Anda di halaman 1dari 42

phie_ta

blog ini memberi ruang untuk mengekspresikan apa yang terlintas dalam pikiran,
hidup, dan pelajaran yang saya dapat

PROGRAM PENGAJARAN
INDIVIDUAL
- Juni 13, 2011
Oleh: Sunardi

PENDAHULUAN

Satu komponen penting yang merupakan karakteristik utama penerapan konsep


mainstreaming adalah program pengajaran individual (PPI). Istilah PPI sebenarnya
diturunkan dari istilah aslinya berbahasa Inggris, yaitu IEP, yang dalam beberapa buku
dijelaskan merupakan kependekan dari individualized educational plan, tetapi ada juga yang
menyebutnya dengan individualized educational program.

Bagi para guru yang telah terbiasa dengan pembuatan satuan pelajaran (SP), sebagian
komponen-komponen program pengajaran individual mungkin tidak asing lagi, meskipun
terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan ini terlihat paling tidak pada dua hal, yaitu pada isi
programnya dan pada proses penyusunannya. Dalam hal isinya, satu komponen PPI yang
jelas tidak ada pada SP adalah diskripsi keadaan anak sekarang. Seperti tersurat pada istilah
yang dipakai, PPI disusun untuk individual anak luar biasa, bukan untuk sekelas murid
seperti pada SP. Oleh karena sifatnya yang individual, karakteristik anak yang dimaksud
harus didiskripsikan secara lengkap, baik mengenai tingkat kemampuannya maupun tingkat
kelemahannya dalam semua aspek yang berkaitan dengan pendidikan, termasuk prestasi
belajar, tingkat kecerdasan, kondisi emosi, kemampuan sosialisasi, fisik, kesehatan, dsb.
Perbedaan isi ini berpengaruh juga pada proses penyusunannya. Satuan pelajaran disusun
berdasarkan pada kuantitas materi yang harus diselesaikan oleh guru dalam kurun waktu
tertentu (misalnya satu catur wulan) tanpa banyak mempertimbangkan perbedaan individu
pada murid. Dengan kata lain, satuan pelajaran berorientasi pada materi. Sebaliknya, program
pengajaran individual berorientasi pada individu murid. Oleh karena itu, proses penyusunan
program pengajaran individu harus dimulai dengan asesmen kemampuan dan kelemahan
individu murid secara menyeluruh dengan menggunakan alat pengukuran yang terpercaya.
Proses penyusunan ini juga akan melibatkan berbagai tenaga profesi, seperti guru sendiri,
guru PLB psikolog, psikiater, tenaga medis, dan pekerja sosial. Inilah yang tidak ditemukan
dalam proses penyusunan satuan pelajaran.

Para guru dan tenaga profesi lain yang terkait dengan pendidikan luar biasa perlu mamahami
seluk beluk program pengajaran individual, karena kemungkinan akan dilibatkan dalam
proses

penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi program tersebut. Dalam bidang pendidikan luar
biasa, yang diperlukan sebenarnya program pengajaran individual, bukan satuan pelajaran,
karena setiwap

anak luar biasa harus diperlakukan secara individual. Latar belakang munculnya program
pengajaran individual perlu juga difahami, karena hal ini sangat berpengaruh pada format dan
penggunaan PPI sekarang ini.

Dengan sajian materi tentang program pengajaran individual pada bab ini, para pembaca
diharapkan mempunyai pemahaman tentang pokok-pokok program pengajaran individual,
meliputi:

1.Latar belakang munculnya program pengajaran individual

2.Komponen program pengajaran individual

3.Proses penyusunan program pengajaran individual

4.Asesmen dalam program pengajaran individual

5.Analisa tugas dalam perumusan tujuan

6.Skope program layanan PLB

7.Format program pengajaran individual

BAB I

LATAR BELAKANG MUNCULNYA PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL

Program pengajaran individual pertama kali muncul di Amerika Serikat. Untuk lebih
memahami latar belakang munculnya konsep ini, perlu kiranya dilihat sepintas
perkembangan sistem layanan
PLB di negara tersebut.

Pada awal abad XX, layanan PLB di sediakan di sekolah-sekolah khusus (segregatif) bagi
penyandang gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, cacat mental, dan gangguan
emosi (Hardman, Drew, dan Egan, 1984). Penyediaan layanan PLB di sekolah biasa tidak
dimungkinkan,karena pendidikan pada saat itu ditekankan pada pemberian ketrampilan
membaca, menulis, dan berhitung, anak luar biasa akan mengalami kesulitan mengikuti
kecepatan belajar anak-anak normal di sekolah biasa. Meskipun tujuan semula dari
penyediaan layanan PLB di sekolah segregatif adalah menyiapkan anak-anak luar biasa
mengikuti pelajaran di sekolah biasa, tujuan ini tidak pernah terwujud, bahkan sekolah-
sekolah khusus ini kemudian berubah fungsinya menjadi panti-panti penampungan dan
pemeliharaan.

Pada tahun 1910, beberapa sekolah di kota besar mulai memberikan layanan pendidikan bagi
anak luar biasa, itupun terbatas pada anak-anak cacat mental tingkat ringan dan sedang.
Anak-anak

ini dididik sepenuhnya di kelas-kelas khusus, terpisah dari teman-teman sebayanya yang
normal. Untuk itu, diperlukan instrumen asesmen untuk menjaring anak-anak yang harus
dipisahkan di

kelas khusus. Hasilnya adalah tes intelegensi yang dikembangkan oleh Alfred Binet dan
Theodore Simon yang sebelumnya dipakai di Perancis untuk memprediksi prestasi belajar
murid di sekolah. Tes ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Henry Goddard pada
tahun 1908; dan Lewis Terman dari Stanford University mengadakan revisi dan standardisasi
terhadap tes ini pada tahun 1916 dan menerbitkannya dengan nama Stanford-Binet
Intelegence Scale.

Dengan temuan ini, kelas-kelas khusus bagi anak tuna grahita sedang dan ringan tumbuh
menjamur di semua negara bagian di Amerika Serikat (Hardman, Drew, dan Egan, 1984).
Keadaan ini berlangsung terus sampai dengan pertengahan abad XX.

Perubahan besar mulai terjadi pada awal tahun 1960-an. Keberadaan kelas-kelas khusus ini
mulai dipertanyakan (May dan Marozas,1988). Pendidikan anak luar biasa di kelas-kelas
khusus

yang segregatif dianggap tidak etis, dapat mengakibatkan stigma yang akan terbawa oleh
anak selama hidupnya, berpengaruh negatif pada harga diri anak, dan menghambat
perkembangan sosialisasi anak. Secara filosofis, pendidikan segregatif ini juga tidak masuk
akal, sebab tujuan pendidikan adalah menyiapkan anak hidup secara wajar dan layak di
masyarakat, tetapi anak justru dipisahkan dari kehidupan masyarakat normal. Faktor lain
yang dipertanyakan adalah jumlah penghuni kelas-kelas khusus yang secara tidak
proporsional sebagian besar justru terdiri dari anak-anak golongan minoritas. Di Amerika
Serikat, mayoritas penduduk terdiri dari bangsa kulit putih dengan bahasa Ingris sebagai
bahasa sehari-hari. Suku minoritas seperti kelompok kulit hitam, kelompok Meksiko,
kelompok Cina, dan kelompok pendatang lain tidak ada 20% dari jumlahpenduduk yang ada.
Ironisnya, anak-anak mereka mendominasi penghuni kelas-kelas khusus bagi anak
bermasalah belajar yang terdiri dari anak tuna grahita sedang dan ringan, anak berkesulitan
belajar spesifik, dan penyandang gangguan emosi sedang dan ringan. Ini menunjukkan bahwa
telah terjadi salah identifikasi yang dapat disebabkan oleh tes intelegensi yangdipakai yang
terbias oleh faktor bahasa dan budaya. Barbagai kasus peradilanpun muncul di berbagai
negara bagian, yang intinya memprotes kasus-kasus diskriminasi dalam pendidikan dan
asesmen anak dan kasus-kasus penempatan anak yang tidak tepat. Kasus peradilan ini
diajukan olah berbagai organisasi, baik organisasi bagi penyandang cacat, organisasi orangtua
anak penyandang cacat, maupun organisasi sosial lainnya, ditujukan kepada pemerintah
ataupun sekolah setempat. Dan faktor yang paling penting yang berpengaruh pada
perkembangan sistem layanan PLB saat itu adalah hasil penelitian. Terbukti bahwa tidak ada
perbedaan prestasi belajar antara anak tuna grahita ringan dan sedang yang dididik di kelas-
kelas khusus dengan mereka yang tetap berada di kelas biasa tampa layanan khusus. Dengan
demikian, bentuk layanan dengan tambahan biaya ektra yang tidak kecil ini dianggap tidak
efisien.

Puncak dari perkembangan ini terjadi pada tahun 1975 dengan diundangkannya Public Law
94-142 yang menjamin layanan pendidikan yang layak bagi semua anak luar biasa. Menurut
undang-undang ini, ada empat hal yang harus dipenuhi dalam layanan pendidikan luar biasa,
yaitu:

1.Asesmen kebutuhan belajar anak secara multidisiplin dan nondiskriminatif.

Selama ini, sebagian besar anak luar biasa ditempatkan pada berbagai program pendidikan
luar biasa berdasarkan data dari hasil asesmen yang masih dipertanyakan validitasnya.
Keputusan

penempatan anak pada umumnya dibuat berdasarkan pada hasil satu tes baku saja (misalnya
tes IQ) atau pada pendapat satu jenis tenaga profesi saja. Akibatnya, secara tidak
proporsional, mayoritas dari anak yang disebut luar biasa berasal dari kelompok minoritas
atau dari keluarga kelas bawah.

Untuk mengatasi masalah ini, ada beberapa ketentuan:

a.Sedapat mungkin tes diberikan dalam bahasa ibu atau bahasa yang dikuasai anak.

b.Tes yang dipakai hendaknya dipilih tes yang tidak diskriminatif, baik secara budaya
maupun

kesukuan.

c.Tes yang dipakai harus sudah divalidasi pada kelompok yang akan memakainya.

d.Proses asesmen dilakukan oleh tim multidisiplin.

