Anda di halaman 1dari 18

BAB I

Konsep Medis

A. Pengertian.

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan


kondisi klinis tertentu yang berkaitan dengan infeksi human imunodevisiency
virus (HIV). Selama bertahun-tahun HIV diartikan sebagai HTLV-III ( human
T-cell Lymphotropic virus tipe III) dan virus yang berkaitan dengan
limfadenopati (LAV; lymphadenopathy associated virus) (Smeltzer & Bare,
2013).

AIDS juga didefinisikan sebagai bentuk paling berat dari rangkaian penyakit
yang disebabkan oleh infeksi virus HIV. HIV yang disebabkan oleh sekelompok
virus yang disebut dengan retrovirus (Smeltzer S. , 2013).

B. Etiologi

HIV yang dulu disebut juga dengan virus limfotrofik sel T manusia tipe
III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV) adalah suatu retrovirus manusia
sitopatik dari family lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya
(RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk kedalam sel
pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi
penyebab utama AIDS diseluruh dunia (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011).

Retrovirus HIV-1 juga merupakan agens etiologi primer. Penularan


terjadi melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh dan berkaitan dengan
perilaku risiko tinggi yan bias dikenali. Keadaan ini secara kurang proporsional
tergambar pada:

 Laki-laki yang homoseksual dan biseksual


 Para pemakai obat IV
 Neonates dari ibu yang terinfeksi
 Resipien darah atau produk darah yang terkontaminasi (menurun secara
dramatis sejak pertengahan tahun 1985)
 Pasangan heteroseksual pada individu yang masuk dalam kelompok
sebelumnya.
C. Patofisiologi

HIV tergolong kedalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus


yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam
asam ribonukleat (RNA) dan bukan asam deoksiribonukleat (DNA) (Smeltzer &
Bare, 2013). Seseorang yang terinfeksi virus retrovirus HIV hanya dapat
diketahui melalui pemeriksaan laboratorium. Virus HIV dapata masuk kedalam
tubuh melali salah satu dari beberapa jalur yang melibatkan transmisi darah atau
cairan darah seperti (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011):

 Inokulasi langsung pada saat berhubungan intim, khususnya jika


berhubungan intim berupa anal sex yang menimbulkan trauma pada mukosa
rectum.
 Transfuse darah atau produk darah yang terkontaminasi (risiko ini dapat
dikurangi dengan pemeriksaan rutin terhadap semua produk darah).
 Penggunaan bersama jurum suntik yang tercemar.
 Penularan transplasenta atau pascapartum dari ibu yang terinfeksi kepada
janin (melalui kontak serviks atau darah pada saat kelahiran dan dalam air
susu ibu).

HIV menyerang sel T helper yang membawa antigen CD4+, dimana sel-sel
CD4+ mencakup monosit, magrofag dan limfosit T4 helper. Limfosit t4 helper ini
merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel diatas. Sesudah terikat
dengan membrane sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang
RNA yang identic kedalam sel T4 helper. Dengan menggunakan enzim yang
dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemprograman ulang
materi genetic dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA
(DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan kedalam nucleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian menjadi infeksi yang permanen.

Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktifasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,
sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti
sitomegalovirus (CMV; cytomegalovirus), virus Epstein-Barr, herper simpleks
dan hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan,
replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan.
HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas kedalam plasma darah dan
menginfeksi CD+ lainnya.

Infeksi monosit dan magrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan


tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi
reservoir HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari system imun dan
terangkut keseruluh tubuh melalui system ini untuk menginfeksi berbagai
jaringan tubuh. Sebagian besar jaringan ini dapat mengandung molekul CD4+
atau memiliki kemampuan untuk memproduksinya. Sejumlah penelitian
memperlihatkan bahwa sesuda infeksi inisial, kurang-lebih 25% dari sel-sel
kelenjar limfe akan terinfeksi oleh HIV pula. Replikasi virus terus akan
berlangsung sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat primernya adalah jaringan
limfoid. Ketika system imun terstimulasi, replikasi virus akan terjadi dan virus
tersebut menyebar kedalam plasma darah yang mengakibatkan infeksi berikutnya
pada sel-sel CD4+ yang lain. Penelitian yang lebih mukhtair menunjukkan bahwa
system imun pada infeksi HIV lebih aktif daripada yang diperkirakan sebelumnya
sebagaimana yang dibuktikan oleh produksi sebanyak 2 milyar limfosit CD4+ per
hari. Keseluruhan populasi sel-sel CD4+ perifer akan mengalami “pergantian
(turnover)” setiap 15 hari sekali.

Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan


yorang yang terinfeksi. Jika orang tersebut tidak sedang menderita penyakit
infeksi lain maka reproduksi HIV akan berjalan lambat. Namun, reproduksi virus
HIV akan dipercepat jika penderitanya sedang mengalami infeksi lain atau jika
system imunnya terstimulus. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang
diperlihatkan oleh sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagai contoh,
seorang penderita HIV mungkin bebas dari gejala selama berpuluh tahun; kendati
demikian, sebagian besar orang yang terinfeksi HIV (sampai 65%) tetap
menderita penyakit HIV/AIDS yang simtomatik dalam waktu 10 tahun sesudah
orang tersebut terinfeksi.

Dalam respon imun, limfosit t memainkan beberapa peran penting yaitu :


mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit b yang memproduksi
antibody, menstimulasi limfosit T sitotoksik, memproduksi limfokin dan
menpertahankan tubuh terhadap infeksi parasite. Jika limfosit t$ terganggu,
mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius. Infeksi dan
malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan system imun dinamakan
infeksi oportunistik (Smeltzer & Bare, 2013).

Salah satu infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada pasien dengan
HIV/AIDS adalah kandidiasis oral. Dimana kandidiasis oral dapat terjadi karena
menurunnya system imun yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan
keseimbangan flora di dalam mulut (candida albicans) sehingga terjadi
pertumbuhn jamur candida albican yang menyerang system imun akibatnya
terjadi proses infeksi dan yang akan menyebabkan kandidiasis oral. Selain itu,
faktor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya kandidiasis oral pada
penderita HIV/AIDS adalah jumlah sel CD4 yang menurun (Walangere, Hidayat,
& Basuki, 2014).

