Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Imunisasi di Indonesia di awali pada tahun 1956. Pada tahun 1990,

Indonesia telah mencapai status Universal Child Immunization (UCI). Status ini

merupakan suatu tahap dimana cakupan imunisasi di suatu tingkat administrasi

telah mencapai 80% atau lebih. Meski demikian, Indonesia masih memiliki tugas

dalam mewujudkan 100% UCI Desa/Kelurahan pada tahun 2014. Hal ini berarti

cakupan imunisasi di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia telah mencapai

80% atau lebih (Kemenkes, 2015).

Imunisasi BCG imunisasi DPT, imunisasi polio, imunisasi campak dan

imunisasi Hepatitis B diwajibkan oleh Pemerintah Indonesia, . Imunisasi yang

hanya dianjurkan oleh pemerintah dapat digunakan untuk mencegah kejadian

yang luar biasa atau penyakit endemik, atau untuk kepentingan tertentu

(berpergian) contoh pada jamaah haji seperti imunisasi meningitis (Hidayat,

2012).

Indonesia memiliki cakupan imunisasi campak sebesar 93,61%. Pada

tahun 2010 dari 17.139 kasus campak, terdapat tujuh kasus meninggal dengan

incidence rate 0,73 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2011, cakupan imunisasi

campak sebesar 93,4%dan terdapat peningkatan kasus campak yang mencapai

21.893 kasus, terdapat sembilan kasus meninggal dengan incidence rate sebesar

9,22 per 10.000 penduduk. Untuk imunisasi campak variasi cakupan juga terjadi

menurut provinsi di Indonesia, dengan jumlah terendah terdapat di Banten

1
2

(62,5%) dan tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (99,2%) (Profil Kesehatan

Indonesia, 2014).

Secara keseluruhan Indonesia sudah mencapai Universal Child

Immunization (UCI). Walaupun demikian, bila dilihat menurut provinsi masih

terdapat 12 provinsi belum mencapai UCI. Dapat dilihat secara keseluruhan,

persentase imunisasi menurut jenisnya yang tertinggi dan terendah adalah BCG

(77,9%), campak (77,9%), polio (66,7%) dan 2 terendah DPT-HB3 (61,9%). Bila

dilihat masing-masing imunisasi menurut provinsi, provinsi Papua mempunyai

cakupan terendah untuk semua jenis imunisasi yang meliputi BCG (53,6%),

campak (47,1%) dan polio (40,5%), sedangkan persentase DPT-HB3 terendah

terdapat di provinsi Sulawesi Barat (35,7%). Provinsi di Yogyakarta mempunyai

cakupan imunisasi tertinggi untuk semua jenis imunisasi dasar yang meliputi BCG

(100,0%), Campak (96,4%) dan polio (96,4%) (Riskesdas, 2013).

Pada tahun 2010 provinsi Sulawesi Selatan memiliki cakupan imunisasi

campak sebesar 93,19% tercatat 571 kasus campak, incidence rate 0,71 per

10.000 penduduk. Pada tahun 2011, cakupan imunisasi campak sebesar 100,1%

dan terdapat 603 kasus campak dengan incidence rate 7,51 per 10.000 penduduk

(Profil Kesehatan Sulawesi Selatan, 2012).

Menurut data Kementrian Kesehatan RI (2014) cakupan imunisasi campak

di Provinsi Sulawesi selatan memiliki capaian 86,37%. Kabupaten/Kota dengan

capaian imunisasi campak tertinggi terdapat di Kabupaten Maros sedangkan di

Kabupaten Jeneponto memiliki capaian terendah sebesar 42,41%.


3

Pada tahun 2015, dilaporkan terdapat 8.185 kasus campak, lebih rendah

dibandingkan pada tahun 2014 yang sebesar 12.943 kasus. Jumlah kasus

meninggal sebanyak 1 kasus, yang terjadi di Provinsi Jambi. Incidence Rate (IR)

campak pada tahun 2015 sebesar 3,20 per 100.000 penduduk, menurun

dibandingkan pada tahun 2014 yang sebesar 5,13 per 100.000 penduduk. Kondisi

di atas dengan catatan data tahun 2015 dari 7 provinsi belum tersedia (Profil

Kesehatan Indonesia, 2015).

Berdasarkan kategori kelompok umur, proporsi kasus campak terbesar

terdapat pada kelompok umur 5-9 tahun dan kelompok umur 1-4 tahun dengan

proporsi masing-masing sebesar 32,2% dan 25,4%. Namun jika dihitung rata-rata

umur tunggal, kasus campak pada bayi <1 tahun merupakan kasus yang tertinggi,

yaitu sebanyak 778 kasus (9,5%). Pada tahun 2015, jumlah KLB campak yang

terjadi sebanyak 68 KLB dengan jumlah kasus sebanyak 831 kasus, menurun

dibandingkan pada tahun 2013 dengan 173 KLB dan jumlah kasus sebanyak

2.104 kasus (Profil Kesehatan Indonesia, 2015).

Puskesmas Tolo yang berada di Dusun Tolo Kecamatan Kelara Kabupaten

Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. Data yang diperoleh dari puskesmas Tolo

pada tahun 2016 sasaran imunisasi campak sebanyak 462 balita dengan rasio

antara 48,7% : 51,3% atau dengan sebaran 225 orang laki-laki dan 237 orang

perempuan. Menurut data dari Puskesmas Tolo pada tahun 2016 terlapor 320 ibu

telah membawa anaknya untuk melakukan imunisasi campak dan masih terdapat

142 ibu tidak memberikan imunisasi campak pada anaknya serta terdapat 46 ibu
4

yang melaporkan anaknya telah terkena gejala penyakit campak karena tidak

diberikan imunisasi campak.

Berdasarkan studi awal yang dilakukan pada saat pemberian imunisasi

penulis mendapatkan masih banyak orang tua anak yang tidak membawa anaknya

untuk mendapatkan imunisasi campak. Hal ini dikarenakan jarak pelaksanaan

imunisasi jauh, sehingga orang tua anak tidak membawa anaknya untuk imunisasi.

Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui

Bagaimana Hubungan Ketidaklengkapan Pemberian Imunisasi Terhadap Kejadian

Campak pada Balita di Puskesmas Tolo Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto.

1.2. Rumusan Masalah

Fenomena yang telah diuraikan pada studi pendahuluan melatarbelakangi

peneliti untuk memberikan jawaban atas pertanyaan "Bagaimana Hubungan

Ketidaklengkapan Pemberian Imunisasi Terhadap Kejadian Campak pada Balita

di Puskesmas Tolo Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto?"

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan ketidaklengkapan pemberian imunisasi terhadap kejadian

campak pada balita di Puskesmas Tolo Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto.

1.3.2 Tujuan Khusus


5

1. Diketahuinya gambaran ketidaklengkapan pemberian imunisasi

campak pada balita di Puskesmas Tolo Kecamatan Kelara Kabupaten

Jeneponto.

2. Diketahuinya gambaran kejadian campak pada balita di Puskesmas

Tolo Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto.

3. Diketahuinya hubungan ketidaklengkapan pemberian imunisasi

terhadap kejadian campak pada balita di Puskesmas Tolo Kecamatan

Kelara Kabupaten Jeneponto.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan melakukan penelitian tentang hubungan ketidaklengkapan

pemberian imunisasi terhadap kejadian campak pada balita di Puskesmas Tolo

Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto. Maka hasil penelitian yang diperoleh

diharapkan akan bermanfaat bagi :

1.4.1 Manfaat Bagi Pelayanan Keperawatan

Sebagai acuan dalam memberikan imunisasi dasar lengkap khususnya pemberian

imunisasi campak.

1.4.2 Manfaat Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Penilitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pengaruh

ketidaklengkapan pemberian imunisasi terhadap kejadian campak pada balita di

Puskesmas Tolo Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto.

1.4.3 Manfaat Bagi Riset Keperawatan


6

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi peneliti, selanjutnya dan

sebagai pembanding tentang imunisasi dasar lengkap khususnya imunisasi

campak. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Imunisasi

2.1.1 Definisi

Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak

dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti

untuk pencegaha terhadap penyakit tertentu (Tando, 2015).

Imunisasi adalah mengebalkan, memberi kekebalan pasif (diberi

antibodi) yang sudah jadi seperti hepatitis B imunoglobulin pada bayi yang

lahir dari ibu hepatitis B (Supartini, 2012).

2.1.2 Tujuan Imunisasi

Tujuan dalam pemberian imunisasi menurut Tando (2015) adalah

terjadinya penyakit tertentu pada seeorang dan menghilangkan penyakit

tertentu pada sekelompok masyarakat atau populasi atau bahkan

menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar

variola. Keadaan yang terakhir lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit

yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit

difteria (Susilaningrum, 2013).

Pemberian imunisasi pada anak dilakukan unuk memberikan

kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu. Kekebalan tubuh dapat juga


7

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antara faktor-faktor tersebut adalah

tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi, mengingat efektif

dan tidaknya imunisasi tersebut akan tergantung dari faktor yang

mempengaruhinya sehingga kekebalan tubuh dapat diharapkan pada diri

anak (Hidayat, 2012).

2.1.3 Jenis-Jenis Imunisasi

Ada dua jenis klasifikasi imunisasi menurut Hidayat (2012), yaitu

sebagai berikut :

1. Imunisasi pasif

Kekebalan pasif terbagi atas dua klasifikasi, yaitu menurut

terbentuknya dan menurut lokasi dalam tubuh. Penjelasan dan kedua

klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut.

a. Menurut Terbentuknya

Ada dua kategori menurut klasifikasi ini, yaitu kekebalan pasif

bawahan (passive congenital) dan pasif (pasif acquired).

Kekebalan pasif adalah pemberian antibodi yang berasal dari

hewan atau manusia kepada manusia lain, dengan tujuan

memperlindungan terhadap penyakit infeksi yang bersifat

sementara karena kadar antibodi akan berkurang setelah beberapa

minggu atau bulan (Depkes, 2000). bayi dari penyakit tertentu

sampai usia 12 bulan. Kekebalan pasif di dapat (passive acquired

immunity) didapat dari luar,misalnya gama globulin murni dari


8

darah yang menderita penyakit tertentu (misalnya, campak,

tetanus, gigitan ular berbisa, rabies).

Pada umumnya imunisasi ini merupakan serum dan pemberian

serum ini menimbulkan efek samping berupa reaksi atopic,

anafilaktik, dan alergi. Oleh karena itu, perlu dilakukan skin test

sebelumnya.

b. Menurut Lokalisasinya

Menurut lokalisasinya, ada dua jenis imunitas, yaitu humoral dan

seluler. Imunisasi humoral (humor immunity) terdapat

immunoglobulin (lg), yaitu lg G, IgA, dan IgM. imunisasi seluler

terdiri atas gagositosis oleh sel-sel sistem retikuloendotelial. Pada

dasarnya, imunitas seluler berhubungan dengan kemampuan sel

tubuh untuk menolak benda asing dan dapat ditujukan dengan

adanya alergi kulit terhadap benda asing. Untuk itu, penting

mengenali adanya reaksi terhadap alergi tertentu sehingga

perawat dapat bertindak tepat.

2. Imunisasi aktif

Imunisasi aktif dapat terjadi apabila terjadi stimulus “sistem

imunitas” yang menghasilkan antibodi dan kekebalan seluler serta

bertahan lebih lama dibanding kekebalan pasif. Ada dua jenis

kekebalan aktif, yaitu kekebalan aktif didapat dan kekebalan aktif

dibuat. Kekebalan aktif secara alami (naturally acquired) misalnya

anak yang terkena difteri atau poliomelitis dengan proses anak


9

terkena infeksi kemudian terjadi silent abortive, sembuh, selanjutnya

kebal terhadap penyakit tersebut.

