BINANDRA DWINDARU
SKRIPSI
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Binandra Dwindaru
C24050747
RINGKASAN
BINANDRA DWINDARU
C24050747
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si
NIP 19660428 199002 1 001 NIP 19730510 200501 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Variasi Spasial Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun
di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI
Jakarta”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana perikanan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam
memberikan bimbingan, dukungan dan arahan sehingga penulis dapat
menyusun skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan dapat
menjadi bahan rujukan bagi peneliti dan mahasiswa untuk melakukan penulisan
lebih lanjut.
Penulis
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, khususnya kepada :
1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi. M.Si. selaku dosen
pembimbing yang telah banyak bersabar dalam membimbing penulis,
memberikan banyak masukan, arahan, nasehat dan saran untuk penulis.
2. Yon Vitner, S.Pi. M.Si. selaku pembimbing akademik atas bimbingan yang
diberikan kepada penulis baik saran maupun nasehat yang bermanfaat
kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
3. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. selaku dosen penguji tamu dan Ir. Zairion,
M.Sc. selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan
masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis.
4. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. sebagai kepala program rehabilitasi pesisir PKSPL-
IPB di Kepulauan Seribu yang telah mengizinkan penulis memperoleh
kesempatan dan bantuan finansial dalam penelitian ini. Serta Mas Arief dan
Mas Momo yang selalu membantu di lapangan.
5. Keluarga tercinta; Bapak, Ibu, Mas Danar, Eyang Ncung, Iya, Hai dan masih
banyak lagi atas doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasinya.
6. Seluruh staff Tata Usaha dan civitas Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan yang telah banyak sekali membantu penulis dalam urusan akademik
dan non akademik.
7. Tim Melamun Glasnosta Ramadhan, Ahmad Wira Munawar Khotib, Ikhsan
Abdul Aziz, dan Ruth Mirza selaku teman satu perjuangan atas suka duka,
kerjasama, dan semangatnya dalam mendapatkan gelar sarjana. Tim Ngarang
yang selalu membantu dan memberi semangat Dono, Agus, Tia dan Moro.
8. Teman-teman MSP 42 yang telah memberikan semangat dan motivasi, serta
bantuannya, khususnya untuk Fitria, Avie, Qq, Ebith, Silfi, Endah, Lenny, Bolie
dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
9. Teman-teman di Fisheries Diving Club, khususnya diklat 24 (Bokep, Bayu,
Nogel, Ji’i, Dillah, Tia, Lily) yang telah bersama-sama berjuang sampai titik
darah penghabisan atas dukungan dan semangat dalam menjalani dunia
perkuliahan.
viii
RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 4
x
4.4.1 Tingkat keberhasilan pertumbuhan transplantasi lamun . 44
4.4.2 Laju pertumbuhan lamun transplantasi ...................................... 46
4.5 Pengelolaan Kawasan Lamun di Pulau Pramuka dan
Pulau Kelapa Dua ................................................................................................. 49
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Letak goegrafis lokasi rehabilitasi di Pulau Pramuka dan
Pulau Kelapa Dua .................................................................................................. 16
2. Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian.............................. 19
3. Parameter fisika dan kimia perairan ......................................................... 27
4. Nilai rata-rata komposisi tekstur dan kandungan C-organik
substrat (%)............................................................................................................. 29
5. Komunitas lamun di Pulau Pramuka .......................................................... 33
6. Penutupan masing-masing jenis lamun di Pulau Pramuka (%) ... 34
7. Frekuensi jenis lamun di Pulau Pramuka................................................. 37
8. Komunitas lamun di Pulau Kelapa Dua .................................................... 38
9. Penutupan masing-masing jenis lamun di Pulau Kelapa Dua
(%) .............................................................................................................................. 39
10. Frekuensi jenis lamun di Pulau Kelapa Dua ........................................... 42
11. Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua
(gbk/m2) ................................................................................................................... 42
12. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Pramuka
(mm/hari) ................................................................................................................ 47
13. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Kelapa Dua
(mm/hari) ................................................................................................................ 48
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema perumusan masalah ............................................................................ 3
2. Morfologi umum lamun (Mckenzie dan Yoshida 2009) ................... 6
3. Peta lokasi penelitian di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua . 18
4. Rancangan pengumpulan data komunitas lamun ............................... 22
5. Pengambilan sampel biomasa lamun pada transek kuadrat
50 x 50 cm ............................................................................................................... 23
6. Bibit unit transplantasi metode Plugs ....................................................... 24
7. Teknik pengukuran pertumbuhan daun lamun ................................... 25
8. Penutupan lamun di Pulau Pramuka (%) ................................................ 34
9. Komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau
Pramuka ................................................................................................................... 36
10. Penutupan lamun di Pulau Kelapa Dua (%) ........................................... 39
11. Komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau
Kelapa Dua .............................................................................................................. 41
12. Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua .............. 43
13. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Pramuka ...... 44
14. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Kelapa Dua . 45
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Prosedur kerja pengukuran kualitas air.......................................................... 58
2. Standar pengukuran persentase penutupan lamun dan algae............. 60
3. Baku mutu air laut untuk biota laut (Kepmen LH no.51 tahun
2004) ................................................................................................................................. 61
4. Peta sebaran unit transplantasi di Pulau Pramuka.................................... 63
5. Peta sebaran unit transplantasi di Pulau Kelapa Dua............................... 63
6. Data struktur komunitas lamun di Pulau Pramuka ................................... 64
7. Data struktur komunitas lamun Pulau Kelapa Dua.................................... 65
8. Data keberhasilan transplantasi lamun metode Plugs di Pulau
Pramuka........................................................................................................................... 66
9. Data keberhasilan transplantasi lamun metode Plugs di Pulau
Kelapa Dua...................................................................................................................... 66
10. Data biomasa basah dan kering lamun di Pulau Pramuka ..................... 67
11. Data biomasa basah dan kering lamun di Pulau Kelapa Dua ................ 68
12. Data pertumbuhan daun lamun di Pulau Pramuka.................................... 69
13. Data pertumbuhan daun lamun di Pulau Kelapa Dua............................... 70
14. Foto kegiatan penelitian .......................................................................................... 71
xiv
1. PENDAHULUAN
Ekosistem Lamun
Transplantasi Lamun
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lamun
2.1.1 Deskripsi lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga yang hidup dan tumbuh
terbenam di lingkunga laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizome),
berakar, dan berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas)
(Hutomo 2009). Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu
tumbuhan hanya terdapat bunga jantan atau bunga betina saja.
Menurut Arber (1920) dan den Hartog (1970) in Dawes (1981) lamun
dapat berkembang biak di perairan laut dangkal karena mempunyai beberapa
sifat yang memungkinkannya untuk hidup, yaitu:
(a) Mampu untuk hidup pada media air asin (garam),
(b) Mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam,
(c) Mempunyai sistem perakaran yang berkembang dengan baik dan,
(d) Mampu untuk berkembang biak secara generatif dalam keadaan terbenam
(hidrophilus, melakukan polinasi di bawah air).
