FURQAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran kemih adalah keadaan dimana kuman tumbuh dan
berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah yang bermakna. Infeksi
saluran kemih ini dapat berlangsung dengan gejala (simtomatis) atau tanpa
gejala (asimtomatis). Infeksi saluran kemih juga sering menjadi masalah
dalam ilmu bedah.
Benign Prostat Hyperplasia merupakan penyakit yang sering diderita
pada pria. Di klinik 50 % dijumpai penderita BPH berusia 60-69 tahun, yang
menimbulkan gejala-gejala bladder outlet obstruction (Tanagho.1995).
Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter pada penderita BPH
telah banyak diketahui dan menurut literatur betapapun sempurnanya
pemasangan kateter, infeksi masih saja terjadi. Kateterisasi tunggal yang
dilakukan dengan tepat pada retensio urin hanya akan menyebabkan sekitar
2% insiden infeksi traktus urinarius pada penderita bedah terencana. Pada
penderita debilitasi, insiden ini dapat meningkat 10 – 20 %. Infeksi traktus
urinarius terlazim pada penderita yang memerlukan kateter urin dibiarkan
terpasang. Bila dipakai drainase terbuka, maka sebenarnya semua penderita
akan terinfeksi dalam waktu 2 hari. Bila menggunakan drainase tertutup, maka
sekitar 5 -10 % perhari akan terinfeksi (Schaeffer.1998; Nichols.1995).
Infeksi saluran kemih setelah pemasangan kateter terjadi karena kuman
dapat masuk ke dalam kandung kemih dengan jalan berenang melalui lumen
kateter, rongga yang terjadi antara dinding kateter dengan mukosa uretra,
sebab lain adalah bentuk uretra yang sulit dicapai oleh antiseptik
(Cravens.2000).
Dari pengamatan di klinik Urologi serta Instalasi Gawat Darurat RSUP.
Adam Malik dan RSUD. Pirngadi Medan, penderita yang terbanyak
menggunakan kateter menetap adalah penderita yang datang dengan keluhan
retensi urin akibat prostat hiperplasi. Kateterisasi merupakan pertolongan bagi
penderita saat itu, tetapi akan menjadi penyulit bila pemakaian lama.
Dengan rancangan penelitian sederhana, akan dilakukan pemeriksaan
biakan kuman sebelum dan sesudah pemakaian kateter terhadap penderita
retensi urin akibat prostat hiperplasi.
B. Perumusan Masalah.
Dentifikasi biakan kuman dalam urin dan uji kepekaan merupakan hal
penting dalam pemilihan antibiotik yang sesuai dan rasional. Pemilihan
antibiotik yang sesuai dan rasional dapat menekan biaya pengobatan dan
mencegah komplikasi lanjutan dari infeksi saluran kemih.
2.1.1. GINJAL
Ginjal adalah sepasang organ yang terletak pada retroperitoneum
diselubungi fasia gerota dan sejumlah lemak. Di dorsal; iga terbawah,
kuadratus lumborum, dan muskulus psoas berada proksimal didekatnya.
Hubungan ventral dari ginjal kanan termasuk adrenal, lambung lien,
pankreas, kolon dan ileum.
Arteri renalis keluar dari aorta dan hampir dua pertiga dari ginjal
hanya mempunyai sistem perdarahan yang tunggal. Arteri renalis terbagi
menjadi lima cabang besar, yang merupakan end arteri yang mensuplai
segmen ginjal. Penyumbatan dari cabang arteri renalis akan menyebabkan
infark segmen ginjal. Vena renalis mengosongkan isinya kedalam vena cava
inferior. Saluran limfe ginjal bermuara pada hilar trunk, dan kapsular
limfatik pada nodus periaorta infradiafragmatik. Persarafan ginjal
mengandung vasomotor dan serat nyeri yang menerima konstribusi dari
segmen T4-T12. pelvis ginjal terletak dorsal dari pembuluh darah ginjal dan
mempunyai epitel transisional (Purnomo,2000).
