Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah, jika dipandang lebih sebagai khasanah daripada sebagai kronologi,
dapat menghasilkan transformasi yang menentukan dalam citra sains yang
merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibuat sebelumnya, bahkan oleh para
ilmuwan sendiri, terutama dari studi tentang pencapaian ilmiah yang tuntas
seperti yang direkam dalam karya-karya klasik dan, yang lebih baru, dalam
buku-buku teks yang dipelajari oleh setiap generasi ilmuwan yang baru untuk
mempraktekkan kejujurannya.
Namun, dari sejarah pun konsep yang baru itu tidak akan datang jika data-
data historis masih terus dicari dan diteliti dengan cermat terutama untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh stereotip yang tidak
historis dan diambil dari buku-buku teks sains. Jika sains itu kontelasi fakta,
teori dan metode yang dihimpun dalam buku-buku tesk yang ada sekarang,
maka para ilmuwan adalah orang-orang yang berhasil atau tidak, berusaha
untuk menyumbangkan suatu unsur kedalam konstelasi tertentu itu.
Perkembang sains menjadi suatu proses timbunan yang semakin membesar
yang membentuk tekhnik dan pengetahuan sains.
Tetapi dalam tahun-tahun belakangan ini beberapa sejarahwan sains
berpendapat bahwa memenuhi fungsi yang diberikan kepada mereka oleh
konsep perkembangan dengan akumulasi itu semakin bertambah sulit. Sebagai
pencatat rangkain proses pertambahan mereka menemukan bahwa riset
tambahan itu menyebabkan lebih sukar, bukan lebih mudah, untuk menjawab
pertanyaan seperti: kapan oksigen ditemukan? siapa yang pertama kali
menemukan konsep tentang penghematan energi?
Penemuan baru dalam teori juga bukan satu-satunya peristiwa ilmiah yang
mempunyai dampak revolusioner terhadap para spesialisasi yang wilayahnya
menjadi tempat terjadinya peristiwa itu. Komitmen –komitmen yang
menguasai sains yang normal juga tidak hanya menetapkan jenis-jenis maujud

1
(entity) apa yang dikandung oleh alam semesta, tetapi juga, dengan implikasi,
maujud-maujud yang tidak dikandungnya.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, kami merumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian, tujuan dan fungsi dari pradigma sains?
2. Apa sajakah yang terkandung dalam pradigma sains?
C.Tujuan
1. Untuk mengetahui tujuan dan fungsi dari pradigma sains
2. Untuk mengetahui nilai nilai yang terkandung dalam pradikma sains

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Paradigma
Paradigma Revolusi Sains berasal dari tiga kata yaitu Paradigma, Revolusi
dan Sains atau Ilmu pengetahuan. Paradigma itu sendiri berasal dari bahasa
Yunani yaitu dari kata “Para” yang berarti isamping, di sebelah dan dikenal,
sedangkan diegma berarti berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal. Jadi
secara etimologi arti paradigma adalah satu model dalam teori ilmu
pengetahuan atau kerangka pikir. Sedangkan secara terminologis arti
paradigma adalah konstruk berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh
dan konseptual terhadap suatu permasalahan dengan menggunakan teori
formal, eksperimentasi dan metode keilmuan yang terpecaya.
B. Pengertian Sains atau Ilmu Pengetahuan
Pengertian ilmu menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Ashley Montagu menyebutkan bahwa “Science is a systemized knowledge
services form observation, study, and experiment carried on under determine
the nature of principles of what being studied.” (ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan yang disusun dalam suatu system yang berasal dari pengamatan,
studi dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip hal yang sedang
dipelajari).
Harold H. Titus mendefinisikan “Ilmu (Science) diartikan sebagai common
sense yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap
benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode
observasi yang teliti dan kritis).
C. Paradigma Awal
Paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas,
baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya
karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang
mulai diakui oleh kelompok ilmuwan bahwa masalah-masalah itu rawan, maka
ilmuwan dalam hal ini bersaing mengumpulkan fakta tanpa menghiraukan
kaidah-kaidah teoritisnya. Pada tahap ini terdapat sejumlah aliran yang saling

