Anda di halaman 1dari 5

Sumargo Pangestu

2012 11 0123

Kajian Budaya

Budaya yang Memanipulasi: Kritik Adorno atas Budaya Massa

Theodor W. Adorno (1903-1969) membahas budaya melalui kombinasi teori Marxis,


pandangan dialektika Hegelian, dan psikoanalisa. Ia mengikuti Lukacs yang berpendapat bahwa
teori Marx tidak mencukupi pada masa kapitalisme lanjut karena Marx tidak berbicara mengenai
birokrasi. Hal tersebut dibahas oleh Max Weber. Lukacs menggabungkan Marx dan Weber
dalam teorinya mengenai reifikasi (History and Class Conciousness). Dalam masyarakat yang
terreifikasi anggota masyarakat diperlakukan layaknya objek, bukan sebagai manusia yang
menjadi subjek atas tindakannya. Reifikasi berakar pada prinsip pertukaran komoditas. Proses
pertukaran komoditas dilakukan dengan membandingkan barang-barang serta proses-proses
kerja yang secara kualitatif berbeda dengan mereduksinya kedalam ukuran kuantitatif (nilai
uang). Dalam teori Marx nilai tukar ini adalah satu-satunya sarana dimana nilai suatu komoditas
berasal. Bagi Lukacs quantifikasi dari sesuatu yang secara qualitas unik terjadi bukan hanya
dalam pertukaran komoditas, tetapi ke dalam semua bentuk interaksi sosial, termasuk juga
organisasi birokratis seperti tempat kerja dan Negara (Edgar & Sedwick, 2001 ).

Adorno juga berbicara mengenai reifikasi. Teori reifikasi Adorno berasal dari teori
fetisisme komoditas Marx dan teori nilai khususnya pembedaan antara nilai tukar dan nilai guna.
Masyarakat yang terreifikasi berarti dominasi proses pertukaran telah meningkat sampai pada
kontrol terhadap institusi, tingkah laku manusia, dan susunan kelas sedemikian rupa sehingga
meniadakan bentuk-bentuk kesadaran kritis dan otonom.

Reifikasi ini merupakan akibat dari adanya budaya industri. Bagi Adorno budaya industri
adalah bentuk penipuan massa yang menstandarisasi reaksi yang justru mengafirmasi stasus quo.
Dengan budaya industri, teknologi digunakan untuk memproduksi barang-barang yang
menciptakan standard dengan alasan pertama-tama demi alasan kebutuhan konsumen. Budaya
industri ini menghasilkan sirkulasi manipulasi dengan kesatuan sistem yang semakin menguat (
Adorno& Horkheimer, 1972).

Budaya menjadi industri yang taat pada peraturan yang sama dengan produksi komoditas.
Produksi budaya menjadi komponen yang terintegrasi dengan ekonomi kapitalis secara
keseluruhan. Kebudayaan tidak lagi menjadi tindakan reflektif masa kini demi keberlangsungan
di masa depan (Bernstein, 2001). Dengan kata lain budaya komoditas atau budaya industri yang
menghasilkan budaya massa menstrukturkan kejiwaan manusia menjadi bersifat kompromis.
Manusia menjadi pasif. Dengan diciptakan kesenangan yang mudah diraih melalui konsumsi
budaya popular, orang menjadi nyaman dan senang tidak peduli betapapun keadaan ekonomi
mereka sedang sulit. Dengan demikian prinsip quantifikasi dan pertukaran dalam budaya
komoditas memasuki ranah pikiran manusia. Dalam hal ini Adorno lebih radikal daripada
Lukacs.

Lukacs masih percaya akan adanya potensi revolusioner dari kelas proletar. Dari kelas
proletar Lukacs menemukan titik pijak objektif untuk mengkritisi kapitalisme. Tidak demikian
dengan Adorno. Adorno tidak punya keyakinan seperti Lukacs. Baginya pembedaan kelas model
tradisional tidak lagi relevan. Masa kapitalisme lanjut ditandai dengan terintegrasinya semua
orang ke dalam ‘the totally administered capitalist society’ melalui pertukaran komoditas,
birokrasi, dan budaya industri. Mass media seperti film, radio, dan majalah menjadi faktor utama
dari sistem yang menyeragamkan sehingga mendorong terintegrasinya budaya yang
menyeragamkan.