Penularan dan pencegahan penularan


Jalur penularan infeksi HIV hampir sama dengan infeksi hepatitis B. pada
homoseksual pria, anal intercourse atau anal manipulation akan meningkatkan
kemampuan trauma pada mukosa rectum dan selanjutnya membesar peluang
untuk terinfeksi HIV lewat secret tubuh. Peningkatan frekuensi praktik dan
hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan juga dapat menyebabkan
penularan virus HIV ini. Hubungan heteroseksual dengan orang yang menderita
infeksi HIV juga dapat menyebabkan penularan penyakit ini.
Penularan melalui pemakaian obat ius intravena terjadi melalui kontak
langsung darah dengan jarum dan semprit yang terkontaminasi. Meskipun jumlah
darah dalam semprit relative kecil efek kumulatif pemakaian jarum suntik secara
bergantian juga dapat meningkatkan risiko terinfeksi virus HIV. Selain itu, darah
dan produk darah yang mencakup transfuse yang diberikan pada penderita
hemophilia, dapat menularkan HIV pada resipen. Namun demikian, risiko yang
berkaitan dengan transfuse kini sudah banyak berkurang sebagai hasil dari
pemeriksaan serologi yang secara sukarela diminta sendir, pemprosesan kosentrat
faktor pembekuan dengan pemanasan dan cara-cara inaktifasi virus yang semakin
efektif. Insiden penyakit AIDS pada petugas kesehatan yang terpajan lewat
cedera tusuk jarum suntik diperkirakan kurang dari 1%.
Sebelum ditemukan vaksin yang efektif, pencegahan penularan HIV dengan
cara menghilangkan atau mengurangi perilaku berisiko merupakan tindakan yang
sangat penting. Upaya pencegahan primer melalui program pendidikan yang
efektif amat penting untuk mengendalikaan dan pencegahan. Penyakit AIDS
tidak ditularkan lewat kontak secara kebetulan.
Precautions (tindakan penjagaan universal untuk darah dan cairan tubuh).
System ini menawarkan strategi pengisolasian yang lebih luas untuk mengurangi
risiko penularan penyakit kepada pasien serta petugas kesehatan dan membantu
petugas kesehatan untuk tidak perlu mengenali jenis cairan tubuh (Smeltzer &
Bare, 2013).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis AIDS adalah konsekkuensi langsing dari defisiensi
imunologis yang progresif dan parah yang diinduksi oleh HIV. Pada penderita
HIV rentan terjangkit beragam infeksi oportunistik atau apitikal oleh pathogen
virus, bakteri, protozoa, dan jamur. Gejala nonspesifik umum mencakup demam,
keringan malam dan penurunan berat badan. Penurunan berat dapat disebabkan
oleh mual, muntah, anoreksia atau diare. Gejela-gejala ini sering menandakan
prognosis yang buruk.
Insiden infeksi meningkat seiring dengan penurunan jumlah limfosit T CD4.
Infeksi paru oleh Pneumocystis jiroveci adalah infeksi opotunistik tersering
mengenai 75% pasien. Pasien dengan demam, batuk, sesak napas dan hipoksemia
dengan keparahan yang berkisar dari ringan sampai mengancam nyawa.
Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan dari gejala klinis dan radiografik yang
dipertegas oleh pemulasan sampel sputum. Akibat disfungsi imun kronik, orang
yang terinfeksi HIV juga berisiko terkena infeksi paru lain, termasuk infeksi
bakteri oleh S. pneumonia dan H.influenza infeksi mikrobakteri M tuberkolosis
atau Mavium-intracellulare (MAC); dan infeksi jamur C neoformans, H.
capsulatun, atau C. immitis.
Terjadinya tuberkolosis aktif secara bermakna dipercepat oleh infeksi HIV
akibat penurunan imunitas. Selain itu pada penderita HIV ditemukan kandidiasis
oral (thrush) dan hairy leukoplakia pada pemeriksaan fisik berkolerasi erat pada
infeksi HIV dan menandakan perkembangan cepat menuju AIDS. Pertumbuhan
berlebihan kandidiasis di mulut adalah penyebab kandidiasis oral persisten.
Lesi kulit yang sering terkait dengan infeksi HIV biasanya diklasifikasikan
sebagai infeksi (virus, bakteri, jamur), neoplastic atau non spesifik virus herpes
simpleks (HSV) dan virus herpes zoster (HZV) dapat menyebabkan lesi progresif
atau persisten kronik pada pasien dengan gangguan imunitas selular.HSV sering