3
bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara
umum. Namun perlahan-lahan salah satu sistem yang teoritikal mulai
memperoleh penerimaan secara umum dan dengan itu paradigma pertama
sebuah disiplin terbentuk, dan dengan terbentuknya paradigma itu kegiatan
ilmiah sebuah disiplin memasuki periode Normal Sains.
Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah
ini tidak dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya
sering berubah konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains
normal, yang oleh Kuhn di maksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa
contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (yaitu contoh-contoh yang bersama-
sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-
model yang melahirkan tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Atau ia
dimaksudkan sebagai kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori
maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di
mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam,
karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini ilmuwan
tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas
ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai
fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa
timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan
demikian sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi
krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil
memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan
yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang
terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai
gerak, atau perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang
lainnya. Pada mulanya sebagian besar adalah janji akan keberhasilan yang
dapat ditemukan contoh-contoh pilihan dan yang belum lengkap. Dan ini
sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan. Dalam

4
perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidak berhasilan teori
Ptolemaeus betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari
Copernicus. Ptolemeus mengatakan bahwa bumi tidak bergerak, matahari dan
bintang-bintanglah yang bergerak mengelilingi bumi. Saat itu para tokoh
agama dan dosen-dosen universitas di seluruh Italia mengganggap ajaran
Aristoteles dan Ptolemeus adalah ajaran yang paling benar. Karena, mereka
salah menafsirkan sepenggal ayat yang tedapat dalam Kitab Suci. Sementara
itu, Galileo tetap mempertahankan teorinya dan mendukung teori Copernicus
yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Akibatnya, ia
ditangkap para tokoh agama, diadili, dan dijatuhi hukuman sebagai tahanan
rumah. Galileo meninggal pada usia 78 tahun di Arcetri pada tanggal 8 Januari
1642 karena demam. Namun, meskipun demikian teori-teorinya tetap dipakai
seluruh orang di dunia hingga kini.
Contoh Kasus Paradigma Awal
Contoh lain tentang hal ini adalah teori abiogenesis yang diungkapkan oleh
Aristoteles dianggap sebagai paradigma karena saat itu ada sebagian ilmuan
yang memang mendukung Teori Abiosgebesis. Tokoh teori Abiogenesis
adalah Aristoteles (384-322 SM). Dia adalah seorang filosof dan tokoh ilmu
pengetahuan Yunani Kuno. Teori Abiogenesis ini menyatakan bahwa makhluk
hidup yang pertama kali menghuni bumi ini berasal dari benda mati.
Sebenarnya Aristoteles mengetahui bahwa telur-telur ikan apabila menetas
akan menjadi ikan yang sifatnya sama seperti induknya. Telur-telur tersebut
merupakan hasil perkawinan dari induk-induk ikan. Walau demikian,
Aristoteles berkeyakinan bahwa ada ikan yang berasal dari Lumpur.
Bagaimana cara terbentuknya makhluk tersebut? Menurut pengzanut paham
abiogenesis, makhluk hidup tersebut terjadi begitu saja atau secara spontan.
Oleh sebab itu, paham atau teori abiogenesis ini disebut juga paham generation
spontaneae. Jadi, kalau pengertian abiogenesis dan generation spontanea kita
gabungkan, mak pendapat paham tersebut adalah makhluk hidup yang pertama
kali di bumi tersebut dari benda mati/tak hidup yang terkjadinya secara
spontan, misalnya:

5
1. ikan dan katak berasal dari Lumpur.
2. Cacing berasal dari tanah
3. Belatung berasal dari daging yang membusuk.
Paham abiogenesis bertahan cukup lama, yaitu semenjak zaman Yunani
Kuno (Ratusan Tahun Sebelum Masehi) hingga pertengahan abad ke-17. Pada
pertengahan abad ke-17, Antonie Van Leeuwenhoek menemukan mikroskop
sederhana yang dapat digunakan untuk mengamati benda-benda aneh yang
amat kecil yang terdapat pada setetes air rendaman jerami. Oleh para
pendukung paham abiogenesis, hasil pengamatan Antonie Van Leeuwenhoek
ini seolah-olah memperkuat pendapat mereka tentang kevalaidan teori
Abiogenesis. Pendukung lainnya yaitu Jhon Needham (kehidupan berasal dari
kaldu), Van Helment (tikus berasal dari biji dan karung)
Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains,
dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang
lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang
telah matang.
D. Normal Sains
Kuhn menyebut Normal Sains sebagai suatu kegiatan penelitian yang secara
teguh berdasarkan satu atau lebih pencapaian ilmiah di masa lalu yakni
pencapaian-pencapaian yang oleh komunitas ilmiah pada suatu masa
dinyatakan sebagai pemberi landasan untuk praktek selanjutnya. Normal Sains
memiliki dua esensi yakni:
1. Pencapaian ilmiah itu cukup baru sehingga menarik para praktisi ilmu dari
berbagai aliran, menjalankan kegiatan ilmiah, maksudnya dihadapkan pada
berbagai alternatif cara menjalankan kegiatan ilmiah. Sebagian besar
praktisi ilmu cenderung untuk memilih dan mengacu pada pencapaian itu
dalam menjalankan kegiatan ilmiah mereka.
2. Pencapaian itu cukup terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah
yang memeprlukan penyelesaian oleh praktisi ilmu dengan mengacu pada
pencapaian-pencapaian itu. Kuhn berpendapat bahwa kemajuan ilmu itu

6
pertama-tama bersifat revolusioner dan tidak bersifat evolusioner atau
komulatif.
Normal Sains bekerja berdasarkan paradigma yang dianut atau yang
berlaku, oleh karena itu pada dasarnya penelitian normal tidak dimaksudkan
untuk pembaharuan besar melainkan hanya untuk mengartikulasi paradigma
itu. Kegiatan ilmiah Normal Sains hanya bertujuan untuk menambah lingkup
dan presisi pada bidang-bidang yang terhadapnya oaradigma tersebut dapat
diaplikasikan. Oleh karena itu, sebagai “an attempt to force nature into the
performed and relatively inflexible box that the paradigm supplies”.Jadi
Normal Sains adalah jenis kegiatan ilmiah yang sangat restriktif dan
keuntungannya adalah bahwa kegiatan ilmiah yang demikian
itu akan semakin memberikan hasil yang mendalam. Para ilmuwan dalam
Normal Sains biasanya bekerja dalam kerangka seperangkat aturan yang sudah
dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigm dalam bidang tertentu, sehingga
pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih dahulu. Dengan
demikian, kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu noprmal adalah seperti
kegiatan “puzzle solving”. Implikasinya adalah bahwa kegagalan
menghasilkan suatu solusi terhadap masalah tertentu lebih mencerminkan
tingkat kemampuan ilmuwannya ketimbang sifat dari masalah yang
bersangkutan atau metode yang digunakan.
Contoh Kasus Normal Sains “Teori Abiogenesis”
Perkembangan sains yang terus berlangsung para ilmuan berusaha untuk
memperoleh Normal Sains dari teori Abiogenesis tersebut yang sempat
bertahan berabad-abad.
E. Anomali dan Munculnya Penemuan Baru
Walaupun Normal Sains itu adalah kegiatan komulatif (menambah
pengetahuan) dalam bidang yang batas-batasnya ditentukan oleh paradigm
tertentu, namun dalam perjalanan kegiatan dapat menimbulkan hasil yang tidak
diharapkan. Maksudnya dalam kegiatan ilmiah itu dapat timbul penyimpangan,
yang oleh Kuhn disebut anomali. Terbawa oleh sifatnya sendiri yakni oleh
batasbatas yang ditetapkan oleh paradigma, Normal Sains akan mendorong

7
para ilmuwan pemprakteknya menyadari adanya anomali, yakni hal baru atau
pertanyaan yang tidak tercover atau terliputi oleh kerangka paradigma yang
bersangkutan yang tidak terantisipasi berdasarkan paradigma yang menjadi
acuan kegiatan ilmiah. Adanya anomali ini merupakan prasyarat bagi
penemuan baru yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan paradigma.
Mengenali dan mengakui adanya anomali memerlukan waktu yang lama, dan
biasanya terjadi resistensi terhadap anomali itu. Jika penemuan baru dapat
menangani anomali tertentu, maka akan terjadi penyesuaian kecil pada
paradigma. Penyesuaian yang demikian itu biasanya hanya mempengaruhi
sekelompok spesialis yang bekerja dalam bidang khusus tertentu tempat
pertama kali ditemukannya anomali itu.
Tetapi dari waktu ke waktu sejumlah anomaly terjadi dalam lingkungan
Normal Sains tertentu yang menciptakan semacam krisis sedemikian rupa
sehingga kegiatan “puzzle solving” biasa tidak dapat dijalankan, hal ini dapat
membawa akibat yang besar terhadap komunitas ilmiah yang bersangkutan.
Adanya anomali yang krisis itu kemudian menyebabkan sikap para ilmuwan
terhadap paradigma yang berlaku, berubah dan sesuai dengan itu sifat
penelitian mereka juga berubah. Kesemuanya itu adalah “symptoms of a
transitions from normal to extradinary research”. Extradinary research ini
menciptakan pentas bagi kemungkinan berlangsungnya revolusi ilmiah yang
menumbuhkan suatu paradigma baru berkenaan dengan akseptalibitasnya. Jika
paradigma baru itu diterima oleh komunitas ilmiah, maka hal itu berarti bahwa
paradigma terdahulu ditolak atau ditinggalkan. Paradigma yang baru akan
diterima sebagai pengganti yang lama, jika paradigma baru itu mampu
memberikan penyelesaian terhadap anomali yang ditemukan dan tidak
terselesaikan dalam kerangka paradigma lama, memiliki lebih banyak prefisi
kuantitatif dan dapat meramalkan fenomena baru, memiliki kualitas estetika
tertentu atau didukung oleh sejumlah anggota komunitas yang berpengaruh.
Diterimanya paradigma baru berarti terbentuk Normal Sains baru yang akan
berkembang sampai terjadi lagi revolusi ilmiah. Demikianlah bahwa dalam

8
dinamika kegiatan ilmiah, para ilmuwan dapat menyadari adanya peningkatan
anomali yang penyelesaiannya menyimpang dari paradigma yang berlaku.
Anomali dan penyelesaiannya mulai dipandang sebagai eksemplar baru.
Telaah terhadap lembaran baru ini mempunyai dampak umpan balik terhadap
kerangka interpretasi paradigmatik. Asimilasi teori baru yang ditimbulkannya
memerlukan rekonstruksi teori sebelumnya dan evaluasi ulang terhadap fakta
sebelumnya dan dengan itu terjadilah “paradigm shifts” (pergantian
paradigma). Perubahan paradigma itu menimbulkan berbagai perubahan dalam
kegiatan ilmiah. Hal itu akan menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkutan.
Beberapa masalah dinyatakan sebagai masalah yang termasuk dalam disiplin
lain atau dinyatakan bukan masalah ilmiah lagi. Dengan demikian, yang
sebelumnya dianggap bukan masalah atau hanya masalah kecil, kini menjadi
masalah pokok. Standar dan kriteria untuk menentukan keabsahan masalah dan
keabsahan solusi masalah dengan sendirinya juga berubah. Secara umum dapat
dikatakan bahwa perubahan paradigma itu membawa transformasi dalam “the
scientific imagination” dan dengan itu juga terjadi “transformation of the
world.
Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan
observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari
pembenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan
persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma
baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan
kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka
akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa yang tersaing, melainkan
episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur.
Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan
bahwa alam dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong
oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut
dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia
hanya berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang

9
menyimpang itu menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Jadi yang jelas,
dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang
baru.
Contoh Kasus Anomali Sains adalah Tentang “Teori Abiogenesis”

Dalam perkembangannya sebagian Ilmuan tidak merasa puas dan


meragagukan kevalidan teori abiogenesis dan untuk menghilangkan keraguan
tersebut sebagian ilmuan membuat percoban sendiri seperti Francesco Redi
(Italia, 1626-1799). Berikut percobaan yang dilakukan Francesco Redi.
Percobaan Francesco Redi ( 1626-1697)
Untuk menjawab keragu-raguannya terhadap paham abiogenesis, Francesco
Redi mengadakan percobaan. Pada percobaannya Redi menggunakan bahan
tiga kerat daging dan tiga toples. Percobaan Redi selengkapnya adalah sebagai
berikut:
 Stoples I: diisi dengan sekerat daging, kemudian ditutup rapat-rapat.
 Stoples II: diisi dengan sekerat daging, kemudian ditutup dengan kain kasa
 Stoples III: disi dengan sekerat daging, kemudian dibiarkan tetap terbuka.
Selanjutnya ketiga stoples tersebut diletakkan pada tempat yang aman.
Setelah beberapa hari, keadaan daging dalam ketiga stoples tersebut diamati.
Dan hasilnya sebagai berikut:
 Stoples I: daging tidak busuk dan pada daging ini tidak ditemukan jentik /
larva atau belatung lalat.
 Stoples II: Daging tampak membusuk tetapi belatungnya relative sedikit
dari pada diatas kain kasa penutup
 Stoples III : daging tampak membusuk dan didalamnya ditemukan banyak
larva atau belatung lalat.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, Francesco redi menyimpulkan bahwa
larva atau belatung yang terdapat dalam daging busuk di stoples II dan III
bukan terbentuk dari daging yang membusuk, tetapi berasal dari telur lalat yang
ditinggal pada daging ini ketika lalat tersebut hinggap disitu. Hal ini akan lebih
jelas lagi, apabila melihat keadaan pada stoples II, yang tertutup kain kasa.

10
Pada kain kasa penutupnya ditemukan lebih banyak belatung, tetapi pada
dagingnya yang membusuk belatung relative sedikit.
F. Krisis Sains
Perubahan yang melibatkan penemuan-penemuan ini semuannya destruktif
dan sekaligus konstruktif. Namun penemuan atau bukan, satu-satunya sumber
paradigma destruktif-kostruktif ini berubah. Kita akan mulai meninjau
perubahan yang serupa, tetapi biasanya lebih luas, yang disebabkan oleh
penciptaan teori-teori baru. Kita asumsikan bahwa krisis merupakan prakondisi
yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Meskipun
mereka mungkin kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan
alternatif-alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah
membawa mereka kedalam krisis. Artinya mereka tidak melakukan anomali-
anomali sebagai kasus pengganti meskipun dalam perbendaharaan kata filsafat
sains demikian adanya.
Akan tetapi, ini memang berarti-apa yang akhirnya akan menjadi masalah
pokok-bahwa tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan
menolak teori yang semula diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada
perbandingan teori itu dengan dunia. Putusan untuk menolak sebuah paradigma
selalu sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain, dan
pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan
paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama lain. Sains yang normal
berupaya dan harus secara berkesinambungan berupaya membawa teori dan
fakta kepada kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu dapat dengan mudah
dilihat sebagai penguji atau pencari pengukuhan dan falsifikasi. Ini berarti
bahwa jika suatu anomali akan menimbulkan krisis, biasanya harus lebih
daripada sekadar sebuah anomali. Selalu ada kesulitan dalam kecocokan
paradigma alam; kebanyakan diantara cepat atau lambat diluruskan, seringkali
dengan proses-proses yang mungkin tidak diramalkan. Kadang-kadang sains
yang normal akhirnya ternyata mampu menangani masalah yang
membangkitkan krisis meskipun ada keputusan pada mereka yang melihatnya
sebagai akhir dari suatu paradigma yang ada.

11
Transisi dari paradigma dalam krisis kepada paradigma baru yang
daripadanya dapat muncul dari tradisi baru sains yang normal itu jauh dari
proses kumulatif yang dicapai dengan artikulasi atau perluasan paradigma yang
lama. Anti sipasi sebelumnya bisa membantu kita mengenal krisis sebagai
pendahuluan yang tepat bagi munculnya teori-teori baru, terutama karena kita
telah meneliti versi kecil-kecilan dari proses yang sama dalam membahas
munculnya sebuah penemuan. Paradigma baru sering muncul, setidak-tidaknya
sebagai embrio, sebelum krisis berkembang jauh atau telah diakui dengan
tegas. Bertambah banyaknya artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk
mencoba apapun, pengungkapan ketidakpuasan yang nyata, semuannya
merupakan gejala transisi dari riset yang normal kepada riset istimewa.
Gagasan sains yang normal lebih bergantung eksistensi semua ini ketimbang
pada revolusi-revolusi.
G. Paradigma Baru
Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau
menerima paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam
pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan
masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains
itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan dampak logika juga
teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok
yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu per-masalahan
paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang
sangat ditentukan oleh retorika di kalangan masyarakat sains itu sendiri.
Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka
revolusi sains kian dapat terwujud.
Kesemuanya itu dimulai dengan adanya “paradigma”. Menurutnya ilmu
yang sudah matang, dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma ini
berfungsi sebagai pembimbing kegiatan ilmiah dalam masa Normal Sains yang
mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma
secara rinci dan mendalam karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar.

12
Paradigma diterima oleh suatu kelompok masyarakat ilmiah jika paradigma itu
mewakili karya yang telah dilakukannya. Paradigma Baru memperoleh status
karena:
1. Berhasil memecahkan masalah-masalah dalam praktek
2. Memperluas pengetahuan tentang fakta-fakta yang oleh paradigma
diperlihatkan sebagai pembuka pikiran
Jadi dengan menggunakan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk
sejumlah contoh praktek ilmiah aktual yang diterima atau diakui di lingkungan
komunitas ilmiah, menyajikan model-model yang mendasarkan lahirnya tradisi
ilmiah yang terpadu. Contoh praktek ini mencakup dalil-dalil, teori penerapan
dan instrumentasi. Dengan demikian para ilmuwan yang penelitiannya
didasarkan pada paradigma yang sama yang pada dasarnya terikat pada aturan
dan standar yang sama pula dalam mengemban ilmunya. Keterikatan pada
aturan dan standar ini adalah prasyarat bagi adanya Normal Sains. Jadi secara
umum dapat dikatakan bahwa paradigma itu adalah gejala atau cara pandang
atau kerangka berpikir yang mendasarkan fakta atau gejala disinterpretasi dan
dipahami. Hanya masalah yang memenuhi kriteria yang diderifiasi dari
paradigma saja yang dapat disebut masalah ilmiah yang layak digarap oleh
ilmuwan. Dengan demikian maka paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi
tradisi penelitian yang normal. Aturan penelitian diderivasi dari paradigma
namun menurut Kuhn, tanpa adanya aturan ini paradigma saja sudah cukup
untuk membimbing penelitian. Jadi ilmuwan normal sebenarnya, tidak terlalu
memerlukan aturan atau metode yang standar (yang disepakati oleh komunitas
ilmiah

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Thomas Kuhn mengingatkan kita bahwa ada soal penelitian dalam
rasionalitas ilmiah itu yang sebetulnya sangat ambigu. Rasionalitas ilmiah itu
akhirnya bukanlah semata-mata perkara induksi atau deduksi atau juga
rasionalitas demonstratif yang berkulminasi pada representasi teoritis
kenyataan obyektif, melainkan pada dasarnya lebih dari perkara interpretasi
dan persuasi yang cenderung bersifat subyektif.
Oleh karena itu segala yang dikatakan oleh ilmu tentang dunia dan
kenyataan sebetulnya erat terkait pada paradigma dan model atau skema
interpretasi tertentu yang digunakan oleh ilmuwannya. Cara ilmuwan
memandang dunia sesuai dengan apa yang dilihatnya. Paradigma yang
mendasari konstruksi itu diterima oleh komunitas para ilmuwan, bukan karena
ilmuwan itu tahu bahwa itu benar, melainkan karena mereka percaya bahwa itu
yang terbaik, yang paling menjanjikan bila digunakan dalam riset-riset
selanjutnya
B. Saran
Saya harapkan dari pembuatan makalah tentang pradigma sains ini pembaca
dapat memahami definisi dari pradigma sains tersebut, serta memahami fungsi,
tujuan dan memahami maksud dari pradigma sains itu sendiri

14

Anda mungkin juga menyukai