Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

PANUVEITIS SARCOIDOSIS

Disusun Oleh:
Ade Agnes Wulandari 1261050098
Elizabeth Anastasya 1261050181
Pius Didi Menikau M. 1261050223
Sydney Putriany Salean 1261050243
Rio Alexander 1261050265

Pembimbing:
dr. Reinne Natali Christine, Sp.M

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata


Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia
Periode 26Februari – 31Maret 2018
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Sarcoidosis adalah suatu kelainan granuloma multisistem yang ditandai oleh respon T-
helper dimana limfosit CD4 dan makrofag yang diaktifkan terakumulasi di organ sehingga dapat
menghasilkan pembentukan granuloma. Organ yang paling sering terkena adalah paru, kulit dan
mata. Uveitis sulit didefinisikan, tetapi biasanya di artikan sebagai inflamasi di mata. Uveitis
sering dianggap sebagai inflamasi pada jaringan yang dikenal sebagai uvea: koroid, badan silier,
iris.1,2

Prevalensi dari keterlibatan okular pada sarkoidosis telah di laporkan sebanyak 12 – 23 %


kasus di US dan 13% kasus di turki , 79% kasus di jepang. Di korea selatan prevalensinya 21%
pada tahun 2009, dimana sama dengan kasus di US. Diketahui bahwa prevalensi di korea selatan
berbeda dengan prevalensi di jepang. Perbedaan ini mungking diakibatkan karna sampel yang
kecil pada pasien yang diobservasi.2

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 209 pasien yang terdiagnosa uveitis di Thailand
menunjukan terdapat 4 pasien (2%) juga didiagnosa dengan sarkoidosis pulmonal. Dari hasil
semuanya, keterlibatan okular ditemukan lebih dari 20% dari semua pasien yang terdiagnosis
sarkoidosis dan hal ini telah dilaporkan bahwa sarkoidosis diperkirakan sekitar 4-13% pada
pasien dengan uveitis, ini menunjukan bahwa prevalensi tinggi.2 karena ada penyakit sarcoidosis
yang melibatkan seluruh tubuh, mata, dan saraf optik. Tingkat keterlibatan dari okular pada
pasien dengan sarkoidosis ini tergolong sangat tinggi, sehingga diperlukan penyaringan
pemeriksaan mata.2

B. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui panuveitis
2. Untuk mengetahui metode / penegakan diagnosa
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan sarkoidosis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sarcoidosis adalah suatu kelainan granuloma multisistem yang ditandai oleh respon T-helper
dimana limfosit CD4 dan makrofag yang diaktifkan terakumulasi di organ sehingga dapat
menghasilkan pembentukan granuloma. Organ yang paling sering terkena adalah paru, kulit dan
mata. Uveitis sulit didefinisikan, tetapi biasanya di artikan sebagai inflamasi di mata. Uveitis
sering dianggap sebagai inflamasi pada jaringan yang dikenal sebagai uvea: koroid, badan silier,
iris.1,2

B. Etiologi
Etiologi pada sarkoidasis belum diketahui dengan pasti, apakah merupakan penyakit infeksi,
penyakit genetik atau reaksi terhadap benda asing atau apakah penyakit akibat satu atau banyak
penyebab. Perubahan patologik sarkoidosis menyerupai infeksi mikobakteri ayau infeksi mikotik
sistemik, tetapi organisme tersebut tidak dapat ditemukan baik dari lesi maupun dari kultur.3

