PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan baik bagi tenaga kesehatan, maupun masyarakat luas
(Sidiek A,2012). Indonesia berada di wilayah endemis untuk DBD. Hal
tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan DBD di Indonesia
menjadi masalah kesehatan mayor, tingginya angka kematian anak, endemis
yang sangat tinggi untuk keempat serotipe dan tersebar di seluruh area
(WHO, 2011).
DBD adalah penyakit paling umum pada manusia. Penyakit ini
disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti yang
terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD),
Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS)
termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 (WHO, 2011).
Menurut data WHO (2011), insiden DBD tumbuh secara dramatis di
seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir. Lebih dari 2,5 miliar orang
atau sekitar 40% populasi dunia sekarang beresiko menderita DBD. WHO
memperkirakan saat ini mungkin ada 50-100 juta infeksi DBD di seluruh
dunia setiap tahun dan diperkirakan 500.000 kasus DBD memerlukan rawat
inap setiap tahunnya.
Di Indonesia, DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun
1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970 (Soedarmo,
2012). Insidens tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 penduduk,
namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02 per 100.000 penduduk.
Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum mencapai target
yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk (Depkes, 2010).
1
2
1.5 Orisinalitas
Tabel 1 Orisinalitas penelitian
No Nama peneliti, judul penelitian Desain Hasil penelitian
dan tahun penelitian
1 Purnama, Satoto dan Prabandari Case Ada hubungan antara
Pengetahuan, sikap dan perilaku Control tingkat pengetahuan
pemberantasan sarang Nyamuk masyarakat dengan
terhadap infeksi Dengue di kejadian DBD
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota (p=0,004)
Denpasar, Bali 2013
2 Aboesina Sidiek Case Tidak ada hubungan
Hubungan tingkat pengetahuan ibu Control antara tingkat
mengenai penyakit DBD terhadap pengetahuan ibu dengan
kejadian penyakit DBD pada anak, kejadian DBD pada
2012 anak (p=0,2)
3 Lesly Joclin Cross Tidak ada hubungan
Hubungan perilaku masyarakat sectional antara perilaku masyarat
(pengetahuan, sikap, dan praktik) dengan adanya
tentang PSN dengan keberadaan keberadaan jentik
jentik menular DBD di wilayah kerja menular DBD (p=0,543)
Puskesmas Ngaliyan kota Semarang, Ada hubungan antara
2015 praktik PSN dengan
keberadaan jentik
menular DBD.
(p=0,021)
4 Wulan Sari dan Tri Puji Kurniawan Cross Ada hubungan antara
Hubungan Tingkat Pengetahuan dan sectional pengetahuan dengan
Perilaku PSN dengan keberadaan keberadaan jentik Aedes
jentik Aedes aegypti di desa Ngesrep aegypti di Desa Ngesrep
Kecamatan Ngemplak Kabupaten Kecamatan Ngemplak
Boyolali 2015 Kabupaten Boyolali
(p=0,007)
Ada hubungan antara
perilaku dengan
keberadaan jentik Aedes
aegypti di Desa Ngesrep
Kecamatan Ngemplak
Kabupaten Boyolali.
(p=0,000).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang
termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain
sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang
memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis Dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia (Hadinegoro dkk,2004).
2.1.2 Epidemiologi
kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%).
Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda
meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu
jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September
sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari
(Soedarmo, 2012).
2.1.7 Pencegahan
Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan
atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah yaitu Aedes aegypti.
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 2 tingkatan yaitu pencegahan
primer, pencegahan sekunder (Azizah dan Betty, 2010).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang
yang sehat menjadi sakit.
a. Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk
menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor
resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran
Dengue. dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai,
untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan
pengendalian vektor (Sukowati, 2010).
Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan
sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk
memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah
survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa
semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui ada
tidaknya jentik, yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan
dengan melihat ada tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa
mengambil jentiknya.
18
Tatalaksana Fogging
Fogging dilaksanakan sebanyak 2 putaran dengan interval
minggu oleh petugas dalam radius 200 meter untuk
penanggulangan fokus dan untuk penanggulangan fokus untuk
KLB meliputi wilayah yang dinyatakan sebahai tempat KLB DBD.