2.1.2. URETER
Ureter terdiri dari otot yang memanjang membentuk tabung dan
berjalan melalui retroperitoneum dan menghubungkan pelvis ginjal dengan
kandung kemih. Panjang normal ureter pada dewasa adalah 28–30 cm dan
diameternya sekitar 5 mm. Ureter menyalurkan urine dari ginjal menuju
kandung kemih dengan peristaltik aktif.
Suplai darah dari ureter berasal dari ginjal, aorta, iliaka, mesenterik,
gonad, vasal, arteri vesikalis. Serat nyeri menghantarkan rangsangan
kepada segmen T12-L1. Ureter dapat mengalami deviasi medial pada
fibrosis retroperitoneal dan deviasi lateral oleh tumor retroperitoneal atau
aneurisma aorta (Hargreave,1995; Purnomo,2000).
A. ANATOMI
Kandung kemih yang berfungsi sebagai reservoir urine, pada masa
anak-anak secara prinsip terletak intra-abdominal dimana dua pertiga
bagian atasnya ditutupi oleh peritoneum, sedangkan pada orang dewasa
kandung kemih sudah menjadi organ-organ pelvis (ekstra peritoneal)
dimana bagian atasnya saja yang ditutupi oleh peritoneum. Dalam keadaan
kosong didepan kandung kemih terdapat simpisis pubis, tetapi dalam
keadaan penuh dia bisa membesar sehingga bisa berada dibagian belakang
bawah muskulus rektus abdominis. Pada laki-laki dibagian belakang
kandung kemih dipisah dengan rektum oleh dua lapisan peritoneum yang
bersatu membentuk Denonvilliers fascia, sedangkan pada perempuan
kandung kemih terletak didepan uterus, servik dan vagina. Pada laki-laki,
dibawah kandung kemih terdapat prostat yang mengelilingi uretra
berbentuk seperti donat, dan dibawahnya terdapat diafragma pelvis. Pada
bagian infero-lateral permukaan kandung kemih berhubungan dengan
pleksus vena vesiko-prostat, otot-otot levator ani, pembuluh-pembuluh
darah obturator interna dan dengan pelvic girdle (Blandy,1983;
Schulmann,1993).
Dinding kandung kemih dibentuk seperti buah keranjang oleh
serabut-serabut otot polos (detrusor) yang saling menyilang, tersusun
tidaklah dalam bentuk longitudinal atau sirkuler seperti pada dinding usus
tetapi berupa suatu sistem rangkaian helik. Pada leher kandung kemih
susunan sirkuler lebih dominan yang membentuk suatu autonomic internal
spincter. Beberapa dari anyaman helik ini berlanjut melewati spingter
interna dan melekat pada jaringan ikat uretra prostatika pada daerah
verumontanum, juga ada yang berlanjut pada spingter eksterna bahkan
yang lainnya berlanjut pada jaringan otot uretra itu sendiri (Tanagho,1995).
Mukosa kandung kemih terdiri atas lapisan epitel transitional yang
tebal (5-8 lapis sel) dengan sel-sel basal yang berbentuk torak. Permukaan
mukosa lumen kandung kemih ini mensekresi suatu lapisan
Glycosaminoglycans, yang merupakan suatu protein yang melindungi
dinding kandung kemih dari infiltrasi bakteri atau zat-zat yang bersifat
karsinogenik (Turek,1993).
Pada daerah trigonum, yang terletak dibagian posterior kandung
kemih, antara muara ureter dan bladder outlet, lapisan mukosa dan sub-
mukosanya lebih tipis. Sedangkan ureter yang memasuki kandung kemih
dikelilingi oleh 1-2 cm otot detrusor yang berbentuk incomplete collar yang
disebut Waldeyer’s sheath (Brown,1982; Turek,1993).