C. Patofisiologi

Sarkoidosis okular mencapai sampai 83% pasien dengan sarkoidosis sistemik dan uveitis
merupakakan manifestasi tersering yang dapat mencapai 50% yang disertai dengan sarkoidosis
okular. Etiologi dari sarkoidosis belum diketahui. Sarkoidosis ditandai dengan formasi dari non-
caseating granulomas yang berefek pada berbagai organ.Terdapat tiga tipe agen yang diketahui
menyebabkan epitheloid cell granulomas yakni organ infeksius (baketri/jamur), produk dari
tanaman dan binatang (protein, sebuk sari) dan bahan metal (beryllium, zirconicum). Dengan
teknik molecular, mycobacteria atypical, Corynebacterium acnes, dan Propionibacterium DNA
telah diidentifikasi pada sarkoid granuloma dan hubungan dengan sarkoidosis telah diusulkan.
Dimana bakteri ini memicu beberapa kasus sarkoidosis dengan mekanisme alergi yang belum
dapat dijelaskan.3
Tampaknya dalam respon terhadap paparan antigen, respon imun seluler pada target
organ, dan mengarah kepada granuloma. Granuloma berisi epiteloid dan multinukleat giant cells
(agregrat dari makrofag), CD4 +, sel T dan biasanya pada granuloma perifer, dan beberapa
CD8+, sel T dan sel B dapat ditemukan. Limfosit T berefek pada organ yaitu T helper 1 fenotip
dan memproduksi interferon Ɣ dan interleukin 2, yang mengarah pada produksi TNF dan
interleukin 6 oleh makrofag dan menyebabkan perubahan kaskade inflammatory yang memacu
fibrosis. Fibrosis dari granuloma memicu destruksi organ dan kehilangan fungsi.Pada sarkoidosis
pembentukan granuloma didahului oleh makrofag yang tidak berdiferensiasi (M0 fenotipe)
secara klasik diaktifkan (M1 fenotipe) melalui reseptor seperti-Toll yang terletak di permukaan
sel atau di kompartemen endosome, dimana proses transisi ini memerlukan interferon-gamma
(INF-γ). M1 makrofag, akan menghasilkan antigen ke sel T melalui molekul kompleks
histokompatibilitas (MHC) utama dan mendorong pembentukan granuloma dengan
menghasilkan faktor nekrosis tumor alpha (TNF-α) dan IL-12, serta IL-1, IL-16 , dan IL-23.
TNF-α sangat penting dalam pembentukan granuloma, hal ini dapat dilihat pada polarisasi sel T
helper pro-inflamasi (Th1). Sel Th1 mengalami ekspansi oligoklonal dan menghasilkan INF-
γ.Maka dari itu pembentukan granuloma didukung oleh polarisasi imunisasi Th1 / M1, yang
merupakan keadaan TNF-α dan INF-γ6-8 yang berlebihan.4,5 Selain itu terdapat penelitian
mengenai peran dari sel Th17 yang berperan dalam proses peradangan granulomatosa dan
fibrosis dengan mensekresikan IL-17, dan subset sel Th17 yang berkontribusi dengan
menghasilkan sejumlah INF-γ yang signifikan 6,7.