2.Keterlibatan orangtua dalam program pendidikan anaknya

Keputusan yang dibuat tentang penempatan pendidikan seorang anak dapat merugikan anak
sendiri. Seperti contoh di atas, seorang anak yang sebenarnya normal tetapi berasal dari
kelompok

minoritas harus ditempatkan di kelas khusus, karena hasil tes intelegensinya rendah. Padahal,
tes intelegensi itulah yang sebenarnya tidak valid. Untuk mencegah peristiwa seperti itu dan
agar orangtua mengetahui seluk beluk pendidikan anaknya, orangtua mempunyai hak untuk:

a.Memberi ijin tertulis untuk diadakan asesmen pada anaknya.

b.Memberi ijin tertulis atas penempatan pendidikan anaknya.

c.Mengajukan permintaan asesmen oleh pihak ketiga jika merasa bahwa asesmen yang

dilakukan oleh sekolah tidak memadai.

d.Berpartisipasi dalam semua pertemuan untuk membicarakan asesmen, penempatan, dan

evaluasi program pendidikan anaknya.

e.Memeriksa data kemajuan anak, termasuk mempertanyakannya jika dianggap tidak benar,

keliru, atau tidak cukup.


f.Meminta kopi data kemajuan pendidikan anaknya.

g.Meminta diadakan pertemuan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan anak, termasuk

perubahan jenis layanan, asesmen lanjut, evaluasi, dsb.

3.Pendidikan pada lingkungan yang paling longgar.

Ada perbedaan antara penempatan dengan jenis layanan pendidikan luar biasa. Penempatan
adalah keputusan tentang tempat anak akan menerima pengajaran, sedangkan jenis layanan
adalah kegiatan yang dirancang untuk anak dalam memenuhi kebutuhan individualnya.
Penempatan sendiri tidak menjamin bahwa anak akan memperoleh layanan pendidikan yang
layak.

Penempatan seorang anak luar biasa ditetepkan oleh satu tim yang menyusun program
pendidikan individual anak. Ada beberapa alternatif dari yang paling longgar ke yang paling
terbatas, yaitu:

a.Kelas biasa penuh

b.Kelas biasa dengan bantuan guru konsultan

c.Kelas biasa dengan bantuan guru kunjung

d.Kelas biasa dengan bantuan di ruang khusus

e.Kelas khusus dengan kesempatan berada di kelas biasa

f.Kelas khusus penuh

g.Sekolah khusus

h.Sekolah khusus di tempat-tempat penampungan.

Seorang anak luar biasa harus diberi kesempatan semaksimal mungkin untuk dididik dan
menggunakan berbagai fasilitas umum bersama teman-teman sebayanya yang tidak cacat.
Kelas khusus, sekolah khusus, ataupun penempatan segregatif lainnya hanya dimungkinkan
apabila tingkat kecacatan begitu berat sehingga pendidikan di sekolah biasa dengan berbagai
tambahan fasilitas sudah tidak mungkin dilakukan.
4.Program Pengajaran Individual.

Semua anak luar biasa harus dibuatkan program pengajaran individual (PPI). Dalam banyak
hal, PPI merupakan rencana pendidikan bagi seorang anak. PPI harus merupakan program
yang dinamis, artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan anak. PPI bukanlah
sekedar selembar kertas yang harus diisi untuk kemudian ditumpuk di meja guru. PPI disusun
oleh satu tim berbagai profesi dan keahlian, dan semua anggota tim bertanggungjawab atas
pelaksanaan program tersebut.

PPI harus memuat diskripsi tingkat kemampuan anak dalam semua aspek kurikulum yang
merupakan hasil dari proses asesmen seperti digambarkan di atas. Asesmen dilakukan oleh
tim, termasuk di sini psikolog, guru, orangtua, dan tenaga profesi lain. Begitu data terkumpul,
tim akan memeriksa data tersebut. Berdasarkan data itulah akan disusun tujuan
jangkapanjang, tujuan jangka

pendek, rincian program layanan khusus yang disediakan, dan metode untuk mengevaluasi
program ini.

Secara garis besar, PPI harus meliputi:

a.Diskripsi tingkat kemampuan anak sekarang

b.Tujuan umum (jangka panjang) dan tujuan khusus (jangka pendek).

c.Rincian layanan pendidikan khusus dan layanan lain yang

terkait, termasuk seberapa besar anak dapat berpartisipasi

dalam pendidikan di kelas biasa.

d.Tanggal dimulainya setiap program, termasuk perkiraan waktu

selesai dan evaluasinya.

e.Kriteria untuk menentukan ketercapaian setiap tujuan.

BAB II

KOMPONEN PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL


Seperti digambarkan sebelumnya, program pengajaran individual (PPI) disusun berdasarkan
data hasil asesmen oleh tim dari berbagai tenaga profesi. Penyusun PPI adalah tim yang dapat
terdiri dari wakil sekolah sebagai ketua tim, guru, satu atau kedua orangtua, anak sendiri (jika
mungkin), dan semua tenaga profesi yang terlibat dalam proses asesmen. PPI harus
dilaksanakan seperti yang direncanakan, dan setiap anggota tim bertanggungjawab atas
pelaksanaan program tersebut.

Adapun komponen PPI adalah sebagai berikut:

1.Deskripsi tingkat kemampuan anak.

Ada berbagai cara untuk menentukan tingkat kemampuan dan prestasi anak sekarang. Tes
acuan norma umumnya dipakai di sini, karena tes semacam ini menghasilkan data yang
komparatif dan

angka-angka yang fungsional seperti percentile rank, z-score, atau T-score. Prestasi dan
kemampuan anak dapat didiskripsikan secara kuantitatif dam dibandingkan dengan prestasi
anak lain dengan umur kronologis sama atau di kelas yang sama. Tingkat kemampuan anak
juga dapat ditentukan melalui tes-tes informal, observasi, atau alat ukur lain.

Pada PPI, ada juga berbagai cara untuk mendiskripsikan tingkat kemampuan dan prestasi
yang telah dicapai anak. Hasil tes dapat disajikan apa adanya, disertai dengan penjelasan atau
interpretasi singkat. Semua kelebihan dan kelemahan anak perlu juga disampaikan. Cara lain
adalah dengan menyajikan sebuah grafik yang menunjukkan tingkat kemampuan anak pada
berbagai aspek ketrampilan.

Sebagai contoh, seorang anak berusia 12 tahun bernama Rudi dirujuk oleh guru kelasnya
karena berbagai kesulitan dalam bidang akademik dasar. Setelah memperoleh ijin
orangtuanya, semua data

tentang Rudi dikumpulkan oleh tim PLB. Hasilnya memang menunjukkan bahwa Rudi
bermasalah dan perlu dilakukan asesmen formal. Asesmen formalpun diadakan pada Rudi,
meliputi kemampuan akademik dasar (membaca, menulis, berhitung), kemampuan
intelegensi, kesehatan, dan kondisi psikologisnya. Khusus untuk kemampuan membaca, hasil
tes Rudi dirangkum sbb.

Nama Tes Tanggal Interpretasi

----------------------------------------------------------------
PIAT 10 Sept 87 Ejaan-1 : 7

Membaca permulaan-1 : 2

Membaca pemahaman-1 : 3

----------------------------------------------------------------

Tes konsonan 11 Sept 87 Mengenal 8 dari 21 konsonan

----------------------------------------------------------------

Membaca (checklist) 12 Sept 87 Pemahaman lisan : level 6

Membaca : dasar

----------------------------------------------------------------

Berdasarkan data hasil tes di atas, maka tingkat kemampuan membaca Rudi didiskripsikan
pada PPI sebagai berikut:

-dapat mengidentifikasi 8 dari 21 konsonan

-dapat mengidentifikasi beberapa kata pada level permulaan

-secara lisan dapat memahami bacaan untuk kelas 6

Diskripsi tentang tingkat kemampuan Rudi ini mungkin dilengkapi dengan tingkat
kemampuan pada semua aspek lain yang memang menunjukkan kelainan, termasuk aspek
non-akademik seperti kondisi emosi, kemampuan fisik, kesehatan, dsb. Tetapi apabila pada
aspek-aspek tersebut Rudi tidak menunjukkan kelainan, tidak perlu ada diskripsi secara
lengkap.

2.Tujuan jangka panjang.

Tujuan jangka panjang adalah pernyataan tentang apa yang akan dicapai pada akhir
tahun. Oleh karena itu, istilah lain yang juga dipakai adalah tujuan tahunan. Misalnya,
...mampu membaca kata dengan konsonan hidup dan konsonan mati.., mampu menjumlahkan
dan mengurangkan angka dengan dua digit.... Tujuan tahunan dapat ditentukan dengan
berbagai cara. Hasil tes-tes acuan norma umumnya juga menunjukkan secara pasti kelemahan
dan kelebihan anak, termasuk bagian-bagian yang paling tidak dikuasai oleh anak, dan inilah
yang dipakai untuk menetapkan tujuan pengajaran baginya. Misalnya, kemampuan
pemahaman bacaan anak jauh lebih jelek daripada kemampuan mengenal kata / huruf; anak
mampu mengerjakan penjumlahan angka-angka satu digit, tetapi belum dapat mengerjakan
penjumlahan angka dengan dua digit. Hasil tes kriteria dapat juga memberikan informasi
yang bermanfaat dalam penentuan tujuan tahunan.

Pengamatan perilaku anak dapat mengidentifikasi masalah perilaku anak baik di sekolah
maupun di rumah. Beberapa anak memerlukan bimbingan untuk memusatkan perhatian,
berkonsentrasi pada tugas, dsb. Prosedur yang lain adalah wawancara, baik langsung kepada
anak maupun kepada orang lain yang mengetahui anak. Baik asesmen formal maupun
informal dapat dipakai dalam menentukan tujuan pengajaran.

Dari kasus Rudi di atas, tujuan jangka panjang untuk kemampuan membaca ditetapkan
sebagai berikut:

1.Rudi dapat menyelesaikan level dasar dari materi bacaan Bank Street Basal Reading Series.

2.Rudi dapat membaca dan mengucapkan 90 kata baru.

3.Rudi dapat mengenal 14 konsonan awal baru.

3.Tujuan jangka pendek

Tujuan jangka pendek adalah pernyataan lebih spesifik tentang ketrampilan yang akan
dikembangkan untuk mencapai tujuan tahunan tertentu. Istilah lainnya adalah tujuan khusus.
Untuk setiap tujuan jangka panjang, seperangkat tujuan khusus dikembangkan melalui satu
proses ayang disebut analisa tugas (task analysis). Jadi, analisa tugas adalah satu proses
mengidentifikasi perangkat ketrampilan yang dipersyaratkan untuk mencapai satu tujuan
besar.

Satu contoh proses analisa tugas misalnya untuk tujuan ...membaca jam... Untuk dapat
membaca jam dengan tepat, perangkat ketrampilan yang diperlukan antara lain:

-mengenal bahwa waktu pada jam terlihat pada angka yang ditunjuk oleh jarum pendek pada
waktu jarum panjang tepat menunjuk keatas.

