Anda di halaman 1dari 41

EVALUASI BIAKAN URIN PADA PENDERITA BPH SETELAH PEMASANGAN

KATETER MENETAP: PERTAMA KALI DAN BERULANG

FURQAN

Bagian Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi saluran kemih adalah keadaan dimana kuman tumbuh dan
berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah yang bermakna. Infeksi
saluran kemih ini dapat berlangsung dengan gejala (simtomatis) atau tanpa
gejala (asimtomatis). Infeksi saluran kemih juga sering menjadi masalah
dalam ilmu bedah.
Benign Prostat Hyperplasia merupakan penyakit yang sering diderita
pada pria. Di klinik 50 % dijumpai penderita BPH berusia 60-69 tahun, yang
menimbulkan gejala-gejala bladder outlet obstruction (Tanagho.1995).
Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter pada penderita BPH
telah banyak diketahui dan menurut literatur betapapun sempurnanya
pemasangan kateter, infeksi masih saja terjadi. Kateterisasi tunggal yang
dilakukan dengan tepat pada retensio urin hanya akan menyebabkan sekitar
2% insiden infeksi traktus urinarius pada penderita bedah terencana. Pada
penderita debilitasi, insiden ini dapat meningkat 10 – 20 %. Infeksi traktus
urinarius terlazim pada penderita yang memerlukan kateter urin dibiarkan
terpasang. Bila dipakai drainase terbuka, maka sebenarnya semua penderita
akan terinfeksi dalam waktu 2 hari. Bila menggunakan drainase tertutup, maka
sekitar 5 -10 % perhari akan terinfeksi (Schaeffer.1998; Nichols.1995).
Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter terjadi karena kuman
dapat masuk ke dalam kandung kemih dengan jalan berenang melalui lumen
kateter, rongga yang terjadi antara dinding kateter dengan mukosa uretra,
sebab lain adalah bentuk uretra yang sulit dicapai oleh antiseptik
(Cravens.2000).
Dari pengamatan di klinik Urologi serta Instalasi Gawat Darurat RSUP.
Adam Malik dan RSUD. Pirngadi Medan, penderita yang terbanyak
menggunakan kateter menetap adalah penderita yang datang dengan keluhan
retensi urin akibat prostat hiperplasi. Kateterisasi merupakan pertolongan bagi
penderita saat itu, tetapi akan menjadi penyulit bila pemakaian lama.
Dengan rancangan penelitian sederhana, akan dilakukan pemeriksaan
biakan kuman sebelum dan sesudah pemakaian kateter terhadap penderita
retensi urin akibat prostat hiperplasi.

B. Perumusan Masalah.
Dentifikasi biakan kuman dalam urin dan uji kepekaan merupakan hal
penting dalam pemilihan antibiotik yang sesuai dan rasional. Pemilihan
antibiotik yang sesuai dan rasional dapat menekan biaya pengobatan dan
mencegah komplikasi lanjutan dari infeksi saluran kemih.

©2003 Digitized by USU digital library 1


BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. SISTEM SALURAN KEMIH

2.1.1. GINJAL
Ginjal adalah sepasang organ yang terletak pada retroperitoneum
diselubungi fasia gerota dan sejumlah lemak. Di dorsal; iga terbawah,
kuadratus lumborum, dan muskulus psoas berada proksimal didekatnya.
Hubungan ventral dari ginjal kanan termasuk adrenal, lambung lien,
pankreas, kolon dan ileum.
Arteri renalis keluar dari aorta dan hampir dua pertiga dari ginjal
hanya mempunyai sistem perdarahan yang tunggal. Arteri renalis terbagi
menjadi lima cabang besar, yang merupakan end arteri yang mensuplai
segmen ginjal. Penyumbatan dari cabang arteri renalis akan menyebabkan
infark segmen ginjal. Vena renalis mengosongkan isinya kedalam vena cava
inferior. Saluran limfe ginjal bermuara pada hilar trunk, dan kapsular
limfatik pada nodus periaorta infradiafragmatik. Persarafan ginjal
mengandung vasomotor dan serat nyeri yang menerima konstribusi dari
segmen T4-T12. pelvis ginjal terletak dorsal dari pembuluh darah ginjal dan
mempunyai epitel transisional (Purnomo,2000).

2.1.2. URETER
Ureter terdiri dari otot yang memanjang membentuk tabung dan
berjalan melalui retroperitoneum dan menghubungkan pelvis ginjal dengan
kandung kemih. Panjang normal ureter pada dewasa adalah 28–30 cm dan
diameternya sekitar 5 mm. Ureter menyalurkan urine dari ginjal menuju
kandung kemih dengan peristaltik aktif.
Suplai darah dari ureter berasal dari ginjal, aorta, iliaka, mesenterik,
gonad, vasal, arteri vesikalis. Serat nyeri menghantarkan rangsangan
kepada segmen T12-L1. Ureter dapat mengalami deviasi medial pada
fibrosis retroperitoneal dan deviasi lateral oleh tumor retroperitoneal atau
aneurisma aorta (Hargreave,1995; Purnomo,2000).

Gbr. 1-1: Topografi Saluran Kemih

©2003 Digitized by USU digital library 2


2.1.3. KANDUNG KEMIH

A. ANATOMI
Kandung kemih yang berfungsi sebagai reservoir urine, pada masa
anak-anak secara prinsip terletak intra-abdominal dimana dua pertiga
bagian atasnya ditutupi oleh peritoneum, sedangkan pada orang dewasa
kandung kemih sudah menjadi organ-organ pelvis (ekstra peritoneal)
dimana bagian atasnya saja yang ditutupi oleh peritoneum. Dalam keadaan
kosong didepan kandung kemih terdapat simpisis pubis, tetapi dalam
keadaan penuh dia bisa membesar sehingga bisa berada dibagian belakang
bawah muskulus rektus abdominis. Pada laki-laki dibagian belakang
kandung kemih dipisah dengan rektum oleh dua lapisan peritoneum yang
bersatu membentuk Denonvilliers fascia, sedangkan pada perempuan
kandung kemih terletak didepan uterus, servik dan vagina. Pada laki-laki,
dibawah kandung kemih terdapat prostat yang mengelilingi uretra
berbentuk seperti donat, dan dibawahnya terdapat diafragma pelvis. Pada
bagian infero-lateral permukaan kandung kemih berhubungan dengan
pleksus vena vesiko-prostat, otot-otot levator ani, pembuluh-pembuluh
darah obturator interna dan dengan pelvic girdle (Blandy,1983;
Schulmann,1993).
Dinding kandung kemih dibentuk seperti buah keranjang oleh
serabut-serabut otot polos (detrusor) yang saling menyilang, tersusun
tidaklah dalam bentuk longitudinal atau sirkuler seperti pada dinding usus
tetapi berupa suatu sistem rangkaian helik. Pada leher kandung kemih
susunan sirkuler lebih dominan yang membentuk suatu autonomic internal
spincter. Beberapa dari anyaman helik ini berlanjut melewati spingter
interna dan melekat pada jaringan ikat uretra prostatika pada daerah
verumontanum, juga ada yang berlanjut pada spingter eksterna bahkan
yang lainnya berlanjut pada jaringan otot uretra itu sendiri (Tanagho,1995).
Mukosa kandung kemih terdiri atas lapisan epitel transitional yang
tebal (5-8 lapis sel) dengan sel-sel basal yang berbentuk torak. Permukaan
mukosa lumen kandung kemih ini mensekresi suatu lapisan
Glycosaminoglycans, yang merupakan suatu protein yang melindungi
dinding kandung kemih dari infiltrasi bakteri atau zat-zat yang bersifat
karsinogenik (Turek,1993).
Pada daerah trigonum, yang terletak dibagian posterior kandung
kemih, antara muara ureter dan bladder outlet, lapisan mukosa dan sub-
mukosanya lebih tipis. Sedangkan ureter yang memasuki kandung kemih
dikelilingi oleh 1-2 cm otot detrusor yang berbentuk incomplete collar yang
disebut Waldeyer’s sheath (Brown,1982; Turek,1993).
Dibawah lapisan mukosa terdapat lapisan tunika propia yang longgar,
disini sering dijumpai serbukan limfosit. Dibawah lapisan tunika propria
adalah lapisan tunika muskularis yang terdiri atas otot-otot polos yang
tersebar merata, dimana pada muara ureter dan uretra otot ini lebih padat
dan membentuk spingter. Lapisan paling luar adalah lapisan serosa, yang
berupa selaput tipis dan hanya terdapat pada bagian kandung kemih yang
berhubungan dengan peritoneum.

©2003 Digitized by USU digital library 3


Gbr 1-2 : Kandung kemih Laki-laki dengan jaringan sekitar
(Brown,1982)

B. PERDARAHAN
Kandung kemih sangat kaya aliran darah yang terdiri dari tiga pedikel
pada masing-masing sisi, yaitu : arteri vesikalis superior, medialis dan
inferior yang merupakan cabang dari arteri hipogastrika. Kandung kemih
juga dialiri oleh cabang-cabang kecil arteri obturator dan arteri gluteal
inferior, pada wanita juga oleh arteri uterine dan arteri vaginalis.
Aliran vena kandung kemih juga kaya akan pleksus vena, yang
dialirkan kedalam vena hipogastrika. Sedangkan aliran lymphnya dialirkan
kedalam lymph nodes vesika, iliaka eksterna, iliaka interna dan iliaka
komunis (Tanango,1995).

Gbr 1-3 : perdarahan kandung kemih (Blandy,1983; Netter,1995))

©2003 Digitized by USU digital library 4


C. PERSYARAFAN
Kandung kemih disarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari
thorakal 11 - lumbal 2, dan serabut para simpatis yang berasal dari sakral
2-4. Serabut simpatis eferen mensarafi otot polos bladder neck dan spingter
eksterna, dimana stimulasinya menyebabkan bladder outlet menutup
sewaktu terjadi ejakulasi. Sedangkan serabut simpatis aferen yang berasal
dari fundus kandung kemih adalah untuk membawa rangsang nyeri. Serabut
para simpatis eferen adalah saraf kandung kemih yang paling penting,
bertanggung jawab terhadap kontraksi otot-otot detrusor kandung kemih,
saraf ini sering mengalami cedera pada penderita trauma tulang belakang
yang menyebabkan retensi urine. Serabut para simpatis aferen membawa
rangsang distensi (Bahnson,1992; Turek,1993).
Muskulus spingter levetor ani eksternus disarafi oleh serabut
pudendal yang bersifat volunter (somatic motor), yang juga berasal dari
segmen sakral 2-3. Jika saraf ini dirangsang akan menghambat proses
berkemih oleh karena spingter eksterna berkontraksi. Dari dua jenis
reseptor adrenergik, beta reseptor terutama dijumpai pada fundus kandung
kemih, sedangkan alfa reseptor pada bladder neck dan uretra proksimal.

©2003 Digitized by USU digital library 5


Gbr 1-4 : Persyarafan dan otot kemih (Brown,1982)

2.1.4. KELENJAR PROSTAT


A. ANATOMI
Prostat adalah suatu organ kelenjar yang fibromuskular, yang
terletak persis dibawah kandung kemih. Berat prostat pada orang dewasa
normal kira-kira 20 gram, didalamnya terdapat uretra posterior dengan
panjangnya 2,5 – 3 cm. Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum
pubo-prostatika yang melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian

©2003 Digitized by USU digital library 6


posterior prostat terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia
denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua
lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan
invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada
bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang
berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar uretra
prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan
superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna
sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang
dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot
levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah
oleh karena ototnya lebih sedikit dan fasia lebih sedikit ( Weineth,1992).
Menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc
Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional,
segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50
lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah,
secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral
verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selapis epitel torak dan
bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Nasar,1985; Tanango,1995).