Pada saat seseorang menderita suatu penyakit, apabila sembuh ia

akan kebal terhadap penyakit tersebut. Paparan penyakit terhadap

system kekebalan (sel limfosit) tersebut akan beredar dalam darah

dan apabila suatu ketika terpapar lagi pada antigen yang sama, sel

limfosit akan memproduksi antibodi untuk mengembalikan kekuatan

imunitas terhadap penyakit tersebut. Kekebalan yang sengaja dibuat

yang dikenal dengan imunisasi dasar dan ulangan (booster), berupa

pemberian vaksin (misalnya, cacar dan polio) yang kumannya masih

hidup, tetapi sudah dilemahkan, virus, kolera, tipus, pertusis, dan

toksoid (toksin). Vaksin tersebut akan berinteraksi dengan system

kekebalan tubuh untuk menghasilkan respons imun. Hasil yang

diproduksi akan sama dengan kekebalan seseorang yang mendapat

penyakit tersebut secara alamiah. Bedanya, orang yang diberikan

vaksin penyakit tertentu akan sakit dan menimbulkan komplikasi.

2.1.4 Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi

Menurut Tando (2015) ada tujuh penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi, yaitu tuberculosis, defter, pertusis, tetanus,

poliomielitas, campak, dan hepatitis. Berikut ini dapat diuraikan tujuh

penyakit tersebut satu per satu.

1. Tuberculosis
10

Sampai saat ini di beberapa Negara, tuberculosis masih merupakan

penyebab kematian. Penyakit ini disebabkan oleh mycobacterium

tuberculosis yang sebagian besar menyerang masyarakat dengan

kelas sosial ekonomi rendah dengan umunya masyarakat ini

mengalami gangguan nutrisi sehingga daya tahan tubuh rendah dan

tinggal di pemungkiman yang padat dan tidak sehat sehingga mudah

terjadi penularan penyakit.

2. Difteri

Penyakit infeksi ini dapat disebabkan oleh Corynebacterium

dyptheriae tipe gravis, milis, dan intermedius, yang menular melalui

percikan ludah yang tercemar. Anak yang terkena difteria akan

menunjukan gejala ringan sampai berat. Gejala ringan dapat berupa

membrane pada rongga hidung dan gejala berat apabila terjadi

obstruksi jalan nafas karena mengenai laring, saluran napas bagian

atas, tonsil, dan kelenjar sekitar leher membengkak (bull neck).

Gejala awal yang ditunjukkan dengan mulut mencuci dan bayi tidak

mau menyusu.

3. Poliomyelitis

Sesuai dengan namanya, penyebab infeksi ini adalah virus polio tipe

1,2, dan 3, yang menyerang myelin atau serabut otot. Gejalah awal

tidak jelas, dapat timbul gejala demam ringan dan infeksi saluran

pernapasan atas (ISPA), kemudian timbul gejala paralisis yang


11

bersifat flaksid yang mengenai sekelompok serabut otot sehingga

timbul kelumpuhan.

4. Campak

Penyebab penyakit infeksi ini adalah virus morbili yang menular

melalui droplet. Gejala awal ditunjukkan dengan adanya kemerahan

yang mulai timbul pada bagian belakang telinga, dahi, dan menjalar

ke wajah dan anggota badan. Selain itu, timbul gejala seperti flu

disertai mata berair dan kemerahan (konjungtivitis). Setelah 3-4 hari,

kemerahan mulai hilang dan berubah menjadi kehitaman yang akan

tampak bertambahdalam 1-2 minggu dan apabilasembuh, kulit akan

seperti bersisik. Imunisasi diberikan pada usia 9 bulan dengan

nasional kekebalan dari ibu terhadap penyakit campak berangsur

akan hilang sampai usia 9 bulan. Komplikasi yang harus dicegah

adalah otitis media, konjungtivitas berat, enteritis, dan pneumonia,

terlebih pada anak dengan status gizi buruk.

5. Hepatitis B

Penyakit infeksi ini disebabkan oleh virus hepatitis tipe B yang

menyerang kelompok risiko secara ventrikal, yaitu bayi dan ibu

pengidap, sedangkan secara horizontal tenaga medis dan paramedis,

pecandu narkotika, pasien hemodialisis, pekerja laboratorium,

pemakai jasa petugas akupuntur. Gejala yang dapat mencul tidak

khas, seperti anoreksia, mual, dan kadang-kadang ikterik. Sejak

tahun 1992, vaksin hepatitis B menjadi bagian dari program di


12

Indonesia walaupun belum merata di semua provinsi dapat

menjalankanya, hal ini disebabkan oleh harga vaksin yang cukup

mahal sehinggga dilakukan secara bertahap. Imunisasi hepatitis B

diberikan pada bayi 0-11 bulan dengan maksud untuk memutus

rantai penularan dari ibu ke bayi.

2.1.5 Macam-macam Vaksin

Menurut Hidayat (2012) macam-macam vaksin dibagi menjadi :

vaksin DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus), vaksin DtaP (Difteria,

Tetanus, dan Acellular Pertusis), vaksin MMR (Campak, Gondok, dan

Rubela), vaksin polio hidup oral (OPV), vaksin polio tidak aktif (IPV)

vaksin Hepatitis B,vaksin Hib, vaksin Varicellazostrer (cacar air), dan

vaksin cacar.

2.1.6 Cara dan waktu pemberian imunisasi

Berikut ini adalah cara pemberian dan waktu yang tepat untuk

pemberian imunisasi (Hidayat, 2012).

Cara pemberian imunisasi dasar.