menimbulkan lesi pada oral dan perineum tetapi dapat menjadi penentu AIDS
jika mengenai paru atau esophagus. Risiko infeksi HSV atau HZV diseminata
serta adanya molluskum contagiosum tampaknya berkolerasi dengan derajat
contagiosum. Dermatitis yang disebabkan oleh jamur juga dapat ditemukan pada
pasien HIV.
Selain itu juga terdapat menifestasi gastrointestinal pada penyakit AIDS yaitu
mencakup kehilangan selera makan, mual, vomitus, kandidiasis oral serta
esophagus dan diare kronis. Diare persisten, terutama jika disertai demam tinggi
dan nyeri abdmen dapat menandakan enterokolitis infeksius. Gastropati dan
malabsorsi yang terkaid HIV sering ditemukan pada pasien karena kurangnya
kosentrasi asamlambung pasien berisiko terinfeksi oleh Campylobactery,
Salmonella dan Shigella.
Kandidiasis oral adalah suatu infeksi jamur yang ditemukan pada semua
penderita AIDS serta keadaan yang berhubukan dengan AIDS. Infeksi ini
umumnya mendahului infeksi serius lainnya. Kandidiasis oral ditandai dengan
ditemukannya bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Kandidiasis oral
yang tidak segera ditindaki akan menyebar ke esophagus dan lambung. Tanda
dan gejala yang menyertai adalah mencakup keluhan kesulitan menelan, serta
nyeri dan rasa sakit dibalik sternum (nyeri retrosternal). Sebagian pasien yang
menderita kandidiasis oral juga rentan terhadap penyebaran kandidiasis di seluruh
tubuh (Smeltzer & Bare, 2013).
Stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO (Tanto, Liwang, Hanifati, &
Pradipta, 2014).
1. Stadium 1 (asimtomatis)
 Asimtomatis
 Limfadenopati generalisata
2. Stadium 2 (ringan)
 Penerunan berat badan ˂10%
 Manifestasi mukokutanes minor. Dermatitis seborolk, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral rekurens, kelitis angularis, erupsi popular
pruritic.
 Infeksi herpes zoster dalam 5 tahun terakhir.
 Infeksi saluran napas atas berulang sinusitis, tonsillitis, faringitis,
otitis media.
3. Stadium 3 (lanjut, advanced)
 Penurunan berat badan ˃10 % tanpa sebab jelas
 Diare tanpa sebab jelas ˃ 1 bulan
 Demam berkepanjangan (suhu ˃ 36,7°C. Intermiten/Konstan ) ˃ 1
bulan.
 Kandidiasis oral haily leukoplakia
 Tuberculosis paru
 Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis emplema. Infeksi
tulang/sendi menginitis, bakterimia.
 Stomatitis/gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotik akut
 Anemia (Hb ˂ 8g/dL) tanpa sebab jelas neutropenia (˂ 0,5x109L)
tanpa sebab jelas, atau trombositopenia kronis (˂ 50x109L) tanpa
sebab jelas.
4. Stadium 4 (Berat, servere)
 HIV wasting syndrome
 Pneunomonia akibat pneumocystis carinil
 Pneumonia bacterial berat rekumen
 Toksoplasmosis serebral
 Kriptosporodiosis dengan diare ˃ 1 bulan
 Sitomegalovirus (cytomegalovirus, CMV) pada orang selain hati,
limpa atau kelenjar getah bening.
 Infeksi herpes simpleks mukokutan (˃ 1 bulan) atau visceral.
 Leukoenselofati multifocal progresif
 Mikosis endemic diseminata
 Kandidiasis esophagus, trakea, atau bronkus
 Mikobakterius atipik. Diseminata atau paru
 Septikimia salmonella non-tifoid yang bersifat rekuran
 Tuberkolosis ektrapulmonal
 Limfoma atau tumor pada terkaid HIV
 Sarkoma Kaposi
 Ensefalopati HIV
 Kripto kokosis ektrapulmoner termasuk meningitis
 Isiporiasis kronik
 Karsinoma serviks invatif
 Leismaniasis atipik diseminata
 Nefropati terkaid HIV simtomatis atau kardiomiopati terkaid HIV
simtomatis
E. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibody terhadap
HIV (Price & Wilson, 2005).
1. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya
antibody dalam serum yang memperlihatkan warna yang lebih jelas
apabila terdeteksi antibody virus dalam jumlah besar. Karena hasil positif-
palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar maka hasil uji
ELISA positif diulang dan apabila keduanya positif, maka dilakukan uji
yang lebih spesifik Western blot.
2. Western blot pemeriksaan ini dapat dilakukan secara berulang ketiga hasil
uji pertama didapatkan positif.