Berbeda dengan rumput laut (seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun
dan pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air
dan gas (Kawaroe 2009). Lamun memiliki bentuk tanaman yang sama seperti
halnya rumput di daratan, yang mempunyai bagian-bagian tanaman seperti
rimpang yang menjalar, tunas tegak, seludang/pelepah daun, helaian daun,
bunga dan buah. Lamun memiliki perbedaan yang sangat nyata dalam struktur
akarnya, yang sering dipakai pemberian namanya (Kiswara 2004). Rhizoma atau
rimpang merupakan batang yang merayap mendatar dan terbenam, serta
berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke
atas, berdaun dan berbunga. Dengan rimpang inilah lamun dapat menancap
dengan kokoh pada substrat. Rimpang juga digunakan untuk menyimpan
cadangan makanan. Genot et al. (1994) in Kumoro (2007) mengemukakan
pentingnya persediaan karbohidrat dalam rimpang dan kandungan klorofil
untuk keberhasilan transplantasi lamun. Secara teori, lamun yang memiliki
rimpang lebih panjang akan lebih mampu bertahan dibandingkan lamun yang
6
a. Produsen primer
Lamun sebagai tanaman tingkat tinggi yang mempunyai klorofil dan
mampu melakukan proses fotosintesa adalah produsen primer. Lamun
memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai
makanan, baik secara langsung oleh herbivora maupun melalui dekomposisi
sebagai serasah. Lamun mempunyai tingkat produktivitas primer tertinggi bila
dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal (mangrove dan
terumbu karang). Dalam komunitas lamun, satu are (1.000 m2) lamun dapat
menghasilkan lebih dari 10 ton daun per tahun. Biomas ini dapat menyediakan
7
makanan, tempat hidup dan daerah pemijahan untuk puluhan ribu dari
vertebrata dan invertebrata baik dewasa maupun juvenil (Mukhida 2007 in
Kiswara 2009).
b. Habitat biota
Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai
hewan dan tumbuh-tumbuhan (algae). Di samping itu, padang lamun (seagrass
beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, dan makanan bagi biota laut hingga 360
spesies ikan, 117 jenis makro algae, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45
jenis echinodermata. Lamun dari jenis Syringodium isoetifolium merupakan
makanan utama dari biota langka ikan Duyung (Dugon dugong) (Kiswara 2009).
c. Penangkap sedimen
Daun lamun yang lebat akan memperlambat aliran air yang disebabkan
oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Di
samping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen,
sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi padang
lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi (Azkab
2008).
siklus karbon yang terjadi di laut jika dijumlahkan selama setahun hampir sama
bahkan lebih dibandingkan dengan tumbuhan darat. Blue carbon tersimpan
dalam bentuk sedimen sampai dengan jutaan tahun dan lebih lama
dibandingkan dengan hutan yang hanya tersimpan puluhan sampai ratusan
tahun (Kawaroe 2009).
Genus : Thalassia
Spesies : Thalassia hemprichii
Famili : Cymodoceae
Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata, C. serrulata
Genus : Halodule
Spesies : Halodule uninervis, H. pinifolia
Genus : Syringodium
Spesies : Syringodium isoetifolium
4) Tipe Substrat
Berdasarkan tipe substratnya, lamun yang tumbuh di perairan Indonesia
dapat dikelompokan menjadi katagori yaitu lumpur, lumpur berpasir,
pasir, pasir berlumpur, puing karang dan batu karang.
5) Asosiasi dengan sistem lain
Jenis-jenis lamun dapat dikelompokan ke dalam jenis yang dapat tumbuh
berasosiasi dengan terumbu karang dan mangrove. Dari karakteristik
habitat dan sebaran lamun tersebut di atas dapat dikelompokan jenis
lamun yang kosmopolitan (dijumpai hampir semua habitat), moderat
(tumbuh pada habitat antara 50 % - 70%) dan lamun yang terbatas
sebarannya (tumbuh pada katagori habitat kurang dari 50%).
penanaman lamun berupa tunas yang diikatkan pada frame besi yang
ditanamkan pada substrat. Cara lain dengan mengikat tunas tunggal dengan
karet pada sepotong kawat atau besi. Dibawa ke lokasi penanaman, menggali
lubang dan setelah itu ditanam dan ditutupi sedimen (Phillips 1974 in Kiswara
2004)
b. Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal.
Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai
kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang
didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia,
Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah
(Hutomo 1997).
Selain itu, ke dalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan
pertumbuhan lamun. Brouns dan Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan
tertinggi E. acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi.
14
c. Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus
lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat
penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Kebutuhan cahaya
yang tinggi bagi lamun untuk kepentingan fotosintesis terlihat dari sebarannya
yang terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (Berwick
1983 in Kesuma 2005). Nilai kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh
kandungan lumpur, plankton dan zat-zat terlarut lainnya (Mintane 1998 in
Kesuma 2005).
d. Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan
oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh
gerakan periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik
ini antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut.
Kecepatan arus perairan berpengaruh pada produktifitas padang lamun.
Arus 0,66 m/s akan menghanyutkan semua transplantasi metode Plugs dalam
kurun waktu dua minggu (Thorhaug 1976 in Azkab 1999b). Pada daerah yang
arusnya lemah, sedimen pada padang lamun terdiri dari lumpur halus dan
detritus.
e. Substrat
Substrat merupakan medium dimana tumbuhan secara normal
memperoleh nutrien. Substrat dapat didefinisikan pula sebagai medium alami
untuk pertumbuhan tanaman yan tersusun atas mineral, bahan organik, dan
organisme hidup. Air dan udara berada dalam pori-pori substrat. Distribusi dan
ukuran rongga pori-pori tergantung pada struktur dan tekstur substrat (Badria
2007).
Tipe substrat juga mempengaruhi standing crop lamun (Zieman 1986 in
Badria 2007). Selain itu rasio biomassa di atas dan di bawah substrat sangat
bervariasi antar jenis substrat. Pada Thalassia, rasio bertambah dari 1 : 3 pada
lumpur halus menjadi 1 : 5 pada lumpur dan 1 : 7 pada pasir kasar (Burkholder
et al. 1959 in Badria 2007).
15
f. Salinitas
Salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam air. Salinitas
menunjukkan jumlah garam zat-zat terlarut dalam 1 kg air laut. Sebaran salinitas
di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan,
curah hujan dan aliran sungai (Nontji 1987). Tumbuhan lamun mempunyai
toleransi yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar
yaitu 10-40 PSU.
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun
yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar (Zieman 1986 in
Badria 2007). Ditambahkan bahwa lamun jenis Thalassia ditemukan hidup dari
salinitas 3,5-60 PSU, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran
optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 PSU.
i. Nutrien
Karakteristik nutrien berkaitan erat dengan pertumbuhan dan tingkat
produksi lamun. Meningkatnya nutrien pada keadaan tertentu secara kuantitatif
dapat menaikan laju pertumbuhan dan produksi daun lamun. Keadaan ini
merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi lamun (Azkab 1999a).