Tabel 2.1
Cara pemberian imunisasi dasar
Vaksin Dosis Cara Pemberian
BCG 0,05 cc Intra kutang tepat di insersio muskulus deltoideus
kanan
DPT 0,5 cc Intramuscular
Polio 2 tetes Diteteskan kemulut
Campak 0,5 cc biasanya di lengan kiri atas
Hatitis B O,5 cc Intramuscular pada paha bagian luar
TT 0,5 cc Intramuscular dalam biasa di muskulus deltoideus
13

Waktu yang tepat untuk pemberian imunisasi dasar (petunjuk

pelaksanaan program imunisasi di Indonesia.

Tabel 2.2
Waktu yang tepat untuk pemberian imunisasi dasar
Vaksin Pemberian Selang Umur Keterangan
Imunisasi Waktu Pemberian
Pemberian
BCG 1 kali 0-11 bln
DPT 3 kali 4 minggu 2-11 bln
Polio 4 kali 4 minggu 0-11 bln
Campak 1 kali 4 minggu 9-11 bln
Hepatitis 3 kali 4 minggu 0-11 bln Untuk bayi yang lahir di
B RS/puskesmas, hep. B,
BCG dan polio dapat
diberikan segera

2.2 Tinjauan Umum tentang Campak

2.2.1. Definisi

Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan

oleh virus. Campak disebut juga rubella, morbili, atau measles. Penyakit

ini ditularkan melalui droplet ataupun kontak dengan penderita. (Hidayat,

2012).

Penyakit campak adalah penyakit menular dengan gejala bercak

kemerahan berbentuk makulo popular selama 3 hari atau lebih yang


14

sebelumnya didahului panas badan 38 derajat celcius atau lebih juga

disertai salah satu gejala batuk pilek atau mata merah (Rezeki, 2011).

2.2.2. Etiologi

Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus

genus Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. Virus ini dari famili yang

sama dengan virus gondongan (mumps), virus parain-uenza, virus human

metapneumovirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus). Virus campak

berukuran 100-250 nm dan mengandung inti untai RNA tunggal yang

diselubungi dengan lapisan pelindung lipid. Virus campak memiliki

struktur protein utama. Protein H (Hemaglutinin) berperan penting dalam

perlekatan virus ke sel penderita. Protein F (Fusion) meningkatkan

penyebaran virus dari sel ke sel. Protein M (Matrix) di permukaan dalam

lapisan pelindung virus berperan penting dalam penyatuan virus.

Pada bagian dalam virus terdapat protein L (Large), NP (Nucleoprotein),

dan P (Polymerase phosphoprotein). Protein L dan P berperan dalam

aktivitas polimerase RNA virus, sedangkan protein NP berperan sebagai

struktur protein nucleocapsid. Karena virus campak dikelilingi lapisan

pelindung lipid, maka mudah diinaktivasi oleh cairan yang melarutkan

lipid seperti eter dan kloroform. Selain itu, virus juga dapat diinaktivasi

dengan suhu panas (>370 C), suhu dingin. Virus ini jangka hidupnya

pendek (short survival time), yaitu kurang dari 2 jam (Halim, 2016).

2.2.3. Patofisiologi
15

Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari

penderita. Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di

sel-sel epitel saluran napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti

dengan penyebaran ke kelenjar limfe regional. Setelah penyebaran ini,

terjadi viremia primer disusul multiplikasi virus di sistem

retikuloendotelial di limpa, hati, dan kelenjar limfe. Multiplikasi virus juga

terjadi di tempat awal melekatnya virus. Pada hari ke-5 sampai ke-7

infeksi, terjadi viremia sekunder di seluruh tubuh terutama di kulit dan

saluran pernapasan. Pada hari ke-11 sampai hari ke- 14, virus ada di darah,

saluran pernapasan, dan organ-organ tubuh lainnya, 2-3 hari kemudian

virus mulai berkurang. Selama infeksi, virus bereplikasi di sel-sel

endotelial, sel-sel epitel, monosit, dan makrofag (Halim, 2016).

2.2.4. Manifestasi Klinis

Menurut Tando (2015) manifestasi klinis dibagi dalam 3 stadium, yaitu :

1. Stadium Kataral (Prodromal)

Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari disertai panas (38,5

ºC), malaise, batuk, nasofaringitis, fotofobia, konjungtivitis dan

koriza. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul

enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi morbili,

tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu,

sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya di

mukosa bukalis berhadapan dengan molar bawah. Jarang ditemukan di

bibir bawah tengah atau palatum. Kadang-kadang terdapat makula


16

halus yang kemudian menghilang sebelum stadium erupsi. Stadium

Erupsi

Koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah

di palatum durum dan palatum mole. Kadang-kadang terlihat pula

bercak koplik. Terjadinya eritema yang berbentuk makula-papula

disertai menaiknya suhu badan. Diantara makula terdapat kulit yang

normal. Mula-mula eritema timbul dibelakang telinga, di bagian atas

lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah.

Kadang-kadang terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal,

muka bengkak. Ruam mencapai anggota bawah pada hari ketiga dan

akan menghilang dengan urutan seperti terjadinya. Terdapat

pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah

leher belakang. Terdapat pula sedikit splenomegali. Tidak jarang

disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah

“black measles”, yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit,

mulut, hidung dan traktus digestivus.

2. Stadium Konvalesensi

Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua

(hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan hilang sendiri. Selain

hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang

bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk

morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema dan eksantema


17

ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai

menjadi normal kecuali bila ada komplikasi.

2.2.5. Diagnosis Banding

Pada penyakit ini tidak ada bercak koplik, tetapi ada pembesaran kelenjar

di daerah suboksipital, servikal bagian posterior, belakang telinga.

Eksantema Subitum. Ruam akan muncul bila suhu badan menjadi normal.

Rubeola infantum (eksantema subitum) dibedakan dari campak dimana

ruam dari roseola infantum tampak ketika demam menghilang. Ruam

rubella dan infeksi enterovirus cenderung untuk kurang mencolok daripada

ruam campak, sebagaimana tingkat demam dan keparahan penyakit.

