 3. Ajarkan untuk menggunakan teknik relaksasi dan nafas
f. Adanya perilaku distraksi c. Mampu mengenali nyeri (skala, dalam atau teknik distraksi seperti mendengarkan musik
g. Sikap melindungi area nyeri intensitas, frekuensi dan tanda nyeri). atau membaca buku.
h. Gangguan tidur d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri Rasional : Membantu atau mengontrol mengalihkan rasa
i. Melaporkan nyeri secara verbal berkurang. nyeri, memusatkan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan koping.
4. Kolaborasi:Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan nyeri.
6. Ansietas berhubungan dengan Tujuan: 1. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
prognosis penyakit, kurangnya Level ansietas menurun, koping yang adekuat. mengurangi takut.
informasi, rencana pembedahan. Kriteria Hasil: Rasional: Upaya meningkatkan kenyamanan dengan
Batasan Karakteristik: a. Vital sign dalam batal normal mengalihkan perhatian pasien dari pemicu kecemasan.
a. Gelisah b. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa 2. Dorong keluarga untuk menemani anak.
b. Insomnia tubuh dan tingkat aktivitas menunjukan Rasional: Perhatian dan kedekatan antara anak dan
c. Kontak mata yang buruk berkurangnya kecemasan. orang tua dapat membantu mengurangi kecemasan
d. Agitasi c. Mampu mengontrol kecemasan psikologis.
e. Iritabilitas 3. Lakukan back/neck rub.
f. Diaforesis Rasional: Untuk melancarkan peredaran darah ke otak.
g. Wajah tegang 4. Indentifikasi tingkat kecemasan.
h. Peningkatan tekanan darah, Rasional: Sebagai rujukan dalam merumuskan
nadi perencanaan keperawatan selanjutnya.
i. Kesulitan berkonsentrasi 5. Instruksikan pasien menggunakan tehnik relaksasi.
j. Mual Rasional: Tehnik relaksasi merupakan salah satu bentuk
k. Gangguan tidur pengalihan dari sumber stres
6. Kolaborasi: pemberian obbat untuk mengurangi
kecemasan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Skenario Kasus
Seorang bayi laki – laki usia 10 hari sudah seminggu ini di rawat diruangan bedah anak kelas
III sebuah rumah sakit. Dari hasil wawancara dengan keluarga didapatkan keterangan bahwa semenjak
lahir bayinya belum pernah buang air besar. Keluarga mengatakan ada riwayat muntah berwarna hijau
serta perut bayinya semakin hari semakin membesar. Keluarga mengeluh karena sampai saat ini bayinya
malas menete, kurang aktif dan sudah dua hari ini bayinya demam. Keluarga merasa cemas dan khawatir
melihat kondisi anaknya saat ini. Keluarga mengatakan pasien dilahirkan oleh bidan secara normal
dengan berat badan lahir 3 kg dan panjang badan 48 cm. Pasien langsung dirujuk ke rumah sakit karena
semenjak lahir bayi belum pernah buang air besar dan sering muntah. Menurut keluarga, tidak ada
keluhan berarti selama proses kehamilannya hanya saja pemeriksaan kehamilan jarang dilakukan karena
terbentur masalah biaya. Keluarga mengeluhkan petugas kesehatan terutama dokter dan perawat karena
kurang respon dengan keluhan yang dialaminya saat ini serta jarang sekali mendapatkan penjelasan
terkait perawatan dan pengobatan anaknya. Keluarga hanya diminta mempersiapkan terkait prosedural
operasi putranya dengan penejelasan seadanya dan diminta untuk segera menandatangani persetujuan