Elemen penting yang diperlukan oleh lamun adalah nitrogen (N), fosfat
(P), dan C-organik. Derivat N dan P yang banyak digunakan oleh lamun adalah
nitrat, amonium, dan orthofosfat. Ketiganya termasuk ke dalam jenis bahan
anorganik.
Peran amonium adalah dalam proses nitrifikasi, yaitu mineralisasi
nitrogen menjadi nitrit (sebagai produksi intermediet) dan nitrat (sebagai
produksi tujuan). Nitrat dalam tanah diserap oleh tumbuhan secara cepat untuk
membentuk biomassa sedangkan fosfat digunakan dalam proses fotosintesis dan
respirasi lamun.
Karbon disimpan dalam tanah ketika tanaman dan hewan membusuk
(terurai). Bahan organik ini didekomposisi oleh bakteri, melepaskan CO2 dan
methana kedalam tanah lembab. Wood (1987), menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara kandungan C-organik dengan ukuran tekstur substrat, makin
tinggi jumlah liat makin tinggi pula C-organik bila kondisi lainnya sama. Tinggi
rendahnya kandungan C-organik dipengaruhi oleh pasokan air dari daratan
sehingga lokasi juga mempengaruhi nilai C-organik.
17
3. METODE PENELITIAN
Tabel 1. Letak geografis lokasi rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa
Dua
Lintang Bujur
Pulau Pramuka 05˚44,442' 106˚36,599'
05˚44,412' 106˚37,003'
05˚44,415' 106˚37,306'
05˚44,442' 106˚37,024'
Pulau Kelapa Dua 05˚38.925' 106˚34.001'
05˚38.871' 106˚33.996'
05˚38.928' 106˚33.948'
05˚38.879' 106˚33.924'
Kep. Seribu
Kep. Seribu
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua
Kimia
Oksigen terlarut mg/l Pereaksi DO Metode Winkler
Nitrat mg/l Spektrofotometer Analisis laboratorium
Orthophospat mg/l Spektrofotometer Analisis laboratorium
C-organik % Analisis laboratorium Tanah
Biologi
Panjang daun mm/hari Jangka sorong Pengukuran langsung
Biomasa daun gbk/m2 Timbangan digital, oven, Analisis laboratorium
alumunium foil
Penutupan % Transek kuadrat ukuran Pengukuran langsung
50x50 cm2
Jumlah spesies - Pengukuran langsung
Tambahan
Posisi koordinat GPS Pengukuran langsung
Dokumentasi Kamera underwater Pengukuran langsung
Lain-lain Roll meter, pasak bambu,
tagging, kertas newtop,
plastik sampel, masker dan
snorkle, spidol permanen,
tisu, alat tulis, saringan,
sepatu boot, jarum.
Keterangan : gbk/m2 = gram berat kering per meter persegi.
3.4.3 Kecerahan
Kecerahan perairan diukur di setiap transek garis pada bagian ujungnya
dengan menggunakan Secchi disk. Kecerahan dapat dihitung dengan rumus
(Kesuma 2005) :
(m n)
C 0,5 100%
Z
3.4.4 Substrat
Pengambilan substrat dilakukan dengan menggunakan corer berdiameter
10 cm dengan kedalaman 15-20 cm pada setiap kedua ujung stasiun kemudian
dimasukkan kedalam plastik sampel yang sudah diberi nomor dan dianalisis
nilai kandungan C-organik dan ukuran partikel di Laboratorium Tanah, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.4.5 Arus
Arus perairan diukur pada setiap stasiun dengan tiga kali ulangan.
Perhitungan arus menggunakan benda mengapung yang diikatkan dengan tali
berukuran panjang 1 m, lalu diukur kecepatannya dengan menggunakan
stopwatch.
21
3.4.7 Salinitas
Salinitas diukur sebanyak tiga kali setiap stasiun dengan menggunakan
refraktometer. Cara pengukurannya adalah contoh air laut diambil dengan
menggunakan pipet kemudian diteteskan ke refraktometer dan nilai salinitas
dapat dilihat dengan meneropong refraktometer. Sebelum melihat nilai sampel
berikutnya dilakukan kalibrasi terlebih dahulu dengan aquades agar netral
kembali.
t. 1
St. St.St2 St
St. 3
Ke arah tubir
50 m
Ke arah daratan
5m
50
25 m
50
25 m
Keterangan :
St. = Stasiun
= Transek kuadrat 50 x 50 cm
50 cm
50 cm
Petak pengambilan
sampel biomas lamun
jenis dalam petak contoh. Frekuensi masing-masing jenis lamun pada setiap
stasiun dihitung dengan menggunakan rumus (Brower et al. 1997) :
Pi
Fi p
P
i 1
Lubang Penandaan
Kt bt
at
at bt
Kt =
T
W
B
A
Kimia
Salinitas (PSU) 33-34 1) 28-31 25-27
pH 7-8,5 1) 8 8
DO (ppm) >5 1) 9,33-10,55 9,13-10,14
Nitrat (mg/l) 0,008 1) 0,031-0,072 0,039-0,049
Orthofospat (mg/l) 0,015 1) <0,001 <0,001
Sumber : KepMen LH No. 51 Tahun 2004 (Lampiran 3)
1)
2) Baku mutu untuk metode Plugs menurut Thorhaug 1976 in Azkab 1999
b. Kedalaman
Kedalaman membatasi penyebaran dan pertumbuhan lamun. Lamun
hanya dapat tumbuh pada kedalaman dimana sinar matahari dapat menembus
sampai dasar perairan. Kedalaman perairan dan intensitas cahaya yang masuk
ke perairan berpengaruh terhadap proses fotosintesis lamun.
Kedalaman perairan yang diukur pada saat surut di Pulau Pramuka
berkisar antara 55 - 102 cm, dan pada Pulau Kelapa Dua antara 30 – 94 cm.
Kedalaman yang terukur pada kedua pulau merupakan kedalaman ideal bagi
lamun yang merupakan vegetasi perairan dangkal. Hal ini akan mendukung
proses fotosintesis lamun yang optimal, karena pada kedalaman tersebut cahaya
yang masuk ke dalam perairan akan sampai ke dasar perairan dimana lamun
tersebut tumbuh. Hal ini juga didukung oleh kecerahan perairan yang tinggi.
c. Kecerahan
Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor pembatas yang penting
bagi kelangsungan hidup tumbuhan lamun. Hal ini disebabkan lamun
membutuhkan perairan dengan kecerahan tinggi agar cahaya matahari dapat
menembus perairan sampai ke dasar agar tumbuhan lamun dapat tetap
melakukan proses fotosintesis. Kondisi perairan di kedua pulau relatif jernih dan
penetrasi cahaya mencapai seratus persen, karena lokasi penelitian merupakan
perairan yang relatif dangkal dengan kedalaman rata-rata 74,2 cm pada Pulau
Pramuka dan 69,4 cm pada Pulau Kelapa Dua dan sedikitnya partikel
tersuspensi pada perairan.
d. Kecepatan arus
Rata-rata kecepatan arus yang diukur pada Pulau Pramuka adalah 0,33
m/detik, sedangkan pada Pulau Kelapa Dua sebesar 0,10 m/detik. Pengukuran
arus dilakukan ketika surut terendah menuju pasang, sehingga arah arus
cenderung ke arah daratan. Pulau Pramuka memiliki kecepatan arus yang lebih
tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua hal ini disebabkan lokasi Pulau
Pramuka yang lebih terbuka dan tidak terlindungi seperti Pulau Kelapa Dua.