-mengenal bahwa jarum panjang menunjuk tepat ke atas tepat pada jam-jam tertentu.
-mengenal fungsi kedua jarum pada jam

-menempatkan angka jam pada urutan yang benar

-mengenal angka 1 - 12 pada jam

-mengucapkan angka 1 - 12 pada jam.

Satu contoh lagi adalah proses analisa tugas untuk tujuan...menunjukkan kata yang
mempunyai huruf pertama yang sama dengan kata nini.... Kepada anak akan ditunjukkan
sederetan kata yaitu budi, nana, ini. Perangkat ketrampilan yang diperlukan antara lain:

-secara visual mengidentifikasi unsur pada permulaan kata

-secara visual membedakan huruf alfabet

-mengetahui konsep 'permulaan/pertama'

-memahami konsep 'sama' dan 'berbeda'

Hasil analisa tugas inilah yang kemudian akan disusun menjadi tujuan jangka pendek. Tujuan
jangka pendek (tujuan khusus) mempunyai beberapa komponen, yaitu audience (di sini nama
anak), behavior (jenis perilaku atau ketrampilan yang diharapkan), condition (kondisi saat
perilaku yang diharapkan akan muncul), dan degree (tingkat kemunculan perilaku). Misalnya,
Jika ditun

jukkan empat warna (condition), Budi (audience) dapat menyebutkan nama-nama warna
tersebut (behavior) 100% benar (degree). Ada juga beberapa kriteria tujuan khusus yang baik,
yaitu spesifik (jenis perilaku yang diharapkan jelas dan tertentu) dan operasional (dapat
diukur). Satu tujuan khusus sebaiknya hanya memuat satu jenis perilaku. Jenis perilaku jang
dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable). Kata-kata seperti
mengerti, memahami.. adalah kata-kata yang tidak operasional, sedangkan kata yang lebih
operasional misalnya menyebutkan, menjelaskan, memberi warna gambar, mendefinisikan,
dsb.

Dari kasus Rudi di atas, dapat dikembangkan banyak tujuan jangka pendek. Untuk tujuan
umum Rudi dapat mengenal 14 konsonan baru, misalnya, dikembangkan seperangkat tujuan
jangka pendek sebagai berikut:
1.Jika ditunjukkan kata yang bermula dengan huruf 'l', Rudi dapat menyebutkan bunyi
konsonan tersebut dengan 100% benar.

2.Jika ditunjukkan kata yang bermula dengan huruf 'd', Rudi dapat menyebutkan bunyi
konsonan tersebut dengan 100% benar.

3.Jika ditunjukkan kata yang bermula dengan huruf 'c', Rudi dapat menyebutkan bunyi
konsonan tersebut dengan 100% benar.

4.dsb...(sampai 14 buah konsonan terselesaikan).

4.Jenis layanan khusus yang diberikan

Bagian ini memuat daftar layanan khusus yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
khusus anak, baik dalam aspek pendidikan maupun aspek lain yang terkait. Dalam hal ini ada
beberapa ketentuan:

1.Pendidikan luar biasa adalah pembelajaran yang direncana kan secara khusus untuk
memenuhi kebutuhan khusus anak luar biasa, meliputi pengajaran di kelas, olah raga khusus,
pengajaran di rumah, atau pengajaran di tempat-tempat khusus seperti di panti penampungan,
institusi khusus, atau rumah sakit.

2.Istilah ini juga meliputi jenis layanan lain yang terkait, seperti transportasi khusus, bina
wicara, audiologi, fisioterapi, terapi okupasional, rekreasi, bimbingan psikiater, layanan
medis,

identifikasi dini, pekerjaan sosial, pelatihan dan bimbingan orangtua, dll., jika memang anak
secara individual memerlukannya.

3.Pendidikan vokasional juga termasuk layanan pendidikan khusus, apabila memang kondisi
kecacatan anak menuntutnya. Ketrampilan mencuci piring yang diajarkan kepada anak tuna
grahita

karena anak tersebut akan dipekerjakan di rumah makan, misalnya, termasuk layanan khusus.
Tetapi jika ketrampilan tersebut juga diajarkan kepada semua anak sebagai bagian dari
kurikulum sekolah, ini tidak termasuk layanan khusus.

5.Pengaturan pemberian layanan


Komponen ini berisi pengaturan pemberian layanan pendidikan khusus dan layanan-layanan
lain yang terkait. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah penempatan pada lingkungan yang
paling bebas, personalia dan fasilitas khusus yang diperlukan, dan kegiatan ekstra kurikuler.
Tim PLB harus menyebutkan secara pasti seberapa besar anak dapat diintegrasikan dalam
program-program pendidikan biasa. Bagi anak-anak tertentu, program pendidikan integrasi
mungkin tidak dapat dilaksanakan. Namun demikian, anak tersebut harus diberi kesempatan
berinteraksi dengan teman-temannya yang normal.

6.Waktu pelaksanaan dan kriteria evaluasi

Komponen ini berupa rencana tanggal dimulainya kegiatan untuk setiap tujuan khusus,
jangka waktu kegiatan, dan tanggal evaluasi untuk mengetahui tingkat ketercapaian tujuan
tersebut. Kecuali itu, harus juga didiskripsikan metode dan kriteria evaluasi bagi setiap
tujuan, meskipun secara eksplisit, hal ini juga sudah dapat dilihat pada bunyi tujuan yang
dimaksud. Seperti disebutkan sebelumnya, setiap tujuan harus secara pasti menyebutkan
kemampuan yang akan ditunjukkan anak, kriteria yang dapat diamati, dan kondisi munculnya
perilaku atau kemampuan tersebut. PPI akan memuat jadwal evaluasi, paling tidak secara
tahunan.

BAB III

PROSES PENYUSUNAN PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL

Pengembangan dan pelaksanaan program pengajaran individual merupakan satu proses


sistematik. Menurut Marsh, Price, dan Smith (1983) proses ini meliputi tahap-tahap awal
(penjaringan dan rujukan), lanjutan (evaluasi dan asesmen), dan penulisan PPI sendiri, yang
dapat digambarkan dalam diagram berikut ini:

Diagram :Alur layanan PLB

PENJARINGAN DAN IDENTIFIKASI ALB

RUJUKAN KE TIM PLB

|
V

PERTEMUAN TIM PLB --> negatif

positif

ASESMEN

--------->PERTEMUAN TIM ASESMEN -->negatif

||

| positif

||

|V

| PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL

||

|V

| PELAKSANAAN PROGRAM

||

|V

------------------EVALUASI
1.Penjaringan dan identifikasi

Semua sekolah bertanggung jawab menemukan semua anak di sekitarnya yang berhak
memperoleh layanan pendidikan luar biasa. Oleh karena itu, sekolah perlu mempunyai
program penjaringan anak yang bertujuan mengidentifikasi anak bermasalah yang mungkin
mengganggu proses dan hasil belajarnya. Pencarian anak dapat meliputi kegiatan-kegiatan
seperti:

a.Program penjaringan, umumnya meliputi berbagai tes hasil belajar atau tes kelompok yang
lain, angket yang disebarkan kepada guru untuk mengidentifikasi murid yang menunjukkan
tanda-

tanda bermasalah. Penjaringan formal sebaiknya diadakan kepada semua anak yang baru
masuk sekolah, baik pada tingkat sekolah dasar atau taman kanak-kanak.

b.Kampanye kepedulian, bertujuan menginformasikan kepada masyarakat tentang


tersedianya berbagai layanan bagi penyandang cacat. Informasi tentang hak-hak yang
dimiliki oleh penyandang

cacat dan orangtuanya juga perlu diinformasikan untuk mendorong mereka mencari bantuan
bagi anaknya yang cacat.

c.Survei, disebarkan kepada tokoh-tokoh masyarakat, dokter atau tenaga paramedis lain, atau
kelompok-kelompok lain, agar penyandang cacat yang belum terjangkau oleh layanan
pendidikan

juga dapat diidentifikasi.

d.Bekerjasama dengan insttansi lain, seperti Departemen Sosial atau yayasan-yayasan sosial
terdekat.

e.Berkomunikasi dengan para guru umum, agar para guru juga mengetahui adanya berbagai
layanan khusus bagi penyandang cacat. Dengan komunikasi ini, tidak ada seorang muridpun
yang memang memerlukan layanan khusus yang tidak teridentifikasi.

2.Rujukan
Setiap anak yang diketahui menunjukkan tanda-tanda bermasalah akan dirujuk kepada tim
PLB. Melihat proses penjaringan dan identifikasi di atas, rujukan dapat dilakukan oleh
orangtua, guru

kelas, administrator, tokoh masyarakat, maupun tenaga profesi lain. Berdasarkan pengalaman
di Amerika Serikat (Marsh, Price, dan Smith,1983), sebagian besar anak luar biasa memang
dirujuk

oleh guru kelasnya karena masalah-masalah:

a.Tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah

b.Kesulitan bergaul dengan teman

c.Kemampuan membaca rendah

d.Tidak mampu memusatkan perhatian

e.Prestasi belajar jauh di bawah teman sekelasnya.

Sebelum merujuk anak, para guru umumnya telah menempuh berbagai alternatif
pembelajaran bagi anak tersebut, tetapi tidak berhasil.

3.Pertemuan tim rujukan

Tujuan pertemuan tim adalah mempertemukan semua tenaga profesi yang pernah atau sedang
menangani anak yang dirujuk sehingga semua informasi lengkap mengenai anak tersebut
dapat

dikumpulkan. Pertemuan ini mungkin dihadiri oleh kepala sekolah, pengawas, guru kelas,
guru PLB, individu yang merujuk, tenaga profesi lain, orangtua anak, dan anak sendiri (jika
diperlukan).

Tugas yang dibebankan kepada tim ini adalah:

a.Validasi adanya masalah yang mengganggu belajar anak

b.Mengidentifikasi secara pasti jenis masalahnya

c.Mengumpulkan semua data yang relevan


d.Mengidentifikasi aspek atau bidang-bidang yang memerlukan asesmen atau pemeriksaan

lanjut.

e.Menetapkan tindakan lanjutan.