Gbr 1-5: kelenjar prostat dan uretra (Brown,1982)

B. PEMBULUH DARAH, LIMFE DAN SARAF


Arteri prostat berasal dari arteri vesika inferior, arteri pudendalis
interna arteri hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada
bagian infero-lateral persis dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau
didiatermi pada waktu operasi prostatektomi.
Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika
yang berhubungan dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena
iliaka interna yang juga berhubungan dengan pleksus vena presakral. Oleh
karena struktur inilah sering dijumpai metastase karsinoma prostat secara
hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis.

©2003 Digitized by USU digital library 7


Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung kemih
bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis.
Aliran lymph dari prostat dialirkan kedalam lymph node iliaka interna
(hipogastrika), sacral, vesikal dan iliaka aksterna (Tanango,1995).

C. FISIOLOGI
Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama
ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi
pasti cairan ini belum diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa
sperma.
Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin,
dapat dianggap imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita.
Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti, tetapi pada
pengebirian kelenjar prostat jelas akan mengecil. Jadi prostat dipengaruhi
oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive terhadap androgen
adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah
bagian tengah. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang
mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang berkurang
sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut
(Blandy,1983; Ganong, 1983; Burkit 1988).

2.2. FISIOLOGI BERKEMIH

2.2.1. Pengisian Kandung Kemih.


Dinding ureter terdiri dari otot polos yang tersusun dalam serabut-
serabut spiral, longitudinal dan sirkuler, tetapi batas yang jelas dari lapisan
otot ini tidak terlihat. Kontraksi peristalitik yang reguler terjadi 1-5 kali
permenit yang menggerakkan urine dari pelvis ginjal ke kandung kemih,
dimana urine masuk dengan cepat dan sinkron sesuai dengan gerakan
gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding kandung
kemih dan walaupun disini tidak terdapat alat seperti spingter uretra,
jalannya yang miring cenderung membiarkan ureter tertutup, kecuali
sewaktu gelombang peristaltik guna mencegah refluk urine dari kandung
kemih (Ganong,1983).
Sewaktu pengisisan normal kandung kemih, akan terjadi hal-hal
sebagai berikut:
• Sensasi kandung kemih harus intak
• Kandung kemih harus tetap dapat berkontraksi dalam keadaan
tekanan rendah walaupun volume urine bertambah.
• Bladder outlet harus tetap tertutup selama waktu pengisian ataupun
saat terjadi peninggian tekanan intra abdomen yang tiba-tiba.
• Kandung kemih harus dalam keadaan tidak berkontraksi involunter,

2.2.2. Pengosongan Kandung Kemih.


Kandung kemih hanya mempunyai dua fungsi yaitu untuk
mengumpulkan (pengisian) dan mengeluarkan (pengosongan) urin menurut
kehendak. Aktifitsas sistem saraf untuk kedua sistem ini adalah berbeda.
Proses berkemih adalah suatu proses yang sangat komplet dan masih
banyak membingungkan. Berkemih dasarnya adalah suatu reflek spinal yang
dirangsang dan dihambat oleh pusat-pusat di otak, seperti halnya
perangsangan defekasi, dan penghambatan ini volunter. Urine yang masuk
kedalam kandung kemih tidak menimbulkan kenaikan tekanan intra vesikal
yang berarti, sampai kandung kemih benar-benar terisi penuh. Seperti otot

©2003 Digitized by USU digital library 8


polos lainnya otot-otot kandung kemih juga mempunyai sifat elastis bila
diregangkan. Pengosongan kandung kemih melibatkan banyak faktor, tetapi
faktor tekanan intra vesikal yang dihasilkan oleh sensasi rasa penuh adalah
merupakan pertama untuk berkontraksinya kandung kemih secara volunter.
Selama berkemih otot-otot perineal dan muskulus spingter uretra eksternus
mengalami relaksasi, sedangkan muskulus detrusor mengalami kontraksi
yang menyebabkan urin keluar melalui uretra. Pita-pita otot polos yang
terdapat pada sisi uretra tampaknya tidak mempunyai peranan sewaktu
berkemih, dimana fungsi utamanya diduga untuk mencegah refluk semen
kedalam kandung kemih sewaktu ejakulasi (Ganong,1983).
Mekanisme pengeluaran urine secara volunter, mulainya tidak jelas.
Salah satu peristiwa yang mengawalinya adalah relaksasi otot diafragma
pelvis yang menyebabkan tarikan otot-otot detrusor kebawah untuk
memulai kontraksinya. Otot-otot perineal dan spingter eksterna
berkontraksi secara volunter yang mencegah urine masuk kedalam uretra
atau menghentikan aliran saat berkemih telah dimulai. Hal ini diduga
merupakan kemampuan untuk mempertahankan spingter eksterna dalam
keadaan berkontraksi, dimana pada orang dewasa dapat menahan kencing
sampai ada kesempatan untuk berkemih. Setelah berkemih uretra wanita
kosong akibat gravitasi, sedangkan urine yang masih ada dalam uretra laki-
laki dikeluarkan oleh beberapa kontraksi muskulus bulbo kavernosus
(Tanagho,1995;Turek,1993).
Pada orang dewasa volume urine normal dalam kandung kemih yang
mengawali reflek kontraksi adalah 300-400 ml. Didalam otak terdapat
daerah perangsangan untuk berkemih di pons dan daerah penghambatan di
mesensefalon. Kandung kemih dapat dibuat berkontraksi walau hanya
mengandung beberapa milliliter urine oleh perangsangan volunter reflek
pengosongan spiral. Kontraksi volunter otot-otot dinding perut juga
membantu pengeluaran urine dengan menaikkan tekanan intra abdomen.
Pada saat kandung kemih berisi 300-400 cc terasa sensasi kencing dan
apabila dikehendaki atas kendali pusat terjadilah proses berkemih yaitu
relaksasi spingter (internus dan eksternus) bersamaan itu terjadi kontraksi
otot detrusor buli-buli. Tekanan uretra posterior turun (spingter) mendekati
0 cmH2O sementara itu tekanan didalam kandung kemih naik sampai 40
cmH2O sehingga urin dipancarkan keluar melalui uretra (Rochani, 2000).

2.2.3. Retensi Urin.


Penyebab retensio urine dapat dibagi menjadi 3 kelompok
(Rochani,2000) :
1. Supra Vesika
Penyebab supra vesikal adalah hal-hal yang disebabkan karena
persarafan kandung kemih misalnya trauma medula spinalis, atau
kerusakan syaraf-syaraf sympatis dan para sympatis akibat trauma
operasi atau neuropati DM. Obat-obatan anticholinergike, smooth
muscle relaksasi. Symphatikomimetik dapat menyebabkan retensi
urine.
2. Vesika.
Penyebab vesikal adalah kelainan-kelainan kandung kemih yang
diakibatkan obstruksi lama atau infeksi kronis yang menyebabkan
fibrosis buli-buli sehingga kontraksi buli-buli melemah.
3. Infra Vesikal
Penyebab infra vesikal adalah penyebab mekanik seperti :
A. Klep uretra posterior kongenital

©2003 Digitized by USU digital library 9


B. Meatus stenosis kongenital
C. Striktur uretra
D. Batu uretra
E. Prostat hipertropi

2.3 PEMBESARAN PROSTAT JINAK


BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

2.3.1. Insiden.
Pembesaran prostat jinak (BPH) merupakan penyakit pada laki-laki
usia diatas 50 tahun yang sering dijumpai. Karena letak anatominya yang
mengelilingi uretra, pembesaran dari prostat akan menekan lumen uretra
yang menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih. Signifikan
meningkat dengan meningkatnya usia. Pada pria berusia 50 tahun angka
kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50%
dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
maka efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan (Sjamsuhidajat, 1996).
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran
kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun
dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai
65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah
berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk
Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria,
dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga
diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita BPH.
Dengan semakin membaiknya pembangunan dinegara kita yang akan
memberikan dampak kenaikan umur harapan hidup, maka BPH akan
semakin bertambah. Oleh karena itu BPH harus dapat dideteksi oleh para
dokter, dengan mengenali manifestasi klinik dari BPH dan dapat dikelola
secara rasional sehingga akan memberikan morbiditas dan mortalitas yang
rendah dengan biaya yang optimal (Rahardjo,1997).

2.3.2. Patofisiologi.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi
disebabkan karena hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya
frekwensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi
terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal
berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih,
sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan
tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinik.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung
kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacatan total, sehingga penderita
tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada suatu
saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intra
vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari

©2003 Digitized by USU digital library 10


pada tekanan spingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks.
Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi
Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemorroid. Karena selalu terdapat sisa
urin dapat terbentuk batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat
pula menyebabkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis
(Sjamsuhidajat ,1997).

2.3.3. Etiologi
Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penilitian sampai
tingkat biologi molekuler belum dapat mengugkapkan dengan jelas etiologi
terjadinya BPH. Dianggap adanya ketidak seimbangan hormonal oleh karena
proses ketuaan. Salah satu teori ialah teori Testosteron (T) yaitu T bebas
yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 a reduktase
yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh
reseptor DHT didalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung
dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan
inskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesis protein. Teori yang
disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH dengan inhibitor 5a reduktase
(Rahardjo,1997).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH
adalah :
• Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemacu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
• Meningkatkan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel
yang mati.
• Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel
kelenjar prostat menjadi berlebihan (Purnomo,2000;Rahardjo,
1997).

Gbr. 3-1.a: A. Prostat normal ; 1.uretra 2.kelenjar periuretra 3.kelenjar


prostat,
B. Hiperplasi prostat ; 1.uretra yg terjepit 2.periuretra yang
hiperplasi
3.kelenjar asli prostat yang tertekan menjadi seperti simpai
(simpai prostat)

©2003 Digitized by USU digital library 11


Gbr 3.1.b: Serabut otot yang tertekan membentuk surgical capsule.

2.3.4. Gejala Klinik


Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi kalau
neoplasma telah menekan lumen urethra prostatika, urethra menjadi panjang
(elongasil), sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran
noduler ini tidaklah berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan
yang lain dengan kelenjar prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya
sedikit, karena dapat ditoleransi dengan baik.
Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS
(Internasional Prostate Symptom Score) diklasifikasi dengan skore 0-7 penderita
ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat (Rahardjo,1997).
Ada juga yang membagi berdasarkan derajat penderita hiperplasi
prostat berdasarkan gambaran klinis: (Sjamsuhidajat,1997)

- Derajat I : Colok dubur ; penonjolan prostat, batas atas mudah


diraba,
dan sisa volume urin <50 ml
- Derajat II : Colok dubur: penonjolan prostat jelas,
batas atas dapat dicapai, sisa volume urin 50-100 ml
- Derajat III: Colok dubur; batas atas prostat tidak dapat diraba,
sisa volume urin>100 ml
- Derajat IV : Terjadi retensi urin total.

