Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan baik bagi tenaga kesehatan, maupun masyarakat luas
(Sidiek A,2012). Indonesia berada di wilayah endemis untuk DBD. Hal
tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan DBD di Indonesia
menjadi masalah kesehatan mayor, tingginya angka kematian anak, endemis
yang sangat tinggi untuk keempat serotipe dan tersebar di seluruh area
(WHO, 2011).
DBD adalah penyakit paling umum pada manusia. Penyakit ini
disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti yang
terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD),
Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS)
termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 (WHO, 2011).
Menurut data WHO (2011), insiden DBD tumbuh secara dramatis di
seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir. Lebih dari 2,5 miliar orang
atau sekitar 40% populasi dunia sekarang beresiko menderita DBD. WHO
memperkirakan saat ini mungkin ada 50-100 juta infeksi DBD di seluruh
dunia setiap tahun dan diperkirakan 500.000 kasus DBD memerlukan rawat
inap setiap tahunnya.
Di Indonesia, DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun
1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970 (Soedarmo,
2012). Insidens tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 penduduk,
namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02 per 100.000 penduduk.
Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum mencapai target
yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk (Depkes, 2010).

1
2

Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru Provinsi Riau mengungkapkan ada


313 orang yang terjangkit DBD sejak Januari 2016. Angka ini mengalami
kenaikan dibandingkan tahun 2015 (Mindrayani dan Lusiana,2016).
Puskesmas Tenayan Raya merupakan salah satu Puskesmas di Kota
Pekanbaru. Berdasarkan data UPTD Puskesmas Tenayan Raya (2016)
diketahui bahwa sejak tahun 2013 sampai tahun 2016 kejadian DBD semakin
meningkat. Data Puskesmas Tenayan Raya pada tahun 2013 terdapat 4
kejadian DBD, kemudian meningkat 3 kali lipat menjadi 12 kejadian DBD
pada tahun 2014. Adapun pada tahun 2015 sampai Januari 2016 diketahui
kejadian DBD mencapai 35 kasus.
Terbentuknya perilaku baru pada seseorang dimulai dari seseorang
tahu dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek sehingga
menimbulkan pengetahuan baru pada seseorang tersebut. Orang yang
memiliki pengetahuan baik cenderung untuk bersikap baik dan akhirnya
berperilaku yang baik pula. Kurangnya pengetahuan dapat berpengaruh pada
tindakan yang akan dilakukan karena pengetahuan merupakan salah satu
faktor pendukung untuk terjadinya perilaku (Wulan dan Tri Puji, 2012). Peran
masyarakat sangat dibutuhkan dalam pengendalian penyakit DBD. Perilaku
membersihkan lingkungan dan secara rutin melakukan kegiatan 3M, yakni
menguras tempat penampungan air, mengubur barang bekas dan menutup
tempat penampungan air akan efektif mengurangi tempat perkembangbiakan
nyamuk, sehingga dapat mengurangi kejadian DBD di lingkungannya. Pada
pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut yaitu
penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh
petugas kesehatan dan masyarakat yang bertujuan untuk memberikan
infomasi bahwa disuatu wilayah tersebut telah terjadi DBD sehingga dapat
dilakukan pencegahan lebih lanjut supaya tidak terjadi penyebaran kasus
DBD yang lebih luas (Purnama, Satoto dan Prabandari, 2013). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnama, Satoto dan Prabandari tahun
2013 yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat berhubungan
dengan kejadian DBD sehingga perlu diadakan penelitian untuk mengetahui
3

tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD di masayarakat terhadap DBD


di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelit merasa
perlu untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan
masyarakat tentang pencegahan DBD dengan kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Tenayan Raya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan antara pengetahuan
masyarakat tentang pencegahan DBD dengan kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Tenayan Raya.

1.3 Tujuan Penelitian


a. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pengetahuan masyarakat tentang
pencegahan DBD dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan
Raya.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui deskripsi tingkat pengetahuan masyarakat tentang
pencegahan penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya.
2. Mengetahui deskripsi kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas
Tenayan Raya

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi peneliti
Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi
peneliti dalam melakukan penelitian.
2. Bagi pemerintah
Dapat memberikan informasi kepada instansi terkait seperti
Dinas Kesehatan dan Puskesmas dalam rangka meningkatkan upaya
4

kesehatan masyarakat, khususnya program pemberantasan penyakit


DBD.
3. Bagi masyarakat
Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang
pentingnya tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD yang baik.
5