Ada tiga alternatif keputusan yang mungkin diambil oleh tim rujukan ini, yaitu:

a.Diperlukan asesmen informal lebih lanjut. Data yang telah terkumpul dianggap belum
cukup untuk diambil satu kesimpulan. Dalam hal ini, tim PLB akan mengadakan evaluasi
informal lanjutan untuk melengkapi informasi yang belum ada. Pertemuan tim akan kembali
diadakan apabila data yang diperlukan telah lengkap.

b.Evaluasi formal. Apabila keputusan ini yang diambil, berarti bahwa anak secara positif
memang termasuk luar biasa. Evaluasi formal bertujuan untuk mengetahui secara pasti jenis
dan

tingkat kelainannya.

c.Tidak diperlukan layanan khusus. Data yang ada menunjukkan bahwa masalah anak akan
dapat ditangani tanpa layanan pendidikan khusus. Dalam hal ini, anak akan mengikuti
program pendidikan umum bersama teman sebayanya.

4.Evaluasi/asesmen formal

Tujuan evaluasi formal adalah mengetahui tingkat kemampuan anak di berbagai aspek dan
untuk menentukan jenis dan tingkat penyimpangannya. Evaluasi harus dilakukan sebelum
anak memperoleh layanan PLB. Dengan demikian, tidak ada seorang anakpun yang

dikategorikan sebagai luar biasa tanpa evaluasi.

Sebelum evaluasi dilaksanakan, harus sudah ada ijin tertulis dari orangtua. Ada dua hal yang
termuat dalam ijin tersebut, yaitu ijin agar anaknya dapat menempuh berbagai tes dan agar

hasilnya dapat dimanfaatkan bersama oleh berbagai tenaga profesi

yang terkait dengan anak.


Berdasarkan pengalaman pada tahun 60-an di Amerika Serikat, banyak anak yang sebenarnya
normal, terutama anak-anak dari keluarga minoritas, tetapi masuk kelas-kelas khusus bagi
anak

tuna grahita sedang dan ringan. Hal ini disebabkan oleh materi tes (tes intelegensi) yang
ternyata diskriminatif. Untuk menghindari hal-hal itu, ada beberapa ketentuan dalam
pelaksanaan evaluasi formal:

a.Jika dimungkinkan, tes hendaknya diberikan dalam bahasa ibu yang dipakai anak.

b.Materi tes harus telah divalidasi untuk tujuan khusus pada penyaringan ALB.

c.Tes harus dilaksanakan oleh tenaga yang telah terlatih, seperti yang dituntut oleh pembuat
tes.

d.Tes hendaknya juga mampu mengidentifikasi kelemahan dan kemampuan khusus yang

dimiliki anak, tidak hanya memberikan gambaran umum seperti halnya IQ.

f.Hendaknya telah diperhitungkan bahwa kelainan anak, seperti gangguan penglihatan,

gangguan pendengaran, keterbatasan fisik, gangguan wicara, dsb.tidak berpengaruh pada


hasil

tesnya.

g.Keputusan tentang program PLB yang paling sesuai bagi anak tidak boleh dibuat hanya

berdasarkan pada hasil satu tes saja.

i.Anak harus di evaluasi pada semua aspek yang berkaitan dengan jenis kelainan yang diduga

disandang oleh anak.

Melihat banyaknya aspek yang harus dievaluasi, proses evaluasi tidak mungkin dilakukan
oleh seorang individu. Komposisi tim evaluasi harus terdiri dari minimal seorang guru kelas
dan masing-masing seorang tenaga dari setiap profesi yang diujikan.

Ada beberapa konponen yang harus dimasukkan dalam proses evaluasi formal, antara lain:
a.Tes kemampuan akademik. termasuk dalam kelompok ini adalah tes-tes tentang penguasaan
ketrampilan akademik dan prestasi belajar di sekolah. Hasil tes ini harus menunjukkan
tingkat

kemampuan yang dicapai, kelemahan, dan bidang-bidang yang belum dikuasai oleh anak.

b.Tes intelegensi. Tes intelegensi dilaksanakan oleh tenaga profesi yang berwenang
(psikolog) untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kemampuan umum anak.

c.Tes perilaku sosial dan adaptif. Perilaku adaptif adalah kemampuan memenuhi tuntutan
sosial di lingkungannya secara efektif. Aspek yang termasuk di sini antara lain tingkat
kemandirian,

kemampuan berkomunikasi, perkembangan motorik-perseptual, sosialisasi, danbina diri.


Untuk mengukur perilaku sosial dan adaptif, banyak dipakai teknik observasi, rating scale,
atau wawancara, baik langsung kepada anak maupun kepada orang lain yang dekat dengan
anak.

d.Kemampuan bahasa. Evaluasi ini bertujuan mengetahui tingkat kemampuan bahasa


ekspresif dan reseptif anak dan mengidentifikasi berbagai kelemahan berbahasa yang
mungkin dimiliki anak. Jika hasilnya menunjukkan bahawa anak memang bermasalah
bahasa, asesmen lanjutan akan diperlukan dan ini harus dilakukan oleh seorang ahli bina
wicara.

e.Riwayat perkembangan anak. Data tentang riwayat kesehatan, hasil evaluasi terdahulu
(apabila pernah dilaksanakan), laporan dari instansi lain, perkembangan pendidikan, dan data
tentang keluarga merupakan materi penting dalam proses evaluasi formal.

f.Komponen lain. Komponen lain mungkin diperlukan untuk melengkapi evaluasi yang
diberikan kepada anak. Termasuk di sini di sini antara lain kondisi kesehatan umum,
ophthalmologis, neurologis, audiologis, atau psikiatris anak.

5.Pertemuan tim asesmen.

Setelah semua data asesmen terkumpul, diadakan pertemuan tim asesmen untuk menetapkan
bidang-bidang yang memang anak menunjukkan masalah. Pertemuan ini diikuti oleh kepala
sekolah, guru PLB, orangtua, anak yang bersangkutan, guru atau tenaga profesi lain jika anak
tidak/belum bersekolah, dan semua tenaga profesi yang terlibat dalam proses evaluasi. Tugas
dari tim ini adalah:
a.Memeriksa data evaluasi dan menetapkan pola umum dari kemampuan dan kelemahan
anak.

b.Menetapkan adanya jenis kelainan tertentu.

c.Penetapan lingkungan pendidikan yang paling bebas bagi anak.

Ada dua macam alternatif keputusan yang akan diambil oleh tim PLB, yaitu:

a.Anak tidak menunjukan karanteristik sebagai luar biasa, dan oleh karena itu tidak
memerlukan layanan PLB.

b.Anak memang termasuk luar biasa sehingga memerlukan layanan PLB. Dalam hal ini,
diperlukan program pengajaran individual. Data hasil evaluasi/asesmen inilah yang menjadi
dasar penyusunan PPI.

BAB IV

ASESMEN DALAM PENYUSUNAN PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL

Semua pendidik pasti melaksanakan asesmen (pengukuran) atas murid-muridnya. Secara


informal, para guru mengumpulkan data tentang muridnya secara harian melalui hasil
pekerjaan murid, memberi pertanyaan, atau memberi ulangan. Secara formal, guru mungkin
memberi tes baku untuk membandingkan prestasi murid dengan teman-teman sekelasnya.
Data ini akan dipakai untuk berbagai keperluan, baik tujuan administratif maupun tujuan
pembelajaran. Hasil asesmen ini sering juga dipakai untuk mengevaluasi program-program
sekolah agar lebih baik pada masa-masa mendatang.

Dalam pendidikan luar biasa, berbagai data tentang murid diperlukan. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan misi antara PLB dengan pendidikan umum. Pendidikan umum dirancang
untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik normal (average learners), sedangkan PLB
dirancang untuk memenuhi kebutuhan individual anak yang mengalami masalah dalam
belajar. Rancangan pembelajaran harus sangat diindividualkan, yang berarti bahwa guru
harus mempunyai informasi yang tepat tentang seluk beluk muridnya. Inilah peran asesmen.

1.Definisi, pengertian, dan tujuan

Asesmen edukatif bagi anak luar biasa sering didefinisikan sebagai proses sistematik untuk
menemukan karakteristik belajar anak untuk tujuan penempatan dan pembelajaran
(McLoughlin dan Lewis,1983). Tekanan asesmen adalah pada bidang-bidang pembelajaran di
sekolah dan aspek lain yang dapat berpengaruh pada prestasi belajar anak, seperti
kemampuan berbahasa, sosialisasi,

dan ketrampilan lainnya.

Ada istilah lain yang sering dianggap sama, tetapi sebenarnya berbeda, yaitu testing dan
diagnosa. Testing menuntut respons anak terhadap seperangkat pertenyaan dalam kondisi
yang sangat terstruktur. Respons ini sedapat mungkin dibuat dapat dikuantifikasikan,
sedangkan hasil testing ini dapat berupa berbagai skor atau daftar ketrampilan yang sudah
dikuasai oleh anak. Tes hanyalah salah satu teknik pengumpulan informasi tentang anak.

Diagnosa merupakan istilah yang dipinjam dari dunia kedokteran, berarti upaya menetapkan
penyebab suatu penyakit atau keadaan dan menetapkan teknik penyembuhannya. Jenis
penyakit atau keadaan yang dibicarakan umumnya disebut dengan label tertentu, seperti
'autisme', dan label itu sekaligus menunjukkan teknik penyembuhannya. Sebaliknya, asesmen
pendidikan tidak ditujukan untuk mencari penyebab, memberi label pada anak luar biasa, atau
menetapkan penanganannya berdasarkan label yang diberikan. Asesmen pendidikan
bertujuan untuk menyiapkan program bagi anak luar •biasa berdasarkan jenis ketrampilan
yang belum/tidak dikuasainya.Program disediakan berdasarkan pada kebutuhan khususnya,
bukan pada jenis kecacatannya.

Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, proses asesmen dalam PLB sendiri sebenarnya
telah dikenal sejak awal abad XX, dengan dikembangkannya tes intelegensi (McLoughlin dan
Lewis,1983). Tes inilah yang selama beberapa dekade dipakai untuk menjaring anak-anak
yang diperkirakan tidak akan mampu mengikuti pelajaran di kelas biasa bersama anak-anak
normal. Anak-anak yang terjaring, kemudian dikenal dengan anak lambat belajar, berkesu-
litan belajar, atau cacat mental sedang/ringan, akan memperoleh layanan PLB di kelas-kelas
khusus. Tetapi pada pertengahan abad XX, penggunaan tes intelegensi sebagai satu-satunya
instrumen asesmen dalam PLB mulai dipertanyakan. Hal ini terlihat banyaknya anak-anak
dari kelompok minoritas yang secara tidak proporsional mendominasi kelas-kelas khusus
bagi anak luar biasa. Oleh karenanya, diperlukan penyempurnaan prosedur asesmen dalam
PLB.