Pada penderita BPH dengan retensi urin pemasangan kateter


merupakan suatu pertolongan awal, selain menghilangkan rasa nyeri juga
mencegah akibat-akibat yang dapat ditimbulkan karena adanya bendungan
air kemih ( Sarim,1987).
Gejala klinik yang timbul disebabkan oleh karena dua hal:
1. Obstuksi.
2. Iritasi.
Gejala-gejala klinik ini dapat berupa (Brown, 1982; Blandy, 1983 ;
Burkit, 1990; Forrest,1990; Weinerth,1992 :
• Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan
kekuatan pancaran dan kaliber aliran urine, oleh karena lumen
urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra mengecil dan tahanan
di dalam urethra meningkat, sehingga kandung kemih harus

©2003 Digitized by USU digital library 12


memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan
urine.
• Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan
periode laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan
intra-vesika yang cukup tinggi.
• Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung
kemih, jika kandung kemih tidak dapat mempertahankan tekanan
yang tinggi selama berkemih, aliran urine dapat berhenti dan
dribbling (urine menetes setelah berkemih) bisa terjadi. Untuk
meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya melakukan valvasa
menauver sewaktu berkemih.
• Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal
mengosongkan urine secara sempurna, sejumlah urine tertahan
dalam kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih
(frequency) dan sering berkemih malam hari (nocturia).
• Infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala,
karena akan menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan
oedem.
• Residual urine juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu
kandung kemih.
• Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat
menyebabkan pembuluh darahnya menjadi rapuh.
• Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih juga
dapat menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan saluran kemih
bagian atas yang akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis.
• Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal
failure) dan gejala-gejala uremia berupa mual, muntah, somnolen
atau disorientasi, mudah lelah dan penurunan berat badan.

2.3.5. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan phisik diagnostik yang paling penting untuk BPH adalah
colok dubur (digital rectal examination). Pada pemeriksaan ini akan
dijumpai pembesaran prostat teraba simetris dengan konsistensi kenyal,
sulkus medialis yang pada keadaan normal teraba di garis tengah,
mengalami obliterasi karena pembesaran kelenjar. Oleh karena pembesaran
kelenjar secara longitudinal, dasar kandung kemih (kutub/pole atas prostat)
terangkat ke atas sehingga tidak dapat diraba oleh jari sewaktu colok dubur.

Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi


keras, harus dicurigai suatu karsinoma. Franks pada tahun 1954
mengatakan: BPH terjadi pada bagian dalam kelenjar yang mengelilingi
urethra prostatika sedangkan karsinoma terjadi di bagian luar pada lobus
posterior (Jonhson,1988; Burkit,1990).
Kelenjar prostat Normal

©2003 Digitized by USU digital library 13


Kelenjar prostat Hiperplasia,
ada pendorongan prostat kearah rektum

Kelenjar prostat Karsinoma,


teraba nodul keras

Gbr. 3-2A : Digital Rectal Examination , Kelenjar Prostat Normal,


Hiperplasia, Karsinoma.

Gbr. 3-2B : Potongan horizontal kelenjar prostat normal, Hipertrofi,


Karsinoma.

©2003 Digitized by USU digital library 14


2.3.6. Pemeriksaan Pencitraan.
Ultrasonografi dapat dilakukan secara trans-abdominal atau trans-
rektal (TRUS). Cara ini dianggap sebagai pemeriksaan yang baik oleh
karena ketepatannya dalam mendeteksi pembesaran prostat, tidak ada
bahaya radiasi dan juga relatif murah. Selain untuk mengetahui pembesaran
prostat pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menentukan volume buli-buli,
mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan
batu. Dengan USG trans-rektal dapat diukur besar prostat untuk
menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula
dilakukan dengan USG supra pubik. Payaran CT atau MRI jarang dilakukan.
Dengan pemeriksaan radiologi seperti foto polos perut dan pielografi
intra vena dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya
batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih. Kalau
dibuat foto setelah miksi dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat
dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara
tidak langsung pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-
buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter
membelok keatas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk
sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter
menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd (Rahardjo,1997;
Sjamsuhidajat,1997).

2.4. KATETER (Pernomo,2000).


2.4.1. JENIS KATETER.
Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat pemakaian,
sistem pengunci dan jumlah percabangannya

2.4.1.1. Ukuran Kateter.


Ukuran kateter dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran
ini merupakan ukuran diameter luar kateter. 1 Cheriere (Ch) atau 1 French
(Fr) = 0,33 mm atau 1 mm = 3 Fr. Jadi kateter yang berukuran 18 Fr
artinya diameter luar kateter itu adalah 6mm. Kateter yang mempunyai
ukuran sama belum tentu mempunyai diameter lumen yang sama karena
perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter itu.

Gbr. 4.1 : Ukuran Kateter, Charriere (Ch);diameter merupakan 1/3 ukuran


Ch. (gambar dicetak dengan ukuran asli tepat)

2.4.1.2. Bahan Kateter .


Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless) dan karet (lateks),
latek dengan lapisan silikon (siliconized) dan silikon. Perbedaan bahan

©2003 Digitized by USU digital library 15


kateter menentukan biokompatibilitas kateter di dalam buli-buli, sehingga
akan mempengaruhi pula daya tahan kateter yang terpasang di buli-buli.

2.4.1.3. Bentuk, Sifat dan Sistem Kateter.


Straight catheter merupakan kateter yang terbuat dari karet (lateks),
bentuknya lurus dan tanpa ada percabangan. Contoh kateter jenis ini adalah
kateter Robinson dan kateter Nelaton (Gbr 4-2).

Gbr. 4-2 : Kateter tanpa percabangan, A. Kateter Nelaton, B. Kateter


dengan ujung lengkung

Coude catheter yaitu kateter dengan ujung lengkung dan ramping.


Kateter ini dipakai jika usaha kateterisasi dengan memakai kateter berujung
lurus mengalami hambatan yaitu pada saat kateter masuk ke uretra pars
bulbosa yang berbentuk huruf “S”, adanya hiperplasi prostat yang sangat
besar, atau hambatan akibat sklerosis leher buli-buli. Dengan bentuk ujung
yang lengkung dan ramping kateter ini dapat menerobos masuk kedalam
hambatan tadi. Contoh kateter ini adalah kateter Tiemann (Gbr. 4-2).
Self retaining catheter : yaitu kateter yang dapat dipakai menetap
dan ditinggalkan di dalam saluran kemih dalam jangka waktu tertentu. Hal
ini dimungkinkan karena ujungnya melebar jika ditinggalkan di dalam buli-
buli. Kateter jenis ini antara lain adalah kateter Malecot, kateter Pezzer,
dan kateter Foley (Gbr 4-3).
Kateter Foley adalah kateter yang dapat ditinggalkan menetap untuk
jangka waktu tertentu karena di dekat, ujungnya terdapat pelebaran berupa
balon yang diisi dengan air sehingga mencegah kateter terlepas keluar dari
buli-buli.

2.4.1.4. Jumlah Cabang Kateter.


Sesuai dengan percabangannya kateter ini dibedakan dalam 3 jenis,
yaitu :
• Tidak bercabang, untuk pemakaian sebentar (nelaton kateter).
Kateter cabang 2 (two way catheter) : selain lumen untuk
mengeluarkan urine juga terdapat lumen untuk memasukkan air guna
mengisi balon.
Kateter cabang 3 (three way catheter) terdapat satu lumen lagi yang
berfungsi untuk mengalirkan air pembilas (irigan) yang dimasukkan
melalui selang infus. Kateter ini biasanya dipakai setelah operasi
prostat untuk mencegah timbulnya bekuan darah.
Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli
melalui urtetra. Istilah kateterisasi sudah dikenal sejak zaman hipokratas
yang pada waktu itu menyebutkan tentang tindakan instrumentasi untuk
mengeluarkan cairan dari tubuh. Bernard memperkenalkan kateter yang
terbuat dari karet pada tahun 1779, sedangkan Foley membuat kateter

©2003 Digitized by USU digital library 16


menetap pada tahun 1930. kateter Foley ini sampai saat ini masih dipakai
secara luas di dunia sebagai alat untuk mengeluarkan urin dari buli-buli.

Gbr. 4-3.a : Foley kateter yang sering dipakai pada pemakaian Kateter
Menetap

Gbr. 4-3 : Kateter self retaining yang dapat ditinggalkan di dalam


bulu-buli, A. Kateter Foley, B. Kateter Pezzer, C.
Kateter Malecot dua sayap, dan D. Kateter Malecot empat sayap.

2.4.2. TUJUAN KATETERISASI.


Tindakan kateterisasi ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis
maupun tujuan terapi. Kateterisasi yang dipasang untuk tujuan diagnostik
secepatnya dilepas setelah tujuan selesai, sedangkan pada yang ditujukan
untuk terapi tetap dipertahankan hingga tujuan ini terpenuhi.

Tindakan diagnosis antara lain adalah :


1. Kateterisasi pada dewasa untuk memperoleh contoh urin guna
pemeriksaan kultur urin. Tindakan ini diharapkan dapat mengurangi
resiko terjadinya kontaminasi sampel urin oleh bakteri komensal yang

©2003 Digitized by USU digital library 17


terdapat disekitar kulit vulva atau vagina pada wanita, preputium
pada pria.
2. Mengukur residu urin (sisa) yang dikerjakan sesaat setelah pasien
miksi.
3. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi antara lain :
sistografi atau pemeriksaan adanya refluk vesiko-ureter melalui
pemeriksaan voiding cysto-urethrography (VCUG).
4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
5. Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar dan
sebagai gambaran perfusi jaringan.

Tindakan kateterisasi untuk tujuan terapi antara lain:


1. Draenase dari buli-buli pada keadaan obstruksi infra-vesika baik yang
disebabkan oleh hiperplasi prostat maupun oleh benda asing
(bekuan darah) yang menyumbat uretra.
2. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli (neurogenik bladder,
inkontinensia).
3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah,
yaitu pada prostatektomi, vesikolitotomi.
4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan
stabilisasi uretra.
5. Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala (KBMB).
6. Memasukkan obatan intravesika, antara lain sitostatika atau
antiseptik untuk buli-buli.

2.4.3. KATETERISASI

2.4.3.1. Persiapan Kateterisasi.


Tindakan katerisasi merupakan tindakan invasif dan dapat
menimbulkan rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara yang keliru
akan menimbulkan kerusakan saluran uretra yang permanen. Oleh karena
itu sebelum menjalani tindakan ini pasien harus diberi penjelasan dan
menyatakan persetujuannya melalui surat persetujuan tindakan medik
(informed Consent).
Setiap pemasangan kateter harus diperhatikan prinsip-prinsip yang
tidak boleh ditinggalkan, yaitu :
Pesangan kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan
disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan ritasi
pada kulit genitalia dan jika perlu diberi profilaksis antibiotika
sebelumnya.
Diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien.
Dipakai kateter dengan ukuran terkecil yang masih cukup efektif
untuk melakukan drainase urine yaitu untuk orang dewasa ukuran
16F – 18F. Dalam hal ini tidak diperkenankan mempergunakan
kateter logam pada tindakan kateterisasi pada pria karena akan
menimbulkan kerusakan uretra.
Jika dibutuhkan pemakaian kateter menetap, diusahakan memakai
sistem tertutup yaitu dengan dengan menghubungkan kateter pada
saluran penampung urine (urinbag).
Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan
tindakan definitip terhadap penyebab retensi urine. Perlu diingat
bahwa makin lama kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi
penyulit berupa infeksi atau cedera uretra.

©2003 Digitized by USU digital library 18


Gbr 4-4 : Kateter Foley dengan 2 cabang dan 3 cabang, perhatikan
jumlah lubang pada dinding kateter

2.4.3.2. Teknik Kateterisasi

A. Kateter Uretra.
Pada Wanita
Tidak seperti pada pria, teknik pemasangan kateter pada wanita
jarang menjumpai kesulitan karena uretra wanita lebih pendek.
Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara
uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara
uretra oleh tumor uretra/tumor vagina/serviks. Untuk itu mungkin
perlu dilakukan dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.