untuk operasi putranya. Penjelasan terkait operasipun tidak dilakukan sendiri oleh dokter melainkan oleh
perawat ruangan.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan abdomen distensi, tonus otot lemah, tampak kurus, bising
usus sangat lemah, pernapasan cepat, tampak meringis. Saat ini bayi terpasang infus, NGT, dan oksigen.
Hasil pemeriksaan penunjang dengan photo polos abdomen tampak adanya usus – usus melebar serta
terdapat gambaran obstruksi usus rendah, tampak gambaran kontraksi usus yang tidak teratur dibagian
yang menyempit serta enterokolitis dari hasil pemeriksaan barium enema. Saat ini bayi mendapatkan
antibiotik, antipiretik serta pasi. Tim dokter merencanakan operasi pertama untuk bayi setelah keadaan
umum bayi membaik dan meminta perawat untuk terus memantau perkembangan bayi.
3.2 Aplikasi Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
1) Nama : By...
2) Tanggal Lahir : -
3) Usia : 10 Hari
4) Pendidikan : -
5) Alamat : -
6) Nama Ayah / Ibu : -
7) Pekerjaan Ayah / Ibu : -
8) Agama : -
9) Suku/ Bangsa : -
b. Keluhan Utama
Keluarga bayi mengatakan semenjak lahir bayinya belum pernah buang air besar.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluarga mengatakan pasien dilahirkan oleh bidan secara normal dengan BB lahir 3 kg dan PB
48 cm. Selama proses kehamilan ibu bayi tidak mengalami keluhan namun jarang melakukan
pemeriksaan kehamilan karena terbentur masalah biaya. Semenjak bayinya lahir, bayinya belum
pernah buang air besar dan sring muntah sehingga bayinya langsung dirujuk ke rumah sakit.
Keluarga mengatakan bayi memiliki riwayat muntah berwarna hijau serta perut bayinya semakin
hari semakin membesar. Bayinya juga sampai saat ini malas menete, kurang aktif dan sudah 2
hari mengalami demam.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
1) Pra natal : Ibu bayi jarang melakukan pemeriksaan selama kehamilan.
2) Natal (untuk bayi / anak yang masih kecil): Bayi tidak buang air besar dan muntah berwarna
hijau.
3) Post Natal (untuk bayi / anak yang masih kecil): Penyakit saat ini.
4) Penyakit waktu kecil (gejala dan penangananya): -
5) Pernah dirawat di RS: -
6) Obat – obatan yang digunakan (pernah / sedang digunakan ): -
7) Riwayat Allergi: -
8) Riwayat Imunisasi: -
9) Pola Nutrisi yang diberikan: -
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak ada keterangan pada kasus.
f. Riwayat Sosial
Keluarga merasa cemas dan khawatir melihat kondisi anaknya saat ini. Keluarga mengeluhkan
petugas kesehatan terutama dokter dan perawat karena kurang respon dengan keluhan yang
dialaminya saat ini serta jarang sekali mendapatkan penjelasan terkait perawatan dan
pengobatan anaknya. Keluarga hanya diminta mempersiapkan terkait prosedural operasi
putranya dengan penejelasan seadanya dan diminta untuk segera menandatangani persetujuan
untuk operasi putranya. Penjelasan terkait operasipun tidak dilakukan sendiri oleh dokter
melainkan oleh perawat ruangan.
g. Keadaan Saat Ini
1) Diagnosis Medis : Sindrom Nefrotik
2) Terapi Mendikamentosa:
No Nama Obat Dosis Rute Waktu Indikasi Efek Samping
1. Antibiotik Digunakan untuk
pengobatan pada
penyakit-penyakit
infeksi oleh bakteri.
2. Antipiretik Digunakan untuk
meredakan demam.