Asesmen pendidikan bagi anak luar biasa mempunyai beberapa tujuan, dan hasil asesmen ini
terus dimanfaatkan oleh guru sejak pertama kali dtemukannya indikasi kelainan pada anak
sampai
berhasilnya upaya penanganan masalah yang dihadapi anak. Secara lebih khusus, asesmen
dalam pendidikan luar biasa bertujuan mengumpulkan informasi untuk menentukan apakah
anak memang berhak memperoleh layanan PLB dan untuk penyusunan program pengajaran
individual bagi anak tersebut. Hal ini mencakup lima proses, yaitu:

a.Mengidentifikasi anak-anak yang mungkin bermasalah belajar sehingga memerlukan


layanan PLB melalui penjaringan. Prosedur yang dilakukan dalam penjaringan harus efisien,
efektif dalam hal waktu, dan dapat dipercaya. Jenis asesmen yang dipakai kebanyakan
bersifat kelompok. Misalnya, dengan tes yang diberikan kepada semua anak, ada beberapa
anak yang prestasinya selalu paling buruk. Pekerjaannya selalu di bawah rata-rata temannya,
bahkan selalu tidak dapat menyelesaikan tugas pada waktunya. Berbagai upaya pendekatan
individual masih belum berhasil. Anak-anak inilah yang terjaring melalui proses penjaringan.

b.Menetapkan apakah seorang anak berhak memperoleh layanan PLB, atau apakah anak
mempunyai masalah belajar yang berkaitan dengan kelainannya. Ada beberapa kriteria yang
harus dipenuhi untuk dikatakan luar biasa dan memperoleh layanan khusus. Untuk tujuan ini,
perlu diadakan beberapa tes yang bersifat individual. Data mengenai tingkat intelegensi,
prestasi akademik, kemampuan sensoris dan kemampuan lain akan dianalisa untuk
menetapkan tingkat penyimpangannya. Jika hasil analisa memenuhi kriteria, baru anak
tersebut dapat dikatakan luar biasa.

c.Menyusun program pengajaran individual. Tujuan jangka pendek dan tujuan jangka
panjang dikembangkan berdasarkan prioritas kebutuhan khusus anak. Hasil asesmen
individual seperti pada poin b itulah yang dipakai sebagai rujukan utama. PPI akan menun-
jukkan waktu, tempat, fisilitas khusus, dan tenaga profesi yang akan membimbing anak
mencapai setiap tujuan.

d.Memantau kemajuan anak luar biasa selama memperoleh layanan khusus. Data tentang
dampak langsung dari pembelajaran segera dikumpulkan. Ada beberapa prosedur yang dapat
dipakai di sini, misalnya pencatatan (diagram) kemajuan dalam bidang akademik membaca,
menulis, berhitung, dokumen pekerjaan anak, catatan hasil observasi perilaku, dsb. Berbagai
dokumen ini akan dibicarakan oleh tim untuk menyempurnakan PPI yang sedang
dilaksanakan.

e.Evaluasi program. Program layanan bagi ALB harus dievaluasi paling lama sekali dalam
setahun. Guru, orangtua, dan tenaga profesi terkait lain akamemeriksa kemajuan anak selama
setahun untuk menetapkan apakah layanan PLB bagi anak diteruskan atau tidak. Apabila
diteruskan, data ini akan dipakai sebagai rujukan dalam menyusun PPI tahun berikutnya.
2.Ruang lingkup pelaksanaan asesmen

Menurut McLoughlin dan Lewis (1983), dalam bidang pendidikan luar biasa, ada tiga
pertanyaan utama yang harus terjawab melalui proses asesmen, yaitu:

a.Apakah ada masalah prestasi belajar di sekolah?

b.Apakah masalah itu berkaitan dengan kecacatan?

c.Apakah sajakah kebutuhan khusus pendidikan anak?

Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, ruang lngkup asesmen harus meliputi aspek-
aspek sebagai berikut:

a.Tingkat prestasi anak sekarang baik dalam bidang akademik maupun bidang yang terkait
dengan sekolah, kelemahan dan kelebihan anak. Informasi ini akan membantu menetapkan
bidang-bidang yang menimbulkan masalah pada anak. Seperti diketahui, prestasi belajar
rendah juga merupakan satu kriteria untuk memperoleh layanan PLB.

b.Ketrampilan prasyarat untuk dapat belajar di sekolah, terdiri dari tingkat berfungsi
intelegensi dan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar yang normal.
Kedua ketrampilan ini diketahui berkaitan dengan retardasi mental.

c.Kemampuan belajar khusus. Untuk mempelajari satu mata pelajaran, seorang anak
menggunakan gabungan strategi kognitif dan persepsi. Ketidakmampuan menggunakan salah
satu di antaranya, seperti kemampaun diskriminasi auditif (membedakan bunyi) atau
sejenisnya, berakibat negatif pada penguasaan bidang studi seperti bahasa atau membaca.

d.Perkembangan sosialisasi dan perilaku sosial lain di sekolah. Aspek ini meliputi perilaku di
kelas (perhatian, konsep diri, dan interaksi sosial dengan teman dan guru) dan dampak
lingkungan (termasuk lingkungan fisik, metode dan materi pembelajaran, dsb.) terhadap
proses belajar anak.

Keempat aspek di atas harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan masalah khusus
dalam belajar yang dialami oleh anak. Dalam ini juga harus dilihat kaitan antara masalah
belajar anak dengan faktor-faktor lain. Faktor-faktor ini misalnya faktor medis (misalnya
gangguan penglihatan), faktor sosial (misalnya tuntutan guru yang berlebihan pada prestasi
akademik), atau faktor budaya (misalnya perbedaan bahasa antara bahasa yang dipakai di
sekolah dengan bahasa sehari-hari di rumah).
3.Jenis-jenis prosedur asesmen

Ada bermacam-macam prosedur asesmen, masing-masing dengan kelebihan dan


kelemahannya. Setiap prosedur memerlukan keahlian yang berbeda pula. Asesmen yang
lengkap akan menggunakan sebagian besar dari prosedur berikut ini.

a.Tes acuan norma.Tes acuan norma membandingkan kinerja (performance) seorang anak
luar biasa dengan kinerja kelompoknya. Tes semacam ini mungkin bersifat kelompok atau
individual. Misalnya, tes yang menuntut jawaban siswa dalam bentuk lisan, seperti
pemahaman lisan (oral comprehension), seharusnya diberikan secara individual. Sebaliknya,
tes yang menuntut respons anak secara tertulis dapat dilakukan secara kelompok. Tes yang
dipakai harus mempunyai validitas dan reliabilitas yang jelas, yang berarti bahwa tes tersebut
harus sudah diujicobakan. Sedangkan penggunaannya terbatas pada anak atau kelompok anak
yang mirip dengan subyek ujicoba testersebut. Hasil tes ini dinyatakan dalam berbagai angka
kuantitatif, seperti percentile atau angka ekuivalensi. Hasil tes acuan norma dapat
dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, seperti untuk menetapkan apakah anak berhak
memperoleh layanan PLB dan untuk mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan anak dalam
belajar.

b.Tes acuan kriteria. Tes acuan kriteria membandingkan kinerja anak dengan satu kriteria
atau tingkat prestasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Tes semacam ini dapat disusun oleh
guru sendiri dan sangat sesuai untuk murid yang sedang mempelajari ketrampilan yang
dimasukkan dalam tes tersebut.Seperti tes acuan norma, tes acuan kriteria dapat bersifat
kelompok atau individual. Persyaratan bagi para pemberi tes sangat sederhana, meskipun
pelaksanaan tes ini memerlukan banyak waktu dan cebderung melelahkan. Hasil tes ini
berupa daftar ketrampilan yang sudah dan belum dikuasai oleh anak, kadang-kadang dapat
dinyatakan dengan angka. Kualitas tes acuan kriteria ini memang sulit untuk ditetapkan,
tetapi hasilnya akan bermanfaat dalam merencanakan program pembelajaran karena
memberikan informasi untuk menetapkan tujuan khusus pembelajaran.

c.Inventori informal. Inventori informal dipakai untuk melihat kinerja seorang anak berkaitan
dengan materi atau kurikulum yang diberikan oleh guru. Inventori dapat disusun untuk
berbagai ketrampilan yang dicakup oleh kurikulum. Karena umumnya tidak dibakukan,
inventori hanya dapat dipakai pada kelompok anak atau kelas tertentu yang menggunakan
kurikulum atau materi yang dimaksud. Hasil inventori akan berupa sederet ketrampilan
tertentu yang masih memerlukan pendalaman atau pembelajaran lagi, meskipun sulit untuk
menginterpretasikan ketrampilan yang belum dikuasai tersebut seperti halnya pada tes acuan
kriteria. Tingkat subyektifitas penyusunan intrumen ini termasuk tinggi.
d.Analisa hasil pekerjaan. Analisa hasil pekerjaan dipakai untuk menelaah respon yang betul
dan tidak betul yang dibuat oleh anak pada tugas di kelas. Sampel hasil pekerjan dapat
diambil dari bidang studi apa saja milik siapapun di kelas. Strategi ini dapat dipakai oleh
siapapun tanpa persyaratan tertentu. Hasil analida pekerjaan akan berupa jumlah dan jenis
kesalahan dan keberhasilan yang sering ditunjukkan oleh anak. Oleh karena eratnya kaitan
dengan materi kurikulum, kualitas dan interpretasi hasilnya sangat jelas, yaitu untuk
menetapkan tujuan pembelajaran dan memodifikasi prosesnya.

e.Analisa tugas. Analisa tugas dipakai untuk mengidentifikasi komponen utama dari satu
tugas dan mengatur ketrampilannya dengan urutan yang sesuai. Prosedur ini dapat diterapkan
pada tugas apapun yang mungkin diberikan kepda anak dan dapat diterapkan pada semua
jenis murid. Semakin komplek tugas tersebut, semakin sulit juga mengadakan analisa. Guru
yang mengembangkan analisa tugas harus memiliki pemahaman yang baik tentang kurikulum
dan tugas-tugas yang diajarkan kepada anak. Hasil dari prosedur ini akan berupa daftar
komponen suatu tugas dan daftar ketrampilan yang diperlukan dalam urutan dan bahasa yang
dapat diajarkan (teachable), artinya, guru akan mengetahui bagian-bagian mana dari tugas itu
yang telah dikuasai oleh anak dan •

bagian mana yang masih perlu pendalaman. Kualitas prosedur ini tergantung kepada
kepakaran guru pembuat. Hasil prosedur ini akan sangat berguna untuk tujuan
peneympurnaan pembelajaran.