Pada Pria
Urutan teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
Desinfeksi pada penis dan daerah di sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
Masukkan pelicin/ jelly kedalam uretra 2-3 cc
Kateter dimasukkan kedalam orifisium uretra eksterna.
Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah
bulbo-membranasea (yaitu daerah sfingter uretra eksterna) akan
terasa tahanan; dalam hal ini pasien diperintahkan untuk
mengambil nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi
lebih relaks. Kateter terus didorong hingga masuk ke buli-buli
yang ditandai dengan keluarnya urine dari lubang kateter.
Sebaliknya kateter terus didorong masuk ke buli-buli lagi hingga
percabangan kateter menyentuh meatus uretra eksterna.
Balon kateter dikembangkan dengan 5 – 10 ml air steril.
Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa
penampung (urinbag).
Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha
bagian proksimal. Fiksasi kateter yang tidak betul, (yaitu yang

©2003 Digitized by USU digital library 19


mengarah ke kaudal) akan menyebabkan terjadinya penekanan
pada uretra bagian penoskrotal sehingga terjadi nekrosis.
Selanjutnya di tempat ini akan timbul striktura uretra atau fistel
uretra

Kesulitan dalam memasukkan Kateter


Kesulitan memasukkan kateter pada pasien pria dapat disebabkan
oleh karena kateter tertahan di uretra pars bulbosa yang bentuknya seperti
huruf “S”, ketegangan dari sfingter uretra eksterna karena pasien merasa
kesakitan dan ketakutan, atau terdapat sumbatan organik di uretra yang
disebabkan oleh batu uretra, striktur uretra, kontraktur leher buli-buli, atau
tumor uretra.

Ketegangan sfingter uretra eksterna dapat diatasi dengan cara :


Menekan tempat itu selama beberapa menit dengan ujung kateter
sampai terjadi relaksasi sfingter dan diharapkan kateter dapat masuk
dengan lancar ke buli-buli.
Pemberian anestesi topikal berupa campuran lidokain hidroklorida 2%
dengan jelly 10 – 20 ml yang dimasukkan per-uretram, sebelum
dilakukan kateterisasi.
Pemberian sedativa perenteral sebelum kateterisasi.

Pemakaian kateter menetap akan mengundang timbulnya beberapa


penyulit jika pasien tidak merawatnya dengan benar. Karena itu beberapa
hal yang perlu dijelaskan pada pasien adalah :
Pasien harus banyak minum untuk menghindari terjadinya enkrustasi
pada kateter dan tertimbunnya debris/kotoran dalam buli-buli.
Selalu membersihkan nanah, darah dan getah/sekret kelenjar
periuretra yang menempel pada meatus uretra/kateter dengan kapas
basah.
Jangan mengangkat/ meletakkan kantong penampung urine lebih
tinggi dari pada buli-buli karena dapat terjadi aliran balik urine ke
buli-buli.
Jangan sering membuka saluran penampung yang dihubungkan
dengan kateter karena akan mempermudah masuknya kuman.
Mengganti kateter setiap 2 minggu sekali dengan yang baru.

Penyulit yang bisa terjadi pada tindakan kateterisasi


Kateterisasi yang kurang hati-hati (kurang kesabaran) dapat
menimbulkan lesi dan pendarahan pada uretra apalagi jika
mempergunakan kateter logam. Tidak jarang pula kerusakan uretra
terjadi karena balon kateter sudah dikembangkan sebelum ujung
kateter masuk ke dalam buli-buli.
Tindakan kateterisasi dapat mengundang timbulnya infeksi.
Fiksasi kateter yang keliru akan menimbulkan nekrosis uretra di
bagian penoskrotal dan dapat menimbulkan fistula, abses, ataupun
striktura uretra.
Kateter yang terpasang dapat bertindak sebagai inti dari timbulnya
batu saluran kemih.
Pemakian kateter dalam jangka waktu lama akan menginduksi
timbulnya keganasan pada buli-buli.

©2003 Digitized by USU digital library 20


B. Kateterisasi Suprapubik (Sistostomi)
Kateterisasi suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat
lubang pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan untuk
mengeluarkan urine.
Kateterisasi ini biasanya dikerjakan pada :
Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra misalkan
pada reptur uretra atau dugaan adanya reptur uretra dengan retensi
urine.
Jika ditakutkan akan terjadi kerusakan uretra pada pemakaian
kateter uretra yang terlalu lama.
Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat
TUR Prostat.
Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara operasi
terbuka atau dengan perkuatan (trokar) sistostomi.

B.1. Sistostomi Tertutup (DenganTrokar)


Sistostomi trokar tidak boleh dikerjakan pada : tumor buli-buli,
hematuri yang belum jelas sebabnya, riwayat pernah menjalani operasi
daerah abdomen/ pelvis, buli-buli yang ukurannya kecil (contracted
bladder), atau pasien yang mempergunakan alat prostesis pada abdomen
sebelah bawah. Tindakan ini dikerjakan dengan anestesi lokal dan
mempergunakan alat trokar.

Gbr. 4-5: Alat sistostomi trokar, A. dari Campbell yang terdiri


atas 3 alat (a. slot kateter setengah lingkaran, b. sheat,
dan c.obturator dengan ujung tajam), dan jika
digabungkan
menjadi d, B. Alat trokar konvensional.

©2003 Digitized by USU digital library 21


Alat-alat dan bahan yang digunakan
Kain kasa steril, alat dan obat untuk disinfeksi (yodium povidon).
Kain steril untuk mempersempit lapangan operasi.
Semprit beserta jarum suntik untuk pembiusan lokal dan jarum yang
telah diisi dengan aquadest steril untuk fiksasi balon kateter.
Obat anestesi lokal.
Alat pembedahan minor antara lain pisau, jarum jahit kulit, benang
sutra (zeyde), dan pemegang jarum.
Alat trokar dari Campbel atau trokar konvensional (Gbr. 4-5).
Kateter Foley (yang ukurannya tergantung pada alat trokar yang
digunakan). Jika mempergunakan alat trokar konvensional harus
disediakan kateter Naso-gastrik (NG tube) no 12.
Kantong penampung urine (urobag).

Teknik Pelaksanaan.
Sebelum menjalani tindakan, pasien dan keluarganya harus sudah
mendapatkan penjelasan tentang semua aspek mengenai tindakan yang
akan dijalaninya, dan kemudian menulis dalam surat persetujuan untuk
dilakukan tindakan medik (informed consent).

Langkah-langkah sistostomi trokar.


1. Disinfeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan lidokain 2% mulai dari kulit,
subkutis hingga ke fasia.
4. Insisi kulit suprapubik di garis tengan pada tempat yang paling
cembung ± 1 cm, kemudian diperdalam sampai ke fasia.
5. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit 10
cc untuk memastikan tempat kedudukan buli-buli.
6. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya
tahanan dari fasia dan otot-otot detrusor (Gbr. 4-6).
7. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam buli-buli
akan keluar urine memancar melalui sheath trokar.
8. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator
(penusuk) dan sheath dikeluarkan dari buli-buli sedangkan bagian
slot kateter setengah lingkaran tetap ditinggalkan (Gbr. 4-7).
9. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah
lingkaran, kemudian balon dikembangkan dengan memakai aquadest
10 cc. Setelah diyakinkan balon berada di buli-buli, slot kateter
setengah lingkaran dikeluarkan dari buli-buli dan kateter
dihubungkan dengan kantong penampung (urobag). (Gbr. 4-8).
10. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka operasi
ditutup dengan kain kasa steril. (Gbr. 4-9).

Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell dapat pula dipakai alat
trokar konvensional, hanya saja pada langkah ke 8, karena alat ini tidak
dilengkapi dengan slot kateter setengah lingkaran maka kateter yang
dipakai adalah kateter lambung (NG tube) nomer 12 F. Kateter ini setelah
dimasukkan kedalam buli-buli pangkalnya harus dipotong untuk
mengeluarkan alat trokar dari bulu-buli.

©2003 Digitized by USU digital library 22


Di klinik-klinik yang menyediakan alat sistofiks (cystocath) alat trokar
sebagai penusuknya sudah menempel dengan kantong penampung. Alat ini
hanya dipakai sekali (disposible).

Penyulit:
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan maupun
setelah pemasangan kateter sistostomi adalah :
Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.
Mencederai rongga/organ peritoneum.
Menimbulkan perdarahan.
Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang baik
akan menimbulkan infeksi, enkrustasi kateter, timbul batu saluran
kemih, degenerasi maligna mukosa buli-buli, dan terjadi refluks
vesiko-ureter.

Menusukkan alat trokar


Ke dalam buli-buli

Gbr. 4-6 : Menusukkan trokar ke dalam buli-buli.

Setelah yakin trokar masuk


Di buli-buli, obturator dilepas
dan hanya slot kateter setengah
lingkaran dilepaskan

Gbr. 4-7 : Trokar masuk di buli-buli.

©2003 Digitized by USU digital library 23


Kateter dimasukkan melalui
Tuntunan slot kateter setengah
lingkaran, kemudian balon kateter
dikembangkan dan slot kateter
setengah lingkaran dicabut

Gbr. 4-8 : Memasukkan kateter melalui tuntunan slot kateter


setengah lingkaran

Kateter difiksasi
pada kulit

Gbr. 4-9 : Kateter difiksasikan pada kulit.

B.2. Sistostomi Terbuka


Sistostomi terbuka dikerjakan jika terdapat kontraindikasi pada
tindakan sistostomi trokar atau tidak tersedia alat trokar.
Dianjurkan melakukan sistostomi terbuka jika terdapat jaringan
sikatriks/ bekas operasi di suprasimfisis, sehabis mengalami trauma di
daerah panggul yang mencederai uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan
darah pada buli-buli yang tidak mungkin dilakukan tindakan peruretra.
Tindakan ini dikerjakan dengan memakai anestesi lokal atau anestesi
umum.

©2003 Digitized by USU digital library 24


Teknik
1. Disifeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.
4. Insisi vertikal pada garis tengah ± 3,5 cm di antara pertengahan
simfisis dan umbilikus.
5. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea alba
yang merupakan pertemuan fasia yang membungkus muskulus rektus
kiri dan kanan. Meskulus rektus kiri dan kanan dipisahkan sehingga
terlihat jaringan lemak, buli-buli dan peritoneum. Buli-buli dapat
dikenali karena warnanya putih banyak terdapat pembuluh darah.
6. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk
memudahkan memegang buli-buli.
7. Dilakukan fisasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.
8. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara dua tempat yang
telah difiksasi.
9. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan pisau
tajam hingga keluar urine, yang kemudian (kalau perlu) diperlebar
dengan klem. Urine yang keluar dihisap dengan mesin penghisap.
10. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya : tumor, batu,
adanya perdarahan, muara ureter atau penyempitan leher buli-buli.
11. Pasang kateter Foley ukuran 20 F – 24 F pada lokasi yang berbeda
dengan luka operasi.
12. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan seromuskularis.
13. Ditinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis demi
lapis. Balon kateter dikembangkan dengan aquadest 10 cc dan
difiksasikan ke kulit dengan benang sutra.
Setiap selesai melakukan kateterisasi uretra ataupun pemasangan kateter
suprapubik harus diikuti dengan pemeriksaan colok dubur.