3) Hasil Pemeriksaan Laboratorium


No Pemeriksaan Lab Hasil Nilai Normal Interpretasi

4) Hasil Pemeriksaan Radiologi


No Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi
1. Foto polos abdomen Tampak adanya
usus-usus melebar
serta terdapat
gambaran obstruksi
usus rendah. Tampak
gambaran kontraksi
usus yang tidak
teratur dibagian yang
menyempit
2. Barium enema Adanya enterokolitis

5) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum : Lemah
b) TTV : -
c) Pemeriksaan Antropometri : Tampak kurus
d) Kepala : -
e) Wajah : Tampak meringis
f) Mata : -
g) Hidung : -
h) Mulut : -
i) Telinga : -
j) Leher : -
k) Dada : Pernapasan cepat
l) Abdomen : Adanya distensi abdomen, bising usus sangat lemah
m) Punggung : -
n) Genitalia : -
o) Ekstremitas : -
p) Kulit : Tonus otot lemah
6) Pemeriksaan Perkembangan (Motorik Kasar, Motorik Halus, Bahasa, Personal Sosial)
Tidak ada keterangan.
7) Aktivitas Sehari-Hari

No. Jenis Aktifitas Sebelum Sakit Setelah Sakit

1. Oksigenasi
1) Pola napas
2) Frekuensi
3) Keluhan Sesak Tidak ada keterangan Terpasang oksigen
4) Batuk Pilek
5) Terpasang alat bantu
(oksigen)

2. Cairan (Minum) Bayi malas menete


1) Frekuensi
Terpasang infus
2) Jenis
3) Riwayat alergi Tidak ada
4) Keluhan Keterangan
5) Terpasang alat bantu
(pemasangan infus /
tranfusi)

3. Nutrisi (Makanan) Pasi


1) Frekuensi
Terpasang NGT
2) Jenis
3) Riwayat alergi Tidak ada
4) Keluhan Keterangan
5) Terpasang alat bantu
(NGT/ OGT)

4. Eliminasi (BAK & BAB) - Produksi urin


1) Frekunesi menurun
2) Konsistensi - Hematuria
3) Warna
4) Bau Tidak ada keterangan - Proteinuria
5) Keluhan

5. Aktifitas Bermain
1) Frekuensi
2) Jenis
3) Alat Permainan Tidak ada keterangan Tidak ada keterangan
4) Keluhan

6. Istirahat tidur
1) Frekuensi
2) Kebiasaan Tidak ada keterangan Tidak ada keterangan
3) Waktu / Lama Tidur/hari
4) Keluhan