1.5 Orisinalitas
Tabel 1 Orisinalitas penelitian
No Nama peneliti, judul penelitian Desain Hasil penelitian
dan tahun penelitian
1 Purnama, Satoto dan Prabandari Case Ada hubungan antara
Pengetahuan, sikap dan perilaku Control tingkat pengetahuan
pemberantasan sarang Nyamuk masyarakat dengan
terhadap infeksi Dengue di kejadian DBD
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota (p=0,004)
Denpasar, Bali 2013
2 Aboesina Sidiek Case Tidak ada hubungan
Hubungan tingkat pengetahuan ibu Control antara tingkat
mengenai penyakit DBD terhadap pengetahuan ibu dengan
kejadian penyakit DBD pada anak, kejadian DBD pada
2012 anak (p=0,2)
3 Lesly Joclin Cross Tidak ada hubungan
Hubungan perilaku masyarakat sectional antara perilaku masyarat
(pengetahuan, sikap, dan praktik) dengan adanya
tentang PSN dengan keberadaan keberadaan jentik
jentik menular DBD di wilayah kerja menular DBD (p=0,543)
Puskesmas Ngaliyan kota Semarang, Ada hubungan antara
2015 praktik PSN dengan
keberadaan jentik
menular DBD.
(p=0,021)
4 Wulan Sari dan Tri Puji Kurniawan Cross Ada hubungan antara
Hubungan Tingkat Pengetahuan dan sectional pengetahuan dengan
Perilaku PSN dengan keberadaan keberadaan jentik Aedes
jentik Aedes aegypti di desa Ngesrep aegypti di Desa Ngesrep
Kecamatan Ngemplak Kabupaten Kecamatan Ngemplak
Boyolali 2015 Kabupaten Boyolali
(p=0,007)
Ada hubungan antara
perilaku dengan
keberadaan jentik Aedes
aegypti di Desa Ngesrep
Kecamatan Ngemplak
Kabupaten Boyolali.
(p=0,000).

Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian di atas adalah


variabel yang digunakan, tempat, dan waktu. Penelitian yang dilakukan oleh
Purnama, Satoto dan Prabandari menggunakan variabel tingkat pengetahuan,
6

sikap, dan perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk terhadap infeksi Dengue.


Penelitian Abuesina Sidiek menggunakan variabel tingkat pengetahuan ibu
mengenai penyakit DBD terhadap kejadian penyakit DBD pada anak. Penelitian
Lesly Joclin menggunakan variabel perilaku masyarakat (pengetahuan, sikap, dan
praktik) tentang PSN dengan keberadaan jentik menular DBD. Penelitian Wulan
Sari dan Tri Puji Kurniawan menggunakan variabel Tingkat Pengetahuan dan
Perilaku PSN dengan keberadaan jentik Aedes aegypti. Sedangkan penelitian yang
akan dilakukan menggunakan variabel tingkat pengetahuan pencegahan DBD
dengan kejadian DBD.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang
termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain
sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang
memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis Dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia (Hadinegoro dkk,2004).
2.1.2 Epidemiologi

Di Indonesia, DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun


1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970
(Soedarmo, 2012). Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap
tahun. Insiden tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000
penduduk namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02 per 100.000
penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum
mencapai target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk
(Depkes, 2008).
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,
kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus Dengue prevalensi serotipe
virus Dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak
terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya
wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi
8

kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%).
Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda
meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu
jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September
sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari
(Soedarmo, 2012).

Gambar 1. Negara dengan resiko transmisi Dengue WHO, 2011

Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan DBD antara lain


demografi dan perubahan sosial, suplai air, manejemen sampah padat,
infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism, peningkatan aliran udara
dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia berada di wilayah
endemis untuk DBD. Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang
menyimpulkan demam dengue dan DBD di Indonesia menjadi masalah
kesehatan mayor, tingginya angka kematian anak, endemis yang sangat
tinggi untuk keempat serotype, dan tersebar di seluruh area (WHO, 2011).
Selama 5 tahun terakhir, insidens DBD meningkat setiap tahun.
Insidens tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 penduduk
namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02 per 100.000 penduduk.
9

Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum mencapai


target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk (Depkes, 2008).

Gambar 2. Angka kesakitan dan kematian DBD di Indonesia (Depkes, 2008)


2.1.3 Etiologi
DBD disebabkan oleh virus Dengue, yang termasuk dalam group B
arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotip terbanyak. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis Dengue dapat terinfeksi dengan
3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus
Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Soedarmo,
2012).
Virus Dengue dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan
nyamuk Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk
yang paling sering ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah
tropis, terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat
10

penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar rumah.


Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik – bintik putih,
biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari.
Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus
memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini berada
di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang
bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit
pada siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter (Rampengan, 2008)

Gambar 3. Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus


(WHO, 2011)
2.1.4 Cara penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan
infeksi virus Dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus
Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti,
nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang
lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang
kurang berperan.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus Dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang
berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada
saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan
kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam
penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan
berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat
11

menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus


memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul (Hadinegoro dkk, 2004).
2.1.5 Manifestasi klinis

Gambar 4. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue (Hadinegoro dkk, 2004)


Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila
semua hal dibawah ini dipenuhi (Suhendro dkk, 2006).
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya
bifasik.
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
1) Uji bendung positif
2) Petekie, ekimosis, atau purpura
3) Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
4) Hematemesis atau melena
5) Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
c. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage kebocoran
plasma) sebagai berikut:
1) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin.Penurunan hematokrit >20%
12

setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai


hematokrit sebelumnya
2) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (Suhendro dkk,
2006):
a) Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet.
b) Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan
atau perdarahan lain.
c) Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan
lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
d) Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
2.1.6 Tatalaksana
Menurut Suhendro tahun 2006, mengingat pada saat awal pasien
datang, kita belum selalu dapat menentukan diagnosis DD/DBD dengan
tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat dibagi dalam 3
bagian, yaitu:
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD
derajat I dan DBD derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit.
(Gambar 5 dan 6)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan
peningkatan kadar hematokrit. (Gambar 7)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok Dengue, termasuk DBD derajat
III dan IV. (Gambar 8)
13