Walaupun batuk ada pada banyak infeksi ricketsia, ruam biasanya tidak

melibatkan muka, yang pada campak khas terlibat (Tando, 2015)

2.2.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada campak adalah pemberian antipiretika bila suhu

tinggi, sedativum, obat batuk, dan memperbaiki keadaan umum. Tindakan

yang lain ialah pengobatan segera terhadap komplikasi yang timbul:

istirahat, pemberian makanan atau cairan yang cukup dan bergizi.,

medikamentosa : - Antipiretik : parasetamol 7,5 – 10 mg/kgBB/kali,

interval 6-8 jam. - Ekspektoran : gliseril guaiakolat anak 6-12 tahun : 50 –

100 mg tiap 2-6 jam, dosis maksimum 600 mg/hari. - Antitusif perlu

diberikan bila batuknya hebat/mengganggu, narcotic antitussive (codein)

tidak boleh digunakan. - Mukolitik bila perlu. - Vitamin terutama vitamin

A dan C. Vitamin A pada stadium kataral sangat bermanfaat.


18

2.3. Tinjauan Umum tentang Perilaku Sehat Sakit

2.3.1. Perilaku Sehat Sakit

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara,

menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya.

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia

adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,

maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2011).

Menurut sebagian psikolog perilaku manusia berasal dari dorongan yang

ada dalam diri manusia dan dorongan ini merupakan salah satu usaha

untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia dan dengan

adanya dorongan tersebut menimbulkan seseorang melakukan sebuah

tindakan atau perilaku khusus yang mengarah pada tujuan (Notoatmodjo,

2011).

Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit sifatnya tidaklah

selalu objektif. Bahkan lebih banyak unsur subjektivitasnya dalam

menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sehat-

sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, di

samping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha

sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang objektif berdasarkan

simptom yang nampak guna mendiagnosa kondisi fisik seorang individu.

2.3.2. Faktor
19

Menurut Notoatmodjo (2011) bahwaa kesehatan seseorang atau

masyarakat dipenagruhi oleh dua faktor pokok yaitu perilaku dan faktor

diluar perilaku. Faktor perilaku ditentukan oleh faktor predisposisi, faktor

pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi meliputi pendidikan,

ekonomi, pengetahuan dan sikap. Faktor pendukung meliputi lingkungan

fisik )tersedia atau tidak tersedianya fasilitas) dan faktor pendorog meliputi

keahlian petugas, pengetahuan dan sikap.

2.4 Kerangka Teori

Kelengkapan imunisasi sangat berperan dalam mencegah terjadinya

campak. Anak yang tidak diberikan imunisasi campak akan lebih berisiko

terkena campak. Faktor yang mempengaruhi terjadinya ketidaklengkapan

adalah perilaku yang dibagi menjadi faktor predisposisi (pengetahuan, sikap

dan ekonomi), faktor pendukung (jarak fasilitas kesehatan) dan faktor

pendorong (tindakan keluarga, tindakan petugas kesehatan). Faktor inilah

yang mempengaruhi kelengkapan pemberian imunisasi campak. Orang tua

harus memiliki pengetahuan yanga baik dan ditunjang dengan sikap yan baik

pula sehingga anak diberikan imunisasi sesuai dengan jadwal imunisasi yang

telah ditentukan, secara ekonomi biasanya orang tua mengesampingkan

imunisasi anaknya karena sibuk untuk mencari nafkah sehingga anak

terkadang tidak diberi imunisasi dengan lengkap. Ketidakterjangkauan tempat

imunisasi dapat pula menyebabkan orang tua tidak membawa anaknya untuk

imunisasi hal ini dapat pula dikarenakan kurang dukungan dari keluarga serta

kurang penyuluhan terkait dengan pentingnya imunisasi. Jika pemberian


20

imunisasi tidak lengkap maka akan berisiko untuk mengalami campak yang

akhirnya dapat mengalami campak.

Perilaku

Faktor Predisposisi : Faktor Pendukung : Faktor Pendorong :


Pengetahuan Tindakan Keluarga
Jarak Fasillitas Kesehatan
Sikap Tindakan Petugas Kesehatan
Ekonomi

Pemberian Imunisasi
Campak

Kelengkapan Ketidaklengkapan
Imunisasi Campak Imunisasi Campak

Risiko Penyakit
Campak

Kejadian Campak

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Notoadmotjo (2011)

2.5 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Ketidaklengkapan Kejadian Campak


Pemberian
Imunisasi
21

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Arah Penghubung

2.6 Definisi Operasional

2.6.1. Kejadian Campak

Kejadian campak pada anak adalah riwayat campak pada anak yang

ditentukan dari hasil observasi data responden di Puskesmas atau hasil

wawancaraa dari orang tua anak.

2.6.2. Ketidaklengkapan Pemberian Imunisasi

Yang dimaksud dengan ketidaklengkapan pemberian imunisasi pada anak

adalah tidak lengkapnya pemberian imunisasi campak yang dilihat dari

KMS

2.7 Hipotesis

2.7.1. Hipotesis Nol (H0)


22

Tidak ada hubungan ketidaklengkapan pemberian imunisasi terhadap

kejadian campak pada balita di Puskesmas Tolo Kecamatan Kelara

Kabupaten Jeneponto.