7. Personal Higiene
1) Oral hygine
2) Mandi Tidak ada keterangan Tidak ada keterangan
3) Keramas
4) Penampilan umum

2. Analisa Data
No Data Fokus Etiologi Masalah
1. DS:- Gangguan pola nafas
DO:
1) Pernapasan cepat
2) Terpasang oksigen
2. DS: Hipertermi
1) Keluarga mengeluh
sudah 2 hari bayinya
demam
DO:
1) Adanya penggunaan
terapi antipiretik
2) Adanya enterocolitis dari
pemeriksaan barium
enema
3. DS : Nyeri akut
1) Keluarga mengatakan
semenjak lahir bayinya
belum pernah buang air
besar
2) Keluarga mengatakan
perut bayinya semakin
membesar
DO:
1) Tampak meringis
2) Distensi abdomen
3) Bising usus sangat
lemah
4. DS : Konstipasi
1) Keluarga mengatakan
semenjak lahir bayinya
belum pernah buang air
besar
DO:
1) Distensi abdomen
2) Bising usus sangat
lemah
3) Terdapat gambaran
obstruksi usus rendah
pada pemeriksaan foto
polos abdomen
4) Tampak adanya usus-
usus melebar
5. DS: Ketidakseimbangan
1) Keluarga mengatakan nutrisi kurang dari
semenjak lahir bayinya kebutuhan tubuh
sering muntah
2) Keluarga mengeluh
bayinya malas menete
DO:
1) Tonus otot lemah
2) Tampak kurus
3) Terpasang NGT
6 DS: Ansietas
1) Keluarga merasa cemas
dan khawatir melihat
kondisi anaknya saat ini
2) Keluarga mengeluh
petugas kesehatan
terutama dokter dan
perawat kurang
berespon dengan
keluhan yang dialminya
saat ini
3) Keluarga mengatakan
jarang sekali
mendapatkan
penjelasan terkait
perawatan dan
pengobatan anaknya
4) Keluarga mengatakan
hanya mendapatkan
penjelasan seadanya
mengenai operasi
bayinya
DO:
1) Tiim dokter
merencanakan operasi
pertama untuk bayi
setelah keadaan umum
bayi membaik
3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pola nafas berhubungan dengan keterbatasan gerakan diafragma, ditandai dengan:
DS:-
DO:
1) Pernapasan cepat
2) Terpasang oksigen
b. Hipertermi berhubungan dengan adanya inflamasi usus ditandai dengan:
DS:
1) Keluarga mengeluh sudah 2 hari bayinya demam
DO:
1) Adanya penggunaan terapi antipiretik
2) Adanya enterocolitis dari pemeriksaan barium enema
c. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi parsial pada dinding usus ditandai dengan:
DS :
1) Keluarga mengatakan semenjak lahir bayinya belum pernah buang air besar
2) Keluarga mengatakan perut bayinya semakin membesar
DO:
1) Tampak meringis
2) Distensi abdomen
3) Bising usus sangat lemah
d. Konstipasi berhubungan dengan ketidakmampuan kolon mengevakuasi feses ditandai dengan:
DS :
1) Keluarga mengatakan semenjak lahir bayinya belum pernah buang air besar
DO:
1) Distensi abdomen
2) Bising usus sangat lemah
3) Terdapat gambaran obstruksi usus rendah pada pemeriksaan foto polos abdomen
4) Tampak adanya usus-usus melebar
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan refluks peristaltik
mual muntah ditandai dengan:
DS:
1) Keluarga mengatakan semenjak lahir bayinya sering muntah
2) Keluarga mengeluh bayinya malas menete
DO:
1) Tonus otot lemah
2) Tampak kurus
3) Terpasang NGT
f. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, kurangnya informasi, rencana pembedahan
ditandai dengan:
DS:
1) Keluarga merasa cemas dan khawatir melihat kondisi anaknya saat ini
2) Keluarga mengeluh petugas kesehatan terutama dokter dan perawat kurang berespon
dengan keluhan yang dialminya saat ini
3) Keluarga mengatakan jarang sekali mendapatkan penjelasan terkait perawatan dan
pengobatan anaknya
4) Keluarga mengatakan hanya mendapatkan penjelasan seadanya mengenai operasi
bayinya
DO:
1) Tiim dokter merencanakan operasi pertama untuk bayi setelah keadaan umum bayi
membaik