Gambar 5. Tatalaksana kasus tersangka DBD (Suhendro, 2006)


14

Gambar 6. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II tanpa


peningkatan hematokrit (Suhendro, 2006)
15

Gambar 7. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan


peningkata hematokrit <20% (Suhendro, 2006)
16

Gambar 8. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV (Sindrom


Syok Dengue/SSD) (Suhendro, 2006)
17

2.1.7 Pencegahan
Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan
atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah yaitu Aedes aegypti.
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 2 tingkatan yaitu pencegahan
primer, pencegahan sekunder (Azizah dan Betty, 2010).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang
yang sehat menjadi sakit.
a. Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk
menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor
resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran
Dengue. dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai,
untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan
pengendalian vektor (Sukowati, 2010).
Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan
sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk
memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah
survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa
semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui ada
tidaknya jentik, yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan
dengan melihat ada tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa
mengambil jentiknya.
18

Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan


jentik Aedes aegypti adalah : (Rosidi dan Adisasmito, 2006)
1) House Index (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan
atau pupa
jumlah rumah yang terdapat jentik x 100%
𝐵𝐼 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
2) Container Index (CI), yaitu persentase container yang terjangkit
larva atau pupa.
Jumlah Rumah yang terdapat Jentik x 100%
𝐶𝐼 =
jumlah rumah yang di periksa
3) Breteau Index (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100
rumah yang diperiksa.
Jumlah container yang terdapat jentik x 100 rumah
𝐵𝐼 =
jumlah rumah yang di periksa
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas
Jentik (ABJ), yaitu jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per
jumlah rumah yang diperiksa.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑅𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘 𝑥 100%
𝐴𝐵𝐽 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi
hasil kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali di setiap
desa/kelurahan endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara
acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan House Index lebih
menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk disuatu wilayah.
b. Pengendalian Vektor
Vektor adalah arthropoda yang dapat memindahkan atau
menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada induk
semang yang rentan (Rizki Mubarokah, 2012). Pengendalian vektor
merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi atau menekan
populasi vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai
penular penyakit dan menghindarkan terjadinya kontak antara vektor
dan manusia (Sukowati, 2010)
19

Upaya pencegahan tidak harus dilakukan manakala kita sudah


benar-benar sakit. Tetapi, upaya pencegahan harus dilakukan jauh
sebelumnya yaitu pada kondisi sehatpun harus ada upaya yang positif.
Tindakan pencegahan merupakan upaya untuk memotong perjalanan
riwayat alamiah penyakit pada titik-titik atau tempat-tempat yang
paling berpotensi menyebabkan penyakit atau sumber penyakit.
Pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan dengan cara
mengendalikan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama DBD.
Pencegahan yang efektif seharusnya dilaksanakan secara integral
bersama-sama antara masyarakat, pemerintah dan petugas kesehatan
(Sukowati, 2010).
Hingga saat ini pemberantasan nyamuk Aedes aegypti
merupakan cara utama yang dilakukan untuk memberantas DBD
karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya
belum tersedia. Sasaran pemberantasan DBD dapat dilakukan pada
nyamuk dewasa dan jentik. Pengendalian vektor adalah upaya untuk
menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti. Secara garis
besar ada 4 cara pengendalian vektor yaitu :
a) Pengendalian Cara Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik
bagi program pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan
insektisida dalam pengendalian vektor DBD bagaikan pisau
bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus merugikan.
Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat
waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme
yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu
akan menimbulkan resistensi vektor. Data penelitian yang
dilakukan pada tahun 2006 di Jakarta dan Denpasar pada tahun
2009 yang dilakukan oleh Shinta dkk menunjukkan resistensi
vektor terhadap insektisida yang digunakan oleh program.
20

Insektisida untuk pengendalian DD/DBD harus digunakan dengan


bijak dan merupakan senjata pamungkas (Sukowati, 2010).
Berupa pengendalian vektor dengan bahan kimia, baik
bahan kimia sebagai racun, bahan penghambat pertumbuhan, dan
sebagai hormon. Penggunaan bahan kimia untuk pengendalian
vektor harus mempertimbangkan kerentanan terhadap pestisida,
bisa diterima masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme
lain. Caranya adalah : a) pengasapan/fogging , b) memberi bubuk
abate pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong, vas
bunga, kolam, dan lain-lain (Azizah dan Betty, 2010).
Fogging
Fogging merupakan salah satu kegiatan penanggulangan
DBD (Demam Berdarah Dengue) yang dilaksanakan pada saat
terjadi penularan DBD melalui penyemprotan insektisida daerah
sekitar kasus DBD yang bertujuan memutus rantai penularan
penyakit. Sasaran fogging adalah rumah serta bangunan dipinggir
jalan yang dapat dilalui mobil di desa endemis tinggi (Mandasari,
2012).
Cara ini dapat dilakukan untuk membunuh nyamuk dewasa
maupun larva. Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan
menggunakan cara penyemprotan pada dinding (resisual spraying)
karena nyamuk Aedes aegypti tidak suka hinggap pada dinding,
melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu
pada kain tergantung (Mandasari, 2012).
Menurut Mandasari (2012). Fogging dilaksanakan dalam
bentuk yaitu :
i. Fogging Fokus Adalah pemberantasan nyamuk DBD
dengan cara pengasapan terfokus pada daerah tempat
ditemukannya tersangka / penderita DBD.
ii. Fogging Massal Adalah kegiatan pengasapan secara
serentak dan menyeluruh pada saat terjadi KLB DBD.\
21

Tatalaksana Fogging
Fogging dilaksanakan sebanyak 2 putaran dengan interval
minggu oleh petugas dalam radius 200 meter untuk
penanggulangan fokus dan untuk penanggulangan fokus untuk
KLB meliputi wilayah yang dinyatakan sebahai tempat KLB DBD.
Fogging dilaksanakan oleh petugas kesehatan atau pihak swasta
yang telah menjadi anggota IPPHAMI (Ikatan Perusahaan
Pengendalian Hama Indonesia) dan harus mendapat rekomendasi
dari Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota. Selain itu khusus untuk
fogging fokus dapat dilakukan oleh masyarakat dengan tenaga
terlatih dibawah pengawasan Puskesmas yang telah memperoleh
izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota (Mandasari, 2012).
Persyaratan Penggunaan Fogging
Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging, yaitu :
a. Adanya pasien yang meninggal disuatu daerah akibat DBD.
b. Tercatat dua orang yang positif yang terkena DBD di daerah
tersebut.
c. Lebih dari tiga orang di daerah yang sama mengalami demam
dan adanya jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti.
Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau Puskesmas di
suatu daerah, maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan
dalam waktu 24 jam, setelah itu akan diadakan penyelidikan
epidemiologi kemudian baru fogging fokus (Mandasari, 2012).
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan fogging
a. Suhu
Suhu adalah keadaan udara yang akan mempengaruhi
pengasapan. Pengasapan diluar ruangan pada waktu tengah hari
atau pada suhu tinggi akan sia-sia karena asap akan menyebar
keatas, bukan kesamping sehingga pengasapan tidak maksimal.
22

Oleh sebab itu fogging sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau
sore hari (Mandasari, 2012).
b. Waktu
Waktu fogging harus disesuaikan dengan puncak aktivitas
nyamuk Aedes aegypti yang aktif mencari mangsa pada pagi
hari sekitar pukul 07.00-10.00, dan sore hari sekitar pukul
14.00- 17.00 (Mandasari, 2012).
b) Pengendalian Hayati / Biologis
Pengendalian secara biologis merupakan upaya
pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD.
Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu
mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari
kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop
(Copepoda) (Sukowati,2010).
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa
digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak
jenisnya, dan yang paling mudah didapat dan dikembangkan
masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia
ada beberapa ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa
digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan
pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan di kota
Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang.
Meskipun terbukti efektif untuk pengendalian larva Ae.aegypti,
namun sampai sekarang belum digunakan oleh masyarakat secara
luas dan berkesinambungan. Pemanfaatan ikan pemakan jentik
harus difasilitasi oleh Pemerintah daerah dan pembinaan dari
sektor terkait, karena masyarakat Indonesia belum mampu mandiri
sehingga masih harus mendapatkan dukungan penyuluhan agar
mampu melindungi dirinya dan keluarga dari penularan DBD.
Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu
mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau
23

cyclops, jenis ini sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro.


Namun jenis ini mampu makan larva vektor DBD. Beberapa
spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain Mesocyclops
aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar
Penelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga. Peran Copepoda dalam
pengendalian larva DD/DBD masih harus diuji coba lebih rinci di
tingkat operasional. (Sukowati, 2010)
Bakteri
Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan
digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva
vektor adalah kelompok bakteri. Dua spesies bakteri yang sporanya
mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah
Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus
(BS). Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga
spora harus masuk ke dalam saluran pencernaan larva. Keunggulan
agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap
lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini
harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus
disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena
endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah
berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi (Sukowati,
2010)
c) Pengendalian Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut
antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan
nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain
rumah. Sebagai contoh : menguras bak mandi/penampungan air
sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengubur kaleng-kaleng dan
ban-ban bekas, menutup dengan rapat bak penampungan air, dan
24

mengganti/menguras vas bunga / tempat minum burung seminggu


sekali (Azizah dan Betty, 2010).
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan
lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat
perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi
kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil
dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para
pemegang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui
program kemitraan (Sukowati, 2010).
d) Terpadu.
Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara
yang dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program
maupun lintas sektoral dan peran serta masyarakat. Cara yang
paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M
Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga
melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik,
menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan
repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll
sesuai dengan kondisi setempat (Azizah dan Betty, 2010).
c. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang
disertai pemantauan hasilnya ecara terus menerus. Gerakan PSN DBD
merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan
penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan
kebersihan lingkungan serta perilaku ehat dalam rangka mencapai
masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk
penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu
25

(Azizah dan Betty, 2010). Menguras bak mandi, bak penampungan


air, tempat minum hewan peliharaan minimal sekali dalam seminggu.
1) Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa
sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.
2) Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai,
yang semuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat
berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.
3) Pemberantasan dengan fooging yang terfokus pada lokasi yang
ditemukan kasus
4) Kunjungan kerumah-rumah untuk pemantauan jentik nyamuk
dan abatisasi
5) Penyuluhan dan kerja bakti melakukan 3M
Kegiatan PSN DBD selain dilakukan dengan cara 3 M,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia juga mencanangkan 3 M
plus yaitu 3 M ditambah dengan (Mubarokah, 2013). Mengganti air
vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang
sejenis seminggu sekali .
a. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar atau
rusak
b. Menutup lubang-lubang atau potongan bambu/pohon dengan
tanah atau yang lain
c. Menaburkan bubuk larvasida misalnya di tempat-tempat yang
sulit dikuras
d. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak
penampungan air
e. Memasang kawat kasa
f. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam kamar
g. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang
memadai
h. Menggunakan kelambu
26

i. Memakai obat nyamuk yang dapat mencegah dari gigitan


nyamuk (Depkes RI, 2010).

2. Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD
dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan masyarakat dengan
cara :
1. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit
DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak minum,
kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak
mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau
unit pelayanan kesehatan (Sukowati, 2010).
2. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan
pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera melaporkan
penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada
Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima
laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan
pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah
disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya
penularan lebih lanjut .
3. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan
epidemiologi dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat,
dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara
penanggulangan seperlunya.
2.2 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses
penginderaan hususnya secara visual dan auditorik terhadap suatu
objek. Pengetahuan merupakan suatu kunci yang sangat penting untuk
27

terbentuknya perilaku. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa


perilaku yang didasari pengetahuan akan berlangsung lama. Namun
pengetahuan seseorang dalam pengenalan suatu objek mempunyai
suatu intensitas yang berbeda-beda yang secara garis besar dibagi
enjadi 6 tahapan tingkat pengetahuan yaitu tahu, memahami, aplikasi,
analisis, sintetis dan evaluasi. Pengukuran tingkat pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau kuesioner yang menanyakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoadmodjo,
2003)
2. Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu respon atau stimulus. Sikap tidak langsung terlihat
tetapi hanya bisa ditafsir dari perilaku. Sikap secara nyata
menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu.
3. Perilaku
Perilaku merupakan kumpulan respon yang menjadi sangat
kompleks yang selalu berkaitan dengan situasi, sebagaimana sebuah
respons selalu terkait dengan sebuah stimulus. Perilaku manusia
adalah suatu aktifitas manusia itu sendiri. Secara keseluruhan dapat
diartikan suatu respon seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek
tersebut. Jadi, berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
perilaku adalah kumpulan dinamika gerak individu yang selalu
dipengaruhi oleh lingkungan (Notoatmodjo 2007).
2.3 Hubungan tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan
kejadian DBD
DBD merupakan penyakit yang penyebarannya paling cepat.
DBD termasuk contoh penyakit yang dapat menyebabkan kedaruratan
kesehatan. Penyakit DBD ini disebabkan oleh virus Dengue yang
ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes Aegypti (Imda, 2015).
Penyakit DBD juga dipengaruhi oleh beberapa kondisi yaitu :
lingkungan, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, keberadaan pot
28

tanaman hias, keberadaan saluran air hujan, dan keberadaan kontainer


buatan ataupun alami di tempat pembuangan akhir sampah. Penyakit
DBD belum ditemukan vaksinnya sehingga cara satu-satunya untuk
menghindari terjangkit penyakit ini dengan pencegahan. Pencegahan
DBD yang dapat dilakukan yaitu dengan mencegah gigitan nyamuk
Aedes Aegypti yang mengandung virus Dengue terhadap manusia.
Salah satu cara pencegahan penyakit DBD adalah dengan menjaga
kebersihan lingkungan agar tidak menjadi media perindukan nyamuk
Aedes Aegypti, yaitu berupa pemberantasan sarang nyamuk (PSN),
fogging, abatisasi, dan pelaksanaan 3M (menguras, menutup, dan
mengubur) (Tyrsa, 2015).
Permasalahan pada pengendalian penyakit DBD dapat
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan serta perilaku dan sosialisasi
pemerintah tentang upaya pengendalian DBD. Upaya pencegahan
DBD melalui peningkatan kualitas pengetahuan masyarakat tentang
cara penyebaran dan pemberantasan penyakit DBD melalui upaya
promotif dan preventif bisa menjadi jalan alternatif. Sementara itu,
upaya kuratif dan rehabilitatif membutuhkan waktu yang lebih lama,
biaya yang cenderung lebih mahal, dan masyarakat yang bergantung
pada upaya pemerintah (Imda, 2015).
Pemberantasan DBD dapat dilakukan melalui peningkatan ilmu
pengetahuan serta peningkatan perilaku hidup sehat dan kemandirian
dalam pengendalian DBD. Beragamnya tingkat pengetahuan, sikap,
dan perilaku dapat menjadi penghambat tindakan pengendalian DBD.
Pengetahuan ditujukan untuk mengetahui cara pencegahan, gejala dan
tanda, serta penanganan penyakit DBD agar keluarga dan dirinya
sendiri tidak terjangkit DBD. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Purnama tahun 2013 yang menyatakan bahwa tingkat
pengetahuan masyarakat berhubungan dengan kejadian DBD dengan
nilai p = 0,004 (Purnama, Satoto dan Prabandari, 2013).
29

2.4 Kerangka Teori

Pengetahuan tentang Pencegahan DBD


 Tahu
 Memahami
 Aplikasi
 Analisis
 Sintetis
 Evaluasi

Sikap tentang Pencegahan DBD Kejadian DBD

Perilaku tentang Pencegahan DBD Faktor Risiko


 Lingkungan  Kepadatan nyamuk
 Kepadatan hunian rumah
 Kepadatan rumah

Gambar 9. Kerangka Teori

2.5 Kerangka Konsep


Variabel independen Variabel dependen

Tingkat Pengetahuan tentang Kejadian DBD


Pencegahan DBD

Gambar 10. Kerangka Konsep

2.6 Hipotesis

Ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang pencegahan


DBD dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya.
30

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian


Penelitian ini mengunakan metode observasional dengan pendekatan case
control. Desain case control adalah suatu penelitian analitik yang menyangkut
bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan
“retrospective”. Dengan kata lain, efek (penyakit atau status kesehatan)
diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor risiko diidentifikasi ada atau
terjadinya pada waktu yang lalu (Notoadmodjo, 2012).
3.2 Tempat dan waktu
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya. Waktu
penelitian akan dilakukan pada tanggal 7 sampai 10 Mei 2016.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel independen pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan
tentang pencegahan DBD. Variabel dependen pada penelitian ini adalah
kejadian DBD.
3.4 Definisi Operasional
Tabel 2. Definisi operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasinal
1 Kejadian Kejadian DBD Kuesioner 0 = Tidak Nominal
DBD adalah pasien Mengalami
yang sudah DBD (Kontrol)
didiagnosis 1=
DBD di wilayah Mengalami
kerja Puskesmas DBD
Tenayan Raya (Kasus)
2 Tingkat Pengetahuan Kuesioner 0 = Baik Nominal
pengetahuan merupakan 1 = Buruk
tentang tingkat
pencegahan pengetahuan
DBD tentang
pencegahan
DBD
31

3.5 Populasi Dan Sampel Penelitian


3.5.1 Populasi
Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh pasien
yang didiagnosis DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya
antara bulan November sampai Maret 2016. Populasi kontrol pada
penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah
kerja Puskesmas Tenayan Raya yang tidak di diagnosis DBD.
3.5.2 Sampel
Teknik pengambilan sampel kasus yang digunakan adalah
Total Sampling sebanyak 30 kasus. Sampel kontrol diambil secara
Purposive Sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan
pertimbangan peneliti. Sampel kontrol yaitu individu yang tinggal
berjarak 100 meter dari sampel kasus dan memiliki kemungkinan
terpapar faktor risiko yang sama dengan sampel kasus yaitu
sebanyak 30 kontrol.
3.5.3 Kriteria inklusi dan eksklusi
1. Kriteria inklusi kasus
Pasien yang terdiagnosis DBD di wilayah kerja Puskesmas
Tenayan Raya.
2. Kriteria inklusi kontrol
1. Pasien yang tidak terdiagnosis DBD di wilayah kerja
Puskesmas Tenayan Raya
2. Responden yang tinggal berjarak 100 meter dari rumah
sampel kasus
3. Responden yang memiliki kemungkinan terpapar faktor
risiko yang sama dengan sampel kasus.
3. Kriteria eksklusi kasus
Responden yang memiliki gejala yang mirip dengan penyakit
DBD, seperti chikungunya, yellow fever, typhoid dan lain-lain.
32

3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data


Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer yang diperlukan pada penelitian adalah data
pengetahuan tentang pencegahan DBD yang di peroleh dari hasil
wawancara dengan responden dengan menggunkan kuesioner yang telah
digunakan dari penelitian sebelumnya oleh Larasati 2009 yang berisi 20
pertanyaan tentang tingkat pengetahuan mengenai penyakit DBD yang
telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data sekunder diperoleh dari
Puskesmas Tenayan Raya berupa data kasus penderita DBD antara bulan
November sampai Maret 2016
3.7 Rencana manajemen dan analisis data
3.7.1 Teknik pengolahan data
1. Editing
Editing sama artinya dengan penyuntingan data, langkah ini
bertujuan untuk memeriksa kembali apakah ada data dan
informasi yang belum lengkap.
2. Coding
Setelah semua data atau informasi diedit maka data tersebut
diberi kode, data yang berbentuk kalimat atau huruf dapat diubah
menjadi data berbentuk bilangan atau angka. Kode untuk setiap
variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Tingkat Pengetahuan
0 = Baik (skor benar 11-21)
1 = Buruk (skor benar 1-10)
b. Kejadian DBD
1 = Kasus
0 = Kontrol
3. Entry Data (memasukkan data)
Data yang sudah dirubah dalam bentuk kode akan
dimasukkan kedalam software komputer. Salah satu program
yang sering digunakan untuk memasukkan data adalah SPSS.
33

4. Tabulating
Data yang telah ada dibuat tabel-tabel data sesuai dengan
yang diinginkan oleh peneliti.
3.8 Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan analisis univariat dan analisis
bivariate.
3.8.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui karakteristik
responden dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.
3.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya. Uji statistik yang digunakan
adalah uji Chi-Square. Nilai yang dihasilkan adalah p-value dan Odds
Ratio (OR), karena OR digunakan oleh penelitian case control yang
pengukurannya bersifat retrospektif untuk melihat faktor risiko. Rumus
OR adalah sebagai berikut (Sugiono, 2012).
Kejadian DBD + -
Pengetahuan
+ A B

- C D

𝑎/𝑏 𝑎 𝑥 𝑏
OR = =
𝑐/𝑑 𝑏 𝑥 𝑐

Interpretasi OR :
4. Jika OR = 1, maka eksposure tidak berhubungan dengan outcome
5. Jika OR < 1, maka eksposure merupakan faktor protektif dari outcome
6. Jika OR > 1, maka eksposure merupakan faktor risiko dari outcome
34

3.9 Alur Penelitian

Perijinan Penelitian

Pengambilan data Primer dan Sekunder

Jumlah Sampel Kasus Jumlah Sampel Kontrol

(n=35) (n=35)

Pengolahan Data

Analisis Data

Univariat Bivariat

Gambar 11. Alur penelitian


35

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan April tahun 2016 di wilayah kerja
Puskesmas Tenayan Raya Pekanbaru. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien yang didiagnosis DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya
antara bulan November sampai Maret 2016. Populasi kontrol pada penelitian ini
adalah seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tenayan
Raya yang tidak di diagnosis DBD. Sampel kasus diambil secara Total Sampling
sebanyak 32 orang. Sampel kontrol diambil secara Purposive Sampling sebanyak
32 orang. Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari tuntunan
kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data sekunder diperoleh
dari Puskesmas Tenayan Raya berupa data kasus penderita DBD antara bulan
November sampai Maret 2016. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis univariat dan analisis bivariat.
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan karakteristik
responden penelitian berupa tingkat pengetahuan dan kejadian DBD.
a. Tingkat Pengetahuan
Tabel 4.3 Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden di wilayah kerja
Puskesmas Tenayan Raya
Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
Buruk 27 42,2
Baik 37 57,8
Total 64 100,0

Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan bahwa, sebagian besar responden


memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak 37 orang (57,8%).
36

b. Kejadian DBD
Tabel 4.4 Distribusi Kejadian DBD
Kejadian DBD Frekuensi Persentase (%)
DBD (Kasus) 32 50,0
Tidak DBD (Kontrol) 32 50,0
Total 64 100,0

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan bahwa, proporsi responden yang


mengalami DBD (Kasus) dan tidak mengalami DBD (Kontrol) adalah
sama besar yaitu sebanyak 32 orang.
4.1.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan kejadian DBD.
Analisis data secara statistik dilakukan dengan uji Chi-Square dan
diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Tentang Pencegahan
DBD Dengan Kejadian DBD
Tabel 4.5 Hubungan antara tingkat pengetahuan tentang pencegahan
DBD dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya
Kejadian DBD Total % p- OR
value
DBD %
Tidak %
(Kasus DBD
(Kontrol))
Tingkat Buruk 9 28,1 18 56,2 27 42,2 0,023 3,286
pengetahuan Baik 23 71,9 14 43,8 37 57,8
Total 32 100 32 100 64 100
Berdasarkan tabel 4.5 dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan tentang pencegahan
DBD dengan kejadian DBD (p-value = 0,023), dengan nilai Odds Ratio
sebesar 3,286. Artinya, responden yang memiliki pengetahuan yang
buruk mempunyai resiko untuk menderita DBD sebesar 3,286 kali lebih
besar dibanding dengan orang yang memiliki pengetahuan baik.
37

4.2 Pembahasan
a. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Pencegahan DBD dengan
Kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hubungan
antara tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan kejadian DBD
yang bermakna dengan nilai p=0,023 (p<0,05) dan OR 3,286. Masyarakat yang
berpendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif,
mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status
kesehatan yang lebih baik. Menurut Notoatmodjo, ada kaitan antara tingkat
pendidikan dengan pelayanan kesehatan, artinya semakin tinggi tingkat
pendidikan masyarakat kemungkinan dapat mempengaruhi keberhasilan
program pengendalian DBD (Hutapea, 2007).
Penyakit DBD merupakan penyakit yang menular yang penularannya
relatif tinggi berdasarkan kepadatan penduduk, mobilisasi yang tinggi, serta
dipengaruhi oleh ada tidaknya tempat perindukan nyamuk penular DBD.
Mobilisasi penduduk disebabkan oleh perpindahan atau perjalanan masyarakat
keluar dari daerah lain karena pendidikan atau perkerjaan (Marlina, 2005).
Pengetahuan responden pada penelitian ini sebagian berpengetahuan
baik sebanyak 37 orang (57,8%) sehingga cukup untuk mengetahui dan
memahami informasi mengenai DBD. Pengetahuan yang positif tidak
menjamin terjadinya sikap dan tindakan positif pula. Ada hal lain seperti sarana
dan prasarana yang dapat memepengaruhi seseorang untuk bersikap dan
bertindak. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu faktor
predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposis meliputi
pengetahuan, sikap, kepercayaan serta nilai dan tradisi. Tersedianya sarana dan
prasarana merupakan faktor pemungkin untuk seseorang melakukan perilaku
kesehatan. Faktor penguat merupakan faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Faktor ini mencakup faktor sikap dan perilaku
tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk
petugas kesehatan serta Undang-undang. Sikap yang baik meliputi beberapa
tahap yaitu mencapai tahap receiving (menerima), responding (merespon),
38