2.7.2. Hipotesis Alternatif (Ha)

Ada hubungan ketidaklengkapan pemberian imunisasi terhadap kejadian

campak pada balita di Puskesmas Tolo Kecamatan Kelara Kabupaten

Jeneponto.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

1. Gambaran Umum Tempat Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Tolo

Kabupaten Jeneponto. Puskesmas Tolo terletak di dataran rendah

tepatnya berada Kabupaten Jeneponto. Letak yang sangat strategis dan

memungkinkan dijangkau oleh kendaraan umum karena Puskesmas

Tolo berada dipinggir jalan raya dan menjadi pelintasan jalan poros

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih tepat.

b. Luas wilayah kerja yaitu 1500 m2

c. Visi, Misi dan Motto Puskesmas Tolo

1) Visi
23

"Mewujudkan masyarakat Kelurahan Kelara yang sehat dan

sejahtera"

2) Misi

a) Memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan

profesional.

b) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan

berwawasan kesehatan.

c) Meningkatkan kerja sama lintas sektor dan lintas program

d) Memasyarakatkan pola hidup bersih dan sehat masyarakat

Kelara.

d. Ketenagaan dan Fasilitas

Gambaran ketengaan dan fasilitas di Puskesmas Tolo Kota Kabupaten

Jeneponto dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut

Tabel 4.1 Ketenagaan dan Fasilitas Puskesmas Tolo Kota


Kabupaten Jeneponto Tahun 2017
Ketengaan dan Fasiltas n %
Ketenagaan
Kepala Puskesmas 1 Orang 4,3
Kepala Tata Usaha 1 Orang 4,3
Dokter Umum 1 Orang 4,3
Dokter Gigi 1 Orang 4,3
Juru Imunisasi 1 Orang 4,3
Bidan Koordinasi 1 Orang 4,3
Bidan Puskesmas 2 Orang 8,7
Perawat Pelaksana 2 Orang 8,7
Perawat Gigi 3 Orang 13
Pelaksana Gizi 1 Orang 4,3
Sanitasian 2 Orang 8,7
Perawat 4 Orang 17,4
Staf Puskesmas 1 Orang 4,3
Asisten Apoteker 1 Orang 4,3
Penanggung Jawab Laboratorium 1 Orang 4,3
Jumlah 23 orang 100
Fasilitas
24

Ruangan Kepala Puskemas 1 7,1


Ruangan kepala Tata Usaha 1 7,1
Ruangan Registrasi 1 7,1
Ruangan Poliklinik Umum 1 7,1
Ruangan UGD 1 7,1
Ruangan Poliklinik Gigi dan Mulut 1 7,1
Ruangan Persalinan 1 7,1
Ruangan KIA/KB 1 7,1
Ruangan Imunisasi/Gizi 1 7,1
Ruangan Laboratorium 1 7,1
Ruangan Sanitasi 1 7,1
Ruangan Promosi Kesehatan 1 7,1
Ruangan TB dan Kusta 1 7,1
Ruangan Apotek 1 7,1
Jumlah 14 100

2. Karakteristik Responden

a. Umur

Tabel 4.2
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Di Puskesmas Tolo
Kabupaten Jeneponto Tahun 2017
Umur n %
Remaja 35 40
Dewasa Awal 27 29,4
Dewasa 23 30,6
Total 85 100
Sumber Data Primer November 2017

Berdasarkan tabel 4.2, umur terbanyak adalah remaja sebanyak 35

responden (40%), umur dewasa awal sebanyak 27 responden

(29,4%) dan umur terendah adalah dewasa akhir sebanyak 23

responden (30,6%).

b. Pekerjaan

Tabel 4.3
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Di Puskesmas Tolo
Kabupaten Jeneponto Tahun 2017
Pekerjaan n %
25

IRT 35 46,7
PNS 27 31,8
Karyawan 23 26,7
Total 85 100
Sumber Data Primer November 2017

Berdasarkan tabel 4.3 pekerjaan terbanyak responden adalah

pekerjaan IRT, yaitu sebanyak 35 responden (46,7%), pekerjaan

PNS sebanyak 27 respoden (31,8%) responden dan pekerjaan

terendah adalah karyawan sebanyak 23 (26,7%) responden.

c. Pendidikan

Tabel 4.4
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Di Puskesmas Tolo
Kabupaten Jeneponto Tahun 2017
Pendidikan n %
SD 11 12,9
SMP 16 18,8
SMA 38 44,7
DIII/S1 20 23,5
Total 85 100
Sumber Data Primer November 2017

Berdasarkan tabel 4.4 diatas menunjukkan pendidikan terbanyak

adalah SMA sebanyak 38 responden (44,7%), DIII/S1 sebanyak 20

responden (23,5%), SMP sebanyak 16 responden (18,8%) responden

dan pendidikan terendah adalah pendidikan SD sebanyak 11

responden (12,9%).

3. Analisis Univariat

a. Kelengkapan Imunisasi

Tabel 4.5
26

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelengkapan Imunisasi


Di Puskesmas Tolo Kabupaten Jeneponto Tahun 2017
Kelengkapan Imunisasi n %
Lengkap 47 55,3
Tidak Lengkap 38 44,7
Total 85 100
Sumber Data Primer November 2017

Berdasarkan tabel 4.4 kelengkapan imunisasi lengkap sebanyak 47

responden (55,3%) dan tidak lengkap sebanyak 38 responden

(44,7%).

b. Kejadian Campak

Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Campak
Di Puskesmas Tolo Kabupaten Jeneponto Tahun 2017
Kejadian Campak n %
Tidak 70 82,4
Ya 15 17,6
Total 85 100
Sumber Data Primer November 2017

Berdasarkan tabel 4.6 responden yang tidak mengalami campak

sebanyak 17 responden (56,7%) dan mengalami campak sebanyak

13 responden (43,3%).

4. Analisa Bivariat

Tabel 4.7
Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian Campak di
Puskesmas Tolo Kabupaten Jeneponto Tahun 2017
Kejadian Campak

Kelengkapan Tidak Ya N % Ρ

Imunisasi N % n %

Lengkap 43 50,6 4 4,7 47 55,3


27

Tidak Lengkap 27 31,8 11 12,9 38 44,7 0,014

Total 70 82,4 15 17,6 85 100

Sumber Data Primer November 2017

Berdasarkan tabel 4.7, dari 85 responden, yang melakukan imunisasi

secara lengkap sebanyak 47 responden (55,3%) dengan tidak

mengalami campak sebanyak 43 responden (50,6%) dan yang

mengalami campak sebanyak 4 responden (4,7%). Adapun yang

melakukan imunisasi secara tidak lengkap sebanyak 38 responden

(44,7%), dengan tidak mengalami campak sebanyak 27 responden

(31,8%) dan mengalami campak sebanyak 11 responden (12,9%).