Dibawah lapisan mukosa terdapat lapisan tunika propia yang longgar,
disini sering dijumpai serbukan limfosit. Dibawah lapisan tunika propria
adalah lapisan tunika muskularis yang terdiri atas otot-otot polos yang
tersebar merata, dimana pada muara ureter dan uretra otot ini lebih padat
dan membentuk spingter. Lapisan paling luar adalah lapisan serosa, yang
berupa selaput tipis dan hanya terdapat pada bagian kandung kemih yang
berhubungan dengan peritoneum.
B. PERDARAHAN
Kandung kemih sangat kaya aliran darah yang terdiri dari tiga pedikel
pada masing-masing sisi, yaitu : arteri vesikalis superior, medialis dan
inferior yang merupakan cabang dari arteri hipogastrika. Kandung kemih
juga dialiri oleh cabang-cabang kecil arteri obturator dan arteri gluteal
inferior, pada wanita juga oleh arteri uterine dan arteri vaginalis.
Aliran vena kandung kemih juga kaya akan pleksus vena, yang
dialirkan kedalam vena hipogastrika. Sedangkan aliran lymphnya dialirkan
kedalam lymph nodes vesika, iliaka eksterna, iliaka interna dan iliaka
komunis (Tanango,1995).
C. FISIOLOGI
Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama
ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi
pasti cairan ini belum diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa
sperma.
Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin,
dapat dianggap imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita.
Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti, tetapi pada
pengebirian kelenjar prostat jelas akan mengecil. Jadi prostat dipengaruhi
oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive terhadap androgen
adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah
bagian tengah. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang
mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang berkurang
sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut
(Blandy,1983; Ganong, 1983; Burkit 1988).
2.3.1. Insiden.
Pembesaran prostat jinak (BPH) merupakan penyakit pada laki-laki
usia diatas 50 tahun yang sering dijumpai. Karena letak anatominya yang
mengelilingi uretra, pembesaran dari prostat akan menekan lumen uretra
yang menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih. Signifikan
meningkat dengan meningkatnya usia. Pada pria berusia 50 tahun angka
kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50%
dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
maka efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan (Sjamsuhidajat, 1996).
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran
kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun
dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai
65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah
berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk
Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria,
dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga
diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita BPH.
Dengan semakin membaiknya pembangunan dinegara kita yang akan
memberikan dampak kenaikan umur harapan hidup, maka BPH akan
semakin bertambah. Oleh karena itu BPH harus dapat dideteksi oleh para
dokter, dengan mengenali manifestasi klinik dari BPH dan dapat dikelola
secara rasional sehingga akan memberikan morbiditas dan mortalitas yang
rendah dengan biaya yang optimal (Rahardjo,1997).
2.3.2. Patofisiologi.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi
disebabkan karena hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya
frekwensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi
terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal
berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih,
sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan
tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinik.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung
kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacatan total, sehingga penderita
tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada suatu
saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intra
vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari
2.3.3. Etiologi
Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penilitian sampai
tingkat biologi molekuler belum dapat mengugkapkan dengan jelas etiologi
terjadinya BPH. Dianggap adanya ketidak seimbangan hormonal oleh karena
proses ketuaan. Salah satu teori ialah teori Testosteron (T) yaitu T bebas
yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 a reduktase
yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh
reseptor DHT didalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung
dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan
inskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesis protein. Teori yang
disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH dengan inhibitor 5a reduktase
(Rahardjo,1997).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH
adalah :
• Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemacu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
• Meningkatkan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel
yang mati.
• Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel
kelenjar prostat menjadi berlebihan (Purnomo,2000;Rahardjo,
1997).
Gbr. 4-3.a : Foley kateter yang sering dipakai pada pemakaian Kateter
Menetap
2.4.3. KATETERISASI
A. Kateter Uretra.
Pada Wanita
Tidak seperti pada pria, teknik pemasangan kateter pada wanita
jarang menjumpai kesulitan karena uretra wanita lebih pendek.
Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara
uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara
uretra oleh tumor uretra/tumor vagina/serviks. Untuk itu mungkin
perlu dilakukan dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.
Pada Pria
Urutan teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
Desinfeksi pada penis dan daerah di sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
Masukkan pelicin/ jelly kedalam uretra 2-3 cc
Kateter dimasukkan kedalam orifisium uretra eksterna.
Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah
bulbo-membranasea (yaitu daerah sfingter uretra eksterna) akan
terasa tahanan; dalam hal ini pasien diperintahkan untuk
mengambil nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi
lebih relaks. Kateter terus didorong hingga masuk ke buli-buli
yang ditandai dengan keluarnya urine dari lubang kateter.
Sebaliknya kateter terus didorong masuk ke buli-buli lagi hingga
percabangan kateter menyentuh meatus uretra eksterna.
Balon kateter dikembangkan dengan 5 – 10 ml air steril.
Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa
penampung (urinbag).
Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha
bagian proksimal. Fiksasi kateter yang tidak betul, (yaitu yang
Teknik Pelaksanaan.
Sebelum menjalani tindakan, pasien dan keluarganya harus sudah
mendapatkan penjelasan tentang semua aspek mengenai tindakan yang
akan dijalaninya, dan kemudian menulis dalam surat persetujuan untuk
dilakukan tindakan medik (informed consent).
Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell dapat pula dipakai alat
trokar konvensional, hanya saja pada langkah ke 8, karena alat ini tidak
dilengkapi dengan slot kateter setengah lingkaran maka kateter yang
dipakai adalah kateter lambung (NG tube) nomer 12 F. Kateter ini setelah
dimasukkan kedalam buli-buli pangkalnya harus dipotong untuk
mengeluarkan alat trokar dari bulu-buli.
Penyulit:
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan maupun
setelah pemasangan kateter sistostomi adalah :
Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.
Mencederai rongga/organ peritoneum.
Menimbulkan perdarahan.
Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang baik
akan menimbulkan infeksi, enkrustasi kateter, timbul batu saluran
kemih, degenerasi maligna mukosa buli-buli, dan terjadi refluks
vesiko-ureter.
Kateter difiksasi
pada kulit
2.5.5. Diagnosa
Sebagaimana telah disebutkan dalam defenisi bahwa diagnosa pada
infeksi saluran kemih ditegakkan dengan membuktikan adanya
mikroorganisme di dalam saluran kemih. Pemeriksaan saluran kemih yang
penting dalam menegakkan diagnosa infeksi saluran kemih ini setelah
isolasi dan identifikasi adalah pemeriksaan uji kepekaan kuman tersebut
terhadap antibiotik dalam rangka untuk terapi antibiotik yang rasional.
Pemeriksaan urine lengkap juga harus dilakukan pada penderita infeksi
saluran kemih. Dengan demikian diagnosa infeksi saluran kemih adalah
berdasarkan gejala klinis yang timbul dan dikonfirmasikan dengan adanya
jumlah bakteri yang bermakna di dalam urine yang seharusnya steril
(Dzen,1996).
Pada penderita infeksi saluran kemih yang simtomatis, masalah
diagnosa primer yang dihadapi adalah dalam menentukan lokasi tempat
infeksinya. Sedangkan pada penderita yang asimtomatis, tetapi pada
pemeriksaan laboratoriumnya dijumpai bakteriuria yang bermakna, menurut
penelitian 80% dari penderita ini dapat diidentifikasi satu dari tiga riwayat
klinis berikut ini :
1. Riwayat kateterisasi atau instrumentasi kandung kemih sebelumnya.
2. Riwayat infeksi kandung kemih sebelumnya.
3. Adanya diabetes mellitus, hipertensi dan kehamilan.
Dengan menanyakan keadaan ini, dokter dapat lebih mudah
mengetahui pemeriksaan tambahan apa yang diperlukan oleh penderita
(Narayan,1995; Purnomo,2000).