f.Observasi. Observasi digunakan untuk mengetahui perilaku anak di lingkungannya selama


beberapa waktu agar dapat dilihat polanya. Perilaku di kelas, interaksi dengan teman sebaya
atau •

guru, dan jenis perilaku lain dapat diteliti di sini. Prosedur ini umumnya digunakan untuk
ketrampilan sosial jenis murid apapun. Ada beberapa persyaratan bagi penguji, tergantung
kepada sistematika pengamatannya. Hasilnya akan berupa jumlah dan sifat masalah perilaku
di kelas, digambarkan dalam bentuk grafik. Kualitas pengamatan ini tergantung kepada faktor
seperti ketepatan definisi masalahnya dan teknik pengumpulan datanya. Hasilnya dapat
langsundiinterpretasikan, yaitu apakah ada masalah dan bagaimana tingkatnya. Informasi
yang diperoleh melalui observasi akan bermanfaat dalam penentuan tujuan pembelajaran
pada jenis perilaku yang diamati.

g.Checklist dan rating scales. Checklist dan rating scales dipakai untuk mengumpulkan data
dengan cara yang setengah terstruktur, bahkan kadang-kadang dipakai untuk memperoleh
informasi yang tidak tergali melalui teknik lain. Prosedur ini dapat dipakai pada bidang studi
apapun (akademik, sosial, opini) dan dapat dipakai oleh tenaga profesional, guru, atau
orangtua, bahkan murid sendiri. Checklist atau rating scales dapat dibuat sendiri oleh guru
dengan desain yang formal. Hasil yang diperoleh akan berupa data diskriptif atau kuantitatif,
tergantung kepada formatnya; sedangkan kualitasnya, tergantung kepada kecermatan desain
dan reliabilitas pemakainya. Prosedur ini akan sangat membantu dalam penyusunan program
pembelajaran.

h.Wawancara dan angket. Wawancara dan angket dipakai untuk mengumpulkan informasi
yang sebenarnya sulit untuk diperoleh. Misalnya, orangtua mungkin diwawancarai atau
diminta untuk mengisi angket tentang perkembangan akademik, sosial, atau kesehatannya.
Setiap aspek dapat digali melalui prosedur ini dan tidak ada persyaratan mengenai pemakai
atau sasarannya. Jika angket atau wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur, pemakai
harus berpengalaman dalam menafsirkan hasilnya. Hasilnya akan berupa data akan berupa
data diskriptif, sedangkan kualitasnya sangat tergantung kepada tingkat pengetahuan
responden. Mudah atau sukarnya penafsiran hasil tergantung kepada jelas tidaknya tujuan
pengumpulan data dan terstruktur tidaknya format angket wawancara tersebut. Keuntungan
yang tampak jelas dari prosedur ini adalah apabila responden adalah benar-benar orang yang
mengetahui seluk beluk anak dan mampu menceritakannya secara spontan.

4.Karakteristik instrumen asesmen

Semua jenis instrumen asesmen dapat digambarkan berdasarkan karakteristiknya.


Karateristik ini menunjukkan bagaimana tes diberikan dan jenis informasi yang akan
diperoleh. Untuk memilih jenis tes yang tepat untuk tujuan tertentu, guru harus mengenal
karakteristik tes dan manfaatnya.

a.Kelompok atau individual.

Satu instrumen asesmen dapat diberikan secara kelompok atau individual. Bagi anak luar
biasa, tes kelompok biasanya merugikan, karena menuntut kemampuan membaca atau
membaca petunjuk yang mungkin kurang dikuasai oleh anak tersebut. Dengan demikian, nilai
rendah pada tes kelompok dapat berarti dua macam, anak memang tidak menguasai materi tes
atau anak tidak menguasai kemampuan membaca dan membaca petunjuk tes. Oleh karena itu,
tes kelompok hanya bermanfaat untuk tujuan-tujuan penjaringan, yaitu mengidentifikasi anak
yang mungkin berkelainan dan anak-anak yang tidak. Tetapi, tes kelompok tidak banyak
memerlukan waktu untuk pelaksanaannya.
Dua jenis tes kelompok yang sering dijumpai adalah tes intelegensi dan tes prestasi. Tes-tes
semacam ini berguna dalam penjaringan, pengelompokan, mengevaluasi kemajuan anak, dan
mengukur efektifitas kurikulum. Bagi anak luar biasa, tes kelompok berfungsi menjaring
prestasi dalam bidang-bidang yang diuji. Oleh karena tes kelompok diberikan dalam
kelompok, tidak banyak kesempatan untuk melakukan analisa yang diperlukan.

Tes kelompok memerlukan ketrampilan membaca dan ketrampilan dasar lain untuk dapat
mengerjakannya. Oleh karenanya, tes ini dapat berfungsi menjaring anak berkesulitan belajar.
Anak luar biasa cenderung berprestasi rendah dalam tesptes ini. Ada juga tes intelegensi dan
tes prestasi belajar yang bersifat individual. Dibandingkan dengan tes kelompok, tes
individual memungkinkan menggali lebih banyak ketrampilan anak. Berbagai rangsangan
yang tidak ada pada tes kelompok dimungkinkan sehingga tes ini lebih berguna bagi anak
luar biasa.

b.Acuan norma dan acuan kriteria.

Tes acuan norma dipakai untuk membandingkan kemampuan seorang individu dengan
kelompoknya. Perbandingan ini berdasarkan norma yang diperoleh dari sampel ujicoba.
Pelaksanaan dan penilaiannya sangat jelas dan sangat obyektif. Tes ini dipakai untuk
mengelompokkan orang yang mengambil tes menurut variabel seperti umur dan kelas. Tes ini
berguna dalam penjaringan masalah belajar, evaluasi program, dan penempatan anak luar
biasa.

Tes acuan kriteria juga mempunyai petunjuk pelaksanaan dan penilaian yang jelas dan
obyektif, tetapi tidak dirancang untuk membandingkan prestasi. Tes ini akan menetapkan
apakah seorang murid telah menguasai ketrampilan tertentu atau belum. Hasilnya berupa
angka prosentase yang menunjukkan tingkat penguasaan. Berbeda dengan tes acuan norma,
tes acuan kriteria berguna dalam penyusunan program pembelajaran,karenamateri tes
langsung berkaitan dengan tujuan khusus dari program pembelajaran.

c.Formal atau informal.

Perbedaan kedua tes ini sebenarnya keliru. Tes formal umumnya dianggap berupa tes baku
dengan acuan norma. Prosedur pelaksanaan, penilaian, dan penafsiran hasilnya telah diatur
secara jelas. Ada bermacam-macam skor yang diperoleh dari tes formal.

Prosedur tes informal umumnya terdiri dari teknik pengukuran yang tidak terstruktur atau
diatur berbeda dari tes baku. Beberapa contoh asesmen semacam ini misalnya inventori,
wawancara, atau rating scale. Unsur subyektifitas asesmen informal memang tinggi, baik
dalam pelaksanaan, penilaian, dan penafsiran. Jenis lain yang juga sering dianggap informal
adalah tes acuan kriteria dan pengamatan perilaku secara sistematik. Jenis skor yang diper-
oleh memang tidak sebaik skor dari tes baku, tetapi jika dilihat pelaksanaan, penilaian, dan
interpretasinya, tes acuan kriteria tersebut sebenarnya sangat terstruktur. Demikian juga
halnya dengan pengamatan perilaku. Jadi, tes yang tidak memiliki karakteristik seperti halnya
tes baku tidak dapat otomatis dikatakan informal. Yang tidak dimiliki hanyalah norma
pembanding.

d.Bakat dan prestasi.

Tes bakat adalah tes-tes fungsi psikologis seperti intelegensi dan persepsi. Termasuk di sini
tes kemampuan tertentu seperti visual, auditori, atau motorik. Tes perilaku adaptif juga sering
dimasukkan dalam tes bakat. Tes prestasi mengukur kinerja pada ketrampilan akademik
dasar, bahasa, dan beberapa mata pelajaran tertentu yang lain. Bidang studi akademik dasar
meliputi membaca, berhitung, mengeja, dan pengetahuan umum.

e.Umum atau khusus.

Tes umum (global) memberi gambaran umum tentang satu bidang tertentu dan dipakai untuk
menjaring kelebihan dan kelemahan utama anak. Sedangkan tes khusus (spesifik) dipakai
untuk menganalisa lebih rinci bidang-bidang yang lemah. Tes khusus difokuskan pada
ketrampilan tertentu dan meliputi tes acuan kriteria. Hasil tes khusus digunakan untuk
penyusunan program pembelajaran.

f.Berorientasi pada murid atau lingkungan.

Salah satu kontroversi utama dari asesmen dalam bidang pendidikan dewasa ini adalah fokus
asesmen itu sendiri: murid atau sesuatu di luar murid. Asesmen yang berorientasi pada murid
adalah pengukuran kemampuan murid secara langsung. Baik tes acuan norma maupun tes
acuan kriteria langsung mengukur kemampuan murid. Tetapi beberapa pendidik merasa
bahwa memberi tes hanya pada murid berarti menyelahkan murid apabila terjadi masalah
belajar. Dengan kata lain, kesalahan selalu berada di pihak murid, baik kondisi fisik maupun
psikisnya.

Asesmen berwawasan lingkungan (atau asesmen ekologis) menekankan pada semua variabel
di luar murid, seperti lingkungan kelas dan pembelajarannya. Tugas belajar yang harus
dikerjakan murid mungkin bermasalah; petunjuknya, apa yang harus dikerjakan, didengarkan,
atau cara merespon suatu tugas. Dengan pendekatan ini, daftar seperangkat ketrampilan
sekuensial (berurutan) yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan tugas dikembangkan
melalui analisa tugas (task analysis). Daftar inilah yang dipakai untuk menyesuaikan tugas
dengan kondisi, kemampuan, dan cara belajar anak. Asesmen berwawasan lingkungan juga
meliputi pengamatan, wawancara, atau teknikiteknik lain secara sistematis. Pengamatan
sistematis atas perilaku anak di kelas mungkin dapat menggali masalah yang tersembunyi.

g.Dengan informan murid atau orang lain.

Pada sebagian besar tes, responden atau informannya adalah murid. Murid mungkin diminta
mengeja kata, menuliskan jawaban soal berhitung, mendefinisikan arti kata secara verbal,
atau menunjuk gambar yang dimaksud oleh satu teks. Murid menunjukkan tingkat keluasan
dan kedalaman materi yang telah dikuasainya.

Tetapi ada juga asesmen yang menggunakan orang lain sebagai responden atau informan
untuk mengukur ketrampilan seorang anak. Hal ini sangat penting bagi anakm luar biasa yang
terlalu muda, tidak dapat berkomunikasi, atau tidak memahami petunjuk. Pada beberapa jenis
tes, untuk mengetahui perkembangan bahasa dan motorik anak, orangtua yang diminta untuk
menyatakan apakah anaknya telah menguasai perangkat ketrampilan seperti pada tes. Ada
juga tes yang menggunakan siapapun yang mengetahui seluk beluk anak sebagai informan.