4. Intervensi Keperawatan
No Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi
Diagnosa
1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Kaji frekuensi, kedalaman
... x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan pernafasan dan ekspansi dada
perbaikan pola napas dengan kriteria hasil: Rasional: kecepatan biasanya
a. Pasien tidak mengalami sesak meningkat. Dispnea dan terjadi
Tanda-tanda vital dalam batas normal, suhu : 36- peningkatan kerja nafas.
37,5 °C, nadi : 60-100 x/menit, RR: 16-20 x/menit, 2. Tinggikan kepala dan bantu
TD: 100/60-140/90 mmHg mengubah posisi (posisi semi
fowler).
Rasional:duduk tinggi
memungkinkan ekspansi paru dan
memudahkan pernafasan.
3. Tindakan kolaborasi dengan
memberikan oksigen tambahan
sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan sediaan
oksigen untuk
kebutuhan/mencegah iskemia.
4. Jadwalkan pemberian tindakan
fisioterapi dada
Rasional: fisioterapi dada dapat
membantu dalam mempertahan
kepatenan jalan napas pasien
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Kaji saat timbulnya demam
... x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan Rasional: mengidentifikasi pola
keseimbangan suhu tubuh dengan kriteria Hasil : demam
Suhu tubuh normal (36-37oC) 2. Kaji tanda-tanda vital tiap 3 jam
atau lebih sering
Rasional: acuan untuk
mengetahui keadaan umum klien
3. Berikan kebutuhan cairan ekstra
Rasional: peningkatan suhu tubuh
mengakibatkan penguapan cairan
tubuh meningkat, sehingga perlu
diimbangi dengan intake cairan
yang banyak.
4. Berikan kompres hangat dengan
suhu 370C bila perlu, untuk
mengurangi demam
Rasional: kompres hangat akan
mendinginkan permukaan tubuh
dengan cara konduksi
5. Kenakan pakaian minimal
Rasional: pakaian yang tipis akan
membantu mengurangi
penguapan tubuh
6. Berikan tindakan untuk
memberikan rasa nyaman seperti
mengelap bagian punggung klien,
mengganti alat tenun yang kering
setelah diaforesis, memberi
minum hangat, lingkungan yang
tenang dengan cahaya yang
redup, dan sedatif ringan jika
dianjurkan serta memberikan
pelembab kulit dan bibir.
Rasional: tindakan tersebut akan
meningkatkan relaksasi.
Pelembab membantu mencegah
kekeringan dan pecah-pecah
dimulut dan bibir
7. Kolaborasi pemberian terapi
cairan intervena RL 0,5 dan
pemberian antipiretik
Rasional: pemberian cairan sangat
penting bagi klien dengan suhu
tinggi.
8. Kolaborasi pemberian antibiotik
sesuai dengan anjuran dan
evaluasi keeektifannya. Tinjau
kembali semua obat-obatan yang
diberikan. Untuk menghindari efek
merugikan akibat interaksi obat,
jadwalkan pemberian obat dalam
kadar darah yang konsisten
Rasional: untuk mengatasi infeksi.
Efek terapeutik maksimum yang
efektif dapat dicapai, jika kadar
obat yang ada dalam darah telah
konsisten dan dapat
dipertahankan. Risiko akibat
interaksi obat-obatan yang
diberikan meningkat dengan
adanya efek farmakoterapi
berganda. Efek damping akibat
interaksi satu obat dengan yang
lainnya dapat mengurangi
keefektifan pengobatan dari salah
satu obat atau keduanya
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Observasi dan catat keluhan
... x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan lokasi beratnya (skala 0-10) dan
peningkatan kenyamanan, nyeri terkontrol, nyeri efek yang ditimbulkan oleh nyeri
berkurang/hilang. Dengan kriteria hasil: Rasional : Membantu
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab membedakan penyebab nyeri dan
nyeri, mampu menggunakan tehnik memberikan informasi tentang