2.5. INFEKSI SALURAN KEMIH.


Infeksi saluran kemih merupakan infeksi sistem tubuh nomor dua
setelah infeksi saluran nafas. Infeksi ini disebabkan oleh berbagai bakteria
piogenik; di luar rumah sakit terutama oleh Escherichia coli, sedangkan
didalam rumah biasanya oleh bakteri dari kelompok pseudomonas, proteus
dan klebsiela.
Infeksi asendens sering ditemukan, terutama pada wanita; 10-20%
wanita kemungkinan menderita bakteriuria selama kehidupannya, dimana
1% dijumpai pada anak perempuan yang masih sekolah, 4% pada wanita
muda, 7% pada wanita diatas lima puluhan tahun. Infeksi saluran kemih
pada wanita 10 kali lebih besar dari pada laki-laki. 90% infeksi saluran
kemih pada anak-anak terjadi pada anak perempuan, hal ini terjadi karena
pendeknya saluran uretra. Simton-simton yang sering ditemukan adalah
frekuensi dan disuria yang disertai perasaan nyeri suprapubik dan pinggang,
demam dan reaksi sistemik. Adanya semua simton-simton ini menunjukkan
persangkaan yang kuat suatu infeksi saluran kemih, akan tetapi diagnosa
pasti adalah dengan terbuktinya bekteriuria yang signifikan pada urin
kultur. Beberapa penyelidik menyatakan bahwa 50% saja dari keseluruhan
penderita yang mengeluh frekuensi disuria, yang menunjukkan adanya
bakteriuria. Pada kelompok usia lebih tua insidens infeksi saluran kemih
meningkat pada pria, karena pada pria infeksi saluran kemih sering terjadi
sehubungan penyakit obstruktif seperti BPH dan secara asendens dengan
instrumentasi (kateterisasi). Infeksi saluran kemih tidak akan naik lebih

©2003 Digitized by USU digital library 25


tinggi dari kandung kemih bila taut vesiko-ureter utuh sehingga tidak
terdapat refluks vesiko-ureter (Sjamsuhidajat,1997; Schaeffer,1988).
Kadang ada hubungan kausal yang erat infeksi saluran kemih dengan
urolitiasis dan obstruksi saluran kemih. Lingkungan statis dan infeksi
memungkinkan terbentuk batu yang juga akan menyebabkan bendungan
dan memudahkan infeksi karena bersifat benda asing. Infeksi biasanya
meluas, misalnya sistitis menyebabkan penyulit berupa prostatitis,
epididimitis, dan bahkan sampai orkitis. Stasis urine, urolitiasis, dan
infeksi saluran kemih merupakan peristiwa yang saling mempengaruhi.
Secara berantai saling memicu, saling memberatkan dan saling mempersulit
penyembuhan (Sinaga,1996; Purnomo,2000).
Infeksi dari sumber infeksi lain ditubuh secara hematogen jarang
ditemukan. Kadang ada hubungan dengan obstruksi dan stasis. Penyebaran
infeksi limfogen mungkin berasal dari kolon, servik, adneksa atau uretra.
Ekstensi langsung perkontinuitatum dapat berasal dari abses appendiks,
abses panggul, atau proses infeksi panggul yang lain.
Umumnya infeksi dicegah oleh penyaliran arus kemih yang tidak
terganggu. Setiap stasis, gangguan urodinamik, atau hambatan arus
merupakan factor pencetus infeksi. Selain faktor lokal tersebut harus
dipertimbangkan faktor pencetus umum yang disertai dengan diabetes
melitus (dengan atau tanpa neuropatia), penurunan immunitas, supresi
sistem imun, atau malnutrisi.
Biasanya dibedakan antara infeksi saluran kemih atas (seperti
pielonefritis, abses ginjal), Infeksi saluran kemih bawah (seperti sistitis,
atau uretritis), dan infeksi genital (seperti prostatitis, epididimitis, dan
orkitis). Bila ada infeksi saluran kemih setiap penderita yang dikateterisasi
harus dilindungi dengan antibiotik. Kateterisasi atau instrumentasi
endoskopik harus memenuhi syarat antiseptik.
Komplikasi infeksi saluran kemih terdiri atas septisemia dan
urolitiasis. Saluran kemih sering merupakan sumber bakteriemia yang
disebabkan oleh penutupan mendadak oleh batu atau instrumentasi pada
infeksi saluran kemih, seperti pada hipertrofi prostat dengan prostatitis.
Bakteriemia dengan bacteria gram negatif mungkin disertai dengan syok
toksik karena toksemia yang sering sukar diatasi. Untuk pencegahannya
mutlak harus mentaati hukum antiseptik kateterisasi.
Prinsip antiseptik pada kateterisasi saluran kemih : (Sjamsuhidajat, 1997)
- Kateter menetap sedapat mungkin tidak dipakai dan hanya dipakai
atas indikasi yang tegas,
- Kateter dipasang dengan memperhatikan syarat dasar aseptik,
- Sebaiknya digunakan sistem penyalir tertutup berkatup searah,
- Penyaliran harus bersifat bebas hambatan dan turun,
- Irigasi yang tidak perlu harus dihindari,
- Penggantian kateter setiap 2-3 minggu,
- Air kemih harus dibiakkan setiap manipulasi pasien,
- Bila ada kolonisasi kemih asimptomatik, diberikan antibiotik sebelum
kateter dicabut

2.5.1. Patogenese Infeksi Saluran Kemih


Infeksi saluran kemih terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent
dengan epitel saluran kemih sebagai host. Gangguan keseimbangan ini
disebabkan oleh karena pertahanan tubuh dari host yang menurun ataupun
karena virulensi agent meningkat (Purnomo,2000).

©2003 Digitized by USU digital library 26


Ada empat macam cara masuknya kuman ke dalam saluran kemih
(Bahnson,1992; Schaeffer,1998; Purnomo,2000).

2.5.1.1. Infeksi Aesenden (Ascending Infection)


Kuman masuk melalui uretra adalah penyebab paling sering dari infeksi
saluran kemih, baik pada pria maupun wanita. Pada keadaan normal bakteri
dalam urine kandung kemih biasanya akan dikeluarkan sewaktu berkemih,
tetapi keadaan ini tidak akan dijumpai bila ada urine stasis. Kuman yang
berasal dari flora normal usus dan hidup secara komensal di dalam introitus
vagina, preputium penis, kulit perineum dan sekitar anus cenderung lebih
sering menyebabkan infeksi saluran kemih asenden.
Pubertas, hubungan seksual sebagaimana ada istilah “honeymoon
cystitis” dan melahirkan juga mempertinggi resiko terjadinya infeksi saluran
kemih pada wanita. Pada pria aktifitas seksual juga mempertinggi terjadi
infeksi saluran kemih.

2.5.1.2. Melalui Aliran Darah (Hematogenous Spred)


Penyebaran melalui aliran darah jarang terjadi, pada kasus-kasus
tuberkulosis, abses ginjal dan abses perinefrik. Sebaliknya bakteri sering
masuk kealiran darah pada penderita infeksi akut, ginjal dan prostat.
Bakteriemia karena komplikasi infeksi saluran kemih ini lebih sering terjadi
pada penderita yang mengalami kelainan struktur dan fungsi saluran kemih.

2.5.1.3. Melalui Aliran Lymph (Lymphatogenous Spread)


Infeksi saluran kemih melalui lymph, walau sangat jarang namun dapat
terjadi. Kemungkinan bakteri patogen masuk melalui aliran lymph rektum
atau koloni menuju prostat atau kandung kemih, dapat juga melalui aliran
lymph peri-uterina pada wanita.

2.5.1.4. Penyebaran Langsung dari Organ Sekitarnya


(Direct Extension From Other Organ)
Abses intra peritoneum khususnya yang disebabkan oleh peradangan
usus halus, radang pelvik yang berat pada wanita, abses para vesikal dan
fistel saluran kemih (khususnya fistel vesikovagina dan vesiko intestinal)
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dengan cara penyebaran
langsung.

2.5.2. Faktor Yang Mempermudah Terjadinya Infeksi Saluran Kemih


Walaupun telah diketahui bahwa bakteri penyebab infeksi saluran
kemih paling sering berasal dari daerah perineum (faecal origin) tetapi
faktor yang menyebabkan bakteri ini dapat menginvasi saluran kemih dan
menimbulkan infeksi masih belum diketahui sepenuhnya. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa infeksi saluran kemih dimulai dengan
melekatnya bakteri pada sel epitel saluran kemih. Sekarang diyakini bahwa
infeksi saluran kemih adalah suatu proses dinamika yang menyertai
perubahan pada sel bakteri dan pada sel penderita (Purnomo,2000).

2.5.2.1. Faktor dari Host.


Kemampuan host untuk menahan mikroorganisme masuk kedalam
saluran kemih disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah :
1. Pertahanan lokal dari host.
2. Peranan dari sistem kekebalan tubuh yang terdiri atas imunitas
humoral maupun imunitas selular.

©2003 Digitized by USU digital library 27


Beberapa Faktor Pertahanan Lokal dari Tubuh terhadap suatu
Infeksi, adalah:
• Mekanisme pengosongan urine yang teratur dari buli-buli dan gerakan
peristaltik uretra (wash out mechanism).
• Derajat keasaman (pH) urine yang rendah
• Adanya ureum di dalam urine
• Osmolalitas urine yang cukup tinggi
• Estrogen pada wanita pada usia produktif
• Panjang uretra pada pria
• Adanya zat anti bakteria pada kelenjar prostat atau PAF (Prostatic Anti
bacterial Factor) yang terdiri atas unsur Zn
• Uromukoid (protein Tamm-Horsfall) yang menghambat penempelan
bakteri pada urotelium.
Mikroorganisme mudah mencapai saluran kemih karena terdapat
beberapa faktor yang memberi peluang mikroorganisme memasuki saluran
kemih, antara lain :
Faktor yang memudahkan Organisme masuk kedalam Saluran Kemih,
adalah:
• Tindakan instrumentasi transuretra (kateter menetap, businasi, dan
operasi endourologi)
• Hubungan seksual
• Prolapsus vagina
Faktor yang menyebabkan Stasis Urine, adalah :
• Sering menahan kencing
• Kurang minum sehingga menyebabkan produksi urine berkurang
• Obstruksi saluran kemih
• Refluk vesiko-ureter
• Buli-buli neurogen
• Divertikel buli-buli

2.5.2.2. Faktor dari Uropatogen.


Terjadinya infeksi saluran kemih dimulai adanya kolonisasi bakteri
pada epitel vagina atau uretra. Karena beberapa faktor yang berasal dari
host, bakteri masuk kedalam buli-buli dan menempel pada diding urotelium
melalui pili atau fimbria yaitu suatu tonjolan pada permukaan sel bakteri
yang berbentuk seperti rambut.
Ditinjau dari jenis pili (fimbria)nya, terdapat dua jenis bakteri yang
mempunyai virulensi berbeda, yaitu bakteri tipe pili I (yang banyak
menimbulkan infeksi pada sistitis) dan tipe pili P (yang sering menimbulkan
infeksi berat pielonefritis akut).
Selain itu beberapa bakteri mempunyai sifat dapat membentuk antigen,
menghasilkan toksin (hemolisin), dan menghasilkan enzim urease yang
dapat merubah suasana urine menjadi basa.