Fogging dilaksanakan oleh petugas kesehatan atau pihak swasta
yang telah menjadi anggota IPPHAMI (Ikatan Perusahaan
Pengendalian Hama Indonesia) dan harus mendapat rekomendasi
dari Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota. Selain itu khusus untuk
fogging fokus dapat dilakukan oleh masyarakat dengan tenaga
terlatih dibawah pengawasan Puskesmas yang telah memperoleh
izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota (Mandasari, 2012).
Persyaratan Penggunaan Fogging
Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging, yaitu :
a. Adanya pasien yang meninggal disuatu daerah akibat DBD.
b. Tercatat dua orang yang positif yang terkena DBD di daerah
tersebut.
c. Lebih dari tiga orang di daerah yang sama mengalami demam
dan adanya jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti.
Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau Puskesmas di
suatu daerah, maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan
dalam waktu 24 jam, setelah itu akan diadakan penyelidikan
epidemiologi kemudian baru fogging fokus (Mandasari, 2012).
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan fogging
a. Suhu
Suhu adalah keadaan udara yang akan mempengaruhi
pengasapan. Pengasapan diluar ruangan pada waktu tengah hari
atau pada suhu tinggi akan sia-sia karena asap akan menyebar
keatas, bukan kesamping sehingga pengasapan tidak maksimal.
22
Oleh sebab itu fogging sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau
sore hari (Mandasari, 2012).
b. Waktu
Waktu fogging harus disesuaikan dengan puncak aktivitas
nyamuk Aedes aegypti yang aktif mencari mangsa pada pagi
hari sekitar pukul 07.00-10.00, dan sore hari sekitar pukul
14.00- 17.00 (Mandasari, 2012).
b) Pengendalian Hayati / Biologis
Pengendalian secara biologis merupakan upaya
pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD.
Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu
mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari
kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop
(Copepoda) (Sukowati,2010).
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa
digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak
jenisnya, dan yang paling mudah didapat dan dikembangkan
masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia
ada beberapa ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa
digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan
pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan di kota
Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang.
Meskipun terbukti efektif untuk pengendalian larva Ae.aegypti,
namun sampai sekarang belum digunakan oleh masyarakat secara
luas dan berkesinambungan. Pemanfaatan ikan pemakan jentik
harus difasilitasi oleh Pemerintah daerah dan pembinaan dari
sektor terkait, karena masyarakat Indonesia belum mampu mandiri
sehingga masih harus mendapatkan dukungan penyuluhan agar
mampu melindungi dirinya dan keluarga dari penularan DBD.
Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu
mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau
23
2. Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD
dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan masyarakat dengan
cara :
1. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit
DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak minum,
kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak
mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau
unit pelayanan kesehatan (Sukowati, 2010).
2. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan
pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera melaporkan
penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada
Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima
laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan
pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah
disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya
penularan lebih lanjut .
3. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan
epidemiologi dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat,
dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara
penanggulangan seperlunya.
2.2 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses
penginderaan hususnya secara visual dan auditorik terhadap suatu
objek. Pengetahuan merupakan suatu kunci yang sangat penting untuk
27
2.6 Hipotesis
BAB III
METODE PENELITIAN
4. Tabulating
Data yang telah ada dibuat tabel-tabel data sesuai dengan
yang diinginkan oleh peneliti.
3.8 Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan analisis univariat dan analisis
bivariate.
3.8.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui karakteristik
responden dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.
3.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya. Uji statistik yang digunakan
adalah uji Chi-Square. Nilai yang dihasilkan adalah p-value dan Odds
Ratio (OR), karena OR digunakan oleh penelitian case control yang
pengukurannya bersifat retrospektif untuk melihat faktor risiko. Rumus
OR adalah sebagai berikut (Sugiono, 2012).
Kejadian DBD + -
Pengetahuan
+ A B
- C D
𝑎/𝑏 𝑎 𝑥 𝑏
OR = =
𝑐/𝑑 𝑏 𝑥 𝑐
Interpretasi OR :
4. Jika OR = 1, maka eksposure tidak berhubungan dengan outcome
5. Jika OR < 1, maka eksposure merupakan faktor protektif dari outcome
6. Jika OR > 1, maka eksposure merupakan faktor risiko dari outcome
34
Perijinan Penelitian
(n=35) (n=35)
Pengolahan Data
Analisis Data
Univariat Bivariat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan April tahun 2016 di wilayah kerja
Puskesmas Tenayan Raya Pekanbaru. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien yang didiagnosis DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya
antara bulan November sampai Maret 2016. Populasi kontrol pada penelitian ini
adalah seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tenayan
Raya yang tidak di diagnosis DBD. Sampel kasus diambil secara Total Sampling
sebanyak 32 orang. Sampel kontrol diambil secara Purposive Sampling sebanyak
32 orang. Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari tuntunan
kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data sekunder diperoleh
dari Puskesmas Tenayan Raya berupa data kasus penderita DBD antara bulan
November sampai Maret 2016. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis univariat dan analisis bivariat.
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan karakteristik
responden penelitian berupa tingkat pengetahuan dan kejadian DBD.
a. Tingkat Pengetahuan
Tabel 4.3 Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden di wilayah kerja
Puskesmas Tenayan Raya
Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
Buruk 27 42,2
Baik 37 57,8
Total 64 100,0
b. Kejadian DBD
Tabel 4.4 Distribusi Kejadian DBD
Kejadian DBD Frekuensi Persentase (%)
DBD (Kasus) 32 50,0
Tidak DBD (Kontrol) 32 50,0
Total 64 100,0
4.2 Pembahasan
a. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Pencegahan DBD dengan
Kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hubungan
antara tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan kejadian DBD
yang bermakna dengan nilai p=0,023 (p<0,05) dan OR 3,286. Masyarakat yang
berpendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif,
mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status
kesehatan yang lebih baik. Menurut Notoatmodjo, ada kaitan antara tingkat
pendidikan dengan pelayanan kesehatan, artinya semakin tinggi tingkat
pendidikan masyarakat kemungkinan dapat mempengaruhi keberhasilan
program pengendalian DBD (Hutapea, 2007).
Penyakit DBD merupakan penyakit yang menular yang penularannya
relatif tinggi berdasarkan kepadatan penduduk, mobilisasi yang tinggi, serta
dipengaruhi oleh ada tidaknya tempat perindukan nyamuk penular DBD.
Mobilisasi penduduk disebabkan oleh perpindahan atau perjalanan masyarakat
keluar dari daerah lain karena pendidikan atau perkerjaan (Marlina, 2005).
Pengetahuan responden pada penelitian ini sebagian berpengetahuan
baik sebanyak 37 orang (57,8%) sehingga cukup untuk mengetahui dan
memahami informasi mengenai DBD. Pengetahuan yang positif tidak
menjamin terjadinya sikap dan tindakan positif pula. Ada hal lain seperti sarana
dan prasarana yang dapat memepengaruhi seseorang untuk bersikap dan
bertindak. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu faktor
predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposis meliputi
pengetahuan, sikap, kepercayaan serta nilai dan tradisi. Tersedianya sarana dan
prasarana merupakan faktor pemungkin untuk seseorang melakukan perilaku
kesehatan. Faktor penguat merupakan faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Faktor ini mencakup faktor sikap dan perilaku
tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk
petugas kesehatan serta Undang-undang. Sikap yang baik meliputi beberapa
tahap yaitu mencapai tahap receiving (menerima), responding (merespon),
38
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Terdapat hubungan tingkat pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan
kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tenayan Raya (p-value = 0,023,
OR = 3,286)
5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, terdapat beberapa
saran yang perlu disampaikan dan pertimbangan agar penelitian selanjutnya
dapat menjadi lebih baik lagi, yaitu diantaranya :
1. Bagi masyarakat, khususnya masyarakat Desa Kulim dan Tangkerang
Timur agar dapat berperan aktif mengikuti kegiatan mengenai
pencegahan DBD dalam pemberantasan penyakit DBD.
2. Bagi Puskesmas, khususnya Puskesmas Tenayan Raya agar dapat
meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan mengenai
penyakit DBD dan cara pencegahan DBD. Diharapkan kegiatan
tersebut dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian karena DBD.
3. Bagi peneliti lain agar dapat meneliti faktor-faktor lain yang belum
diteliti pada penelitian ini yang berhubungan dengan kejadian DBD
misalnya, sikap dan perilaku masyarakat.
40
DAFTAR PUSTAKA
Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
Sukowati, S. 2010 Masalah vektor demam berdarah dengue dan pengendaliannya
di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. 2:25-30.
Tyrsa M. 2015. Hubungan antara karakteristik individu, pengetahuan dan sikap
dengan tindakan PSN DBD masyarakat kelurahan Malalayang I kecamatan
Malalayang Kota Manado. Vol 5 No 2b.
WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
42