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri). kemajuan atau perbaikan
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan penyakit, terjadinyaa komplikasi
menggunakan manajemen nyeri. dan keefektifan intervensi.
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, 2. Pantau tanda-tanda vital
frekuensi dan tanda nyeri). Rasional : Peningkatan nyeri akan
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri meningkatkan tanda-tanda vital.
berkurang. 3. Ajarkan untuk menggunakan
teknik relaksasi dan nafas dalam
atau teknik distraksi seperti
mendengarkan musik atau
membaca buku.
Rasional : Membantu atau
mengontrol mengalihkan rasa
nyeri, memusatkan kembali
perhatian dan dapat meningkatkan
koping.
4. Kolaborasi:Pemberian obat
analgetik sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan nyeri.
4 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Lakukan Wash out
... x 24 jam diharapkan konstipasi pada pasien Rasional: Untuk mengencerkan
menurun. Dengan kriteria hasil: feses sehingga feses dapat keluar.
a. Pola eliminasi dalam rentang yang 2. Monitor cairan yang keluar dari
diharapkan. kolostomi.
b. Feses lunak dan berbentuk. Rasional: Mengetahui warna dan
c. Mengeluarkan feses tanpa bantuan. konsistensi feses dan menentukan
rencana selanjutnya.
3. Pantau jumlah cairan kolostomi.
Rasional: Jumlah cairan yang
keluar dapatdipertimbangkan
untuk penggantian cairan
4. Pantau pengaruh diet terhadap
pola defekasi
Rasional: Untuk mengetahui diet
yang mempengaruhi pola defekasi
terganggu
5 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Monitor dan catat jumlah kalori
... x 24 jam diharapkan terjadi perbaikan satus yang masuk
nutrisi: intake makanan dan cairan. Dengan Rasional: mengidentifikasi
kriteria hasil: gambaran nyata jumlah kalori
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai yang masuk
dengan tujuan. 2. Monitor berat badan tiap hari
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi Rasional: pengawasan
badan. kehilangan dan alat pengkajian
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi. kebutuhan nutrisi atau kefektifan
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi. terapi
e. Tidak terjadi penurunan berat badan yang 3. Kaji ulang keluhan dan masalah
berarti penyebab kurang nutrisi (mual
dan muntah)
Rasional: mengidentifikasi
pemenuhan nutrisi pasien yang
mempengaruhi pemberian
intervensi
4. Berikan pasi sedikit tapi sering
Rasional: kemampuan dan
kapasitas gaster belum matang
sempurna sehingga pemberian
pasi harus sesuai dengan tingkat
kebutuhan bayi
6 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Temani pasien untuk
... x 24 jam diharapkan level ansietas menurun, memberikan keamanan dan
koping yang adekuat. Dengan kriteria hasil: mengurangi takut.
a. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh Rasional: Upaya meningkatkan
dan tingkat aktivitas menunjukan kenyamanan dengan
berkurangnya kecemasan. mengalihkan perhatian pasien
b. Mampu mengontrol kecemasan dari pemicu kecemasan.
2. Dorong keluarga untuk
menemani anak
Rasional: Perhatian dan
kedekatan antara anak dan
orang tua dapat membantu
mengurangi kecemasan
psikologis.
Lakukan back/neck rub.
Rasional: Untuk melancarkan
peredaran darah ke otak.
3. Indentifikasi tingkat kecemasan.
Rasional: Sebagai rujukan
dalam merumuskan
perencanaan keperawatan
selanjutnya.
4. Instruksikan pasien
menggunakan tehnik relaksasi.
5. Rasional: Tehnik relaksasi
merupakan salah satu bentuk
pengalihan dari sumber stres
Kolaborasi: pemberian obbat
untuk mengurangi kecemasan.