BAB V

ANALISA TUGAS DALAM PERUMUSAN TUJUAN

Seperti telah digambarkan pada bagian sebelumnya, hasil asesmen akan dipakai sebagai
masukan utama dalam menentukan tujuan pembelajaran bagi anak. Dengan demikian tujuan
yang ditetapkan akan bersifat individual, berdasarkan pada hasil asesmen. Tujuan inilah yang
sebenarnya menjadi isi atau materi kurikulum individual anak.

Menurut Wehman dan McLoughlin (1981), ada empat pertanyaan yang dipakai sebagai
ukuran dalam memilih tujuan jangka panjang bagi seorang anak, yaitu:

1.Mengapa ketrampilan ini perlu diajarkan?

2.Apakah jenis ketrampilan ini diperlukan untuk menyiapkan anak agar akhirnya dapat
berperan

di lingkungan masyarakat yang heterogen?


3.Apakah anak tidak akan berperan sebagai orang dewasa jika tidak menguasai ketrampilan
ini?

4.Apakah ada jenis ketrampilan lain yang dapat diajarkan secara lebih efisien dan cepat?

Sedangkan Snell (1983) mengemukakan empat kriteria yang hampir serupa, meliputi:

1.Tujuan-tujuan harus mengacu pada ketrampilan fungsional yang paling diperlukan oleh
anak sekarang dan yang akan datang.

2.Tujuan-tujuan meliputi empat domain pembelajaran, yaitu: domestic (lingkungan sehari-


hari), rekreasi-waktu luang, bermasyarakat, dan vokasional.

3.Tujuan-tujuan harus sesuai dengan usia kronologis (bukan usia mental) anak.

4.Tujuan harus tidak terlalu sulit sehingga tidak dapat dislesaikan dalam waktu setahun, atau
tidak terlalu mudah sehingga telah dikuasai oleh anak.

Sebagai satu ilustrasi, di sini digambarkan ketrampilan membaca. Bagi anak-anak


berkemampuan tinggi, membaca dengan pemdekatan fonik (mendalami setiap bunyi bahasa
seperti a,i, u, n, b dll. secara individual) akan berguna, karena mereka diharapkan akan
menggunakan kemampuan membaca untuk berbagai kegiatan lain, baik belajar lanjut ataupun
hidup di masyarakat. Tetapi bagi anak luar biasa dengan kemampuan rendah, pengajaran
membaca sebaiknya lebih banyak menggunakan pendekatan fungsional (membaca resep,
petunjuk penggunaan obat, menu makanan, petunjuk lalu lintas, dsb), karena anak -anak ini
akan menggunakan kemampuan membaca hanya untuk tujuan-tujuan fungsional dalam
kehidupan sehari-hari.

Tujuan jangka panjang yang telah ditetapkan dan dipilih oleh anak kemudian akan dijabarkan
menjadi tujuan-tujuan jangka pendek atau ada yang menggunakan istilah tujuan khusus.
Proses penjabaran tujuan umum menjadi tujuan khusus ini harus melalui satu proses yag
disebut analisa tugas (task analysis). Oleh Dick dan Carey (1978), analisa tugas atau juga
disebut, analisa instruk

sional, adalah satu proses mengidentifikasi perangkat ketrampilan yang dipersayaratkan


untuk mencapai tujuan umum yang telah ditetapkan. Misalnya, perangkat ketrampilan
bermain tenis meliputi antara lain memegang raket, memegang bola, berdiri dengan posisi
yang benar, melakukan serve, memukul dengan forehand, memukul dengan backhand,
melakukan smesh, pukulan voley, dsb.
Ada berbagai pendapat tentang langkah-langkah dalam menetapkan jenis ketrampilan tugas
yang akan dilatihkan kepada murid, tetapi sebagian besar memasukkan tiga unsur berikut ini
(Snell,1983);

1.Mengidentifikasi satu tugas yang sesuai bagi seseorang murid dengan mempertimbangkan
tingkat kemampuan berfungsi, usia kronologis, dan tingkat kesukaran ketrampilan tersebut.

2.Memilih satu setting atau lingkungan tempat anak kemungkinan besar akan menerapkan
ketrampilan ini.

3.Demonstrasikan tugas ini pada lingkungan yang telah ditetapkan tadi, amati anak lain
melakukan ketrampilan tersebut.

Apabila jenis tugas telah ditetapkan, baru dapat dilakukan proses analisa tugas. Dalam hal ini
ada beberapa ketentuan sebagai berikut:

1.Target perilaku harus spesifik (misalnya menyisir rambut)

2.Daftar ketrampilan dinyatakan dalam kata kerja operasional (dapat diamati dan dapat
diukur).

3.Jenis ketrampilan ditulis dengan rincian yang cukup

4.Setiap ketrampilan menghasilkan perubahan proses atau produk yang dapat dilihat

5.Jenis ketrampilan disusun secara sekuensial dari yang pertama sampai yang terakhir.

Berikut contoh analisa tugas dari tujuan anak dapat menyisir rambut sendiri:

1.Mencari sisir

2.Mengambil sisir dengan satu tangan

3.Mengangkat sisir ke arah tengah atas kepala

4.Menyisir rambut di tengah kepala ke depan dengan 1/4 gigi-gigi sisir masuk ke rambut

5.Menyisir rambut di tengah kepala ke depan dengan 1/2 gigi-gigi sisir masuk ke rambut

6.Menyisir rambut di tengah kepala ke depan dengan 100% gigi-gigi sisir masuk ke rambut
berkali-kali

7.Menyisir rambut ke samping kepala dengan 1/4 gigi-gigi sisir masuk ke rambut.

8.Menyisir rambut ke samping kepala dengan 1/2 gigi-gigi sisir masuk ke kepala

9.Menyisir rambut ke samping kepala dengan 100% gigi-gigi sisir masuk ke rambut.

10.Menyisir rambut ke samping yang berlawanan dari kepala dengan 1/4 gigi-gigi sisir
masuk ke

rambut

11.Menyisir rambut ke samping yang berlawanan dari kepala dengan 1/2 gigi-gigi sisir
masuk ke

rambut.

12.Menyisir rambut ke samping yang berlawanan dari kepala dengan 100% gigi-gigi sisir
masuk

ke rambut.

13,Menghaluskan rambut dengan tangan

14.Mengembalikan sisir.

BAB VI

RUANG LINGKUP KURIKULUM DALAM PLB

Pendidikan umum dirancang bagi peserta didik dengan tingkat kemampuan rata-rata atau di
atas rata-rata. Dengan komposisi murid yang diasumsikan homogen, tanpa masalah lain yang
bersifat non-akademik, pendidikan umum cenderung menggunakan kurikulum, proses
belajar-mengajar, dan evaluasi yang sama pula. Tekanan kurikulum adalah pada penguasaan
materi akademik seperti membaca, menulis, bahasa, matematika, ilmu alam, ilmu
pengetahuan sosial, seni, dan ketrampilan. Proses pembelajaran lebih menggunakan
pendekatan klasikal kompetitif.
Pendidikan luar biasa bertujuan memenuhi kebutuhan individual anak dalam belajar. Peserta
didik pada pendidikan luar biasa adalah anak-anak yang mempunyai masalah, baik akademik
maupun non-akademik, yang mengganggu prestasi belajarnya. Oleh karena masalah setiap
anak sangat variatif, baik kualitas maupun kuantitasnya, kebutuhan individual anak juga
bervariasi. Dengan demikian, layanan pendidikan yang diberikan anak luar biasa juga tidak
terbatas pada aspek akademik seperti yang diberikan kepada anak-anak normal melalui
pendidikan umum. Ruang lingkup PLB meliputi juga aspek-aspek non-akademik menurut
kebutuhan anak.

Wehman dan McLaughlin (1981), mengidentifikasi aspek-aspek yang harus dicakup dalam
kurikulum PLB, meliputi ketrampilan bina diri, perkembangan motorik, kemampuan bahasa
dan wicara, ketrampilan fungsional akademik, pendidikan vokasional, dan ketrampilan
rekreasi.

A.Ketrampilan bina diri.

Ketrampilan bina diri sangat pokok bagi setiap anak untukdapat mencapai kemandirian dan
mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri. Ketrampilan bina diri meliputi makan, berpakaian,
bersih

diri, berhias, keselamatan diri, dan kesehatan. Ketrampilan-ketrampilan ini harus menjadi
bagian pokok kurikulum bagi anak luar biasa. Dengan kemajuan teknologi, terutama pada
modofikasi tingkah laku, ada harapan yang besar bahwa sebagian besar anak luar biasa akan
mampu menguasai ketrampilan-ketrampilan tersebut.

Pembinaan kemampuan bina diri akan sangat bermanfaat bagi anak luar biasa, karena akan
memungkinkan anak-anak cacat tinggal dengan keluarga dan masyarakat umum, tidak harus
menghuni panti-panti penampungan selamanya. Jika seorang anak dapat makan sendiri, ke
kamar kecil sendiri, menjaga kesehatan dan keselamatan sendiri, orangtua akan lebih merasa
tentram. Pembinaan ketrampilan bina diri juga perlu diajarkan kepada orangtua, karena
dengan demikian, intervensi dini bagi anak cacat sangat dimungkinkan. Sejak diketahui
anaknya menyandang kelainan, orangtua dapat sedini mungkin melatih bina diri pada
anaknya. Kecuali itu, hanya dengan kerjasama dan bantuan orangtua, pembinaan ketrampilan
bina diri akan berhasil, karena sebagian ketrampilan ini akan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari di rumah.