menghargai, bahkan mau bertanggung jawab untuk bertindak melakukan


pencegahan dan pengendalian DBD (Notoatmodjo, 2007).
Orang yang memiliki pengetahuan baik cenderung untuk bersikap baik
dan akhirnya berperilaku yang baik. Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Purnama, Satoto, dan Prabandari (2013) di
Denpasar, Bali tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku Pemberantasan Sarang
Nyamuk terhadap infeksi Dengue dengan p-value 0,004 dan nilai OR 2,72.
Selain itu, penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Shuaib (2010) di
Jamaika tentang pengetahuan, sikap dan perilaku terkait infeksi dengue bahwa
subjek penelitian yang memiliki pengetahuan baik berhubungan dengan sikap
dan perilaku dalam melakukan pencegahan DBD (Notoatmodjo, 2007).
39

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Terdapat hubungan tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya (p-value = 0,023,
OR = 3,286)

5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, terdapat beberapa
saran yang perlu disampaikan dan pertimbangan agar penelitian selanjutnya
dapat menjadi lebih baik lagi, yaitu diantaranya :
1. Bagi masyarakat, khususnya masyarakat Desa Kulim dan Tangkerang
Timur agar dapat berperan aktif mengikuti kegiatan mengenai
pencegahan DBD dalam pemberantasan penyakit DBD.
2. Bagi Puskesmas, khususnya Puskesmas Tenayan Raya agar dapat
meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan mengenai
penyakit DBD dan cara pencegahan DBD. Diharapkan kegiatan
tersebut dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian karena DBD.
3. Bagi peneliti lain agar dapat meneliti faktor-faktor lain yang belum
diteliti pada penelitian ini yang berhubungan dengan kejadian DBD
misalnya, sikap dan perilaku masyarakat.
40

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, G. T dan Betty F R. Analisis Faktor Risiko Kejadiaan Demam Berdarah


Dengue. Kecamatan Mojoroyo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi Vol. 5 No.
2 Ed Oktober 2010
Departemen Kesehatan. 2008. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyelamatan
Lingkungan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI, 2010, Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue di
Indonesia, Jakarta: Depkes RI.
Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3.
Jakarta. 2004.
Hutapea, Bilson. Perilaku Masyarakat Mengenai DBD di Kelurahan Gung Negeri
Kecematan Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2007:Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Sumatera Utara;2007
Imda. 2015. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kepala Keluarga dengan
Perilaku Pencegahan DBD di desa Sendangmulyo Kabupaten Blora. Skripsi
tidak diterbitkan. Blora.
Larasati A. 2009. Pengetahuan Ibu Rumah Tangga di Paseban Barat Jakarta Pusat
tentang Demam Berdarah Dengue dan Faktor-Faktor yang Berhubungan.
FK UI.
Mindrayani N dan Lusiana S.2016. “Di Pekanbaru 313 orang terjangkit DBD
sejak awal 2016”.ANTARA, 24 Maret 2016.
Marlina, S. Perilaku Keluarga Terhadap Usaha PencegahanPenyakit DBD di
Lingkungan Rumah di Desa Suka Makmur Kecamatan Delitua. Medan;
Fakultas Kedokteran USU;2005
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
41

Purnama G S, Satoto B T, Prabandari Y. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku


Pemberantasan Sarang Nyamuk Terhadap Infeksi Dengue Di Kecamatan
Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali 2013. Jurnal Arc.Com.Health. Vol 2
No 1 :20-27
Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi 2. Jakarta :
EGC.
Rosidi, A R dan Adisasmito W. 2006. Hubungan Faktor Penggerakan
Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue dengan Angka
Bebas Jetik di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Majalengka. Jawa Barat
Mandasari, Y. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit
DBD (P2DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Makassar. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Hasanudin : Makassar
Shuaib, F, Todd D,Campbell D, Ehiri J and Jolly P.2010. Knowledge, attitude and
practice regarding dengue infection in Westmoreland, Jamaica. West. Ind.
Med., 59: 139-146.
Sidiek A. 2012. Hubungan tingkat pengetahuan ibu mengenai penyakit DBD
terhadap kejadian penyakit DBD pada anak. Jurnal Media Muda Medika.
Vol (No) :
Soedarmo, Sumarmo S. Poerwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis
Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
Sugiono. Statistika Untuk Penelitian.Bandung: ALFABETA CV,2012.

Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
Sukowati, S. 2010 Masalah vektor demam berdarah dengue dan pengendaliannya
di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. 2:25-30.
Tyrsa M. 2015. Hubungan antara karakteristik individu, pengetahuan dan sikap
dengan tindakan PSN DBD masyarakat kelurahan Malalayang I kecamatan
Malalayang Kota Manado. Vol 5 No 2b.
WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
42

WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue


and Dengue Haemorraghic Fever. India : WHO
Wulansari, Kurnaiwan,T P. 2012. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Perilaku
PSN dengan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti Di Desa Ngesrep Kecamatan
Ngemplak Kabupaten Boyolali. Jurnal Kesehatan, ISSN 1979-7621, Vol. 5,
No. 1, Juni 2012: 66-73

Anda mungkin juga menyukai