F. Komplikasi

Menurut Price & Wilson (2005) Komplikasi AIDS meliputi infeksi


oportunistik yang berulang. Infeksi oportunistik adalah sebagai berikut:

 Pneumonia pneumocystis carinii


 Kriptosporidiosis
 Toksoplasmosis
 Histoplasmosis
 Kandidiasis
 Kriptokokosis
 Herpes simplek 1 dan 2
 Renitis sitomegalo virus
 Tuberkolosis
 Mikobakteriosis

Salah satu infeksi oportunistik yang banyak di derita pada psien HIV/AIDS
adalah kandidiasis oral. Kandidiasis oral merupakan kelainan pada mukosa mulut
yang disebabkan jamur candida albicans. Infeksi kandidiasis oral memeliki
beberapa gambaran klinis yang sering dijumpai seperti : kandidiasis
pseudomembran, kandidiasis eritematus, kandidiasis hiperplastik, angular
cheilitis, kandidiatis atrofik kronis, glosisitis rhomboid medial dan Black hairy
tongue (Walangere, Hidayat, & Basuki, 2014).
 Etiologi kandididiasis oral
Penyebab utama kandidiasis oral adalah candida albicans. Candida dapat
dengan mudah membentuk koloni ragi yang bersifak khas yakni menonjol
dari permukaan koloni harus, licin dan berwarna putih kekuning kuningan.
Jamur candida dapat hidup didalam tubuh manusia sebagai parasite dan
saprofit salah satunya didalam system pencernaan. Salah satu faktor yang
dapat menyebabkan perkembangan bakteri candida didalam oral adalah
menurunnya system imun yang dapat menyebabkan candida albican didalam
mulut mengalami gangguan keseimbangan akibatnya pertumbuhan jamur
tidak terkontrol (Siregar, 2004).
 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala kandidiasis oral adalah terjadi pada mukosa mulut, tampak
bercak putih kekuningan.
 Klasifikasi kandidiasis oral

Klasifikasi Kandidiasis oral adalah sebagai berikut (Lestari, 2013).

 Acute pseudomembranous candidiasis/kandidiasis pseudomembran


Biasa juga disebut dengan oral thrush. Pada keadaan ini gejala klinis
yang sering ditemukan adalah terdapat plak/ pseudomembran, putih seperti
sari susu yang pada mukosa bukal lidah dan permukaan oral lainnya.
Pseudomembran tersebut terdidi atas kumpulan hifadan sel yeast, sel radang,
bakteri, sel epitel, debris makanan, dan jaringan nekrolitik. Jika plas diangkat
tampak dasar mukosa eritematosa atau berdarah dan akan terasa nyeri.
 Acute atrophic candidiasis/ kandidiasis atropik
Ini merupakan dampak lanjut dari kandidiasis pseudomembran akibat
menumpuknya membrane pseudomembran. Daerah yang terkena tampak
khas sebagai lesi eritomatosa. Simetris, tepi terbatas tidak teratur pada
permukaan dorsal tengah lidah.
 Chronic hyperplastic candidiasis/kandidiasis hiperplastik
Disebut juga candida leukoplakia, gejala dari kandidiasis ini
bervariasi dari bercak putih yang hampir tidak teraba sampai plak kasar yang
melekat pada lidah, pallatum atau mukosa bukal. Umumnya keluhan umum
yang dirasakan pasien adalah rasa kasar atau perih didaerah yang terkena.
 Candida chelosis
Candida chelosis biasanya ditandai dengan eritema, fisura, maserasi
dan perih pada bagian oral hal ini biasa terjadi pada pada orang yang
mempunyai kebiasaan memijat bibir atau pada pemasangan gigi palsu yang
jelek dan okulasi yang salah.
 Oropharingeal candidiasis
Merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan pada penderita
HIV/AIDS yang gejalanya sangat bervariasiseperti lesi oral asimtomatik, rasa
nyeri pada oral, rasa terbakar dilidah terkait disfagia,. Tanda-tanda klinis
meliputi eritema difus dan bercak putih yang muncul sebagai lesi yang
berlainan pada permukaan mukosa bukal, tenggorokan, lidah dan gusi.
Oropharingeal candidiasis yang tidak segera ditindaki akan menyebar ke
faring yang menyebabkan asupan gizi menurun.
 Komplikasi kandidiasis
Komplikasi kandidiasis yang dapat terjadi adalah sebagai berikut (Siregar,
2004).
 Rekurens atau infeksi berulang pada kulit
 Infeksi pada kuku yang dapat menyebabkan perubahan bentuk kuku
 Kandidiasis akan tersebar keseluruh tubuh yang kekebalan tubuhnya
kurang.
 Candida albicans yang bermetastase dapat menjalar ke esophagus, usus
halus, usus besar dan anus. Infeksis sistemik lainnya berupa abses hati dan
otak.
 Pemeriksaan penunjang kandidiasis oral
 Laboratorium : ditemukan adanya jamur candida albicans pada swab
mukosa
 Pemeriksaan endoskopi : hanya diindikasikan jika tidak terdapat perbaikan
dengan pemberian flukonasol
 Dilakukan pengolesan lesi dengan laudin biru 1% topical dengan swab atau
kumur
 Diagnose pasti dengan biobsy
 Penatalaksanaan kandidiasis oral
Adapun penatalaksanaan kandidiasis oral adalah pemberian obat kumur
dalam bentuk permen hisap dan clotrimazola toches 10 mg/tablet atau nistatin
(Siregar, 2004).
G. Peatalaksanaan