Ratio yang tinggi antara T helper dan T suppresse telah dilaporkan pada berbagai organ
akibat sarkoidosis, termasuk mata. Sel epitel granuloma bukan tanda patonomonik untuk
sarkoidosis, dan penyebab lain dari inflamasi granuloma begitu juga dengan adanya agen
infeksius (fungi/mycobacteria). Pada mata sarkoidosis dapat menyebabkan panuveitis yaitu
peradangan pada seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti retina dan vitreus.7
IL-1b berperan dalam proses patologi dari uveitis, IL-1b diproduksi oleh monosit,
makrofag, sel dendrit (DCs) dan neutrophil8. Disregulasi dari IL-1b mengakibatkan penyakit
autoimun dimana menjadi salah satu faktor penyebab uveitis, pembentukan IL-1b akan
memunculkan respon inflamasi dimana pada mata dapat menyebabkan uveitis dan juga
panuveitis. Selain IL-1b, IL-17 juga berperan dalam uveitis, dimana peningkatan dari IL-17 akan
meningkatkan regulasi TNF-α di retina . IL-17 diinduksi oleh IL-1b dan IL-23 pada INF-γ8.9,10
D. Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan mata bernilai tinggi dalam menentukan diagnosis klinis kelainan
mata. Sandler menyatakan bahwa 56% diagnosis diperoleh dari anamnesis dan meningkat
sampai 73% setelah pemeriksaan fisik termasuk mata. Pemeriksaan laboratorium hanya
meningkatkan 5% diagnosis namun paling banyak memerlukan biaya sehingga perlu dipilih
sesuai kebutuhan setiap.11 Panuveitis adalah peradangan menyeluruh bukan hanya keseluruhan
uvea tetapi melibatkan retina vitreous humor. Penyebab umum panuveitis dalam populasi kita
adalah tuberculosis, Vogt-Koyanagi-Harada syndrome, sympathetic ophthalmia, Behcetís disease
dan sarcoidosis. Beberapa kasus panuveitis belum diketahui penyebabnya atau idiopatik.13
Klasifikasi uveitis yang disusun oleh SUN sangat membantu menegakkan diagnosis uveitis.
Pada klasifikasi tersebut, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis
posterior, dan panuveitis. Gejala uveitis anterior dapat berupa nyeri, fotofobia, penglihatan
kabur, injeksi siliar, dan hipopion. Uveitis posterior dapat menurunkan tajam penglihatan namun
tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia bahkan sering asimtomatik. Gejala uveitis
intermediet umumnya ringan, mata tenang dan tidak nyeri namun dapat menurunkan tajam
penglihatan. Panuveitis merupakan peradangan seluruh uvea yang menimbulkan koroiditis,
vitritis, dan uveitis anterior. Dalam menegakkan diagnosis, perlu diperhatikan apakah uveitis
terjadi di satu mata atau di kedua mata. Selain itu, perlu diperhatikan usia, ras, onset, durasi,
tingkat keparahan gejala, riwayat penyakit mata dan penyakit sistemik sebelumnya. Untuk
menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan antara lain:14
1. Pemeriksaan subyektif mata
a. Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam
pengllihatan, pemeriksaan gerakan bola mata.
b. Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan
c. Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal.
2. Pemeriksaan obyektif mata
Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:
a. Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal
b. Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering
ditemukan pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat
menuju arah limbus. Hal inilah yang membedakannya dengan konjungtivitis yang
terlihat injeksi semakin banyak dengan arah menjauhi limbus.)
c. Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung
kondisi dari produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih
dan merah.
d. Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.
e. Pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung
mengenai iris yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya
secara langsung mengenai iris berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu:
 Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan
beberapa penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis.
 Pupil dalam kondisi miosis.
3. Pemeriksaan funduskopi
4. Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp
Slit-lamp digunakan untuk menilai segmen anterior karena dapat memperlihatkan injeksi
siliar dan episklera, skleritis, edema kornea, presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di
bilik mata, hipopion serta kekeruhan lensa. Pemeriksaan oftalmoskop indirek ditujukan
untuk menilai kelainan di segmen posterior seperti vitritis, retinitis, perdarahan retina,
koroiditis dan kelainan papil nervus optik.15,16
a. Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus,
atau benda asing.
b. Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea.
c. Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah
putih pada endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka
diklasifikasikan ke dalam uveitis nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis
granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak (gambaran granula “mutton-fat”).
d. Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan
kamera okuli anterior tampak kotor.
e. Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada
kamera okuli anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:
- 0 tidak ditemukan
- +1 ditemukan dalam jumlah sedikit
- +2ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)
- +3 iris dan lensa terlihat berkabut
- +4 intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi).
5. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan
hubungan etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan
laboratorium ini tidak dilakukan bila pasien mengalami uveitis
nongranulomatosus unilateral untuk pertama kali dan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang khas
b. Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan uveitis
rekurens, pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda khas
maka dilakukan pemeriksaan laboratorium nonspesifik, seperti tes darah lengkap,
dll.
Pemeriksaan laboratoriumbermanfaat pada kelainan sistemik misalnya darah perifer
lengkap, laju endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody.6,7 Pemeriksaan
laboratorium tidak bermanfaat pada kondisi tertentu misalnya uveitis ringan dan trauma.
Untuk mendiagnosis infeksi virus dapat dilakukan pemeriksaan PCR, kultur dan tes
serologi. Sensitivitas serologi akan meningkat bila disertai pemeriksaan koefisien goldmann-
witmer yaitu membandingkan konsentrasi hasil pemeriksaan cairan akuos dengan serologi
darah.1
Diagnosis pasti toksoplasmosis ditegakkan jika pemeriksaan IgM Toxoplasma memberikan hasil
positif atau jika titer antibodi IgG Toxoplasma meningkat secara bermakna (4x lipat) atau terjadi
konversi IgG dari negatif ke positif pada pemeriksaan kedua dengan interval 2-3 minggu.
Pemeriksaan cairan intraokular dengan PCR sangat spesifik. Perbandingan kadar IgG
Toxoplasma cairan akuos dan serum cukup sensitif (48–90%).
Diagnosis tuberkulosis okular ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan mata, dan
pemeriksaan penunjang seperti rontgen toraks, tes tuberkulin, dan pemeriksaan sputum dengan
pewarnaan ziehl-neelsen. Pemeriksaan lainnya adalah PCR (menggunakan spesimen dari
aqueous tap atau biopsi vitreus), dan interferon-gamma release assay (IGRA). PCR sangat
spesifik untuk mendeteksi Mycobacterium namun sensitivitasnya bervariasi. Diagnosis pasti
ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan ditemukannya Mycobacterium dari spesimen okular
(kultur atau amplifikasi DNA).

