Anda di halaman 1dari 9

castle42

Lanjut ke konten
 Beranda
 Perihal
 keperawatan
 Blog Lain
Blok Pernafasan →

Analisa Kasus Etik dan Hukum


Posted on 8 Desember 2014by nersputra
Paparan Masalah

Perawat sebagai profesi yang turut serta


mengusahakan tercapainya kesejahteraan secara fisik, mental, spiritual untuk
berpedoman pada sumber asalnya yaitu kebutuhan pelayanan keperawatan
masyarakat Indonesia. Warga keperawatan Indonesia menyadari bahwa kebutuhan
keperawatan bersifat universal bagi klien. Oleh karena itu pelayanan yang diberikan
oleh perawat selalu berdasarkan pada cita-cita yang luhur, niat yang murni untuk
keselamatan dan kesejahteraan umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa,
suku, warna kulit, umur jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta
kedudukan sosial (Dalami, Rochimah dan Suryani, 2010).
Sikap etis profesional yang kokoh dari perawat akan tercermin dalam setiap tingkah
lakunya termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon
situasi yang muncul. Kadang-kadang perawat dihadapkan pada situasi yang
memerlukan keputusan untuk mengambil tindakan. Perawat member asuhan
keperawatan kepada klien, keluarga dan masyarakat, serta menerima tanggung
jawab untuk membuat keadaan lingkungan fisik, sosial dan spiritual yang
memungkinkan untuk penyembuhan dan menekankan pencegahan penyakit serta
meningkatkan kesehatan dengan penyuluhan kesehatan.
Contoh kasus mengenai pelayanan keperawatan terhadap pasien dilihat dari aspek
etik dan hukum yang terjadi adalah sebagai berikut:

Ners Sony bekerja di sebuah rumah sakit dan tinggal di daerah pedesaan. Saat di
rumah dia melakukan praktik dengan menerima pasien dari masyarakat
sekitarnya. Semakin lama pasiennya bertambah banyak. Saat praktik dia
memberikan pengobatan sesuai dengan pengalamannya saat bekerja di rumah
sakit. Pada suatu hari datang Tn. Ahmad dengan keluhan mual, muntah, pusing,
dan hipertermi. Ners Sony kemudian memberikan injeksi dan obat kepada pasien.
Setelah 2 jam di rumah, Tn. Ahmad mengalami kejang dan tidak sadarkan diri.
Keluarga panik dan akan melaporkan Ners Sony ke polisi.
Dari kasus tersebut perlu dilakukan analisa dan klarifikasi lebih dalam terkait
bagaimana seorang perawat memberikan asuhan keperawatan kepada klien,
cakupan tanggungjawab perawat dalam melaksanakan tugas profesional yang
berdaya guna dan berhasil guna. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dari aspek
etik dan hukum dalam profesi keperawatan.

1. Pembahasan
Praktek keperawatan yang aman memerlukan pemahaman tentang batasan legal
yang ada dalam praktik perawat. Pemahaman tentang implikasi hukum dapat
mendukung pemikiran kritis seorang perawat, sama dengan semua aspek
keperawatan. Perawat perlu memahami hukum untuk melindungi hak pasien dan
dirinya sendiri dari masalah. Perawat tidak perlu takut hukum, tetapi lebih melihat
hukum sebagai dasar pemahaman terhadap apa yang masyarakat atau pasien
harapkan dari penyelenggara pelayanan keperawatan yang profesional.

Prinsip legal dan etis meliputi prinsip otonomi, berbuat baik, keadilan, tidak
merugikan, kejujuran, menepati janji, kerahasiaan, akuntabilitas dan informed
consent. Semua prinsip tersebut harus ada pada seorang perawat yang profesional,
sehingga dalam pelayanannya melakukan asuhan keperawatan untuk pasien itu
sesuai dengan standar dan pasien nantinya akan merasakan hak-haknya dipenuhi
dengan baik sebagai seorang pasien baik itu di Rumah Sakit atau pelayanan
kesehatan lain (Blais, Hayes, Kozier & Erb, 2007).
Setiap perawat akan melakukan tindakan keperawatan baik itu di Rumah Sakit
maupun diluar Rumah Sakit, harus menyampaikan informasi yang benar dan jujur
kepada pasien, seperti efek yang akan ditimbulkan ketika pasien mendapat tindakan
keperawatan tertentu dan berapa lama suatu obat bekerja. Pada kasus diatas, Ns.
Sony melakukan tindakan keperawatan memberikan obat. Pemberian obat
merupakan salah satu tindakan medis yang dimiliki oleh dokter untuk kategori jenis
obat yang diberikan, namun untuk pelaksanaannya adalah perawat yang melakukan
pemberian obat tersebut, baik itu oral, perenteral, suppositoria dan yang lainnya.

Menurut Guy (2010), perawat harus menyampaikan informasi yang benar dan jujur
kepada pasien terkait dengan tindakan atau resiko yang akan dialami oleh pasien,
tidak dianjurkan seorang perawat atau tenaga medis lainnya menyampaikan
informasi yang tidak benar bahkan sampai menakut-nakuti pasien dan keluarga
dengan harapan mereka mau atau tidak mau dilakukan tindakan medis atau
keperawatan, disesuaikan dengan situasi dan kasus yang ada.

Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap
langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam
merespon situasi yang muncul. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam
tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting
dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan dimana nilai-nilai pasen
selalu menjadi pertimbangan dan dihormati. Memahami masalah etika, hukum,
dan sosial untuk menyelesaikan masalah dalam praktek sangat penting untuk
melayani pasien, keluarga, dan masyarakat dengan aman serta perawatan kesehatan
yang efektif (Badzek, Laurie, Henaghan, Turner, Martha, & Rita, 2013).

Menurut Chattopadhyay, S. (2012), setiap dokter dan perawat harus peduli dan tahu
betapa pentingnya untuk menginformasikan pasien tentang diagnosis dan prognosis
dari penyakit serta pilihan pengobatan. Karena dengan pasien yang tahu kondisinya
akan bisa dengan mudah diajak untuk ikut peran serta dalam proses penyembuhan
dan tindakan baik medis maupun paramedis yang dijalaninya.

Secara legal etik, setiap tindakan yang dilakukan pada pasien harus diberikan
informasi dan dilakukan penandatanganan formulir yang disebut sebagai informed
consent. Informed consent adalah pengakuan atas hak autonomy pasien, yaitu hak
untuk dapat menentukan sendiri apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya.
karenanya tidak hanya informed consent yang kita kenal, melainkan juga informed
refusal. Doktrin informed consent mensyaratkan agar pembuat consent telah
memahami masalahnya terlebih dahulu (informed) sebelum membuat keputusan
(consent atau refusal) (Iserson, 2014).
Dengan demikian, informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan
komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran
tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed
consent dilihat dan aspek hukum bukanlah suatu perjanjian antara dua pihak
melainkan ke arah persetujuan sepihak atas tindakan yang ditawarkan pihak lain.
Dengan demikian cukup ditandatangani oleh pasien atau walinya. Sebelum ners sony
melakukan tindakan, pasien juga harus benar-benar mendapatkan informasi yang
benar serta tidak membahayakan pasien, dalam hal ini Tn. Ahmad. Hal tersebut
sesuai dengan nilai keadilan (justice) dan tdak membahayakan (beneficience).
Apalagi tindakan yang dilakukan ners Sony salah satunya yaitu pemberian obat.
Nama obat dan kegunaan serta efek sampingnya harus pasien ketahui dengan baik.
Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas
upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh
informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong
dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi (Badzek,
Laurie, Henaghan, Turner, Martha & Monsen, 2013).
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3
(tiga) unsur meliputi keterbukaan informasi yang cukup diberikan, dokter atau
tenaga kesehatan lain yang berkompeten dalam memberikan informasi tersebut dan
persetujuan dari pasien dengan sukarela (tanpa paksaan atau tekanan). Hal ini tidak
berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan
melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada
pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien
atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent


mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia.


2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan.
Persetujuan tersebut bisa dilakukan secara lisan ketika tindakan medis yang
dilakukan kepada pasien bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi,
sedangkan persetujuan tertulis dilakukan ketika pasien akan dilakukan tindakan
medis yang mempunyai resiko besar dan sebelumnya pihak pasien dan keluarga
harus memperoleh informasi yang cukup tentang tindakan medis tersebut, sesuai
dengan Permenkes RI No.290/Menkes/PER/III/2008 pasal 3 ayat 1. Adapun
persetujuan yang bersyarat, dilakukan pasien melalui syarat, misalnya pasien yang
akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya
sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Perlindungan hukum baik bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan memiliki
akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas
sehari-hari tidak menutup kemungkinan perawat berbuat kesalahan baik sengaja
maupun tidak sengaja. Oleh karena itu dalam menjalankan prakteknya secara
hukum perawat harus memperhatikan baik aspek moral atau etik keperawatan dan
juga aspek hukum yang berlaku di Indonesia (Sudrajat, 2009).

Profesi perawat juga telah memiliki aturan tentang kewenangan profesi, yang
memiliki dua aspek, yaitu kewenangan material dan kewenangan formil. Kewenagan
material diperoleh sejak seseorang memperoleh kompetensi dan kemudian ter-
registrasi, yang disebut sebagai Surat ijin perawat (SIP). Sedangkan kewenangan
formil adalah ijin yang memberikan kewenangan kepada perawat (penerimanya)
untuk melakukan praktek profesi perawat, yaitu Surat Ijin Kerja (SIK) bila bekerja
didalam suatu institusi dan Surat Ijin Praktik Perawat (SIPP) bila bekerja secara
perorangan atau kelompok. (Permenkes 148, 2010).

Beberapa situasi yang berpotensial menimbulkan tindakan kelalaian dalam


keperawatan diantaranya yaitu kesalahan pemberian obat. Hal ini dikarenakan
begitu banyaknya jumlah obat yang beredar metode pemberian yang bervariasi.
Kelalaian yang sering terjadi, diantaranya kegagalan membaca label obat, kesalahan
menghitung dosis obat, obat diberikan kepada pasien yang tidak tepat, kesalahan
mempersiapkan konsentrasi, atau kesalahan rute pemberian. Beberapa kesalahan
tersebut akan menimbulkan akibat yang fatal, bahkan menimbulkan kematian
(Garmel, 2013).

Contoh kasus diatas sudah jelas, bahwa dalam hal ini Tn. Ahmad dan keluarga yang
merasa dirugikan dengan tindakan yang dilakukan oleh ners Sony dalam melakukan
asuhan keperawatan mandiri dirumah. Tidak hanya memberikan informasi secara
baik dan benar terkait obat atau tindakan lain misalnya sebelum diberikan kepada
pasien, tetapi riwayat terkait alergi terhadap suatu obat juga perlu ditanyakan,
barangkali hal ini yang belum ners Sony lakukan kepada Tn. Ahmad. Karena bisa
jadi kejang yang dialami Tn. Ahmad merupakan efek samping setelah obat diberikan
dan ternyata pasien atau Tn. Ahmad alergi terhadap obat tersebut.

Riwayat kesehatan pasien atau Tn. Ahmad juga perlu dilakukan anamnesa, tidak
menutup kemungkinan jika Tn. Ahmad juga mempunyai penyakit yang akan
kambuh pada kondisi-kondisi tertentu dengan faktor penyebab yang kita atau pihak
keluarga belum mengetahuinya secara pasti. Bisa jadi kejang yang muncul tersebut
merupakan efek dari kambuhnya penyakit yang dialami Tn. Ahmad, bukan karena
efek obat yang diberikan oleh ners Sony atau akibat dari tindakan keperawatan yang
sudah dilakukan.

Proses pengkajian yang dilakukan dengan baik, meliputi anamnesa baik itu langsung
maupun tidak langsung, akan membuat tindakan perawatan atau penanganan yang
dilakukan terhadap pasien akan lebih baik. Data pengkajian yang detail dan spesifik
akan memberikan gambaran lebih kepada perawat dalam hal ini yang akan
memberikan asuhan keperawatan untuk lebih teliti dalam mengambil keputusan,
tindakan apakah yang sebaiknya diberikan kepada pasien dengan
memperteimbangkan banyak nilai, moral, keyakinan dan segi kesehatan itu sendiri.
Pemahaman tentang kebutuhan pasien juga akan menginisiasi perawat untuk
memberikan proses keperawatan (Lachman, 2012).

Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap
langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam
merespon situasi yang muncul. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam
tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting
dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan dimana nilai-nilai pasen
selalu menjadi pertimbangan dan dihormati. Memahami masalah etika, hukum,
dan sosial untuk menyelesaikan masalah dalam praktek sangat penting untuk
melayani pasien, keluarga, dan masyarakat dengan aman serta perawatan kesehatan
yang efektif (Badzek et al, 2013).
Hubungan perawat dengan pasien serta tenaga kesehatan lain dapat dilihat dari
pelayanan praktek keperawatan, baik dari kode etik dan standar praktek atau ilmu
keperawatan. Pada praktek keperawatan, perawat dituntut untuk dapat bertanggung
jawab baik etik, disiplin dan hukum. Seorang perawat dapat memegang teguh
prinsip atau nilai-nilai yang mendasari praktik keperawatan itu sendiri, yaitu
membantu pasien untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal, membantu
meningkatkan autonomi pasien dalam mengekspresikan kebutuhannya, perawat
mendukung martabat kemanusiaan dan berlaku sebagai advokat bagi pasien serta
menjaga kerahasiaan pasien.

Perawat pada dasarnya harus mempunyai kompetensi khusus dan pengetahuan


terkait dengan hukum legal dan etik keperawatan. Kompetensi khusus yang
dimaksud disini yaitu perawat melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan
Standar Prosedur Operasional atau SPO yang sudah ada di Rumah Sakit. Hal ini
bersifat sebagai payung hukum ketika terjadi sesuatu atau hal-hal yang tidak
diinginkan (Nikolaos, 2014).

1. Kesimpulan dan Saran


Salah satu tantangan besar perawat dalam melakukan pelayanan adalah bagaimana
mengintegrasikan nilai-nilai dan keyakinan kita sendiri ke dalam praktek profesional
dengan tepat. Hubungan yang muncul antara pasien dan perawat dapat memberikan
kesempatan luar biasa untuk menunjukkan perasaaan saling menghargai,
mengurangi ketakutan, serta memberikan kekuatan dan dukungan psikologis pada
pasien.

Perawat merupakan profesi yang selalu berhubungan dan berinteraksi langsung


dengan pasien, baik itu pasien sebagai individu, keluarga maupun masyarakat. Oleh
karena itu perawat dalam memberikan asuhan keperawatannya dituntut untuk
memahami dan berperilaku sesuai dengan etik keperawatan. Prinsipnya dalam
melakukan praktek keperawatan, perawat harus memperhatikan beberapa hal, yaitu
melakukan praktek keperawatan dengan ketelitian dan kecermatan sesuai standar
praktek keperawatan, melakukan kegiatan sesuai kompetensinya, dan mempunyai
upaya peningkatan kesejaterahan serta kesembuhan pasien sebagai tujuan praktek.

Dampak dari kelalaian secara umum dapat dilihat baik sebagai pelanggaran nilai dan
moral serta pelanggaran hukum, yang jelas mempunyai dampak bagi pelaku,
penerima, dan organisasi profesi dan administrasi. Sedangkan dari segi perawat
secara perorangan, harus dilihat dahulu apakah perawat tersebut kompeten dan
sudah memiliki Surat Ijin Perawat, atau lainnya sesuai ketentuan perudang-
undangan yang berlaku, apa perawat tersebut memang kompeten dan telah sesuai
melakukan praktek asuhan keperawatan, terlebih dalam praktik keperawatan yang
dilakukan adalah praktek mandiri dirumah. Keputusan ada atau tidaknya
kelalaian/malpraktek bukanlah penilaian atas hasil akhir pelayanan praktek
keperawatan pada pasien, melainkan penilaian atas sikap dan tindakan yang
dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh tenaga medis dibandingkan dengan
standar yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Badzek, Laurie, Henaghan, M., Turner, Martha, & Monsen, Rita. (2013). Ethical,
legal, and social issues in the translation of genomics into health care. Journal of
Nursing Scholarship, 45(1), 15-24.
Blais, K., Hayes, J., Kozier, B., & Erb, G. (2007). Praktik Keperawatan Profesional:
Konsep dan Perspektif. Jakarta: EGC Kedokteran.
Chattopadhyay, S. (2012). Telling culturally construed truth in clinical practice. The
Lancet, 379(9815), 520.
Dalami, E. , Rochimah, & Suryani, K. (2010). Etika Keperawatan. Jakarta: Trans
Info Media.
Dermawan, D. (2013). Pengantar Keperawatan Profesional. Yogyakarta: Gosyen
Publishing.
Garmel, GM. (2013). Conflict resolution in emergency medicine. In J. Adams
(Ed.), Emergency Medicine (2nd ed., pp. 1743-1748). Illinois: Elsevier.
Guy, H. (2010). Accountability and legal issues in tissue viability nursing. Nursing
Standard, 25(7), 62-4, 66-7.
Iserson, KV., Heine, CE. (2014). Bioethics. In J. Marx (Ed.), Rosen’s Emergency
Medicine (8 ed., pp. 33-46). California: Saunders.

Lachman, VD. (2012). Applying the ethics of care to your nursing practice. Medsurg
Nursing, 12(2), 112-116.
Nikolaus, T. (2014). Ethical and Legal Aspects of Nursing Care: a Focus on the Greek
Legislation International Journal of Caring Sciences 7(1).
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010. Tentang
Registrasi Tenaga Kesehatan
Permenkes RI No.290/Menkes/PER/III/2008 pasal 3 ayat 1 tentang pemberian
informasi atau Informed Consent
Sudrajat, DA. (2009). Aspek hukum praktik keperawatan Jurnal Kesehatan Kartika
Stikes A. Yani .
Report this ad

Report this ad

Bagikan ini:
 Twitter

 Facebook

 Google

Pos ini dipublikasikan di keperawatan dan tag Keperawatan. Tandai permalink.

Blok Pernafasan →
Tinggalkan Balasan

 Search
Cari

 Kalender
S S R K J S M

1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
29 30 31
Desember 2014

 Info Kontak
Jalan Pendidikan 339A
+62857-2920-7100
 Arsip Posting
 Desember 2014 (8)
 Statistik Blog
 8,554 hits
castle42
Blog di WordPress.com.

 Ikuti

Anda mungkin juga menyukai