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh hasil ρ 0,014 < α 0,05

maka dapat dikatakan bahwa ada hubungan kelengkapan imunisasi

dengan kejadian campak di Puskesmas Tolo Kabupaten Jeneponto.

4.2 Pembahasan

1. Karakteristik Responden

a. Umur

Berdasarkan tabel 4.2, umur terbanyak adalah remaja sebanyak 35

responden (40%), umur dewasa awal sebanyak 27 responden

(29,4%) dan umur terendah adalah dewasa akhir sebanyak 23

responden (30,6%). Menurut Departemen Kesehatan (2009) Ibu

yang berumur remaja adalah 17-25 tahun, ibu berumur dewasa awal

26-35 tahun, ibu dengan umur dewasa adalah ibu dengan umur > 35

tahun.

b. Pekerjaan
28

Berdasarkan tabel 4.3 pekerjaan terbanyak responden adalah

pekerjaan IRT, yaitu sebanyak 35 responden (46,7%), pekerjaan

PNS sebanyak 27 respoden (31,8%) responden dan pekerjaan

terendah adalah karyawan sebanyak 23 (26,7%) responden. Hasil

penelitian diatas menunjukkan bahwa rata-rata pekerjaan ibu yang

memiliki anak wajib imunisasi campak adalah IRT.

Pendidikan

Berdasarkan tabel 4.4 diatas menunjukkan pendidikan terbanyak

adalah SMA sebanyak 38 responden (44,7%), DIII/S1 sebanyak 20

responden (23,5%), SMP sebanyak 16 responden (18,8%) responden

dan pendidikan terendah adalah pendidikan SD sebanyak 11

responden (12,9%). Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa rata-

rata pendidikan ibu adalah SMA, tingkat pendidikan ibu memiliki

kaitan dengan lengkap atau tidak lengkapnya pemberian imunisasi

hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang

maka baik pula pengetahuan yang dimiliki. Adapun tingkat

pendidikan yang lain adalah DIII/S1, SMP dan SD.

2. Gambaran Imunisasi Campak di Puskesmas Tolo Kabupaten

Jeneponto

Berdasarkan tabel 4.5 kelengkapan imunisasi lengkap sebanyak 47

responden (55,3%) dan tidak lengkap 38 (responden 44,7%). Penelitian

ini menunjukan bahwa responden yang melakukan imunisasi campak


29

secara lengkap dikarenakan memiliki pengetahuan yang baik tentang

campak.

Penyebab kurang lengkapnya imunisasi karena adanya pandangan

keluarga bahwa imunisasi bertentangan dengan ajaran agama sehingga

keluarga kurang memberikan respon terhadap pemberian imunisasi pada

anak. Hal lain pula dikarenakan adanya kesibukan keluarga sehingga

tidak memiliki waktu untuk membawa anak imunisasi.

Sebagian balita pada kelompok kasus yang tidak mendapatkan imunisasi,

memiliki alasan tertentu. Sebanyak 38% ibu balita yang tidak

mengimunisasi anaknya beralasan karena imunisasi kontra dengan

keyakinannya. Keyakinannya melarang melakukan imunisasi pada

anaknya. Walaupun ibu balita pada kelompok kasus mayoritas

berpendidikan SMA atau sederajat dan kemungkinan sudah mengetahui

pentingnya imunisasi, tetapi mereka tetap saja tidak mengimunisasi

anaknya. Hal ini bisa saja dapat meningkatkan risiko kejadian campak

pada anak balitanya.

Imunisasi dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat seperti pencegahan

penyakit campak yang paling efektif, karena penyakit campak bisa

membahayakan jika terjadi komplikasi dengan penyakit lain seperti

pneumonia.

Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak

dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti

untuk pencegaha terhadap penyakit tertentu (Tando, 2015).


30

Imunisasi adalah mengebalkan, memberi kekebalan pasif (diberi

antibodi) yang sudah jadi seperti hepatitis B imunoglobulin pada bayi

yang lahir dari ibu hepatitis B (Supartini, 2012).

Menurut Hadinegoro (2011), imunisasi campak merupakan cara untuk

meningkatkan kekebalan seseorang terhadap penyakit campak. Imunisasi

campak juga merupakan bentuk pencegahan terhadap penyakit campak

yang efektif, praktis, dan relatif murah jika dibandingkan dengan biaya

pengobatan penyakit. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit

campak, sehingga perlu dilakukan imunisasi untuk mencegah penyakit

campak (Seto, 2012). Menurut Achmadi (2006), tujuan imunisasi campak

untuk mengurangi jumlah penderita campak supaya angka kejadian dan

kematian diturunkan secara bertahap setiap tahunnya.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Khotimah (2008) yang

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status imunisasi

dengan kejadian campak, dengan nilai OR sebesar 101,750 (CI 95%

=23,504 s.d 440,482). Menurut Giarsawan ( 2012) status imunisasi dapat

mempengaruhi kejadian campak pada anak.

Pemberian imunisasi pada anak dilakukan unuk memberikan kekebalan

tubuh terhadap penyakit tertentu. Kekebalan tubuh dapat juga

dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antara faktor-faktor tersebut adalah

tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi, mengingat

efektif dan tidaknya imunisasi tersebut akan tergantung dari faktor yang
31

mempengaruhinya sehingga kekebalan tubuh dapat diharapkan pada diri

anak (Hidayat, 2012).

3. Gambaran Kejadian Campak di Puskesmas Tolo Kabupaten

Jeneponto

Berdasarkan tabel 4.6 responden yang tidak mengalami campak sebanyak

17 responden (56,7%) dan mengalami campak sebanyak 13 responden

(43,3%). Penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang tidak

mengalami campak dikarenakan beberapa responden melengkapi

imunisasinya sedangkan responden yang mengalami campak dikarenakan

imunisasi tidak lengkap serta adanya riwayat keluarga yang pernah

mengalami campak.