Pemeriksaan serologisifilis dibagi menjadi nontreponema dan treponema. Serologi


nontreponema meliputi venereal disease research laboratory (VDLR) dan rapid plasma reagin
sedangkan serologi treponema meliputi fluorescent treponemal antibody absorbed dan
T.pallidum particle agglutination.8
Optical coherence tomography (OCT)merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat
memperlihatkan edema makula, membran epiretina, dan sindrom traksi vitreomakula. Saat ini
telah dikembangkan high-definition spectral-domain OCT yang memberikan resolusi lebih tinggi
dan waktu lebih singkat dibandingkan time-domain OCT. Spectral-domain OCT bermanfaat
pada uveitis dengan media keruh.9
USG B-scansangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada keadaan media
keruh misalnya pada katarak dan vitritis. USG B-scan dapat membedakan ablasio retinae
eksudatif dengan regmatosa serta membedakan uveitis akibat neoplasma atau abses. USG
B-scan dapat menilai penebalan koroid seperti pada sindrom VKH dan menilai pelebaran ruang
tenon yang sangat khas pada skleritis posterior.5
Fundus fluoresen angiografi (FFA)adalah fotografi fundus yang dilakukan berurutan
dengan cepat setelah injeksi zat warna natrium fluoresen (FNa) intravena. FFA memberikan
informasi mengenai sirkulasi pembuluh darah retina dan koroid, detail epitel pigmen retina dan
sirkulasi retina serta menilai integritas pembuluh darah saat fluoresen bersirkulasi di koroid dan
retina. Fluoresen diekskresi dalam 24 jam dan pada waktu tersebut dapat menyebabkan urin
pasien berwarna oranye.10
Cara Pemeriksaan FFA. Sebanyak 5 ml fluoresen 10% disuntikkan intravena kemudian mata
pasien disinari cahaya biru dan fundus dilihat melalui filter kuning. Pada keadaan normal,
fluoresen cahaya biru tidak dapat menembus filter kuning sehingga tidak terlihat apapun.
Fluoresen di dalam pembuluh koroid dan retina akan menyerap sinar biru dan memancarkan
sinar kuning sehingga sinar kuning akan melewati filter dan tervisualisasi. Hanya jaringan
mengandung fluoresen yang dapat dilihat.
Pada keadaan normal, fluoresen tidak dapat melewati tight cellular junctions yaitu endotel
pembuluh darah retina dan epitel pigmen retina sedangkan di sirkulasi koroid, fluoresen bebas
keluar melalui kapiler koroid menuju membran bruch. FFA dapat menggambarkan keadaan
sawar darah-retina dan setiap kebocoran fluoresen ke retina merupakan kondisi abnormal.
Kapiler di prosesus siliaris bersifat permeabel sehingga fluoresen segera terlihat di akuos setelah
injeksi intravena. Fluoresen di akuos dan vitreus memancarkan sinar kuning yang merefleksikan
struktur berwarna putih di dalam mata seperti diskus optik, serat bermielin, dan eksudat kasar,
sehingga struktur tersebut tampak seolah-olah berfluoresensi (pseudofluoresen).
Dalam keadaan normal fluoresen memerlukan waktu 10-15 detik untuk mencapai arteri
siliaris brevis. Sirkulasi koroid terjadi satu detik lebih awal sebelum sirkulasi retina dan fluoresen
berada di sirkulasi retina selama 15-20 detik. FFA dibagi menjadi lima fase:
1. Fase koroid
Fluoresen masuk melalui arteri siliaris brevis dan mengisi lobus-lobus di kapiler koroid yang
akan terlihat sebagai gambaran bercak-bercak, diikuti pengisian dan keluarnya fluoresen dari
kapiler koroid kapilaris yang memberikan gambaran kebocoran fluoresen difus. Pembuluh
darah silioretina dan kapiler diskus optik prelaminar terisi pada fase ini.
2. Fase arteri
Pengisian arteri retina sentral terjadi satu detik setelah pengisian koroid.
3. Fase kapilaris
Fase kapiler terjadi dengan cepat setelah fase arteri. Jaringan kapiler perifovea terlihat sangat
mencolok karena sirkulasi koroid di bawahnya tersamarkan oleh pigmen luteal di retina dan
pigmen melanin di epitel pigmen retina. Bagian tengah cincin kapiler merupakan zona
avaskular fovea sehingga tidak ada fluoresen yang mencapai daerah tersebut.
4. Fase vena
Pada pengisian awal vena, fluoresen tampak sebagai garis halus yang menghilang setelah
seluruh vena terisi.
5. Fase akhir
Setelah 10-15 menit, hanya sebagian kecil fluoresen yang tersisa di sirkulasi darah. Fluoresen
yang telah meninggalkan sirkulasi menuju ke struktur okular tampak jelas pada fase ini.
Pada uveitis, pemeriksaan FFA bermanfaat mendokumentasikan fundus saat awal dan selama
perjalanan penyakit, mengikuti respons terapi, membedakan uveitis aktif atau tidak aktif,
mengonfirmasi kelainan yang terjadi seperti edema makula sistoid, neovaskularisasi koroid,
vaskulitis retina, mengidentifikasi daerah kapiler non-perfusi dan neovaskularisasi retina.
Pewarnaan dan kebocoran fluoresen dari pembuluh darah retina (arteri, vena, kapiler) fokal atau
difus menunjukkan vaskulitis yang dapat terjadi pada tuberkulosis, sarkoidosis, lupus
eritematosus, penyakit behcet, dan lain-lain.
Efek samping FFA adalah perubahan warna kulit yang menjadi lebih gelap akibat zat warna
fluoresen, melihat bayangan merah setelah terpapar kilatan cahaya kamera, perubahan warna
urin, mual dan muntah pada 10% kasus yang umumnya bersifat sementara dan tidak dibutuhkan
tatalaksana khusus. Selain itu dapat terjadi vasovagal syncope pada 1% kasus, reaksi anafilaksis
seperti bronkospasme, urtikaria, hipotensi (<1% kasus), henti jantung dan henti napas (<0,01%
kasus) yang memerlukan resusitasi jantung paru. Vasovagal syncope umumnya tidak
memerlukan terapi namun jika terjadi bradikardia berat diberikan atropin intravena. Untuk
mengatasi anafilaksis, diberikan klorfeniramin 10mg IV, hidrokortison 100mg IV, dan oksigen
sedangkan untuk hipotensi dan bronkospasme diberikan adrenalin 1:1000 sebanyak 1ml IM.