Upaya penanganan medis meliputi beberapa cara pendekatan yang


mencakup penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta malignansi,
penghantian replikasi virus HIV lewat preparat antivirus, dan penguatan serta
pemulihan system imun melalui penggunaan preparat immunomodulato.
Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting karena efek infeksi HIV
dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien efek tersebut
mencakup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan, imobilisasi dan perubahan
status mental (Smeltzer & Bare, 2013).

Terapi yang dapat menyembuhkan AIDS sampai saat ini masih belum
ditemukan. Terapi primer meliputi penggunaan berbagai kombinasi tiga tipe obat
antivirus yang berbeda untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dalam
menghambat replikasi virus HIV dengan mengurangi reaksi yang merugikan.
Rekomendasi terakhir dengan menggunakan dua preparat nukleusida dan satu
inhibitor protease dan satu preparat nonnukleosida untuk membantu menghambat
produksi strain muntah yang resisten (Price & Wilson, 2005). Obat obat ini
adalah:

 Inhibitor protease untuk menyekat replikasi partikel virus yang terbentuk


melalui kerja enzim protease virus ( sehingga mengurangi jumlah partikel
virus baru yang dihasilkan).
 Inhibitor reverse-transcriptase nukleusida untuk mengganggu mengopain
RNA virus menjadi DNA virus oleh enzim reverse transcriptase.
 Inhibitor reverse transcriptase nonnukleusida untuk mengganggu kerja enzim
reverse transcriptase
Terapi tambahan dapat meliputi :
 Preparat imunomodulator untuk meningkatkan system imun yang menjadi
lemah karena AIDS dan terapi retrovirus
 Preparat faktor pertumbuhan (growth factor) yang menstimulasi
pertumbuhan koloni granulosit manusia untuk menstimulasi produksi
neutrophil (terapi retrivirus menyebabkan anemi sehingga pasien
memerlukan preparat epoetin alfa)
 Preparat antiinfeksi dan antineoplasma untuk memerangi infeksi oportunitis
serta penyakit kanker yang menyertai (sebagian preparat ini memiliki khasiat
protofilaksis untuk membantu pasien bertahan terhadap berbagai infeksi
oportunitis)
 Terapi suportif, termasuk dukungan gizi, terapi penggantian cairan, terapi
untuk mengurangi nyeri dan dukungan psikologi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KANDIDIASIS ORAL DENGAN
HIV/AIDS