2.5.3. Bakteriuria (Kass,1956; Narayan,1995; Dzen,1996).


Bakteriuri diartikan sebagai adanya kuman dalam air kemih yang
berasal dari kandung kemih atau saluran kemih. Telah disepakati oleh
banyak ahli bahwa bakteriuri infektif bila ditemukan kuman 100.000 atau
lebih permililiter urin. Bila ditemukan jumlah kuman dibawah 10.000/ml air
kemih maka yang dihadapi adalah bakteri kontaminan dan tak ada
hubungannya dengan infeksi saluran kemih.
Yang menjadi perdebatan adalah bila ditemukan jumlah kuman antara
10.000/ml dan 100.000/ml. Maka untuk ini harus dilihat cara pengambilan

©2003 Digitized by USU digital library 28


contoh air kemih. Bila pengambilan contoh air kemih dipakai cara air kemih
arus tengah, ini hanya menunjukkan kemungkinan adanya infeksi, hal
tersebut dapat terjadi sebagai kontaminasi akibat cara pengambilan yang
tidak sebagaimana harusnya. Beberapa ahli menyatakan bahwa jumlah
kuman dibawah 100.000 per ml sering terjadi pada penderita infeksi saluran
kemih yang :
- Penderita yang banyak minum
- Penderita dalam pengobatan dengan antibiotik
- Penderita dengan infeksi saluran kemih kronik
Cara pengambilan contoh air kemih yang lazim digunakan adalah cara
pengambilan arus tengah, dimana harus diperhatikan hal-hal sbb:
Sebelum air kemih ditampung dalam wadah steril, terlebih dulu alat kelamin
bagian luar dibersihkan dengan sabun atau antiseptik, bilas dengan air
bersih, lap dengan bahan kering yang steril. Air kemih porsi pertama
dibuang, berkemih yang ditampung, porsi ketiga juga dibuang.
Cara pengambilan contoh air kemih yang lain adalah dengan cara
pengambilan dengan kateter, banyak berguna pada wanita dimana
pencegahan kontaminasi dapat dilakukan lebih baik. Pengambilan dengan
cara kateterisasi sebaiknya dihindari terhadap anak laki-laki karena selain
kateterisasi akan membawa kuman kedalam kandung kemih juga dapat
menimbulkan trauma pada uretra saat pemasangan.
Cara pengambilan terbaik adalah dengan aspirasi supra pubik, dimana
dapat bebas dari kontaminasi kuman saluran kemih, tetapi cara ini sering
mendapat tantangan psikologis dari penderita dan keluarga penderita.

2.5.4. Bakteriuria Pasca Kateterisasi


Infeksi saluran kemih pasca kateterisai merupakan porsi terbesar dari
infeksi nosokomial. Pada penderita hipertropi prostat dengan retensio urine,
pemasangan kateter merupakan suatu pertolongan, selain menghilangkan
rasa nyeri juga mencegah akibat-akibat yang dapat ditimbulkan karena
adanya bendungan air kemih.
Tata cara pemasangan kateter yang atraumatik dengan tindakan
aseptik merupakan syarat mutlak untuk tindakan ini agar infeksi yang
mungkin terjadi dapat dicegah.
Walaupun sedemikian sempurnanya cara pemasangan kateter, infeksi
masih saja terjadi sebesar 2% pada kateterisasi tunggal, 10% pada
kateterisasi berulang dan 95-100% pada kateterisasi menetap
(Nichols,1995; Schaeffer,1998).
Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi ini terjadi karena kuman
dapat masuk melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding
kateter dengan mukosa uretra serta akibat bentuk muara uretra yang sulit
dicapai antiseptik, sehingga kuman yang berada disini akan terdorong
kedalam kandung kemih yang pada dasarnya adalah steril.
Infeksi kandung kemih dapat menimbulkan akibat lanjutan, bahkan
sampai pyonefrosis yang akan barakhir dengan kegagalan ginjal.
Hal lain yang memperburuk keadaan adalah adanya infeksi yang
asimtomatis sehingga memperlambat pengobatan yang seharusnya didapat.
Tingginya infeksi setelah pemasangan kateter juga sebagai akibat
sulitnya pengontrolan dan perawatan serta penggantian kateter pada
penderita yang memerlukan pemasangan kateter yang lama.

©2003 Digitized by USU digital library 29


Perawatan kateter secara tertutup dapat mengurangi infeksi sampai
lebih dari 50%, hal ini banyak membantu menurunkan angka infeksi saluran
kemih setelah pemasangan keteter.
Walaupun tak dapat menghilangkannya, karena infeksi masih dapat
terjadi melalui dinding kateter, sambungan antara kateter dan tabung
pengumpul, serta antara tabung pengumpul dengan kantung pengumpul.
Pemakaian kateter menetap terbanyak dilakukan terhadap penderita
hipertropi prostat (Sjamsuhidajat,1997; Cravens 2000).
Sarim melaporkan : didapat angka infeksi saluran kemih sebelum
operasi sebanyak 44% pada penderita yang dilakukan pemasangan kateter,
sedang yang tidak dilakukan pemasangan kateter infeksi hanya terjadi pada
12% kasus. Lubis HR menemukan sebanyak 54% di Medan sedang Adenan
mendapatkan angka yang lebih tinggi yakni sebesar 69,2%. Paper pada
tahun 1978 melakukan penelitian perkembangbiakan kuman setelah
pemasangan kateter, dimana didapatkan perkembangbiakan bakteri sudah
terjadi dalam 24 jam, baik dengan perawatan kateter terbuka ataupun
tertutup, selanjutnya didapatkan bahwa setiap harinya terjadi penambahan
infeksi sebesar 5-10% bila dilakukan perawatan kateter secara tertutup,
sedangkan dengan perawatan terbuka, angka infeksi sebesar 95% dalam
hari keempat. Martin C.M mendapatkan angka infeksi sebesar 100% dalam
empat hari dengan perawata terbuka , demikian pula yang didapat oleh
Levin J, sedangkan Francies dan Landers mendapat kan angka infeksi
sebesar 92% dalam waktu tiga hari (Sarim,1987).

2.5.5. Diagnosa
Sebagaimana telah disebutkan dalam defenisi bahwa diagnosa pada
infeksi saluran kemih ditegakkan dengan membuktikan adanya
mikroorganisme di dalam saluran kemih. Pemeriksaan saluran kemih yang
penting dalam menegakkan diagnosa infeksi saluran kemih ini setelah
isolasi dan identifikasi adalah pemeriksaan uji kepekaan kuman tersebut
terhadap antibiotik dalam rangka untuk terapi antibiotik yang rasional.
Pemeriksaan urine lengkap juga harus dilakukan pada penderita infeksi
saluran kemih. Dengan demikian diagnosa infeksi saluran kemih adalah
berdasarkan gejala klinis yang timbul dan dikonfirmasikan dengan adanya
jumlah bakteri yang bermakna di dalam urine yang seharusnya steril
(Dzen,1996).
Pada penderita infeksi saluran kemih yang simtomatis, masalah
diagnosa primer yang dihadapi adalah dalam menentukan lokasi tempat
infeksinya. Sedangkan pada penderita yang asimtomatis, tetapi pada
pemeriksaan laboratoriumnya dijumpai bakteriuria yang bermakna, menurut
penelitian 80% dari penderita ini dapat diidentifikasi satu dari tiga riwayat
klinis berikut ini :
1. Riwayat kateterisasi atau instrumentasi kandung kemih sebelumnya.
2. Riwayat infeksi kandung kemih sebelumnya.
3. Adanya diabetes mellitus, hipertensi dan kehamilan.
Dengan menanyakan keadaan ini, dokter dapat lebih mudah
mengetahui pemeriksaan tambahan apa yang diperlukan oleh penderita
(Narayan,1995; Purnomo,2000).

Disamping pemeriksaan laboratorium, diperlukan juga pemeriksaan


penunjang lain, yang harus dilakukan secara selektif untuk menentukan
kelainan morfologi baik akibat infeksi atau karena kelainan kongenital.
Pemeriksaan penting yang sedapat mungkin harus dilakukan pada penderita

©2003 Digitized by USU digital library 30


infeksi saluran kemih adalah Intra Vena Pyelographi (IVP) yang dapat
memberikan gambaran fungsi eksresi, keadaan ureter dan distorsi sistem
pelvio-kalises. Pemeriksaan IVP juga memberikan gambaran tentang
kemungkinan terjadinya pyelonefritis kronis dengan melihat bentuk dan
besar kedua ginjal, adanya gambaran yang asimetri antara kedua ginjal
karena perbedaan bentuk dan ukurannya, kalises yang tumpul, melebar
ataupun terbentuknya jaringan perut. Juga dapat ditemukan adanya
kelainan kongenital, kelainan obstruktif ataupun kelainan anatomis.
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) yang sifatnya tidak invasif, semakin
banyak dipakai untuk pemeriksaan ginjal. Dengan ini dapat dinilai besar
gambaran ginjal, permukaan ginjal, adanya bendungan, kelainan bentuk,
massa, kista, batu dan sebagainya. Demikian juga gambaran kandung
kemih dapat dilihat, namun gambaran ureter tidak dapat dinilai dengan USG
ini (Raharjo, 1997).

Sistoskopi khususnya pada infeksi saluran kemih yang berulang perlu


dilakukan untuk mengetahui kepastian penyebabnya (misalnya infeksi tuberkulosis)
atau untuk mencari faktor predisposisi, seperti adanya batu, hipertrofi prostat,
divertikel dan sebagainya. Bila dijumpai adanya tanda-tanda klinis infeksi saluran
kemih, tetapi pada pemeriksaan laboratorium tidak dijumpai adanya bakteri, maka
dengan adanya lekosit dalam urine masih perlu dipikirkan adanya infeksi. Infeksi-
infeksi seperti tuberkulosis, jamur, virus, bakteri aerob, parasit ataupun infeksi
protozoa yang kesemuanya memerlukan suatu pemeriksaan khusus (Weinerth,1992;
Raharjo,1997).

2.5.6. Pengobatan

Pengobatan infeksi saluran kemih bertujuan untuk membebaskan saluran


kemih dari bakteri dan mencegah serta mengendalikan infeksi berulang, sehingga
morbiditasnya dapat dihindarkan atau dikurangi (Raharjo,1997). Dengan demikian
tujuan pengobatan infeksi saluran kemih dapat berupa :

1. Mencegah dan menghilangkan gejala klinis, bakteremia dan


kematian akibat infeksi saluran kemih.

2. Mencegah dan mengurangi progresifitas kearah gagal ginjal terminal


atau komplikasi manipulasi saluran kemih.

3. Pengobatan dan pencegahan infeksi berulang.

4. Mendeteksi dan melakukan koreksi bedah pada saluran kemih


terhadap kelainan anatomi kongenital maupun didapat.

Pola kuman khususnya resistensi kuman terhadap antibiotik


merupakan hal yang sangat penting peranannya dalam keberhasilan
pengobatan infeksi saluran kemih. Pola resistensi ini perlu untuk
menentukan pengobatan pertama sebelum hasil biakan urine diperoleh,
khususnya dalam memilih antibiotik yang masih sensitif terhadap kuman
penyebab infeksi saluran kemih tersebut. Dalam pemilihan ini antibiotik

©2003 Digitized by USU digital library 31


setelah jenis infeksi ditemukan disamping sensitifitas juga-juga harus
diperhatikan kadar antibiotik dalam urine harus tinggi, efek samping sedikit,
murah. Obat yang nefrotoksis harus hati-hati pemberiannya dengan
memperhatikan fungsi ginjal, bila fungsi ginjal menurun maka antibiotik
dapat diberikan dengan mengurangi dosis sedangkan intervalnya normal
ataupun dengan dosis tetap namun intervalnya diperpanjang.

Bila terjadi infeksi setelah pengobatan yang adekuat, harus dilakukan


pengobatan profilaksis yaitu dengan antibiotik yang efektif terhadap kuman
urine yang patogen, bentuk antibiotik dalam urine harus tinggi, dan tidak
menyebabkan kuman bermutasi menjadi kebal, tidak mempengaruhi flora
usus dan vagina, efek samping sedikit serta murah. Hal lain yang penting
yang harus dilakukan dalam mengobati infeksi saluran kemih adalah
tindakan koreksi bedah terhadap kelainan anatomi baik yang kongenital
maupun didapat (adanya batu, tumor, dan pemakaian kateter menetap)
pada saluran kemih kesemuanya merupakan penyebab terjadinya relaps.
Penderita infeksi saluran kemih juga sebaliknya dianjurkan banyak minum
paling kurang dua liter per hari karena hal ini akan meninggikan clearance
(Schulman,1993; Raharjo,1997).

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan Penelitian
Mengevaluasi biakan urin pada penderita BPH setelah pemakaian
kateter menetap pertama kali dan berulang.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih
akurat tentang jenis–jenis kuman akibat pemakaian kateter menetap pada
penderita retensi urin karena pembesaran prostat jinak, sehingga
perawatan dan pengobatan penderita pembesaran prostat jinak akan lebih
tepat, akurat dan rasional. Pada akhirnya diharapkan akan dapat menurunkan
angka kejadian infeksi, komplikasi, lama rawatan dan biaya pengobatan
penderita.

BAB IV
METODOLOGI

Penelitian dilakukan secara prospektif dari bulan Agustus


2002 sampat Februari 2003. Penelitian dilaksanakan terhadap
semua penderita laki-laki usia diatas 50 tahun yang menderita
hipertropi prostat yang mengalami retensi urin sehingga
memerlukan penanganan kateterisasi untuk menanggulangi
emergensi retensi urin.

Kriteria inklusi
- Laki-laki menderita BPH
- Ke l u h a n r e t e n s i u r i n e
- Fo l e y k a t e t e r F r. 1 8
- Bebas antibiotik 4 hari
- Tidak menderita striktur uretra

©2003 Digitized by USU digital library 32


- Tidak mengalami spinal injuri
- Tidak ada kelainan neurologi
- Tidak sedang sakit berat
- Tidak menderita batu saluran kemih

Kriteria Eksklusi
- Di luar dari kriteria inklusi
- Tidak bersedia ikut dalam penelitian

Seperti yang diperlihatkan pada skema alur penelitian (Lampiran 1),


pada setiap penderita retensi urine karena BPH dilakukan pemasangan kateter
uretra menetap dengan foley kateter Fr-18. Populasi sampel dibedakan atas
dua kelompok yaitu:
A : y a n g p e r t a m a k a l i m e n g a l a m i p e m a s a n g a n k a t e t e r,
B : yang sudah berulang pemasangan kateter karena retensi urin.

Sampel urin yang diambil untuk kultur adalah urin porsi tengah yang
diperoleh pada saat pemasangan kateter (disebut sampel urin I) dan pada hari
ke 4 pemasangan kateter menetap dengan drainase tertutup tanpa pemberian
antibiotik (disebut sampel urin II ).
Pe m e r i k s a a n d i l a k s a n a k a n d i L a b . M i k r o b i o l o g i F K . U S U
M e d a n , d e n g a n m e d i a i s o l a s i a g a r d a r a h ; a g a r M c C o n k e y, d a n u n t u k
uji-kepekaan digunakan agar Muller Hinton. Adanya bakteruria
bermakna yaitu ditemukan 100.000 cfu kuman per ml urin atau
lebih. (Kass.1956)

Data yang diperoleh di-analisis secara Deskriptif analitik


dengan X2 test, seperti yang ditunjukkan pada hasil tabel

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dari 64 kasus penderita retensi urine karena BPH yang datang berobat
ke RSUP H.Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan dan Rumah sakit kami
dtugaskan dari bulan Agustus 2002 sampai dengan Januari 2003, yang
memenuhi kriteria untuk dimasukkan dalam penelitian ada 46 kasus.
Sedangkan 18 kasus lainnya tidak dapat dimasukkan dalam penelitian, hal ini
disebabkan oleh karena:
• Penderita tidak bersedia ikut dalam penelitian (11 kasus)
• Menderita batu kandung kemih (3 kasus)
• Tidak patuh untuk pengambilan sampel hari keempat (3 kasus)
• Penderita tidak bersedia pakai kateter lagi (1 kasus)
Dari 46 kasus yang masuk dalam kriteria penelitian ini dibagi dalam dua
kelompok kasus, yaitu :
A). 33 kasus yang memakai kateter pertama kali dan
B). 13 kasus yang memakai kateter berulang.
Kemudian masing-masing kelompok kasus dibagi atas :

©2003 Digitized by USU digital library 33


1. sampel saat hari pertama pemakaian kateter dan
2. sampel pada hari keempat pemakaian kateter menetap.
Data selengkapnya dari hasil penelitian ini ditampilkan dalam bentuk
tabel berikut ini :
Tabel 1.
SEBARAN USIA PENDERITA
SEBELUM SELEKSI <YANG IKUT PENELITIAN
U M U R N % N %
50 – 54 Tahun 1 1,56% - -
55 – 59 Tahun 4 6,25% 3 6,52%
60 – 64 Tahun 13 20,31% 11 23,91%
65 – 69 Tahun 23 35,94% 17 36,96%
70 – 74 Tahun 17 26,56% 10 21,74%
75 – 79 Tahun 4 6,25% 4 8,70%
80 Thn keatas 2 3,13% 1 2,17%

T O T A L 64 100 % 46 100 %
Penderita yang mengalami retensi urin karena menderita Benigna
Prostat Hyperplasi yang memerlukan pemasangan kateter menetap banyak
didapati pada sebaran usia 65–69 tahun.

Tabel 2.
TABEL HASIL KULTUR

©2003 Digitized by USU digital library 34


Tabel 2 menunjukkan penyebab infeksi saluran kemih karena pemakaian
kateter menetap pada penderita BPH dengan retensi urin sering disebabkan
oleh kuman Escherecia Coli yaitu 42% setelah pemakaian kateter menetap
pertama kali, dan 53,85% setelah penderita memakai kateter menetap yang
sebelumnya sudah pernah memakai kateter .
Infeksi ini berhubungan dengan bakteri penyebab yang paling sering dari
daerah perineal (faecal origin), yang menjalar secara asenden melalui uretra.
Tabel 3.
PERBEDAAN HASIL PEMERIKSAAN KULTUR URINE I DAN II PADA
PENDERITA DENGAN PEMAKAIAN KATETER PERTAMA KALI

URINE BAKTERIURIA BAKTERIURIA JUMLAH


(+) (-)

I 4 29 33

II 21 12 33

TOTAL 25 41 66

X2 = 16,484 Df = 1 P = 0,00004906

Tabel 3 menunjukkan bakteriuria yang dijumpai pada urin penderita yang


pertama kali pemakaian kateter menetap.
Sebelum dipakai kateter (urin I) bakteriuria dijumpai pada 4 dari 33 penderita
(12,12%) dan setelah 4 hari pemasangan kateter (urin II) bakteriuria dijumpai
pada 21 dari 33 penderita (63,64%).
Perbedaan ini secara statistik sangat bermakna ( P< 0,001 ).
Tabel 4.
PERBEDAAN HASIL PEMERIKSAAN KULTUR URINE I DAN II PADA
PENDERITA DENGAN PEMAKAIAN KATETER BERULANG

URINE BAKTERIURIA BAKTERIURIA JUMLAH


(+) (-)

I 5 8 13

II 12 1 13

TOTAL 17 9 26

X2 =6,118 Df = 1 P = 0,0134

©2003 Digitized by USU digital library 35


Tabel 4 menunjukkan bakteriuria yang dijumpai pada urin penderita yang
memakai kateter berulang.
Sebelum dipakai kateter (urin I) bakteriuria dijumpai pada 5 dari 13 penderita
(38,46% ) dan setelah 4 hari pemasangan kateter (urin II) bakteriuria
dijumpai pada 12 dari 13 penderita (92,31% ).
Perbedaan ini secara statistik bermakna ( P< 0,05 ).
Tabel 5.
PERBEDAAN HASIL PEMERIKSAAN URINE I PADA PEMAKAIAN KATETER
PERTAMA KALI DAN BERULANG

RIWAYAT BAKTERIURIA BAKTERIURIA JUMLAH


PAKAI (+) (-)
KATETER

PERTAMA KALI 4 29 33

BERULANG 5 8 13

TOTAL 9 37 46

X 2 =2,608 Df = 1 P = 0, 1063

Tabel 5 menunjukkan perbedaan bakteriuria yang dijumpai pada urin I


(sebelum pasang kateter) antara kelompok yang belum pernah pakai kateter
dan kelompok yang berulang kali pakai kateter.
Pada kelompok pertama kali pakai kateter dijumpai bakteriuria pada 4 dari 33
penderita (12,12%) dan pada kelompok berulang pakai kateter dijumpai 5 dari
13 penderita (38,46%).
Secara statistik perbedaan ini tidak bermakna (P>0,05)

Tabel 6
PERBEDAAN HASIL PEMERIKSAAN URINE II PADA PEMAKAIAN
KATETER PERTAMA KALI DAN BERULANG

RIWAYAT PAKAI BAKTERIURIA BAKTERIURIA JUMLAH


KATETER (+) (-)

PERTAMA KALI 21 12 33

BERULANG 12 1 13

TOTAL 33 13 46

X2 = 2,499 Df = 1 P = 0,1139

©2003 Digitized by USU digital library 36


Tabel 6 menunjukkan perbedaan bakteriuria yang dijumpai pada urin II (hari
keempat pemakaian kateter) antara kelompok yang pertama kali pakai kateter
dan kelompok yang berulang kali pakai kateter.
Pada kelompok pertama kali pakai kateter dijumpai pada 21dari 33 penderita
(63,64%) dan pada kelompok berulang pakai kateter dijumpai 12 dari 13
penderita (92,31%).
Secara statistik perbedaan ini tidak bermakna (P>0,05)

TABEL 7
KUMAN PENYEBAB BAKTERIURIA DARI BEBERAPA PENELITIAN

KETERANGAN TABEL 7.

Sarim : Kuman penyebab bakteriuria akibat pemasangan


kateter sebelum dan sesudah pemasangan
kateter di RS.Hasan Sadikin Bandung (Sarim.1987).