E. Tatalaksana

Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting
penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis
mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah
pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien.11
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan
peradangan.Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau sistemik
dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:
1. Pemberian Obat Anti Radang11
a) Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu dengan cara:
- Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat dari
fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi aktifitas sel B
dan sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan yang bukan
disebabkan karena infeksi.
- Mengurangi permeabilitas pembuluh darah
- Mengurangi pembentukan jarangan parut
Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik.Pemberian dosis juga sangat
bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian dalam jumlah minimal untuk
mengontrol inflamasi harus diberikan untuk menurunkan peluang terjadinya komplikasi.Initial
dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg
setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering
off.Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk
meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi
umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid
level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison
(2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi
adrenal.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu
dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis
tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk
mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari
sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada
pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat
kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan
kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian obat.
Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison,
selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya
ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya
dapat diberikan selang sehari
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:
- Menurunkan daya reaksi jaringan
- Mengaktifkan proliferasi bakteri
- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain
- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak
- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama
- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata
- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus
- Menambah kemungkinan infeksi jamur
- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri
Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi dan pemberian
jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan untuk uveitis kronik atau uveitis yang
mengancam penglihatan (menyebabkan kebutaan).
Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:
Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes. Tergantung
dari keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian bervariasi. Prednisolon
asetat 1% merupakan obat yang paling disukai namun karena persediaan berbentuk precipitate,
sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum digunakan.Kadang-kadang steroid
dapat menyebabkan hipertensi okular; sehingga pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu
dimonitor.
Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika mulai
dirasakan gejala yang mengarah komplikasi.Pemberian terpai inisial selam 3-4 minggu sebelum
pemberian steroid jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang responsive
terhadap kortikosteroid.Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam transeptal
menyebabkan lebih sedikit hipertensi ocular dibandingkan dengan pemberian sub-tenon.Namun
pemberian injeksi ini tidak digunakan pada pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis
karena penebalan sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.
Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:
1. Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan
2. Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya
Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:
Prednisolone 1% (pred forte)  steroid paling kuat dan merupakan drug of choice untuk
uveitis. Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan mendepresi migrasi dari
leukosit PMN dan menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah.Homatropine dapat
menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.Selain itu prednisolone juga tidak
boleh digunakan pada pasien hipersensitif dengan prednisolone dan pasien sedang mengalami
infeksi jamur, virus, dan bakteri.Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam
(dewasa).Prednisolone dapat meningkatkan tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan
katarak dalam pemakaian jangka panjang.

b) Obat Anti Inflamasi Non Steroid


Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi untuk
menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien memiliki kondisi
kontra.Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang
sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat
intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai
life saving drugs.Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan
hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified
derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.
Termasuk ke dalam golongan antiinflamasi yang bersifat antilimfosit seperti fenilbutazon,
indometasin, salisilat, natrium diklofenak, dan golongan Non-Steroid Anti-Infamasi Drugs
(NSAIDs) yang lainnya .

2. Obat sikloplegia11
Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil, selain
juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi.Mekanisme ini dapat
mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.
Contoh obat sikloplegia:
- Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek maksimal
dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal
kembali 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek samping seperti nadi
cepat, demam, merah, dan mulut kering.
- Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan midriasis
setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun efek ini dapat
menurun pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada uveitis
dibandingkan siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan
kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada pasien yang
mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan siklopentolate.
Dosis yang digunakan yaitu cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).
- Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan midriasis setelah
10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk sikloplegia dan 6 jam -
4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of choiceyang sering digunakan pada
uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.
Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaucoma
sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu
1 gtt 3dd (dewasa).

Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak responsif terhadap
steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang berhubungan dengan terapi sebelumnya,
immunosupresan dapat digunakan.Immunosuppressif agen merupakan terapi pilihan awal pada
penyakit Behcet (termasuk ke dalam segmen posterior), Wegener granulomatosis, dan skleritis
nekrotik.Penyakit-penyakit tersebut dihubungkan dengan vaskulitis sistemik yang mengancam
jiwa, dan terdapat bukti medis bahwa dengan pemberian imunosupresive dapat meningkalkan
kondisi pasien.Imunomodulatory terapi sering diperlukan dalam kondisi penanganan jangka
panjang dengan kortikosteroid seperti pada serpiginous koroiditis, birdshot koroiditis, Vogt-
koyanagi-harada (VKH), sistemik oftalmia dan arthritis idiopatik juvenile.11
Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk target spesifik yaitu
mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun medikasi ini telah dipelajari dan diteliti pada
pasien dengan rheumatoid arthritis dan crohn disease, persamaan pada patogenesis penyakit ini
yang menstimulasi untuk dilakukan obat yang sama untuk penanganan peyakit inflamasi ocular
yang bervariasi. Adapun obat yang digunakan sebagai pemblok mediator spesifik pada sistem
imunitas yang sering ditemukan pada penderita uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor
Necrosis Factor alpha) contoh adalimumab, dan infliximab; dan pemblok reseptor interleukin-2
contoh daclizumab.11
Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi intraocular melalui injeksi
intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa laporan kasus melaporkan adanya manfaat dalam
penggunaan triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk manajeman refraksi pada
edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral ini memiliki waktu paruh yang
pendek sehingga injeksi akan dilakukan berulang kali (multipel). Sehingga resiko terjadi
pembentukan katarak dan peningkatan tekanan intraokular, serta beresiko untuk terjadinya
endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar 0,1%. 11
Selain terapi medikamentosa, terdapat terapi pembedahan yang diindikasikan dalam
manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi penglihatan, biopsa untuk diagnosis ketika
menemukan perubahan dalam rencana pengobatan, dan mengambil media yang menagalami
opasitas untuk memonitor segmen posterior mata.Walaupun manfaat dalam terapi inflamasi dan
immunomodulatori, namun kadang didapatkan perubahan struktural yang dapat terjadi pada mata
misalnya pembentukan katarak, glaukoma sekunder, ablasio retina).11
Dalam mempersiapkan preoperasi, penanganan medis harus diintensifkan untuk minimal
jangka waktu 3 bulan untuk mencapai proses inflamasi komplit (eradikasi komplit dari sel
kamera okuli anterior dan sel vitreus aktif). Secara umum, 24-48 jam preoperative, topical
prednisolone asetat 1% diberikan setiap 1-2 jam (saat pasien dalam kondisi sadar) dengan
prednisolon (1 mg/kg) tergantung dari proses inflamasi alami. Steroid intraokular dan periokular
dapat diberikan saat operatif sedang berlangsung.Medikasi sistemik dan topikal diberikan dengan
dosis diturunkan secara perlahan tergantung dari derajat inflamasi yang terjadi.11
Selain penanganan di atas, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai follow-up yaitu.11
- Follow up dengan oftalmologis dalam 24 jam sebaiknya dilakukan
- Pada fase akut, kasus uveitis diikuti setiap 1-7 hari dengan pemeriksaan biomikroskopis/slit
lamp dan pemeriksaan tekanan intraocular.
- Oftalmologis harus melakukan tapering off dosis untuk kortikosteroid dan sikloplegik yang
dipakai dalam terapi medikamentosa
- Jika kondisi pasien telah stabil, maka pemonitoran dilakukan setiap 1-6 bulan.
BAB III

KESIMPULAN

Panuveitis adalah proses inflamasi yang mengenai semua unsur traktus uvealis atau dengan
kata lain panuveitis tidak memiliki tempat inflamasi/peradangan yang predominan dimana
inflamasi merata pada kamera okuli anterior, vitreous, retina dan atau koroid seperti retinitis,
koroiditis, dan vaskulitis retinal.Penyebab pasti dari panuveitis belum diketahui sehingga
patofisiologi yang pasti dari panuveitis juga belum diketahui.Secara umum, panuveitis dapat
disebabkan oleh sarkoidosis.