1.Perkembangan ketrampilan menggunakan kamar kecil (toileting)


0 - 12 bulan

12 - 18 bulan mengendalikan kemauan buang air besar terjadwal

18 - 22 bulan mengendalikan kemauan biang air kecil terjadwal

22 bulan mengatakan keinginan ke kamar kecil mulai ke kamar kecil sendiri

3 tahun ke kamar kecil sendiri tanpa bantuan

2.Perkembangan ketrampilan makan

0 - 4 bulan reflek menelan dan mengisap mengantisipasi makanan yang terlihat

4 - 8 bulan makan makanan padat

duduk sendiri menggigit jari memegang botol minuman

8 - 12 bulan minum dari cangkir dengan bantuan

mengunyah makanan

memegang dengan jari

12 - 18 bulan berhenti minum enganbotol

mengembalikan tempat makanan yang habis

18 - 22 bulan membuka bungkus premen

mulai makan sendiri,meskipun masih tumpah

minum dari cangkir tanpa bantuan

menggunakan sendok

22 - 24 bulan menggunakan garpu

24 - 36 bulan mengambil minum sendiri

menggunakan sedotan
3 - 9 tahun menggunakan serbit makan

menggunakan pisau makan

3.Perkembangan ketrampilan berpakaian

0 - 8 bulan diam jika diberi pakaian

8 - 12 bulan melepas kaus kaki

suka melepas topi

12 - 22 bulan melepas sepatu

membuka resluiting

22 - 24 bulan melepas baju

24 - 36 bulan memakai baju

memakai sepatu

meepas kancing baju

3 - 6 tahun mengenakan kancing baju

melepas atau memakai baju

melepas tali sepatu

mengenal depan dan belakang baju

6 - 9 tahun menalikan sepaktu, memilih baju sendiri

12 tahun mandiri

4.Perkembangan ketrampilan berhias dan menjaga kesehatan.

24 - 36 bulan mencuci dan mengeringkan tangan

3 - 6 tahun membasuh muka


menyikat gigi

mandi dengan bantuan

bersisi (hidung) sendiri

batuk dan bersin secara sopan

6 - 9 tahun mandi tanpa bantuan

menggunakan sampo

membersihkan dan menyisir rambut

9 - 12 tahun menggunakan alat-alat hias

B.Perkembangan motorik

Perkembangan motorik merupakan bagian dari proses pertumbuhan secara integral, dan
pembinaan pertumbuhan ini harus merupakan bagian dari kurikulum bagi penyandang cacat.
Ketrampilan dasar motorik merupakan prasyarat bagi berbagai ketrampilan lain, termasuk
bina diri, bermain, dan tugas-tugas akademik maupun kognitif. Anak luar biasa yang tidak
dapat memegang benda dengan benar tidak akan mampu memakai baju sendiri. Anak yang
mempunyai keterbatasan mobilitas tidak akan dapat terlibat dalam berbagai kegiatan
bermain.

Beberapa ketrampilan motorik kasar antara lain meliputi:

1.Berguling

2.Merangkak

3.Duduk

4.Berdiri : berlutut di kursi

setengah berlutut di kursi

melepaskan tangan dari kursi

berdiri dekat obyek lain


berdiri sendiri

5.Berjalan: berdiri tegak

berjalan dengan dua tangan berpegangan

berjalan dengan satu tangan berpegangan

melangkah sendiri

berjalan sendiri

6.Naik tangga

7.Melompat

8.Menyepak

Sedangkan ketrampilan gerak halus dapat dilatihkan kepada anak, misalnya dengan:

-menggerakkan tangan menjangkau satu benda

-menyentuh benda

-membuka tangan

-menutup tangan

-memegang benda, dsb.

Ketrampilan gerak motorik halus ini akan dipakai dalam berbagai ketrampilan lain, seperti
memegang sendok, menulis, memutar nomor telepon, membuka amplop atau bungkus,
menguncipintu, dsb.

C.Pembinaan bahasa dan wicara.

Banyak anak luar biasa yang mengalami masalah berkomunikasi. Masalah yag dialami oleh
setiap anak bervariasi dalam hal jenis masalah dan berapa lama masalah tersebut telah
dialami. Blue (dalam Wehman dan McLaughlin, 1983) mendefinisikan bahasa sebagai suatu
sistem simbol yang dikembangkan oleh manusia, berupa lambang-lambang, yaitu lambang
bendam kejadian, atau perasaan. Sedangkan wicara didefinisikan sebagai sarana otot dan
syaraf manusia untuk menyampaikan bahasa. Dan komunikasi didefinisikan sebagai dampak
akhir dari bahasa dan aspek ekspresif - motorik bahasa tersebut, dengan adanya unsur
penerima yang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan komparatif tentang bahasa
tersebut.

Untuk lebih memahami jenis kelainan yang dialami anak dalam penggunaan bahasa, ada
baiknya dilihat dimensi bahasa dan wicara sebagai berikut:

1.Bahasa: interaksi komunikatif, kesesuaian, kontinyuitas

kosakata

variasi morfologis kosakata

pengaturan kosakata menjadi kalimat

panjang ucapan

variasi ucapan untuk membedakan makna

2.Wicara: suara

artikulasi

kelancaran

Dengan mengenal dimensi bahasa dan wicara di atas, upaya membantu anak yang mengalami
masalah bahasa, wicara, atau komunikasi diharapkan lebih mengenai sasaran, yaitu dimensi
yang memang tidak dikuasai anak.

D.Bimbingan vokasional.

Dengan semakin besarnya angka pengangguran di seluruh dunia, latihan kerja dan program
rehabilitasi menjadi semakin penting. Demikian juga halnya, anak luar biasa memerlukan
bimbingan karier dan pendidikan ketrampilan. Tanpa pelatihan dan persiapan yang sistematis
untuk memasuki dunia kerja, kecil kemungkinan anak luar biasa dapat memperoleh
pekerjaan.

Wehman dan McLaughlin (1983) mengidentifikasi 6 bidang yang termasuk dalam pendidikan
vokasional, yaitu:
1.Bidang layanan makanan (menyiapkan bahan, menggunakan kompor, menyajikan, mencuci
alat-alat)

2.Ketrampilan perkantoran (melipat kertas, membuat amplop, mengetik, membersihkan alat-


alat kantor, menggunakan komputer dan alatkantor lain)

3.Bidang kebersihan (memotong rumput, mengepel lantai)

4.Bidang industri rumah tangga (menggunakan gunting, drei, pukul, paku, gergaji)

5.Ketrampilan holtikultura (teknik bercocok tanam, menggunakan alat pertanian,


memanfaatkan produksi pertanian).

6.Domestik (ketrampilan rumah tangga, memasang sprei, membetulkan tempat tidur,


mengatur meja makan, membersihkan kamar kecil).

E.Rekreasi.

Bagi anak luar biasa, program pendidikan yang memberi perhatian pada bidang rekreasi
sangat penting. Penguasaan ketrampilan rekreatif mungkin dapat memperbaiki ketrampilan
berkomunikasi, ketrampilan motorik, sosialisasi, dan kemampuan kognitif.

Kegiatan rekreatif sering dikelompokkan menjadi empat bidang, yaitu manipulasi obyek
(bermacam-macam mainan yang dapat dipakai sendiri), games (permainan lebih dari satu
orang, misal-nya dengan kartu, catur, musik), hobi (mengumpulkan perangko, kaset), dan
olahraga.

F.Ketrampilan akademik fungsional

Ketrampilan akademik dasar meliputi membaca, menulis, dan berhitung. Bagi anak luar
biasa, ketrampilan akademik dasar harus dirancang fungsional, artinya langsung dikaitkan
dengan kegiatan sehari-hari.

Pengajaran membaca, misalnya, dikaitkan dengan materi sehari-hari seperti membaca menu
makanan, membaca tanda lalu lintas, resep obat, petunjuk penggunaan obat dsb. Pengajaran
menulis dikaitkan dengan pengisian berbagai formulir, menulis lamaran, membuat
catatan. Sedangkan pengajaran matematika berisi materi menghitung uang, berbelanja.

psikologi keluarga
Komentar

Postingan populer dari blog ini


- Juni 26, 2009
Pengertian Empati
1. Keadaan afeksi seseorang yang seolah-olah mengalami sendiri keadaan
emosi yang dialami orang lain berarti melibatkan kemampuan afektif seseorang.
2. Mampu memahami perasaan dan masalah orang lain dan berpikir dengan
sudut pandang orang lain.
3. Kemampuan untuk ikut merasakan persepsi orang lain, yaitu memandang dan
merasakan sesuatu seperti cara orang lain memandang dan merasakan.
4. Merupakan respon emosional
5. Melibatkan keterampilan kognitif, seperti kemampuan mengerti keadaan
emosional orang lain.

KESIMPULAN:
EMPATI ADALAH KEMAMPUAN AFEKTIF SESEORANG SEHINGGA BISA
MEMAHAMI PERASAAN DAN MASALAH ORANG LAIN, DAN MERASAKAN
PERSEPSI ORANG LAIN SERTA MELIBATKAN KETERAMPILAN KOGNITIF
UNTUK MEMAHAMI KEADAAN EMOSI ORANG LAIN.
Komponen Empati :
1. Kemampuan afektif seseorang utntuk ikut memahami perasaan orang lain.
2. Ketrampilan kognitif untuk mengenal dan memahami pikiran dan pandangan
orang lain.

Aspek-Aspek Empati
Dari komponen kognitif diturunkan asp…
BACA SELENGKAPNYA
psikologi keluarga
- Juni 26, 2009
BAB I
PENDAHULUAN

Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta, kula dan warga yang bersatu menjadi
"kulawarga" yang berarti "anggota" atau "kelompok kerabat". Keluarga sebagai
kesatuan sosial terbentuk oleh ikatan dua orang dewasa yang berlainan jenis
kelamin, wanita dan pria serta anak-anak yang mereka lahirkan. Keluarga adalah
satu-satunya situasi yang pertama dikenal anak baik semasa prenatal maupun
post-natal. Keluarga inti (nuclear family) terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak
mereka. Menurut Rog & Baber fungsi keluarga meliputi; fungsi biologis, fungsi
ekonomis, fungsi pendidikan, fungsi agama, fungsi sosial, fungsi rekreasi, dan
memberi rasa aman. Kasih sayang yang diterima dari orangtua memberikan rasa
aman pada anak yang menimbulkan sukses dari hidup dalam keluarga.
Sebaliknya, karena kasih sayang itu timbul rasa tanggung jawab dan perasaan
berkorban (berbakti) pada orangtua.
Pada kata “rumah tangga” yang berasal dari dua kata ‘Rumah dan Tangga’
ini …
BACA SELENGKAPNYA

Diberdayakan oleh Blogger


Gambar tema oleh Galeries
NOVITA DWI JAYANTI
Semarang, jawa tengah, Indonesia
Saya hidup penuh keberkahan Menimba ilmu jiwa di Psikologi Undip tercinta
Mendapat ilmu dan membawa diri menuju perbaikan Hidup penuh SMANGAT DAN
KEBERKAHAN ADALAH MOTTO hidup yang ingin saya genggam dengan berani
dan indah disertai kelembutan dan kehangatan akan ketulusan jiwa yang sedang saya
usahakan murni untuk dikembalikan pada yang Maha Memiliki...
KUNJUNGI PROFIL

Arsip
Label
Laporkan Penyalahgunaan

Anda mungkin juga menyukai