PENGKAJIAN
1. Pengkajian
Anamnesa melipiti identifikasi klien, identifikasi faktor risiko
potensial termasuk riwayat praktik social dan penggunaan obat injeksi IV.
Kaji status fisik dan psikologis. Secara keseluruhan gali faktor-faktor yang
mempengaruhi fungsi system imun (Smeltzer S. , 2013).
2. Status Nutrisi
 Dapatkan riwayat diet.
 Identifikasi faktor-faktor yang dapat mengganggu asupan oral, seperti
anoreksia, mual, mntah, nyeri oral atau kesulitan menelan.
 Kaji kemampuan pasien untuk membeli dan mempersiapkan
makanan.
 Ukur status nutrisi berdasarkan berat badan, pengukuran antropometri
(pengukuran lipatan kulit trisep), dan nitrogen urea darah (BUN),
protein serum, albumin, dan kadar transferrin.
3. Membran Kulit dan mukosa
 Inspeksi adanya lecet, ulserasi, dan infeksi setiap hari.
 Pantau rongga mulut terhadap adanya kemerahan, ulserasi dan bercak
krem keputihan (kandidiasis)
 Kaji adanya ekskoriasis dan inspeksi pada area perinatal
 Dapatkan kultur luka untuk mengidentifikasi organisme penginfeksi.
4. Status pernapasan
 Pantau batuk, produksi sputum, sesak napas, ortopnea, takipnea, dan
nyeri dada kaji suara napas.
 Kaji parameter fungsi paru yang lain (foto ronsen dada, gas darah
arteri, oksimetri denyut nadi, pemeriksaan fungsi pulmonal/paru).
5. Status neurologi
 Kaji status mental sedini mungkin sebagai data dasar. Catat tingkat
kesadaran dan orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu serta
kejadian kehilangan memori.
 Pantau deficit sensori, seperti perubahan visual, sakit kepala dan
kebas serta kesemutan pada ekstremitas.
 Pantau kerusakan motoric, seperti perubahan gaya berjalan dan
paresis.
 Pantau aktivitas kejang.
6. Status cairan dan elektrolit
 Kaji turgor dan kekeringan kulit dan membrane mukosa.
 Kaji dehidrasi dengan mengobservasi peningkatan rasa haus,
penurunan haluaran urine, tekanan darah rendah, nadi lemah dan
cepat, atau mengkaji berat jenis urine.
 Pantau ketidakseimbangan elektrolit. (Studi laboratorium
menunjukkan rendahnya kadar natrium serum, kalium, kalsium,
magnesium dan klorida).
 Kaji tanda dan gejala deficit elektrolit, termasuk perubahan status
mental, kedutan otot, kram otot, denyut nadi tak teratur, mual dan
muntah, serta pernapasan dangkal.
7. Tingat pengetahuan
 Evaluasi pengetahuan pasien mengenai penyakit dan penyebarannya.
 Kaji tingkat pengetahuan keluarga dan teman.
 Gali reaksi pasien terhadap diagnosis infeksi HIV atau AIDS.
 Gali bagaimana pasien menghadapi penyakit dan stressor kehidupan
mayor di masa lalu.
 Identifikasi sumber-sumber dukungan pasien.
8. Penggunaan terapi alternative
 Tanyakan pasien mengenai penggunaan terapi alternative.
 Anjurkan pasien untuk melaporkan setiap penggunaan terapi
alternative kepenyedia layanan kesehatan primer.
 Kenali kemungkinan efek samping dari terapi alternatif jika efek
samping diduga terjadi akibat terapi alternatif, diskusikan bersama
pasien dan penyedia layanan kesehatan primer dan alternatif.
 Pandang terapi alternative dengan pikiran terbuka, dan coba pahami
pentingnya terapi tersebut bagi pasien.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko infeksi
2. Nyeri berhubungan dengan agens cedera biologis (infeksi).
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia akibat
proses penyakit.
4. Hipertermi

C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Risiko Infeksi NOC: NIC
Faktor risiko : Setelah dilakukan tindakan  Bersikan lingkungan
 Imunosupresi keperawatan …x 24 jam setelah digunakan oleh
 Leukopenia pasien menunjukkan kontrol pasien
 Penurunan hemoglobin resiko: proses infeksi  Ganti peralatan pasien
 Malnutrisi adekuat setiap selesai tindakan
 Proses invasive Dengan Kriteria hasil :  Jelaskan tanda dan gejala
 Kurang pengetahuan untuk - Mengenali faktor resiko infeksi
menghindari pemajanan infeksi  Batasi jumlah
patogen - Mengenali tanda dan pengunjung
 Gangguan integritas kulit gejala infeksi  Ajarkan cuci tangan
- Mempertahankan untuk menjaga kesehatan
 Gangguan peristaltic
lingkungan yang bersih individu.
 Merokok - Mencuci tangan  Anjurkan pasien untuk
 Perubahan pH sekresi - Monitor perubahan cuci tangan dengan tepat
 Statis cairan tubuh status kesehatan  Gunakan sabun
antimikrobial untuk cuci
tangan
 Anjurkan pengunjung
untuk mencuci tangan
sebelum dan setelah
meninggalkan ruangan
pasien
 Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien
 Gunakan sarung tangan
steril
 Lakukan perawatan
aseptic pada semua jalur
IV
 tingkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan asupan cairan
yang cukup
 Anjurkan istirahat
 Ajarkan pasien dan
keluarga tentang tanda-
tanda dan gejala dari
infeksi
 Ajarkan pasien dan
anggota keluarga
bagaimana mencegah
infeksi
 Berikan terapi antibiotik
jika perlu
 Pantau adanya infeksi :
demam nyeri menelan,
dan nyeri oral
 Pantau tanda-tanda vital
termasuk suhu.