Penanganan panuveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting
penanganan pelayanan primer ataupun segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis mata.
Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah pada
kamera okuli anterior, antibiotic tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien. Adapun
penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan peradangan,
menghilangkan inflamasi, mencegah terjadinya komplikasi, menjaga dan mengembalikan fungsi
penglihatan yang baik. Biopsidilakukan untuk keperluan diagnosis ketika menemukan perubahan
dalam rencana pengobatan, dan mengambil media yang menagalami opasitas untuk memonitor
segmen posterior mata.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hunninghake GW, Costabel U, Ando M et al. ATS/ERS/WASOG statement on


sarcoidosis. American Thoracic Society/European Respiratory Society/World
Association of Sarcoidosisand other granulomatous disorders. Sarcoidosis Vasc
DiffuseLung Dis. 2013; 16:149–173
2. Baughman RP, Teirstein AS, Judson MA, Rossman MD, Yeager H Jr, Bresnitz EA, et al.
Clinical characteristics of patients in case control study of sarcoidosis. Am J Respir Crit
Care Med. 2001; 164:1885-9
3. Rothova A. Ocular Involvement in Sarcoidosis. British Medical Jurnal. 2018. 84;110-116
4. Lee SY, Lee HG, Kim DS, Kim J-G, Chung H, Yoon YH. Ocular sarcoidosis in a Korean
population. J Korean Med Sci. 2009; 24:413-9
5. Zissel G, Muller-Quernheim J. Cellular Players in the Immunopathogenesis of
Sarcoidosis. Clin Chest Med 2015; 36:549-60.
6. Timmermans WM, van Laar JA, van Hagen PM, van Zelm MC. Immunopathogenesis of
granulomas in chronic autoinflammatory diseases. Clin Transl Immunology 2016; 5: 118.
7. Ramstein J, Broos CE, Simpson LJ, et al. IFN-gamma-Producing T-Helper 17.1 Cells
Are Increased in Sarcoidosis and Are More Prevalent than T-Helper Type 1 Cells. Am J
Respir Crit Care Med 2016; 193:1281-91.
8. Mortaz E, Rezayat F, Amani D, et al. The roles of T Helper 1, T Helper 17 and
Regulatory T Cells in the pathogenesis of sarcoidosis. Iran J Allergy Asthma Immunol
2016; 15:334-9.
9. Van de Veerdonk, F. L., M. G. Netea, C. A. Dinarello, and L. A. Joosten. Inflammasome
activation and IL-1b and IL-18 processing during infection. Trends Immunol. 2011; 32:
110–116.
10. Sutton, C. E., S. J. Lalor, C. M. Sweeney, C. F. Brereton, E. C. Lavelle, and K. H. Mills.
Interleukin-1 and IL-23 induce innate IL-17 production from gd T cells, amplifying Th17
responses and autoimmunity. Immunity 2009; 31: 331–341.
11. Dyas S, Malangkay HHB,Taim H, et al. Ilmu Penyakit Mata; Jakarta. Sagung Seto. 2015: h. 83-
95
12. Kiss S, Damico FM, Young LH. Ocular manifestations and treatment of syphilis. Semin
Ophthalmol. 2015; 20(3):161–7
13. Major JC, Wykoff CC, Mariani AF, Chen E, Croft DE, Brown DM. Comparison of
Spectral-Domain and Time-Domain Optical Coherence Tomography in the Detection of
Neovascular Age-Related Macular Degeneration Activity. Retina. 2014; 34(1):48–54

Anda mungkin juga menyukai