Marshal : Kuman penyebab Bakteriuria pada vesikolitotomi


di RSUP. Adam malik dan RSUD. Pirngadi Medan
(Marshal.1996)

Marshal 2 : Kuman penyebab bakteriuria pada open prostatektomi di


RSUP. Adam malik dan RSUD. Pirngadi Medan.
(Marshal.1996)

Harahap : Kuman penyebab bakteriuria pada pra bedah


dengan insiden kebocoran pada prostatektomi
transvesikal di RSUD .Pirngadi,Medan .
(Harahap.1997)

Sinaga : Kuman yang didapat dari hasil kultur penderita


Prostatitis di Medan.
(Sinaga.1996)

Janes : Kuman nosokomial penyebab bakteriuria yang terjadi


terhadap pasien yang dirawat inap di RS
Khusus Penyakit Menular di Jakarta.
(Janas.1992)

©2003 Digitized by USU digital library 37


Hakim : Kuman penyebab bakteriuria pada retensi urine
karena BPH di RS.Hasan Sadikin Bandung.
(Hakim.2001)

Suyusa : Kuman penyebab bakteriuria karena batu saluran


kemih dan terapinya di RS Sanglah, Bali.
(Suyusa.2001)

Suyusa 2 : Kuman penyebab bakteriuria karena BPH


dengan terapinya di RS. Sanglah,Bali. 2001.
(Suyusa.2001)

Schaeffer : (Campbells Urologi) kuman yang sering


menyebabkan infeksi saluran kemih. (Schaeffer.1998)

PEMBAHASAN.
Meskipun belum ada penelitian mengenai insiden BPH di Medan kami
telah melakukan penelitian dampak pemakaian kateter pada penderita retensi
urin karena BPH.
Dari hasil data sebaran usia penderita yang terbanyak mendapat
perlakuan pemasangan kateter adalah usia 65-69 tahun (17 dari 46 orang ;
36,96%). Penelitian Marshal, menunjukkan bahwa sebaran usia yang banyak
dilakukan operasi prostatektomi di RSUP. Adam malik dan RSUD. Pirngadi
Medan tahun 1996 adalah usia diatas 70 tahun (48%) (Marshal.1996).
Tampak pada sebaran umur penderita retensii urin karena BPH
cenderung berkurang setelah umur 70 tahun.
Bakteriuria dapat terjadi pada penderita retensi urin karena BPH
sebelum pemasangan kateter, hal ini dapat disebabkan karena terjadi urin
statis yang berlarut-larut, apalagi pada penderita dengan riwayat pernah pakai
kateter berulang. Tabel 2 ditunjukkan bakteriuria sudah terjadi sebelum pakai
kateter pada 4 penderita (12,12%) dari kelompok yang baru pertama kali
pakai keteter, dan 5 penderita (38,46%) dari kelompok yang berulang pakai
kateter.
Sarim dalam penelitiannya; 12 dari 30 penderita (40%) sebelum
dipasang kateter menetap pertama kali telah mengalami bakteriuria. Tanpak
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian kami.
Tabel 3 dan 4 menunjukkan peningkatan bakteriuria yang bermakna
setelah pemakaian kateter baik pada pemakaian kateter pertama kali atau
berulang. Sesuai dengan literatur bahwa pertumbuhan bakteri sudah terjadi
dalam 24 jam pemakaian kateter menetap, dan terjadi peningkatan bakteriuria
10% setiap harinya pada perawatan tertutup (Schaeffer.1998; Nichols.1995).
Dibandingkan dengan Sarim hasilnya sama, yaitu beda bermakna bakteriuria
pada sebelum dan 4 hari sesudah pakai kateter menetap.
Kuman penyebab bakteriuria karena pemakaian kateter menetap dari
penelitian ini banyak disebabkan oleh E.coli, kemudian dikuti oleh
Staphylococcus aureus, Klebsiella sp, Citrobacter sp, Enterococcus sp dan
Proteus sp. Hasil ini berbeda dengan hasil kepustakaan Barat, dimana di
negara maju infeksi saluran kemih 80% adalah E.coli, kami memperoleh
sekitar 50% . Dari penelitian lain sebelumnya ada yang melaporkan kuman
penyebab bakteriuria terbanyak bukan oleh E. coli, ini mungkin perbedaan
tempat dan perlakuan terhadap penderita misalnya penderita yang dirawat
inap di rumah sakit penyebab bakteriuria sering oleh kuman nosokomial
(pseudomonas), sedangkan pada penderita rawat jalan sering oleh kuman E.

©2003 Digitized by USU digital library 38


coli (tabel 7). Dan juga kerap kali dengan hyegine dan sanitasi penderita
dalam merawat kebersihan kateter (Schaeffer.1998, Dzen,1996).
Perbedaan terjadi bakreteriuria pada urin I dan urin II antara penderita
yang belum pernah pakai kateter dan penderita yang sudah berulang
pakai kateter tidak tampak bermakna.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN.
1. Akibat pemakaian kateter kejadian bakteriuria makin meningkat, baik
pada pemakaian kateter pertama kali maupun pemakaian kateter
berulang secara bermakna. Walaupun pemasangannya dengan
dengan cara yang aseptik.

2. Peningkatan kejadian bakteriuria pasca pemakaian kateter baik yang


pertama kali maupun dengan pemakaian kateter berulang secara
statistik tidak berbeda bermakna, setelah hari keempat kejadian
bakteriuria mencapai 95-100%

3. Bakteriuria akan lebih cepat terjadi pada perawatan kateter menetap


dengan perawatan terbuka.

4. Kuman penyebab infeksi saluran kemih setelah pemakaian kateter


dengan perawatan tertutup sering disebabkan oleh Escherecia coli,
dapat juga disebabkan oleh Staphilokkkus aureus, Klebsiella,
Citrobachter, Enterobachter, dan Proteus.

SARAN-SARAN.
1. Setiap pemakaian kateter harus diperhatikan kemungkinan terjadi
infeksi, walaupun dilakukan pemasangan kateter secara aseptik
dan atraumatik. Maka pemakaian kateter harus benar-benar atas
indikasi yang benar.

2. Untuk mencegah infeksi saluran kemih pasca kateter menetap,


menggunakan antimikroba yang sesuai dengan kultur dan
sensitivity test, kuman penyebab yang sering E.coli, selain itu
juga dapat disebabkan kuman Proteus, Staphylococcus aureus,
Klebsiella, Enterobachter, Citobachter.

3. Setiap penderita dengan indikasi pemakaian kateter, harus


diantisipasi untuk membuka segera dengan mengobati penyebab
retensi urin.

DAFTAR PUSTAKA

Bahnson R.R ; ‘Physiology Of the Kidney, Ureter and Bladder’, ‘in Basic cience
Review For Surgeous’, Edited by Simmons R.L and Steed D.L,
W.B.Saundrs Company, 1992: 270-287.
Besimon H ; ‘Surgery of the Prostat’, in ‘Urologic Surgery’, Mc Graw-Hill, 1991:
260-266.

©2003 Digitized by USU digital library 39


Blandy J.P : ‘Lecture Notes on Urology’, 3th ed, Blackwell-Scientific
Publications, 1983: 159-221
Brown R.B ; ‘Clinical Urology Illustrated’, ADIS Health Schience Press, 1982:
54-59
Burkit H.J ; ‘Problem Diagnosis And Management’, in “Essensial Surgery”,
Churchill Livingstone, London, 1992 : 405-482
Cravens D.D; Urinary Catheter Management, American Family
Physician,2000,:http:/www.findarticles.com/cf_
O/m3225/2_61/59486856/print. jhtml
Dzen S.M. ; ‘Kuman Penyebab Infeksi Saluran Kemih dan Kepekaannya
Terhadap Antibiotik’, Lab. Mikrobiolkogi FK Unibraw, Medika, Malang,
1996; 12(10): 944-949.
Forrest APM. Et.al ; ‘Úrological Surgery’, Principles and Practise Of Surgery,
2nd Ed, Churchill Livingstone, 1990 : 601-639. 1990
Ganong WF; Berkemih’, Fisiologi Kedokteran (Review of Medical
Physiology),Edisi 10, Diterjemahkan oleh: Adji Dharma, EGC,1983: 626-
628.
Hakim S.L ; ‘Bacterial Pattern In First and Recurring Urine Retension on BPH’
in Hasan Sadikin Hospital, Medical Faculty, Padjajaran University
Bandung, PIT IKABI XIII, Jogjakarta, 2001.
Harahap S ; ‘ Hubungan infeksi saluran kemih pra bedah dengan insiden
kebocoran pada prostatektomi transvesikal’, Karya tulisan akhir
program pendidikan Dokter Spesialis Bedah Bagian Bedah F.K USU,
Medan, 1997.
Hargreave T.B; ‘Bladder and Prostate’ in ‘Farquhanson’s Text book of
Operative Surgery’, 8th ed, Churchill Livingstone, London, 1995: 621-
653.
Hollander J.B, Diokno A.C ; ‘Prostatism Benign Prostatic Hyperplasia’, WB
Saunders Company, Michigan, 1996, 23(1).
Janas dkk ; ‘Infeksi Nosokomial Saluran Kencing (INSK) Di R.S. Khusus
Penyakit Menular’, Buletin Penelitian Kesehatan, Jakarta, 1992; 20(2):
22-35.
Johnson DE, et.al : ‘Tumors Of The Genito Urinary Tract’, in ‘Smith’s General
Surgery’, 12th Ed, Edited by Tanagho. EA and Mc Aninch, JW, Applerton
& Lange, 1988: 360-366.
Kass E.H : ‘Asymptomatic infection of the urinary tract’, Trans Association
American Physicians, 1956; vol 69 : 56 - 64.
Marshal: ‘Perbandingan jenis dan sensitifitas kuman kandung kemih pada
penderita dengan transvesikal prostatektomi dan vesikolitotomi’, Bagian
Ilmu Bedah FK.USU / RSP.H. Adam malik dan RS. Pirngadi, Medan,
1996.
Narayan P; ‘Neoplasms of the Prostate Gland’, in “Smith’s General Urologi”,
14th ed, Editor: Tanagho EA, Appleton & Lange, San Francisco, 1995;
392-430
Nasar I.M ; ‘Saluran Kemih Bagian Distal dan Alat Kelamin Pria’ dalam
‘Patologi Anatomi’, Editor Himawan S, Bagian Patologi Anatomi FK-UI,
1985 : 285-307.
Neal D; ‘The prostat and Seminal vesicles’, in ‘Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery’, 22th Ed; Mann C.V et.al, ELBS, Madrid, 1995 : 970-992
Nichols R.L ; “ Infeksi Bedah dan Pemilihan Antibiotik”, dalam “Buku Ajar
Bedah”, Editor Sabiston D.C, Terjemahan: Andrianto P & Timan, EGC,
Jakarta, 1995; 206-207
Purnomo B.B ; ‘Dasar-dasar Urologi’, CV.Infomedika, Jakarta, 2000: 200-214.

©2003 Digitized by USU digital library 40


Raharjo D ; ‘Pembesaran Prostat Jinak Manifestasi Klinik Dan Manajemen’,
Ropanasuri, Jakarta, 1997, 15(1) : 37-44.
Rochani ; ’Retensio urin’ dalam ‘Kedaruratan Non Medik dan Bedah’, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 2000 : 95-98.
Sarim E.S : ‘Usaha Menurunkan Angka Bakteriuria Setelah Pemasangan
Kateter Uretra Menetap dan Perawatan Terbuka dengan pemakaian
Salep Povidone iodine’, UPF Ilmu Bedah FK UNPAD/ RS. Hasan Sadikin,
Bandung, 1987.
Schaeffer A.J; ‘Infections Of The Urinary Tract’, in “Campbell’s Urologi”, 7th
ed, Vol.1, W.B Saunders Company, Philadelphia, 1998; 533-550.
Schulmann CC, et.al : ‘Oral Immunoteraphy Of Recurrent Urinary6 Tract
Infections : A Double Blind Placebo Controlled Multicenter Study’, The
Journal Of Urology, vol.150, 1993: 917-921.
Sinaga Usul.M & Ronald S : ‘The current status of prostatitis in Medan
Indonesia’, 6th Bayer Symposium of Tractus Urinary Infection, Shin
Yokohama Jepang, 1996.
Sjamsuhidajat R dan Jong WD : ‘Buku Ajar Bedah’, Ed Revisi, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1997; 995-1093
Suyasa ; ‘ Bacterial Pattern In The Urologi Cases That Were Treatted At
Sanglah General Hospital’, Medical Faculty of Udayana University Bali,
PIT IKABI XIII, Jogjakarta, 2001.
Turek PJ, Savage EB ; ‘Kidney and Urinary Tract Physiology’ in ‘Essensials of
Basic Science in Surgery’, Edited by: Savage EB, et.al, J.B Lippicott
Company, 1993: 264-280.
Weinerth J.L : ‘The Male Genital System’ in ‘Texbook of Surgery, Pocket
Companion’, Edited by: Sabiston DC and Liverly HK, Wb Saunders
Company, 1992 : 670-680.

©2003 Digitized by USU digital library 41

Anda mungkin juga menyukai