3.3 Pembahasan Jurnal Keperawatan (Komplikasi Tindakan Kolostomi pada Bayi dan Anak)
Hirsprung atau magekolon adalah penyakit yang tidak adanya sel-sel ganglion dalam rektum
atau bagian rektosigmoid kolon yang menyebabkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta
tidak adanya evakuasi usus spontan. Penyakit hirsprung diduga terjadi karena faktor genetik dan
lingkungan, sering terjadi pada anak dengan sindrom down, kegagalan sel neural pada masa embrio
dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki laki. Sedangkan
Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus
dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni sindrom down
(5-10%) dan kelainan urologi (3%) (Swenson dkk, 1990).
Salah satu penatalaksanaan penyakit hirsprung adalah tindakan kolostomi, dimana tindakan ini
dilakukan baik pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat didiagnosis dan
pasien dengan enterokolitis b e r a t d a n k e a d a a n u m u m m e m buruk. Kolostomi dibuat di
kolon berganglion normal yang paling distal.
Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sheikh M Ali, dkk pada tahun 2006,
menunjukkan bahwa diantara 121 pasien yang dalam perawatan lebih dari 18 bulan, sebagian besar
pasien dilakukan tindakan kolostomi atas indikasi malformasi anorektal 71 (58,7%) pasien, penyakit
hirsprung 41 (33,8%) pasien, trauma 4 (3,3%) dan dengan kondisi peradangan dan 2 (1,6%) dengan
tumor. Berbagai komplikasi masalah terjadi pada 82 (67,7%) pasien yang mendapatkan kolostomi.
Dari 41 penderita hirsprung yang mendapatkan tindakan kolostomi, diantaranya 14 neonatus
yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki berjumlah 7 orang dan 7 perempuan. 17 pasien usia infant/bayi
yakni 13 laki-laki dan 4 bayi perempuan. Pada kelompok usia anak-anak terdapat 10 pasien yang terdiri
dari 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Diantara kesemua penderita hirsprung yang
mendapatkankolostomi, terdapat 22 (78%) penderita yang mengalami komplikasi atas tindakan kolostomi.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tinggkat terjadinya
komplikasi pasca tindakan kolostomi sangat tinggi sehingga dibutuhkan ketrampilan perawat dalam
perawatan kolostomi yang berprinsip steril guna mencegah berbagai komplikasi yang mungkin dialami
pasien. Peran perawat dalam perawatan kolostomi itu sendiri mempunyai hal tersendiri. Pasien dengan
pemasangan kolostomi biasanya disertai dengan tindakan laparotomi (pembukaan dinding abdomen).
Luka laparotomi sangat beresiko mengalami infeksi karena letaknya bersebelahan dengan lubang stoma
yang kemungkinan banyak mengeluarkan feses yang dapat mengkontaminasi luka laparotomi, perawat
harus selalu memonitor kondisi luka dan segera merawat luka dan mengganti balutan jika balutan
terkontaminasifeses. Perawat harus segera mengganti kantong kolostomi jika kantong kolostomi telah
terisi feses atau jika kontong kolostomi bocor dan feses cair mengotori abdomen. Perawat juga harus
mempertahankan kulit pasien disekitar stoma tetap kering, hal ini penting untuk menghindari terjadinya
iritasi pada kulit dan untuk kenyamanan pasien. Kulit sekitar stoma yang mengalami iritasi harus segera
diberi zink salep atau konsultasi pada dokter ahli jika pasien alergi terhadap perekat kantong kolostomi.
Pada pasien yang alergi tersebut mungkin perlu dipikirkan untuk memodifikasi kantong kolostomi agar
kulit pasien tidak teriritasi.
Keluarga anak yang dengan pemasangan kolostomi perlu mendapatkan berbagai penjelasan
baik itu sebelum maupun setelah tindakan operasi tersebut, terutama tentang perawatan kolostomi bagi
pasien yang harus menggunakan kolostomi permanen.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hirschsprung disebut juga dengan megacolon congenital, merupakan kelainan ditemukan
sebagai salah satu penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kasus Hirschsprung tidak ditemukan
fleksus mientorik atau pleksus di lapisan otot dinding usus, (plexus myentericus /Aurebach) akibatnya
bagian usus yang terkena tidak dapat mengembang.
Masalah setelah pembedahan yang dapat ditemukan adalah enterokolitis berulang, struktur
prolaps, abses perianal, dan pengotoran feses. Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru
lahir dapat merupakan gejala obstruksi akut. Tiga tanda (trias) yang sering ditemukan meliputi mekonium
yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam). Perut kembung dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus
kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari atau bahkan lebih.
3.2 Saran
Penyakit hirschsprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan komplikasi, baik
masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan anak dengan
penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar
anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak.
Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan benar oleh seluruh
pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin
hubungan kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya
dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Ireska T & Padeswa, Imam Tongko. 2014. Morbus Hirschprung (Penyakit Hirschprung). Diakses pada
(www.medicinesia.com) tanggal 07 Maret 2016

Betz , Cecily L & Sowden, Linda A. 2002. Buku Saku Keperawataan Pediatrik: Edisi 3. Jakarta: EGC

Priyanto, A & Lestari, S. 2009. Endeskopi Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika

Putra, Sitiatava. 2012. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita untuk Keperawatan dan Kebidanan. Yogyakarta : D-
Medika

Suriadi & Rita, Y. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak: Edisi I. Jakarta: CV Agung Seto

Unrarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda NIC NOC Jilid 1. Yogyakarta : Media Action Publishing

Wilkinson Judith, M & Ahern Nancy, R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai