Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Di era globalisasi saat ini, sangat diperlukan peserta didik yang mempunyai kemampuan bersaing
dengan berbagai negara. Berbagai jenis kegiatan tingkat internasional bisa terlihat sejauh mana
peserta didik Indonesia mampu bersaing. Sejauh ini Indonesia merupakan salah satu negara yang
berpartisipasi dalam Program for International Student Assessment (PISA). PISA merupakan
suatu studi tentang program penilaian siswa tingkat internasional yang diselenggarakan setiap tiga
tahun oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) atau organisasi
untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan. Hal-hal yang dinilai dalam studi PISA meliputi
literasi matematika, literasi membaca dan literasi sains.
Berkaitan dengan aspek literasi matematika, Indonesia telah mengikuti studi PISA sejak tahun
2000. Hasil skor PISA Indonesia dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1.1 Hasil Skor PISA Indonesia Tahun 2000 s.d. 2015

Gambar 1.1 menunjukkan hasil skor PISA Indonesia selalu di bawah rata-rata Internasional. Ada
ketidakstabilan hasil skor PISA Indonesia dimana adanya penurunan dan kenaikan yang terlihat.
Tiga tahun terakhir hasil skor PISA Indonesia mengalami peningkatan. Dari hasil skor PISA dapat
disimpulkan bahwa prestasi peserta didik Indonesia tertinggal dari negara yang juga ikut
berpartisipasi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengantisipasi hal tersebut dengan melakukan
beberapa kali perubahan pada kurikulum pendidikan di Indonesia (Murtiyasa, 2015). Dengan
adanya perubahan kurikulum, maka buku teks yang dipakai pun harus sesuai dengan kurikulum
yang berlaku yaitu kurikulum 2013 yang salah satunya dilatarbelakangi rendahnya skor PISA
Indonesia. Hal ini menjadi pemerkuat pentingnya keberadaan Kurikulum 2013. Pemberlakuan
kurikulum 2013 diyakininya akan mampu meningkatkan hasil studi PISA, tidak terkecuali dalam
aspek matematika, mengingat didalamnya akan diperkuat dengan pendekatan pembelajaran yang
sesuai dengan standar dalam kurikulum 2013 yaitu salah satunya mengarah ke PISA. Oleh karena
itu, dalam pembelajaran yang efektif membutuhkan perangkat yang efektif pula. Salah satu
perangkat pembelajaran yaitu buku teks. Selain itu juga salah satu prinsip pengembangan
kurikulum 2013 yaitu kurikulum harus relevan dengan kebutuhan kehidupan (Kemendikbud,
2013). Hal ini sejalan dengan konsep literasi matematika PISA yang menjadikan pendidikan
matematika berguna bagi masyarakat dalam menghadapi tantangan masa depan dan juga
berpengaruh pada pengembangan kurikulum serta peningkatan pengajaran dan pembelajaran di
negara-negara peserta PISA (Stacey, dkk., 2015).
Dalam hal ini pemerintah menyediakan buku teks wajib revisi 2016 sebagai sumber belajar siswa
di sekolah yang sesuai dengan kurikulum 2013. Tujuan dari revisi karena belum sesuai dengan
tuntutan kompetensi dasar pada kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2016). Menurut Peraturan
Pemerintah nomor 32 tahun 2013 pasal 1 ayat 23, menjelaskan bahwa keberadaan buku teks
sangat penting karena buku teks pelajaran adalah sumber pembelajaran utama untuk mencapai
Kompetensi Dasar dan Kompetensi Inti. Buku teks juga berisi soal-soal