Balita yang sudah diimunisasi campak masih ada yang terkena campak.

Hal ini disebabkan karena vaksin efikasi campak pada balita yang

mendapatkan vaksin usia 9 bulan pada anak yang menerima vaksin pada

anak usia 15 bulan Vaksin efikasi campak masih ada kerentanan sebagai

kegagalan vaksin primer, sehingga tidak ada vaksin efikasi campak

sebesar 100%. Kegagalan vaksin primer biasanya disebabkan adanya

sisa-sisa antibodi maternal pada saat imunisasi dilakukan, kerusakan

vaksin (Setiawan, 2008).

Balita yang sudah mendapatkan imunisasi campak kebanyakan pada usia

9-11 bulan. Imunisasi campak pada usia 24-36 biasanya disebut sebagai

boster campak dani jumlahnya lebih sedikit dibandingkan imunisasi

dasar pada usia 9 bulan. Responden lebih memahami untuk memberikan


32

imunisasi campak pada anaknya pada usia 9 bulan karena itu merupakan

imunisasi dasar.

Menurut Khotimah (2008), kejadian campak lebih banyak terjadi pada

usia 1-5 tahun dibandingkan pada usia 0-1 tahun. Hal tersebut karena

pada balita usia 1-5 tahun adanya material antibodi, biasanya anak-anak

akan terlindungi dari penyakit campak untuk beberapa bulan. Antibodi

akan sangat berkurang setelah anak berusia 6-9 bulan yang menyebabkan

anak rentan terhadap penyakit campak. Menurut Irianto (2014), boster

campak digunakan untuk mempertahankan tingkat kekebalan pada anak

batita.

4. Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian Campak di

Puskesmas Tolo Kabupaten Jeneponto.

Berdasarkan tabel 4.7, dari 85 responden kelengkapan imunisasi lengkap

sebanyak 47 (55,3%) responden dengan tidak mengalami campak

sebanyak 43 (50,6%) responden dan mengalami campak sebanyak 4

(4,7%) responden sedangkan imunisasi tidak lengkap sebanyak 38

(44,7%) responden tidak mengalami campak sebanyak 27 (31,8%)

responden dan mengalami campak sebanyak 11 (12,9%) responden.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 4 (4,7%) responden yang status

imunisasi lengkap tapi mengalami campak. Hal ini dikarenakan ada

beberapa anak yang memiliki riwayat kesehatan keluarga yang pernah

mengalami campak, disamping itu kondisi tempat tinggal beberapa

responden masih jauh dari kesan sehat sehingga rentan terkena penyakit
33

khususnya campak. Hal ini pula disebakan oleh kondisi ekonomi dan

tingkat pendidikan orang tua responden yang kurang sehingga informasi

serta pengetahuan respoden tentang penanganan penyakit kurang.

Hasil lain dari penelitian pula menujukkan imunisasi tidak lengkap dan

tidak mengalami campak sebanyak 27 (31,8%) responden. Hal ini

dikarenakan anak memiliki anti bodi yang baik dan didukung pula oleh

adanya pengetahuan orang tua yang baik serta peranan keluarga dalam

menjaga kesehatan yang baik sehingga anak tidak mudah terseran

penyakit.

Hasil penelitian menyimpulkan balita yang terkena campak lebih banyak

pada usia 24-59 bulan. Hal ini dipengaruhi oleh responden dengan

pemahaman responden yang hanya memahami imunisasi campak hanya

pada balita usia 9 bulan.

Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak

dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti

untuk pencegaha terhadap penyakit tertentu (Tando, 2015).

Imunisasi adalah mengebalkan, memberi kekebalan pasif (diberi

antibodi) yang sudah jadi seperti hepatitis B imunoglobulin pada bayi

yang lahir dari ibu hepatitis B (Supartini, 2012).

Penyebab penyakit infeksi ini adalah virus morbili yang menular melalui

droplet. Gejala awal ditunjukkan dengan adanya kemerahan yang mulai

timbul pada bagian belakang telinga, dahi, dan menjalar ke wajah dan

anggota badan. Selain itu, timbul gejala seperti flu disertai mata berair
34

dan kemerahan (konjungtivitis). Setelah 3-4 hari, kemerahan mulai

hilang dan berubah menjadi kehitaman yang akan tampak

bertambahdalam 1-2 minggu dan apabilasembuh, kulit akan seperti

bersisik. Imunisasi diberikan pada usia 9 bulan dengan nasional

kekebalan dari ibu terhadap penyakit campak berangsur akan hilang

sampai usia 9 bulan. Komplikasi yang harus dicegah adalah otitis media,

konjungtivitas berat, enteritis, dan pneumonia, terlebih pada anak dengan

status gizi buruk.

Beberapa studi mendukung hasil penelitian ini seperti yang dilakukan

oleh Handayani (2007) yang menyatakan ada hubungan antara dukungan

keluarga dengan ketidaklengkapan imunisasi dasar, p value = 0,001 (p <

0,05). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Kalimah (2007) yang menyatakan ada hubungan antara

status pekerjaan ibu dengan penerapan imunisasi campak di wilayah

kerja Puskesmas Sekaran Gunungpati Semarang, dengan p value = 0,008

(p < 0,05).

Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa daya proteksi imunisasi campak

sangat tinggi. Menurut penelitian kekebalan yang diperoleh ini

berlangsung seumur hidup, sama langgengnya dengan kekebalan yang

diperoleh bila anak terjangkit campak secara alamiah (Satgas IDAI,

2005). Halini diperkuat dengan teori yang menyatakan bahwa vaksin

efikasi campak pada balita yang mendapatkan vaksin pada usia 9 bulan

sebesar 85%, pada anak yang menerimavaksin campak pada usia 12


35

bulan sebesar 95% dan pada anak usia 15 bulan sebesar 98%(Surveilans,

2008).

Anda mungkin juga menyukai