Dalam budaya industri, periklanan dan industri media massa yang mempengaruhi
keputusan konsumen akan kegunaan (nilai guna) suatu barang. Ini berbeda dengan kapitalisme
awal di mana orang membeli suatu barang karena ia menemukan ada kegunaan dalam barang
tersebut. Artinya subjektivitas konsumen masih mungkin saat ia memutuskan nilai kegunaan
suatu barang. Pada kapitalisme lanjut pilihan konsumen dibentuk oleh produsen. Dengan
demikian komoditas diadakan bukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen tetapi
hanya untuk dipertukarkan dengan tujuan memberi surplus atau keuntungan bagi produsen.
Menurut Adorno keadaan itu terjadi secara menyeluruh dalam masyarakat. Maka situasi yang
ada hanya mempertahankan kelangsungan kapitalisme. Dikarenakan semuanya telah terintegrasi
ke dalam masyarakat yang teradministrasi dalam sistem kapitalisme termasuk pula kesadaran
masyarakat maka menjadi tidak mungkin hadirnya kesadaran kritis. Bahkan, menurut Adorno,
filsafat dan ilmu pengetahuan yang ada hanya akan mempertahankan sistem yang ada.

Oleh karena itu Adorno mencurigai kemungkinan berpikir yang sistematis, koheren, dan
kritis terhadap kapitalime selama logikanya masih berada dibawah logika kapitalisme. Adorno
ingin mencari sebuah pendekatan bagi analisis sosial yang mampu memisahkan diri dari logika
kapitalisme sehingga memungkinkan menemukan sebuah pandangan baru mengenai masyarakat.

Pendekatan yang digunakan adorno menggunakan bahasa yang kompleks, menolak untuk
mendefinisikan konsep, dan memasukkan argumen ke dalam kontradiksi yangt tak dapat
dipecahkan. Baginya adanya kontradiksi menunjukkan ketudakcukupan pikiran yang sudah
tereifikasi sehingga pikiran gagal menangkap realitas sosial. Adorno menggunakan pendekatan
dialektika negatif atau juga disebut prinsip non-identitas. Dengan dialektika negatif ia mencoba
untuk menemukan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam realitas masyarakat. Ini berbeda
dengan Lukacs yang mendasarkan teorinya pada titik pijak objektif yaitu kesadaran kelas yang
darinya filsafat dan usaha kritis dapat dikembangkan. Berbeda dengan pandangan para positivis
yang beranggapan bahwa para analis harus mencapai kondisi netral dari objek yang diteliti untuk
mencapai hasil yang objektif, Adorno berpendapat bahwa para analis dan kaum intelektual tidak
bersifat otonom dari realitas yang mereka telaah. Struktur pemikiran mereka ditentukan oleh
realitas yang ada yaitu kapitalisme. Dengan demikian para pemikir harus bisa mencari suatu
metode yang melibatkan imajinasi atau fantasi yang tepat dengan sensitivitas terhadap objek
analisis, sehingga dapat memisahkan diri dari sistemasi kerangka berpikir yang dominan.

Adorno menemukan kekuatan resistansi terhadap kapitalisme justru berada di dalam seni
khususnya seni modernis avant-garde. Bagi Adorno seni di satu sisi adalah fakta sosial tetapi di
sisi lain ia juga bersifat otonom dari masyarakat. Atau dengan kata lain di satu sisi seni
dipengaruhi oleh masyarakat tetapi di sisi lain ia bersifat independen. Dalan hal ini Adorno
dipengaruhi oleh Kant. Menurut Kant, keindahan adalah purposiveness without purpose. Kerja
seni itu bertujuan dalam arti untuk membuat artefak-artefak bagi manusia. Tetapi di sisi lain ia
tidak bertujuan dalam arti tidak sesuai dengan tujuan dominan sistem kapitalis.
Bagi Adorno, telaah melalui sosiologi seni bertujuan untuk menunjukkan bahwa seni
adalah produk dari zamannya. Teknologi yang digunakan dalam kerja seni sama dengan yang
digunakan dalam dunia industri. Pikiran seniman dalam proses pembuatan karya seni akan
menggambarkan pikiran yang dominan pada masanya. Hasil dari kerja seni juga akan
didistribusikan dan dikonsumsi sama seperti barang komoditas lainnya. Adorno menekankan
sifat autonomi sosiologi seni dengan pembahasan yang murni estetik maka isi dari seni dapat
menggambarkan lapisan-lapisan sosial. Dengan menekankan sisi estetiknya, kerja seni akan
masuk pada perhatian pada kehidupan keduniawian masyarakat. Pembacaan akan karya seni
akan bercerita lebih banyak tentang masyarakat dibanding sosiologi empiris. Tepatnya karena
karya seni lebih memperlihatkan kontradiksi dan tekanan yang ada dalam masyarakat, bukan
hanya pemampakan masyarakat yang telah terreifikasi.