2.5.6. Pengobatan
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan Penelitian
Mengevaluasi biakan urin pada penderita BPH setelah pemakaian
kateter menetap pertama kali dan berulang.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih
akurat tentang jenis–jenis kuman akibat pemakaian kateter menetap pada
penderita retensi urin karena pembesaran prostat jinak, sehingga
perawatan dan pengobatan penderita pembesaran prostat jinak akan lebih
tepat, akurat dan rasional. Pada akhirnya diharapkan akan dapat menurunkan
angka kejadian infeksi, komplikasi, lama rawatan dan biaya pengobatan
penderita.
BAB IV
METODOLOGI
Kriteria inklusi
- Laki-laki menderita BPH
- Ke l u h a n r e t e n s i u r i n e
- Fo l e y k a t e t e r F r. 1 8
- Bebas antibiotik 4 hari
- Tidak menderita striktur uretra
Kriteria Eksklusi
- Di luar dari kriteria inklusi
- Tidak bersedia ikut dalam penelitian
Sampel urin yang diambil untuk kultur adalah urin porsi tengah yang
diperoleh pada saat pemasangan kateter (disebut sampel urin I) dan pada hari
ke 4 pemasangan kateter menetap dengan drainase tertutup tanpa pemberian
antibiotik (disebut sampel urin II ).
Pe m e r i k s a a n d i l a k s a n a k a n d i L a b . M i k r o b i o l o g i F K . U S U
M e d a n , d e n g a n m e d i a i s o l a s i a g a r d a r a h ; a g a r M c C o n k e y, d a n u n t u k
uji-kepekaan digunakan agar Muller Hinton. Adanya bakteruria
bermakna yaitu ditemukan 100.000 cfu kuman per ml urin atau
lebih. (Kass.1956)
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari 64 kasus penderita retensi urine karena BPH yang datang berobat
ke RSUP H.Adam Malik dan RSUD Pirngadi Medan dan Rumah sakit kami
dtugaskan dari bulan Agustus 2002 sampai dengan Januari 2003, yang
memenuhi kriteria untuk dimasukkan dalam penelitian ada 46 kasus.
Sedangkan 18 kasus lainnya tidak dapat dimasukkan dalam penelitian, hal ini
disebabkan oleh karena:
• Penderita tidak bersedia ikut dalam penelitian (11 kasus)
• Menderita batu kandung kemih (3 kasus)
• Tidak patuh untuk pengambilan sampel hari keempat (3 kasus)
• Penderita tidak bersedia pakai kateter lagi (1 kasus)
Dari 46 kasus yang masuk dalam kriteria penelitian ini dibagi dalam dua
kelompok kasus, yaitu :
A). 33 kasus yang memakai kateter pertama kali dan
B). 13 kasus yang memakai kateter berulang.
Kemudian masing-masing kelompok kasus dibagi atas :
T O T A L 64 100 % 46 100 %
Penderita yang mengalami retensi urin karena menderita Benigna
Prostat Hyperplasi yang memerlukan pemasangan kateter menetap banyak
didapati pada sebaran usia 65–69 tahun.
Tabel 2.
TABEL HASIL KULTUR
I 4 29 33
II 21 12 33
TOTAL 25 41 66
X2 = 16,484 Df = 1 P = 0,00004906
I 5 8 13
II 12 1 13
TOTAL 17 9 26
X2 =6,118 Df = 1 P = 0,0134
PERTAMA KALI 4 29 33
BERULANG 5 8 13
TOTAL 9 37 46
X 2 =2,608 Df = 1 P = 0, 1063
Tabel 6
PERBEDAAN HASIL PEMERIKSAAN URINE II PADA PEMAKAIAN
KATETER PERTAMA KALI DAN BERULANG
PERTAMA KALI 21 12 33
BERULANG 12 1 13
TOTAL 33 13 46
X2 = 2,499 Df = 1 P = 0,1139
TABEL 7
KUMAN PENYEBAB BAKTERIURIA DARI BEBERAPA PENELITIAN
KETERANGAN TABEL 7.