3 yang digunakan sebagai alat ukur kemampuan siswa. Buku teks matematika siswa juga
menunjukkan keinginan pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap kualitas pendidikan dan
memperbaiki prestasi Indonesia di ajang internasional. Hasil studi PISA bisa terlihat sejauh mana
prestasi matematika siswa Indonesia (Zulkardi, 2005). Hal ini sependapat dengan Kamaliyah,
Zulkardi & Darmawijoyo (2013) bahwa keterlibatan Indonesia dalam PISA adalah salah satu
upaya untuk melihat sejauh mana perkembangan program pendidikan di negara kita dibandingkan
dengan negara-negara lain di dunia. Upaya lain yang telah dilakukan sudah banyak, terutama di
Universitas Sriwijaya. Seperti penelitian pengembangan soal model PISA untuk mengukur
kemampuan matematika siswa (Mardhiyanti, 2011; Anisah, dkk., 2011; Silva, dkk., 2011;
Jurnaidi & Zulkardi, 2014; Sari, 2015). Selain pengembangan soal model PISA, penelitian yang
sudah dilakukan yaitu kajian soal buku teks matematika kelas X (Munayati, dkk., 2015).
Kenyataannya, tingkat kesulitan soal-soal pada buku teks sangatlah rendah, terbukti bahwa paling
tinggi rata-rata tingkat kesulitannya hanya bisa mencapai level 3 (Stacey, 2011; Masduki, dkk,
2013; Giani, dkk., 2015). Sejalan dengan penelitian sebelumnya persentase kesesuaian soal-soal
di dalam buku matematika siswa kurikulum 2013 dengan komponen PISA masih rendah
(Munayati, dkk., 2015). Sehingga sangatlah penting untuk dilakukan kajian terhadap konten buku
teks yang telah disediakan pemerintah terutama dalam hal kualitas soal-soal yang disajikan di
dalamnya (Dewantara, dkk., 2015).
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, sehingga peneliti melakukan analisis pada soal-soal di
salah satu materi buku teks Matematika kelas VII edisi Revisi 2016 yang diterbitkan oleh
Kemendikbud, yang ditinjau berdasarkan framework PISA. Aspek penilaian dalam framework
PISA yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari aspek konteks, proses, kemampuan dasar
matematika, dan level kemampuan (OECD, 2016). Konten yang digunakan dalam penelitian ini
berupa seluruh soal yang terdapat pada bab aljabar. Hal ini disebabkan karena aljabar
merupakan pintu gerbang dari semua cabang matematika yang lebih tinggi (Brawner, 2012).
Menurut Katz (2007) dan Kendal & Stacey (2004) aljabar juga sangat penting untuk dikuasai oleh
siswa, karena baik secara implisit ataupun

eksplisit aljabar digunakan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari baik secara langsung maupun
sebagai prasyarat. Selain itu materi tentang aljabar sangat penting karena pada PISA 2003, aljabar
dan pengukuran secara signifikan lebih sulit bagi siswa Indonesia dari angka, geometri, dan data
(Stacey, 2011: 118). Hasil studi PISA tahun 2009 memperlihatkan bahwa dari hasil aljabar secara
keseluruhan, hanya 41,4% siswa yang dapat menjawab benar. Hal ini sangat kecil dibandingkan
dengan soal pada materi yang lain (OECD, 2010).
Pada tahun 2018 akan diselenggarakan PISA, namun masih terdapat berbagai permasalahan yang
terlihat pada uraian diatas seperti Komponen PISA yang masih rendah pada buku teks matematika
kurikulum 2013 yang menjadi sumber utama pada pembelajaran, rendahnya peringkat PISA
Indonesia serta hasil perolehan skor materi paling rendah pada studi PISA yaitu materi aljabar.
Permasalahan-permasalahan tersebut membuat analisis soal-soal buku teks matematika sangat
penting dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis apakah buku teks
matematika kurikulum 2013 yang telah direvisi telah memiliki proporsi soal-soal yang sesuai
dengan framework PISA. Adapun judul penelitian ini adalah Analisis Soal-soal Aljabar pada
Buku Teks Matematika Siswa Edisi Revisi 2016 Berdasarkan Framework PISA.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana
konteks, proses, kemampuan dasar matematika, dan level kemampuan Soal-soal Aljabar pada
Buku Teks Matematika Siswa Edisi Revisi 2016 berdasarkan framework PISA?
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan konteks, proses,
kemampuan dasar matematika, dan level kemampuan Soal-soal Aljabar pada Buku Teks
Matematika Siswa Edisi Revisi 2016 berdasarkan framework PISA.
Mbak yulia

1.1 Latar Belakang


Matematika merupakan salah satu ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern dan
juga mempunyai peran penting dalam meningkatkan kemampuan daya berpikir manusia (Lewy,
2009; Silva, 2010; dan Fitriani, 2015). Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan
perkembangan teknologi modern yang sangat pesat dan arus globalisasi yang sangat kompetitif
diharapkan semua manusia dapat melek matematika (mathematical literacy). Selaras dengan hal
tersebut maka langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kemampuan
matematika adalah dengan mengikuti berbagai studi terkait literasi matematika. Terdapat dua
studi internasional yang di ikuti Indonesia untuk mengetahui tingkat literasi matematika siswa
yaitu TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programme for
International Student Assement) (PPPPTK Matematika, 2011).
TIMSS merupakan studi internasional yang lebih berfokus pada pencapaian matematika siswa
kelas IV dan VIII yang materi-materinya sesuai dengan kurikulum yang berlaku (Johar, 2012).
Sedangkan, PISA merupakan studi internasional yang lebih berfokus pada literasi yang
menekankan keterampilan siswa untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh disekolah
untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari pada berbagai situasi (OECD,
2010). Dalam proses untuk mengetahui tingkatan kemampuan matematika yang dimiliki oleh
siswa maka siswa harus menjalani tes berupa menjawab soal-soal yang telah disiapkan oleh pihak
PISA dan TIMSS.
Soal-soal yang ada dalam studi PISA sangat menuntut kemampuan penalaran dan pemecahan
masalah (Silva, 2010; Wati, 2016). Hal ini sesuai dengan kurikulum 2013 yang menyatakan bahwa
tujuan pemberian mata pelajaran matematika disekolah adalah agar siswa dapat
mengembangkan

kemampuan yang telah dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan inilah yang dinamakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Selain itu, Soal-soal
yang ada dalam studi PISA juga sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2014 yaitu untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat
rendah yang berupa kemampuan mengingat, memahami, menerapkan dan kemampuan berpikir
tingkat tinggi berupa menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Selaras dengan itu, soal-soal
yang ada dalam studi TIMSS juga mengukur Kemampuan siswa dalam berpikir tingkat rendah
yang meliputi aspek pemahaman dan penerapan serta kemampuan berpikir tingkat tinggi yang
meliputi aspek penalaran (Pratiwi dan Fasha, 2015).
Berkaitan dengan aspek literasi matematika, prestasi siswa Indonesia sangat mengecewakan. Hal
ini terlihat dari hasil PISA pada tahun 2015 dimana Indonesia berada pada posisi delapan
terbawah yaitu peringkat ke-64 dari 72 negara peserta (OECD, 2016). Hal serupa juga ditunjukan
oleh hasil TIMSS yang memperlihatkan bahwa kemampuan siswa Indonesia masih dibawah rata-
rata, seperti terlihat dari hasil TIMSS pada tahun 2011 dimana skor pencapaian prestasi belajar
siswa kelas VIII adalah 386 dari skor rata-rata 500 (Mullis, et al. (2012, p.56)). Hasil analisis
TIMSS juga menunjukkan bahwa lebih dari 95 % siswa Indonesia hanya mampu menguasai
pelajaran sampai level menengah (Kemendikbud, 2013).
Kemendikbud (2013, p.2) menyatakan bahwa rendahnya literasi matematika siswa Indonesia
disebabkan oleh banyaknya materi uji yang ada di TIMSS tidak terdapat dalam kurikulum
Indonesia. Rendahnya literasi matematika siswa di Indonesia juga disebabkan karena
pembelajaran disekolah yang dalam prosesnya siswa kurang terlatih dalam menyelesaikan soal-
soal yang mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi dimana soal tersebut merupakan
karakteristik soal PISA dan TIMSS (PPPPTK Matematika, 2011; Pratiwi dan Fasha, 2015). Sejalan
dengan itu, rendahnya literasi matematika juga disebabkan karena pembelajaran disekolah
dimana siswa hanya dituntut

untuk mengerjakan soal sesuai dengan contoh yang diberikan guru tanpa mengetahui manfaatnya
dalam kehidupan sehari-hari (Wati, 2016).
Berdasarkan rendahnya hasil TIMSS dan PISA tersebut dapat dilihat bahwa pembelajaran di
Indonesia kurang memberikan bekal kepada siswa untuk mengaplikasikan kemampuan logika
berpikirnya dan kemampuan menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari untuk
menyelesaikan soal. Dimana kemampuan tersebut merupakan karakteristik kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Hal inilah yang kemudian membuat keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS)
siswa Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan siswa dari negara lain. Hasil tersebut
juga menunjukan bahwa soal-soal yang ada dalam kurikulum Indonesia masih jauh dari standar
soal PISA dan TIMSS khususnya soal-soal HOTS. Hal ini terlihat pada soal-soal dalam Ujian
Nasional matematika pada jenjang SMP.
Soal Ujian Nasional SMP masih sangat kontekstual yang penuh dengan perhitungan, siswa hanya
dituntut melakukan perhitungan dengan menerapkan rumus tanpa menekankan problem solving
atau menguji kemampuan berpikir tingkat tinggi (Sandrayani, 2012).
Rendahnya soal-soal yang mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi juga terlihat dalam buku
teks matematika. Hal tersebut dapat dilihat dari penelitian Giani (2015) yang mengungkapkan
bahwa BSNP menemukan masih banyak buku teks pelajaran matematika di Indonesia
mempunyai kelemahan. Hal tersebut juga didukung oleh Masduki dkk (2013) yang menemukan
fakta bahwa soal-soal dalam buku teks matematika ternyata masih belum memfasilitasi siswa
untuk mencapai Kompetensi Dasar pada kurikulum yang berlaku.
Salah satu penelitian yang menunjukan rendahnya soal-soal yang mengukur kemampuan
berpikir tingkat tinggi pada buku teks adalah penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang
tingkat kognitif soal-soal buku teks kelas VII pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan
linier satu variabel berdasarkan taksonomi bloom (Giani, 2015). Dimana penelitian ini
menunjukkan bahwa buku tersebut belum memenuhi proporsi soal yang

mendukung ketercapaian Kompetensi Dasar, yaitu 30% untuk C1 dan C2, 40% untuk C3 dan C4,
dan 30% untuk C5 dan C6.
Tabel 1.1 Presentase Presentase Soal
Kognitif Soal Tingkat
Kognitif
C1
C2
C3
C4
C5
C6

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa persentase soal yang mengandung tingkat kognitif
berpikir tingkat tinggi (HOTS) yang meliputi menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta masih
sangat sedikit . Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan kurikulum 2013 yang menyatakan
bahwa untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika diperlukan soal yang tidak hanya
mencakup indikator mengingat, memahami, dan aplikasi tetapi lebih mencakup indikator analisis,
dan evaluasi.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) merupakan kemampuan untuk menghubungkan,
memanipulasi, dan mentransformasikan pengetahuan serta pengalaman sebelumnya untuk
memecahkan masalah pada situasi yang baru (Rofiah dkk, 2013). Selain itu, Conklin (2012, p.14)
menyatakan karakter HOTS sebagai berikut “characteristic of higher-order thinking skills:
higher-order thinking skills encompass both critical thinking and kreatif thinking” artinya,
karakter kemampuan berpikir tingkat tinggi mencakup kemampuan berpikir kritis dan berpikir
kreatif.
Selain merupakan karakter soal-soal PISA dan TIMSS, pentingnya kemampuan berpikir tingkat
tinggi (HOTS) juga tercermin dalam tujuan perancangan kurikulum 2013 yaitu agar siswa dapat
berpikir kritis dalam menyelesaikan permasalahan. Pada kurikulum 2013 pembelajaran
matematika

dimulai dari pengamatan permasalahan konkret, semi konkret, lalu ke abstraksi permasalahan.
Demikian strategis soal-soal dalam buku teks matematika untuk mengukur atau melihat
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk dilakukan
pengembangan tingkat kognitif soal-soal dalam buku teks matematika kelas VII kedalam soal
HOTS berdasarkan Taksonomi Bloom.
Soal-soal buku teks yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah soal buku teks
Matematika Konsep dan Aplikasinya pada kelas VII pokok bahasan persamaan dan
pertidaksamaan lineir satu variabel. Pemilihan buku teks ini dikarenakan pada penelitian
sebelumnya oleh Giani (2015) dikatakan bahwa buku teks ini merupakan buku teks wajib dipakai
oleh lima SMP yang ada dikabupaten Ogan Ilir.
Pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel sangat penting untuk dikuasai
siswa karena merupakan salah satu materi yang ada dalam PISA yaitu pada konten change and
relationship pokok bahasan tentang Aljabar. Materi ini juga berkaitan erat dengan kehidupan
sehari-hari dan merupakan salah satu materi prasyarat beberapa materi setelahnya (Giani, 2015).
Pengembangan tingkat kognitif soal kedalam soal HOTS berdasarkan Taksonomi Bloom
dikarenakan taksonomi bloom pada ranah kognitif merupakan dasar bagi kemampuan berpikir
tingkat tinggi (Prasetyani, 2016). Taksonomi bloom yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan taksonomi bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathworl.
Kegiatan pengembangan tingkat kognitif soal-soal dalam buku teks kelas VII kurikulum 2013
kedalam soal HOTS berdasarkan Taksonomi Bloom dilakukan untuk menghasilkan soal yang valid
dan praktis yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik mampu mengerjakan
soal-soal HOTS dalam tingkat kognitif C4 (menganalisis) dan C5 (mengevaluasi). Berdasarkan
uraian di atas maka peneliti akan mengadakan penelitian dengan judul “Pengembangan Soal
HOTS Pokok Bahasan Persamaan dan

Pertidaksamaan Linier Satu Variabel Kelas VII Berdasarkan Taksonomi Bloom”.


1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:


1. Bagaimana soal HOTS pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel yang
valid dan praktis berdasarkan taksonomi bloom?
2. Apakah efek potensial soal HOTS berdasarkan taksonomi bloom pokok bahasan persamaan
dan pertidaksamaan linier satu variabel pada siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Tanjung Raja?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini antara lain :
1. Menghasilkan soal HOTS pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel
yang valid dan praktis berdasarkan taksonomi bloom.
2. Mengetahui efek potensial soal HOTS berdasarkan taksonomi bloom pokok bahasan
persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel pada siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Tanjung
Raja.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini antara lain :
1. Peneliti lain, mendapat referensi baru yang bisa dijadikan bekal untuk bisa mengembangkan
soal HOTS pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel pada konteks yang
lain.
2. Guru, sebagai rujukan untuk dapat menggunakan soal HOTS pokok bahasan persamaan dan
pertidaksamaan linier satu variabel yang valid dan praktis untuk mengukur kemampuan berpikir
tingkat tinggi siswa.
3. Siswa, sebagai salah sarana atau alat ukur kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Anda mungkin juga menyukai