Dengan demikian perhatian Adorno atas kritik seni bukan hanya untuk menganggapi
problem estetika tetapi juga terhadap masalah-masalah sosial. Kritik seni bagi Adorno
merupakan pengganti sosiologi empiris yang menemukan jalan buntu dalam memecahkan
masalah. Kritik seni mengandung dua sisi sekaligus karena ia dipengaruhi sekaligus independen
dari masyarakat. Seperti yang telah dikatakan produk seni adalah produk zamannya. Karya seni
menggambarkan situasi sosial di mana karya tersebut dihasilkan. Maka dari itu seni dapat
menjadi kritik imanen bagi masyarakat. Di sisi lain seni dapat bersifat otonom dari masyarakat
dan lepas dari logika kapitalisme sehingga ia dapat menampakkan permasalahan yang terjadi
dalam masyarakat yang tidak bisa diperlihatkan oleh sosiologi empiris.

Kritik Adorno masih sangat relevan dengan keadaan sekarang dengan semakin
menguatnya dominasi budaya industri. Sebagai contoh tersedianya hiburan murah meriah
melalui televisi. Tayangan tersebut mampu mengatur emosi penonton sehingga menghasilkan
keseragaman kesadaran penonton. Waktu dan apa yang membuat tertawa dan menangis menjadi
sama bagi semua orang saat melihat televisi. Maka budaya massa hanya menghasilkan sikap
pasif dan hilangnya sifat kritis dalam masyarakat. Namun, di sisi lain teori yang ditawarkan
Adorno tidak mampu dijadikan pedoman praktis untuk melawan arus deras budaya massa bagi
sebagian besar masyarakat.
Fetisisme Komoditas dan Teori Industri Budaya

Fetisisme komoditas ialah suatu upaya yang dilakukan industri sedemikian rupa hingga
menciptakan pemujaan yang salah terhadap suatu produk industri budaya kepada masyarakat.
Masyarakat bukan lagi memuja suatu produk industri budaya yang secara nyata ada, tetapi
pemujaan tersebut lebih cenderung dialamatkan kepada simbol dan merek dari produk tersebut.
Mereka merasakan kenikmatan semu melalui merek dan simbol-simbol dari produk industri
budaya dan menganggap hal tersebut kenikmatan yang mereka dapatkan sejatinya dari produk
yang memiliki nilai tersendiri. Contohnya ialah ketika seseorang membeli tiket konser, maka
yang dipuja-puja bukanlah konser tersebut tetapi simbol dan brand dari konser tersebut yakni
tiket konser yang berlabel serta dibeli dengan harga yang tidak murah. Fetisisme komoditas ingin
berbicara mengenai kenikmatan semu yang dirasakan masyarakat dalam mengonsumsi produk
industri budaya dan mengenai kesalahan penempatan pemujaan terhadap produk tersebut.

Sedangkan teori industri budaya ingin menyatakan bahwa industri budaya membentuk selera dan
kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu.
Maka dari itu industri budaya berusaha mengaburkan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat.
Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan hal tersebut hingga orang tidak menyadari apa
yang tengah terjadi (Strinati, 2007: 69). Melalui industri budaya dan fetisisme komoditas inilah
teori musik pop muncul dan membuat musik menjadi unit analisis Adorno demi
membuktikannya.

Anda mungkin juga menyukai