Arus pada kedua tempat pengamatan masih berada di bawah kecepatan arus
maksimum untuk transplantasi lamun yaitu 0,66 m/detik. Kecepatan arus yang
29
melebihi nilai ini akan dapat menghanyutkan semua transplantasi lamun metode
Plugs dalam kurun waktu dua minggu (Thorhaug 1976 in Azkab 1999).
Kedua lokasi pengamatan ini tergolong memiliki arus yang tenang
sehingga menyebabkan permukaan daun ditumbuhi alga epifit dan ditutupi oleh
sedimen yang terperangkap. Pada Pulau Kelapa Dua memiliki arus yang lebih
kecil sehingga penutupan epifit lebih besar yaitu 24,70% dan penutupan algae
sebesar 0,03% (Tabel 4) dibandingkan Pulau Pramuka sebesar 12,36% (Tabel
7). Penutupan epifit mengurangi penyerapan cahaya matahari oleh daun
sehingga mengganggu proses fotosintesis pada lamun. Penutupan ini
mempengaruhi pertumbuhan lamun, khususnya pada bagian daun.
e. Substrat
Substrat tidak terdiri dari satu komposisi melainkan tersusun atas tiga
komposisi yaitu pasir, debu dan liat. Dominasi salah satu dari ketiga ukuran
tersebut menentukan tipe substrat suatu perairan. Hasil analisis di laboratorium
menghasilkan nilai komposisi tekstur substrat dari masing-masing pulau dan
nilai konsentrasi C-organik dari substrat tersebut yang dapat di lihat pada Tabel
4.
Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu pH optimal untuk kisaran air laut adalah 7,5-8,5
Sehingga perairan pada ke dua pulau mendukung bagi kelangsungan hidup
lamun.
d. Nutrien
Salah satu ciri khas lamun yang membedakan dengan tumbuhan laut
lainnya adalah kemampuan menyerap nutrien melalui daun, selain oleh akar.
Lamun tidak memiliki stomata tapi digantikan oleh kehadiran kutikula yang tipis
sehingga daun mampu mengabrsorbsi nutrien secara langsung dari perairan.
Nitrat dan orthofosfat merupakan salah satu bentuk bahan anorganik, dimana
nitrat adalah turunan dari nitrogen sedangkan orthofosfat adalah turunan dari
fosfor anorganik terlarut. Seperti telah diketahui bahwa fungsi nitrogen pada
tumbuhan adalah memacu pertumbuhan dan sintesis asam amino dan protein
namun karena lamun adalah tumbuhan air maka nitrogen harus diubah menjadi
bentuk anorganik berupa nitrat dan ammonium supaya dapat dimanfaatkan.
Besarnya kandungan nitrat di kolom perairan Pulau Pramuka berkisar
0,031-0,072 mg/l, sedangkan di Pulau Kelapa Dua sebesar 0,039-0,049 mg/l.
Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan baku mutu yaitu 0,008 mg/l.
Sehingga kebutuhan lamun untuk membentuk biomasanya dapat terpenuhi
dengan kandungan nitrat di kolom perairan yang mencukupi. Kandungan nitrat
di Pulau Pramuka lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua.
Perbedaan nilai ini diduga karena kondisi perairan tiap pulau berbeda. Pada
Pulau Kelapa Dua konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah sehingga
mengakibatkan laju dekomposisi atau mineralisasi nitrogen (proses perubahan
nitrogen organik menjadi anorganik) menurun, sehingga konsentrasi nitrat
dalam kolom perairan menjadi lebih rendah namun dengan adanya lokasi
budidaya perikanan dalam bentuk Keramba Jaring Apung (KJA) di dekat lokasi
rehabilitasi di Pulau Kelapa Dua diduga mengakibatkan kandungan nitrat di
perairan menjadi lebih tinggi. Tingginya kandungan nitrat diduga akibat sisa
pakan yang tidak termakan oleh ikan budidaya yang kemudian terbawa arus
perairan.
Orthofosfat digunakan oleh tumbuhan lamun dalam proses fotosintesis
dan respirasi. Nilai orthofospat di kolom perairan Pulau Pramuka dan Pulau
Kelapa Dua terhitung sebesar <0,001 mg/l. Kedua pulau ini memiliki kandungan
orthofosfat di kolom perairan yang sangat rendah dan berada dibawah nilai
baku mutu. Akan tetapi rendahnya konsentrasi orthofosfat dalam kolom air
bukan menjadi faktor pembatas pertumbuhan lamun namun menjadi indikator
33
bahwa perairan pada kedua pulau tergolong bersih, tidak tercemar limbah atau
buangan rumah tangga. Pertumbuhan lamun di Pulau Kelapa Dua relatif lebih
tinggi meski memiliki nilai konsentrasi orthofosfat yang rendah. Hal ini
menandakan bahwa tumbuhan lamun memerlukan fosfor hanya dalam jumlah
yang sangat sedikit.
Kandungan nutrien pada Pulau Kelapa Dua cenderung lebih tinggi dari
pada Pulau Pramuka. hal ini yang menyebabkan pertumbuhan lamun
transplantasi di Pulau Kelapa Dua lebih tinggi karena lamun mendapatkan
pasokan unsur hara yang cukup.
40% 36,82%
35%
30%
23,68%
25%
20%
15%
10% 6,64%
5%
0%
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam putusannya No. 200 Tahun 2004
menetapkan kriteria baku kerusakan padang lamun sebagai berikut (Nontji
2009):
Tingkat kerusakan tinggi : luas area kerusakan ≥50%
Tingkat kerusakan sedang : luas area kerusakan 30-49,9%
Tingkat kerusakan rendah : luas area kerusakan ≤29,9%
Sementara itu status padang lamun ditetapkan sebagai berikut :
Kondisi baik : kaya/sehat ≥60%
Kondisi kurang : kurang kaya/kurang sehat 30-59,9%
Kondisi rusak : miskin ≤29,9%
Kondisi Komunitas lamun di kawasan rehabilitasi di Pulau Pramuka
tergolong rendah atau termasuk kriteria kurang pada stasiun 3 dan tergolong
miskin pada stasiun 1 dan 2 sesuai dengan kriteria status padang lamun yang
dinyatakan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004
tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun.
Stasiun 1 Cymodocea
Halophila rotundata
ovalis 32%
1%
Thalassia
hemprichii
67%
Stasiun 2
Halophila
ovalis Cymodocea
3% rotundata
53%
Thalassia
hemprichii
38%
Enhalus
Cymodoceae
acoroides
serrulata
4%
2%
Halodule
pinifolia Stasiun 3 Cymodocea
16% rotundata
16%
Halophila
ovalis
2%
Thalassia
hemprichii
23%
Cymodoceae
serrulata
Enhalus 34%
acoroides
9%
Pada stasiun 1 ditemukan tiga spesies lamun dan didominasi dari jenis
Thalassia hemprichii, pada stasiun 2 ditemukan lima spesies lamun dan
didominasi oleh jenis Cymodocea rotundata, serta Pada stasiun tiga ditemukan
enam jenis lamun dan di dominasi oleh jenis Cymodocea serrulata.
Pada stasiun 3 jenis lamun yang ditemukan lebih beragam yaitu sebanyak
6 spesies dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Seperti halnya dengan
persen penutupan, keberagaman spesies lamun pada stasiun 3 ini desebabkan
oleh kondisi perairan yang lebih terlindung dari perubahan lingkungan
dibandingkan dengan stasiun lainnya. Lamun-lamun pada stasiun ini dapat
tumbuh dan berkembang lebih optimal.
Zonasi sebaran lamun di Pulau Pramuka tergolong vegetasi campuran
karena lamun yang ditemukan lebih dari satu jenis. Dari keenam jenis lamun
yang ditemukan, sebaran lamun di pulau ini termasuk kedalam tipe jenis lamun
yang tumbuh didaerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut (Kiswara
1992) bahwa sebaran lamun dapat dikelompokan berdasarkan genangan air
atau kedalaman.
pengamatan dengan nilai yang lebih rendah. Dari penelitian Dwintasari (2009)
dapat diketahui bahwa lamun jenis T. hemprichii mempunyai pengaruh yang
paling besar dibandingkan dengan jenis lamun lainnya, karena lamun jenis ini
paling banyak dijumpai hampir di seluruh tipe perairan dan sangat baik tumbuh
di kondisi perairan Pulau Pramuka yang dangkal dan terbuka saat surut. Selain
itu, menurut Rohmimohtarto dan Juwana (2001) T. hemprichii merupakan jenis
lamun yang memiliki daya tahan yang baik terhadap pencemaran. Hal ini
menandakan jenis T. hemprichii adaptif terhadap gangguan lingkungan yang
disebabkan oleh pencemaran.
20% 19%
15%
12%
10%
5% 3%
0%
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Spesies lamun yang memiliki nilai persen penutupan yang tertinggi adalah
Halodule uninervis sebesar 12,77% pada stasiun 1. Jenis lamun ini merupakan
yang paling banyak ditemukan di lokasi pengamatan Pulau Kelapa Dua. Dilihat
dari nilai persen penutupan, kondisi Komunitas lamun tergolong miskin
berdasarkan Keputusan Meteri Lingkungan Hidup no. 200 Tahun 2004 tentang
kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun dengan
nilai ≤29,9%.
40
Cymodocea
Stasiun 1 rotundata
10%
Thalassia
hemprichii
21%
Halodule Halophila
uninervis ovalis
67% 2%
Stasiun 2
Halodule
Cymodocea
uninervis
rotundata
4%
Halophila 9% Cymodocea
ovalis serrulata
6% 9%
Thalassia
hemprichii
72%
Thalassia
Stasiun 3 hemprichii
11%
Halophila
ovalis
5%
Halodule
uninervis
84%
Gambar 11. Komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Kelapa Dua
Spesies lain yang ditemukan di semua stasiun dengan nilai frekuensi jenis yang
rendah yaitu H. ovalis dan H. uninervis. Nilai frekuensi masing-masing jenis
lamun yang diamati di tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 11. Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua (gbk/m2)
Pramuka Kelapa Dua
Stasiun
Atas Bawah Atas Bawah
1 11,6190 106,3258 10,6636 50,4861
2 5,4771 25,7053 6,4290 71,1842
3 59,5983 258,1202 12,1698 63,4737
Rata-rata 25,5648 130,0504 9,7541 61,7147
Rasio 1 5 1 6
Keterangan : gbk/m2 = gram berat kering per meter persegi.
besar akan menyebabkan biomassanya lebih tinggi. Selain itu, rendahnya nilai
biomasa lamun di Pulau Kelapa Dua dibandingkan dengan Pulau kelapa juga
disebabkan oleh kadar nutrien yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan
peningkatan biomasa makro algae. Deegan et al. (2002) in Kiswara (2009)
menemukan suatu perubahan dalam produsen primer dari lamun ke makro
algae sebagai reaksi terhadap peningkatan masuknya nutrisi adalah naiknya
biomasa algae dan turunnya kerapatan dan biomas lamun.
180.00
130,05
160.00
140.00
120.00
gbk/m2
100.00
80.00 Atas
61,71
25,56
60.00 Bawah
40.00
20.00 9,75
0.00
Pramuka Kelapa Dua
Gambar 12. Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua
morfologi tubuh lamun yakni daun, rimpang dan akar yang berbeda ditiap lokasi,
komposisi partikel substrat, kondisi lingkungan seperti kandungan nutrien dan
kecepatan arus. Pada Pulau Pramuka morfologi daunnya lebih besar
dibandingkan dengan di Pulau Kelapa Dua, jenis lamun yang ditemukan pun
berbeda dari kedua pulau ini dengan komposisi jenis yang berbeda pula tiap
jenisnya. Komposisi substrat dan kecepatan arus mempengaruhi ukuran akar
dan rimpang seperti dijelaskan sebelumnya.
Unit Transplantasi
14
12
10 Thalassia hemprichii
8 Halodule pinifolia
Unit
6
Cymodocea rotundata
4
2 Enhalus acoroides
0 Cymodocea serulata
1 2 3 4 12
Minggu ke-
40 120
unit
100
30
80
20 60
10 40
20
0
0
1 2 3 4 12
1 2 3 4 12
Minggu ke- Minggu ke-
Dari kelima jenis lamun yang di transplantasi dengan metode Plugs dapat
diketahui jenis yang tingkat keberhasilan tertinggi adalah T. hemprichii.
Sedangkan jenis-jenis lainnya mengalami penurunan pada pertumbuhan baik
dari jumlah unit transplantasi, jumlah tegakan maupun jumlah daun. Pada awal
penanaman terjadi fluktuasi jumlah yang hidup hal ini disebabkan pada awal
perlakukan tumbuhan lamun ini melakukan penyesuaian terlebih dahulu dengan
lingkungan yang baru dan pemulihan pada bagian tubuh yang terluka akibat
pemotongan, setelah beberapa waktu baru dapat tumbuh dengan perlahan dan
stabil. Keempat jenis lainnya yaitu dari jenis H. pinifolia, E. acoroides, C. serrulata
dan C. rotundata mengalami penurunan yang drastis, hal ini diduga karena
ketiga jenis ini tidak mampu beradaptasi dengan perlakuan penanaman dan
menjadikan perlakuan ini sebagai tekanan yang menjadi penghambat
perkembangan hidupnya. Secara umum dapat dikatakan keempat jenis lamun ini
kurang tepat untuk dilakukan transplantasi dengan metode Plugs.
Unit Transplantasi
10
6 Thalassia hemprichii
Unit
4
Halodule uninervis
2
0 Cymodocea rotundata
1 2 3 4 12
Minggu ke-
40 80
30 60
20 40
20
10
0
0
1 2 3 4 12
1 2 3 4 12
Minggu ke- Minggu ke-
Hasil yang didapatkan pada Pulau Kelapa Dua agak sedikit berbeda dengan
Pulau Pramuka, seperti dilihat pada Gambar 14 jenis lamun H. uninervis memiliki
pertumbuhan tegakan dan daun yang tertinggi. Walaupun pada tiga minggu
pertama pengamatan jenis ini menurun cukup drastis tiap minggunya, namun
pada pengamatan terakhir mengalami peningkatan. Hal ini diduga akibat jenis
lamun H. uninervis membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi
dengan lingkungan dan perlakuan penanaman agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik.
Jenis T. hemprichii memiliki pertumbuhan unit transplantasi yang
berfluktuatif dari awal pengamatan hingga mengalami peningkatan pada minggu
ke dua belas. Jika dilihat dari pertumbuhan tegakan dan daun dapat dikatakan
pertumbuhan jenis ini meningkat sedikit demi sedikit sehingga dapat dikatakan
jenis ini cukup berhasil dilakukan transplantasi. Walaupun T.hemprichii
memiliki jumlah unit transplantasi yang lebih tinggi dari H. uninervis, namun
jumlah tegakan dan jumlah daun lebih rendah. Hal ini diduga karena morfologi
tubuh H. uninervis yang tipis dan memanjang ke atas sehingga kerapatan tumbuh
lebih tinggi. Sedangkan pada jenis T. hemprichii memiliki daun yang lebih lebar
dan merunduk kesamping. Dapat dilihat pula pada minggu ke-3 dan 4 suatu pola
pertumbuhan pada H. uninervis yang menurun dapat meningkatkan
pertumbuhan dari jenis C. serrulata, begitu juga sebaliknya.
atau patah karena aktifitas manusia. Daun sedang merupakan daun yang tumbuh
saat penandaan berada dibagian tengah dari kumpulan daun dan memiliki daun
yang lebih tebal, berwarna hijau dan ujung daun yang juga masih utuh belum
terkena gangguan dari lingkungan seperti daun muda. Sedangkan daun tua
adalah daun yang berada paling luar dari kumpulan daun pada tiap tunas. Daun
tua melindungi daun yang lebih muda dengan seludangnya. Pada beberapa
tegakan yang teramati di lapangan, daun tua terlihat meluruh.
Tabel 12 menyajikan kisaran pertumbuhan panjang daun dari beberapa
jenis lamun di Pulau Pramuka. Pada Pulau Pramuka terdapat dua jenis lamun
yaitu T. hemprichii dengan pertumbuhan daun muda, sedang, dan tua secara
berturut-turut adalah 2,64 mm/hari; 1,89 mm/hari; 1,78 mm/hari dan C.
rotundata yaitu 1,00 mm/hari; 1,01mm/hari. Tidak didapatkan data
pertumbuhan rata-rata daun tua untuk jenis C. rotundata. Pada T. hemprichii
pertumbuhan terbesar sampai terkecil secara berturut-turut terjadi pada daun
muda, daun sedang dan terakhir daun tua. Hal ini disebabkan daun muda cepat
untuk mencapai ukuran yang stabil dan tahan terhadap tekanan lingkungan.
Sedangkan pada jenis C. rotundata tidak didapatkan perbedaan hasil
pengukuran pertumbuhan pada daun muda sedang dan tua yang signifikan. Hal
ini disebabkan pengukuran daun muda yang tidak diketahui waktunya dengan
pasti dan pertumbuhan daun tua yang tidak tercatat Hal ini disebabkan oleh
antara lain konsumer yang memakan daun sehingga panjang awal lebih panjang
dari pada panjang akhir dan pertumbuhan daun yang tidak sempat dicatat sudah
meluruh dan terlepas dari seludangnya.
muda tidak memiliki nilai pertumbuhan tertinggi. Hal ini disebabkan oleh waktu
pertumbuhan yang tidak dalam kurun waktu yang pasti seperti yang ditentukan
(tujuh hari). Daun muda merupakan daun baru yang tumbuh setelah tahap
penandaan, sehingga tidak diketahui kapan waktu pasti daun ini tumbuh karena
tidak ditandai. Namun nilai pertumbuhan masih lebih tinggi dari daun tua yang
sudah mengalami perlambatan pertumbuhan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azkab dan Kiswara (1994) in
Rohmimohtarto dan Juwana (2001) di Teluk Kuta, Lombok laju pertumbuhan
lamun alami jenis T. hemprichii pada daun muda dan tua secara berturut-turut
sebesar 4,51 mm/hari dan 4,06mm/hari, dan jenis C. rotundata sebesar 8,69
mm/hari dan 4,11 mm/hari. Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan lamun
transplantasi di kedua pulau nilai ini lebih tinggi, karena energi lebih banyak
digunakan untuk bertahan hidup sehingga perlakuan transplantasi dapat
mengurangi kemampuan tumbuhan lamun untuk tumbuh sehingga nilai laju
pertumbuhannya menjadi lebih kecil.
4.5 Pengelolaan Kawasan Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua
Pengelolaan ekosistem lamun sangat diperlukan untuk menjaga
keseimbangan ekologis ekosistem, sehingga kelestarian sumberdaya lamun
tetap terjaga. Selain itu pengelolaan ekosistem lamun diperlukan untuk
mengendalikan kerusakan ekosistem lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa
Dua yang semakin meningkat akibat pembangunan dan aktifitas kependudukan.
Cara yang paling efektif untuk pengelolaan lamun adalah dengan mencegah
terjadinya kerusakan yang semakin memburuk dibandingkan dengan daya pulih
alam itu sendiri untuk mencapai keseimbangan. Oleh karena itu campur tangan
manusia perlu dilakukan agar mempercepat proses pulih diri tersebut terhadap
ekosistem lamun dengan transplantasi lamun.
Menurut Kiswara (2009), sebelum melaksanakan kegiatan transplantasi
lamun dilakukan pemberitahuan, penjelasan tujuan kegiatan dan izin kepada
semua tingkat aparat pemerintahan mulai desa (kelurahan) sampai dengan
kabupaten (BAPPEDA) untuk menjamin keselamatan areal rehabilitasi dari
kegiatan pengurugan pantai selama kegiatan berlangsung. Penjelasan kepada
nelayan yang mengoperasikan alat tangkapnya untuk tidak bekerja di areal
50
5.1 Kesimpulan
Pada perairan Pulau Pramuka terdapat 6 jenis lamun yaitu Cymodoceae
rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Halophila ovalis, Halophila pinifolia. Secara umum kondisi komunitas lamun di
Pulau Pramuka termasuk kriteria miskin dengan rata-rata penutupan 22,38%
dengan komposisi jenis dan frekuensi jenis terbesar yaitu T. hemprichii sebesar
7,27% dan 0,82. Hal ini menandakan lamun jenis T. hemprichii menyebar dengan
rata di lokasi pengamatan dan dalam penutupan yang besar. Pada Pulau Kelapa
Dua ditemukan 5 jenis lamun yaitu C. rotundata, C. serrulata, H.uninervis, E.
acoroides, T. hemprichii, dan H. ovalis. Komunitas lamun di pulau ini tergolong
miskin dengan rata-rata penutupan 11,12% dengan komposisi jenis dan
frekuensi jenis terbesar secara berturut-turut adalah H. uninervis sebesar 7,47%
dan T. hemprichii sebesar 0,94. H. uninervis ditemukan dalam jumlah besar
namun sebarannya tidak merata, sedangkan T. hemprichii memiliki sebaran yang
merata dengan penutupan yang lebih rendah.
Tingkat keberhasilan transplantasi lamun tertinggi dicapai oleh jenis
lamun T. hemprichii pada Pulau Pramuka dan H. uninervis pada Pulau Kelapa
Dua, yang dapat hidup dan berkembang dengan baik pada perlakuan
transplantasi metode Plugs. Sedangkan lamun jenis lainnya seperti H. pinifolia, C.
rotundata, , E. acoroides dan C. serrulata kurang berhasil dilihat dari penurunan
jumlah individu yang cukup drastis setiap minggunya.
Laju pertumbuhan di Pulau Kelapa Dua lebih tinggi dibandingkan dengan
Pulau Pramuka yakni dapat dilihat dari laju pertumbuhan jenis lamun T.
hemprichii pada daun muda, sedang dan tua secara berturut-turut pada pulau
Kelapa Dua 3,30 mm/hari; 4,36 mm/hari; 2,08 mm/hari dan pada Pulau
Pramuka yaitu 2,64 mm/hari; 1,89 mm/hari; 1,78 mm/hari. Hal ini sangat erat
kaitannya dengan kondisi nutrien baik di kolom perairan maupun yang
terkandung di substrat, serta kondisi lingkungan perairan yang mendukung
pertumbuhan lamun.
52
5.2 Saran
Diperlukan campur tangan pemerintah dan pengelola kawasan dalam
mewujudkan peran serta masyarakat setempat untuk terlibat langsung dalam
pengelolaan ekosistem lamun, seperti sosialisasi mengenai peran penting lamun
bagi masyarakat serta pelatihan transplantasi lamun dan pemeliharaannya yang
dapat menunjang terciptanya pengelolaan lamun berbasis masyarakat. Perlu
diadakannya penelitian lanjutan mengenai transplantasi lamun dengan metode
lain yang lebih efektif dan dapat diterapkan pada jenis lamun lainnya.
53
DAFTAR PUSTAKA
Azkab MH. 1988. Pertumbuhan dan produksi lamun Enhalus acoroides (L.f)
Royle di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu. p. 55-59. In :
Moosa MK, Praseno DP & Sukarno (eds.). Teluk Jakarta : Biologi,
budidaya, oseanografi, geologi dan kondisi perairan. Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI. Jakarta.
Azkab MH. 1999a. Kecepatan tumbuh dan produksi lamun di Teluk Kuta Lombok
p :26. In: Soemadihardjo S, Arinardi OH & Aswandy I (eds.). Dinamika
komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Indonesia.
Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta.
Azkab MH. 1999b. Petunjuk penanaman lamun. In: Ruyitno, Rositasari R &
Fahmi (eds.). Oseana : Majalah ilmiah semi populer, XXIV(3):11-25. Pusat
Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta.
Azkab MH. 2007. Status sumberdaya padang lamun di Teluk Gilimanuk, Taman
Nasional Bali Barat. p. 10-16. In: Ruyitno (Editor). Status sumberdaya
laut Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat. Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI. Jakarta.
Azkab MH. 2008. Modul lamun : Pedoman inventarisasi lamun. Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI. Jakarta. 19 hlm.
Badria S. 2007. Laju pertumbuhan daun lamun (Enhalus acoroides) pada dua
substrat yang berbeda di Teluk Banten [skripsi]. Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 94 hlm.
Brouns JJWM & Heijs FML. 1986. Tropical seagrass ecosystem in Papua New
Guinea a general account of the environment, Marine Flora and Fauna.
Proc. K. Ned. AKAD. Wetnsch C88 : 145-182.
Brower JE, Zar JH & von Ende CN. 1989. Field and laboratory methods for genera
ecology fourth edition. McGraw-Hill Publications. Boston, USA. xi + 273p.
Foncesa MS & Calumpong HP. 2001. Seagrass transplantation and other seagrass
restoration methods. Chapter 22, p.427. in : Short FT & Coles RG (eds.).
Global seagrass research methods. Elsevier Science BV. Amsterdam.
Hutomo H. 1997. Padang lamun Indonesia : salah satu ekosistem laut dangkal
yang belum banyak dikenal. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. 35 pp.
Kawaroe M. 2009. Perspektif lamun sebagai blue carbon sink di laut. Prosiding
lokakarya nasional I pengelolaan ekosistem lamun “Peran ekosistem
lamun dalam produktifitas hayati dan meregulasi perubahan iklim”.
Jakarta. 18 November 2009.
Kesuma AM. 2005. Struktur komunitas lamun di perairan pantai Pulau Burung,
Kepulauan Seribu [skripsi]. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
57 hlm.
Kumoro ED. 2007. Transplantasi lamun Enhalus acoroides (L.f.) Royle di Perairan
Teluk Banten. [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
69 hlm,
Nontji A. 1987. Laut nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. vii + 372 hlm.
Short FT & Coles RG (eds). 2001. Global seagrass research methods. Elsevier
Science BV. Amsterdam.
Short FT, Short CA & Burdick-Whitney LC. 2002. A manual for community-based
eelgrass restoration. University of New Hampshire. New Hampshire. p.
56.
56
Wood EM. 1987. Subtidal Ecology. Edward Arnold Publisher. London. p. 122.
57
58
b. Pengukuran Nitrat
1. Saring sebanyak 25-50 ml air sampel dengan kertas saring Whatman No.42
atau yang setara.
2. Pipet 5 ml air sampel yang telah disaring, masukkan ke dalam gelas piala.
3. Tambahkan 0,5 ml Brucine, aduk.
4. Tambahkan 5 ml asam sulfat pekat (gunakan ruang asam), aduk.
5. Buat larutan blanko dari 5 ml akuades, lakukan prosedur 3 dan 4.
6. Buat larutan standar nitrat dengan konsentrasi 0,025; 0,05; 0,10; 0,25; 0,50;
0,75; 1,00.
7. Dengan larutan blanko dan pada panjang gelombang 410 nm, set
spektofotometer pada 0,000 absorbance, kemudian ukur sampel dan larutan
standar.
59
Lampiran 1. (lanjutan)
8. Buat persamaan regresi dari larutan standar untuk menentukan kadar nitrat
air sampel.
c. Pengukuran Ortofosfat
1. Persiapan peralatan gelas dan filter.
Semua wadah dan peralatan yang akan digunakan harus benar-benar
bersih, bebas dari kontaminasi P.