Nyeri Akut NOC : NIC :


Nyeri berhubungan dengan agens Setelah dilakukan tindakan  Kaji nyeri komprehensif
cedera biologis (infeksi). keperawatan … x 24 jam yang meliputi lokasi,
Faktor risiko: pasien menunjukkan tingkat karakteristik,durasi,
Batasan Karakteristik : nyeri terkontrol frekuensi, kualitas,
 Keluhan tentang intensitas Kriteria hasil : intensitas atau beratnya
menggunakan standar skala - Melaporkan nyeri hilang/ nyeri dan faktor
nyeri (mis. Skala wong terkontrol. pencetusnya.
baker, FACES, skala analog - Tampak rileks dan tidur/  Observasi adanya
visual, dan skala penilaian istirahat dengan baik. petunjuk nonverbal
numeri) - Berpartisipasi dalam menyenai
 Dilatasi pupil aktivitas yang diinginkan/ ketidaknyamanan
 Keluhan tentang dibutuhkan. terutama pada mereka
karakteristik nyeri dengan yang tidak dapat
menggunakan standar berkomunikasi secara
instrument nyeri (Mis. efektif.
McGill Pain Questionnaire,  Catat kemungkinan
Brief Pain Inventory) penyebab nyeri
patofiosologi dan
psikologi.
 Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
 Berikan tindakan
kenyamanan. Dorong dan
ajarkan penggunaan
teknik relaksasi
 Kolaborasi pemberian
anlagetic.
Nutrisi kurang dari kebutuhan NOC : NIC :
tubuh berhubungan dengan
 Kaji adanya alergi
reaksi akibat proses penyakit Dalam waktu ...x24 jam
makanan
Batasan karakteristik: pasien menunjukkan status
 Monitor intake
 Bising usus hiperaktif nutrisi dan asupan makanan
makanan/cairan dan
 Diare dan cairan yang adekuat
hitung masukan kalori
 Ketidak mampuan memakan Dengan kriteria hasil :
perhari, sesuai kebutuhan.
makanan. - Asupan makanan, gizi
 Yakinkan diet yang
 Membrane mukosa pucat dan cairan adekuat
dimakan mengandung
 Penurunan berat badan - Asupan makanan secara
tinggi serat untuk
dengan asupan makan oral,tube feeding dan
mencegah konstipasi
adekuat intravena adekuat
 Kaji kebutuhan nutrisi
- Ketersedian energi
parenteral
adekuat
 Monitor adanya
penurunan BB dan gula
darah
 Monitor lingkungan
selama makan
 Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak selama
jam makan
 Monitor turgor kulit dan
mobilisasi
 Identifikasi abnormal
kulit
 Monitor kekeringan,
rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht
 Monitor mual dan muntah
 Monitor diet dan asupan
kalori.
 Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor intake nuntrisi
 Informasikan pada klien
dan keluarga tentang
manfaat nutrisi
 Atur posisi semi fowler
atau fowler tinggi selama
makan
 Kelola pemberan anti
emetik:.....
 Anjurkan banyak minum
 Pertahankan terapi IV line
 Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas
oval
 Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
.
Hipetermi Berhubungan dengan Dalam waktu 3x24 jam  Monitor tanda-tanda vital
proses penyakit pasien memperlihatkan  Monitor warna kulit dan
termoregulasi membaik suhu
Dengan kriteria hasil :  Monitor asupan dan
- Penurunan suhu kulit keluaran
- Suhu tubuh dalam  Monitor hidrasi pasien
batas normal (36.5oC-  Anjurkan untuk
37.2oC) beristirahat
nadi (60-100x/menit) dan  Anjurkan untuk
pernapasan (16-24x/menit) mengkonsumsi cairan
dalam batas normal seperti air
 Kompres air hangat pada
kepala, ketiak dan
selangkangan
 Kolaborasi pemberian
antipiretik

Anda mungkin juga menyukai