PEMBAHASAN.
Meskipun belum ada penelitian mengenai insiden BPH di Medan kami
telah melakukan penelitian dampak pemakaian kateter pada penderita retensi
urin karena BPH.
Dari hasil data sebaran usia penderita yang terbanyak mendapat
perlakuan pemasangan kateter adalah usia 65-69 tahun (17 dari 46 orang ;
36,96%). Penelitian Marshal, menunjukkan bahwa sebaran usia yang banyak
dilakukan operasi prostatektomi di RSUP. Adam malik dan RSUD. Pirngadi
Medan tahun 1996 adalah usia diatas 70 tahun (48%) (Marshal.1996).
Tampak pada sebaran umur penderita retensii urin karena BPH
cenderung berkurang setelah umur 70 tahun.
Bakteriuria dapat terjadi pada penderita retensi urin karena BPH
sebelum pemasangan kateter, hal ini dapat disebabkan karena terjadi urin
statis yang berlarut-larut, apalagi pada penderita dengan riwayat pernah pakai
kateter berulang. Tabel 2 ditunjukkan bakteriuria sudah terjadi sebelum pakai
kateter pada 4 penderita (12,12%) dari kelompok yang baru pertama kali
pakai keteter, dan 5 penderita (38,46%) dari kelompok yang berulang pakai
kateter.
Sarim dalam penelitiannya; 12 dari 30 penderita (40%) sebelum
dipasang kateter menetap pertama kali telah mengalami bakteriuria. Tanpak
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian kami.
Tabel 3 dan 4 menunjukkan peningkatan bakteriuria yang bermakna
setelah pemakaian kateter baik pada pemakaian kateter pertama kali atau
berulang. Sesuai dengan literatur bahwa pertumbuhan bakteri sudah terjadi
dalam 24 jam pemakaian kateter menetap, dan terjadi peningkatan bakteriuria
10% setiap harinya pada perawatan tertutup (Schaeffer.1998; Nichols.1995).
Dibandingkan dengan Sarim hasilnya sama, yaitu beda bermakna bakteriuria
pada sebelum dan 4 hari sesudah pakai kateter menetap.
Kuman penyebab bakteriuria karena pemakaian kateter menetap dari
penelitian ini banyak disebabkan oleh E.coli, kemudian dikuti oleh
Staphylococcus aureus, Klebsiella sp, Citrobacter sp, Enterococcus sp dan
Proteus sp. Hasil ini berbeda dengan hasil kepustakaan Barat, dimana di
negara maju infeksi saluran kemih 80% adalah E.coli, kami memperoleh
sekitar 50% . Dari penelitian lain sebelumnya ada yang melaporkan kuman
penyebab bakteriuria terbanyak bukan oleh E. coli, ini mungkin perbedaan
tempat dan perlakuan terhadap penderita misalnya penderita yang dirawat
inap di rumah sakit penyebab bakteriuria sering oleh kuman nosokomial
(pseudomonas), sedangkan pada penderita rawat jalan sering oleh kuman E.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN.
1. Akibat pemakaian kateter kejadian bakteriuria makin meningkat, baik
pada pemakaian kateter pertama kali maupun pemakaian kateter
berulang secara bermakna. Walaupun pemasangannya dengan
dengan cara yang aseptik.
SARAN-SARAN.
1. Setiap pemakaian kateter harus diperhatikan kemungkinan terjadi
infeksi, walaupun dilakukan pemasangan kateter secara aseptik
dan atraumatik. Maka pemakaian kateter harus benar-benar atas
indikasi yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
Bahnson R.R ; ‘Physiology Of the Kidney, Ureter and Bladder’, ‘in Basic cience
Review For Surgeous’, Edited by Simmons R.L and Steed D.L,
W.B.Saundrs Company, 1992: 270-287.
Besimon H ; ‘Surgery of the Prostat’, in ‘Urologic Surgery’, Mc Graw-Hill, 1991:
260-266.