2. Saring 25-50 ml air sampel dengan millipore (0,45 µm), atau glass fibre filter
atau yang setara, gunakan vacuum pump.
3. Pipet sebanyak 25 ml sampel tersaring.
4. Tambahkan 1 ml Ammonium molybdate, aduk.
5. Tambahkan 5 tetes SnCl2, aduk diamkan (10 menit).
6. Buat larutan blanko dari 25 ml akuades, lakukan prosedur 3 dan 4.
7. Buat larurtan standar ortofosfat dengan konsntrasi : 0,01; 0,05; 0,10; 0,25;
0,50; 0,75; dan 1,00 ppm-P.
8. Setelah didiamkan 10 menit dan sebelum 12 menit, ukur air sampel dan
larutan standar dengan spektofotometer pada panjang gelombang 690 nm.
9. Buat persamaan regresi atau grafik untuk menentukan kadar ortofosfat air
sampel.
60
Lampiran 3. Baku mutu air laut untuk biota laut (Kepmen LH no.51 tahun 2004)
No. Parameter Satuan Baku Mutu
FISIKA
1. Kecerahana m coral: >5
mangrove: -
lamun: >3
2. Kebauan - alami3
3. Kekeruhana NTU <5
4. Padatan tersuspensi totalb mg/l coral: 20
mangrove: 80
lamun: 20
5. Sampah - nihil1(4)
6. Suhuc 0C alami3(c)
coral: 28-30
mangrove: 28-32
lamun: 28-30
7. Lapisan minyak5 - nihil1(5)
KIMIA
1. pHd - 7-8,5(d)
2. Salinitase 0/
00 alami3(e)
coral: 33-34(e)
mangrove: s/d 34(e)
lamun: 33-34(e)
3. Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4. BOD5 mg/l 20
5. Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3
6. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
7. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
8. Sianida (CN-) mg/l 0,5
9. Sulfida (H2S) mg/l 0,01
10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003
11. Senyawa Fenol total mg/l 0,002
12. PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0,01
13. Surfaktan (deterjen) mg/lMBAS 1
14. Minyak & lemak mg/l 1
15. Pestisida µg/l 0,01
16. TBT (tributil tin)7 µg/l 0,01
Logam Terlarut
17. Raksa (Hg) mg/l 0,001
18. Kromium hesavalen (Cr(VI)) mg/l 0,005
19. Arsen (AS) mg/l 0,012
20. Kadmium (Cd) mg/l 0,001
21. tembaga (Cu) mg/l 0,008
22. Timbal (Pb) mg/l 0,008
23. Seng (Zn) mg/l 0,05
24. Nikel (Ni) mg/l 0,05
BIOLOGI
1. Coliform (total)g MPN/100 ml 1000(g)
2. Patogen sel/100 ml nihil1
3. Plankton sel/100 ml tidak bloom5
1. RADIO NUKLIDA
Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4
62
Lampiran 3. (lanjutan)
Catatan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan
(sesuai dengan metode yang digunakan).
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada,
baik internasional maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang,
malam dan musim).
4. Pengamatan oleh manusia (visual ).
5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah
lapisan tipis (thin layer ) dengan ketebalan 0,01mm.
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat
menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan
dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan
plankton itu sendiri.
7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal.
64
Rata-Rata Total 74,24 22,38 6,82 4,35 1,44 7,27 0,58 1,92 10,89 12,36
56
65
66
Lampiran 10. Data biomasa basah dan kering lamun di Pulau Pramuka
Biomas basah (grm/m2) Biomas Kering (grm/m2)
Stasiun Substasiun
Atas Bawah Atas Bawah
111 4,656 5,9376 0,8187 6,7563
112
113 0,6705 2,4300 0,1964 2,6264
121 1,8554 1,3906 0,4246 1,8152
1 122 0,0063 0,7508 0,0042 0,7550
123 0,0048 0,0418 0,0038 0,0456
131 1,0837 0,0675 0,2554 0,3229
132
133 2,3787 9,469 0,7613 10,2303
Rata-rata 33,9344 50,2376 94,7067 11,6190
211 1,1421 3,2539 0,4167 3,6706
212 0,8326 0,3036 0,3036
213 1,7938
221 0,0675 0,7201 0,7201
2 222 1,2973 0,3164 0,4414 0,7578
223 0,0237
231 0,0265
232
233 6,3357
Rata-rata 17,7256 15,7449 58,7935 5,4771
311 10,2369 33,5813 1,9492 21,6950
312 8,2280 6,5955 1,8009 2,0991
313 2,1327 4,2441 1,1582 1,4451
321 9,8775 5,4304 0,1121 1,7793
3 322 0,4372 1,5328 1,6331 0,5039
323 1,9692 4,6451 0,1613 1,5045
331 0,1392 0,1617 0,5102 0,0993
332 19,2866 50,4990 5,3158 25,6211
333
Rata-rata 246,6162 503,0170 59,5983 258,1202
Total rata-rata 104,1996 218,8391 25,5648 130,0504
68
Lampiran 11. Data biomasa basah dan kering lamun di Pulau Kelapa Dua
Biomas basah (grm/m2) Biomas Kering (grm/m2)
Stasiun Substasiun
Atas Bawah Atas Bawah
111 0,1800 0,1733 0,0730 0,0839
112 0,0369 0,0890 0,0284 0,0712
113 1,8989 2,0209 0,6367 0,8684
114 1,4019 6,8585 0,4686 2,7886
115 0,5767 0,3259 0,1854 0,2188
121 0,0874 0,6224 0,0242 0,2772
122 1,3852 2,1268 0,5099 0,7489
1 123 0,6465 1,8253 0,2825 0,9684
124
125
131 1,2987 5,2869 0,3921 2,8868
132 1,2256 7,7322 0,4490 4,2266
133 2,4703 10,1723 0,7187 4,7030
134
135
Rata-rata 23,7964 31,7151 105,3580 10,6636
211 0,0492 0,1462 0,0308 0,1140
212 1,9551 6,9157 0,7667 3,8205
213 1,5433 4,7430 0,4502 2,0137
214 0,6095 0,3271
215
221 0,1015 0,5544 0,0343 0,2582
222 0,5562 11,2779 0,1793 4,3645
2 223 0,7591 16,6314 0,2466 11,1314
224 2,2017 5,2075 0,4385 2,8628
225
231
232 0,3718 0,8520 0,1256 0,2643
233
234
235
Rata-rata 16,0040 21,3297 132,8172 6,4290
311 0,6048 0,2545
312 3,3857 8,8406 1,2605 5,7562
313 0,3848 1,0043 0,1040 0,3681
314
315
321 0,1086 0,2805 0,0606 0,1351
322 0,0036 0,0999 0,0026 0,0644
3 323 0,0089 0,1579 0,0059 0,1268
324
325
331
332 1,8188 0,7721
333
334
335
Rata-rata 33,0357 108,7165 12,1698 63,4737
Total Rata-rata 28,6935 115,6305 9,7541 61,7147
69