Anda di halaman 1dari 20

A.

KETIMPANGAN GENDER PERSPEKTIF PEMBANGUNAN


Salah satu faktor penentu daya saing suatu negara adalah kualitas sumber daya manusia,
baik dalam hal kemampuan, skill, maupun produktivitasnya. Jika melihat komposisi jumlah
penduduk, sumber daya manusia laki-laki dan perempuan hampir setara. Artinya, pembangunan
yang dicapai, separuhnya ditentukan oleh perempuan. Untuk meningkatkan daya saing negara
dan pembangunan, sebuah negara perlu meningkatkan kesetaraan gender, yaitu meningkatkan
hak, tanggung jawab, kapabilitas dan peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki.
Sayangnya, potret kesetaraan ini masih tercoreng oleh berbagai diskriminasi yang masih terus
dialami oleh perempuan.
Diskriminasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam proses yang cukup panjang. Paham
patriarki yang membentuk pemikiran bahwa laki-laki dianggap lebih superior dalam semua lini
kehidupan telah menjadi pemicu terjadinya diskriminasi. Perbedaan perilaku, status, dan otoritas
antara laki-laki dan perempuan menjadi hal yang turun temurun dipraktikkan di masyarakat.
Ketidakadilan gender tersebut termanifestasi dalam bentuk stereotype, marjinalisasi, subordinasi
dan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Stereotype yang selama ini melekat dalam benak masyarakat adalah perempuan hanya
identik dengan kegiatan domestik atau rumah tangga. Sedangkan laki-laki dianggap sebagai
pelaku sentral dalam keluarga. Kaum perempuan juga mengalami marjinalisasi atau proses
peminggiran. Dalam dunia kerja, perempuan mendapatkan upah yang jauh di bawah upah rata-
rata laki-laki dan memiliki peluang lebih rendah dalam memasuki pasar tenaga kerja (BPS &
KPPPA, 2016a). Dalam pengambilan keputusan, perempuan pun masih termarginalisasi. Sebagai
contoh, berdasarkan hasil pemilu 2014-2019 persentase anggota parlemen perempuan hanya
mencapai 17,32 persen (BPS, 2017). Dalam pengambilan kebijakan di sektor kepemerintahan,
perempuan yang menduduki jabatan structural PNS tidak sampai 30 persen (BPS & KPPPA,
2016b). Dalam tindak kekerasan, perempuan kerap menjadi objek. Hasil pendataan Survei
Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia
15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/ atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan
selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12
bulan terakhir (BPS, Maret 2017).
Dengan adanya berbagai fakta indikasi ketimpangan pencapaian dan pemberdayaan
antara laki-laki dan perempuan, kesetaraan gender masih menjadi target penting dalam
pembangunan manusia. Kesetaraan gender yang dimaksud menurut Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) adalah pandangan bahwa semua orang menerima perlakuan yang setara dan tidak
didiskriminasi berdasarkan jenis kelamin mereka. Hal ini diduga masih ditemukannya
diskriminasi perempuan dalam berbagai lini kehidupan yang tidak hanya terjadi di Indonesia,
namun terjadi di berbagai belahan bumi lainnya.
PBB pada September 2015 meluncurkan program pembangunan berkelanjutan yang
diberi nama “Sustainable Development Goals” (SDGs) untuk menggantikan program
sebelumnya “Millennium Development Goals” (MDGs) yang telah berakhir 2015 (BPS, 2015a).
SDGs memiliki 17 program dan berlaku bagi semua negara, termasuk Indonesia. Isu gender
masuk dalam agenda pembangunan Tujuan 5. Isi tujuan tersebut diantaranya mencapai
kesetaraan gender, memberdayakan perempuan, dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan.
Di Indonesia, isu kesetaraan gender juga tertuang dalam visi pembangunan nasional,
yaitu mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Hal tersebut mengisyaratkan
bahwa adil berarti tidak ada pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apapun, baik individu,
wilayah, maupun jenis kelamin. Penghapusan diskriminasi gender di semua bidang kemudian
menjadi isu yang terus menerus dibahas sebagai target pembangunan.
Dalam RPJMN 2014-2019 (Bappenas, 2014) perspektif gender di semua bidang dan
tahapan pembangunan sangat ditekankan. Kesetaraan dalam pembangunan tersebut tidak lain
untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembangunan yang
berkelanjutan. Target pembangunan dalam hal kesetaraan gender adalah peningkatan kualitas
hidup perempuan, peningkatan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan, pengintegrasian
perspektif gender di semua tahapan pembangunan, dan penguatan kelembagaan
pengarusutamaan gender, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Secara spesifik, program kesetaraan gender merupakan bagian tugas Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Dalam program Three Ends,
kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan manusia, dan kesenjangan ekonomi
merupakan tiga permasalahan yang harus diselesaikan dalam rangka meningkatkan
pemberdayaan dan kualitas hidup perempuan.
Untuk mengevaluasi sejauh mana kesetaraan dan pemberdayaan gender yang sudah
tercapai dapat dilihat dari berbagai ukuran. Indikator-indikator yang menunjukkan capaian-
capaian pembangunan berbasis gender akan memberikan gambaran yang nyata tentang
pengarusutamaan gender di Indonesia.

B. INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER


Penguatan sistem penyediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data terpilah gender
sangatlah penting untuk penyusunan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan/program/kegiatan
pembangunan. Oleh sebab itu, pengukuran pencapaian pembangunan manusia berbasis gender
menjadi hal yang sangat diperlukan.
Pengukuran pembangunan gender di Indonesia dimulai sejak United Nations
Development Program (UNDP) mengeluarkan laporan berkalanya yaitu Human Development
Report (HDR) di tahun 1990 yang mencantumkan Human Development Index (HDI) atau Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sebagai ukuran kemajuan suatu negara (BPS, 2015b). Lima tahun
kemudian, UNDP menambah konsep HDI dengan kesetaraan gender (Gender Equality). Sejak
UNDP memasukkan kesetaraan gender dalam HDR, faktor kesetaraan gender selalu
diikutsertakan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan setiap negara.
Ukuran kesetaraan gender yang disusun UNDP sejak tahun 1995 adalah Gender
Development Index (GDI) dan Gender Empowerement Measure (GEM). Ukuran-ukuran tersebut
bertitik tolak pada konsep kesetaraan. Perhitungan GDI mencakup kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal capaian kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Sedangkan GEM
mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan pemberdayaan dalam sektor sosial-ekonomi.
Di Indonesia, GDI atau Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan GEM atau Indeks
Pemberdayaan Gender (IDG) telah dihitung Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2009 atas
kerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Pada tahun 2010, UNDP melakukan perubahan metodologi pengukuran GDI disertai
dengan penghitungan HDI laki-laki dan perempuan. Menyesuaikan perubahan ini, pada tahun
2015 Indonesia merilis IPG metode baru dengan backcasting data hingga tahun 2010. Sementara
itu, metode penghitungan IDG belum berubah hingga saat ini meskipun sejak tahun 2010 UNDP
telah menghilangkan GEM dalam publikasi tahunannya (HDR). Pada saat yang bersamaan,
UNDP mempublikasikan Gender Inequality Index (GII) sebagai salah satu ukuran yang dianggap
lebih tepat menggambarkan pemberdayaan sekaligus kesejahteraan antara laki-laki dan
perempuan.

C. INDEKS KETIMPANGAN GENDER SEBAGAI PERBAIKAN INDIKATOR


SEBELUMNYA
UNDP memperkenalkan GII sebagai ukuran ketimpangan gender pada tahun 2010. GII
menggambarkan deprivasi pembangunan manusia sebagai dampak dari ketimpangan pencapaian
pembangunan antara lakilaki dan perempuan (UNDP, 2016). GII dapat menyempurnakan
kelemahan GEM dan GDI yang diduga memiliki berbagai kelemahan baik dalam hal teknis
maupun konseptual.
Dalam hal teknis pengukuran, GEM menggunakan bobot yang sama (equal weighting)
untuk setiap komponen penyusunnya padahal setiap komponen indeks memiliki varians yang
berbeda (Djikstra, 2002 dalam Jager & Rohwer, 2009). Dalam hal konsep, GEM merefleksikan
urban elite bias dengan menggunakan indikator yang hanya relevan bagi negara maju (Klasen,
2006). Di sisi lain, kegagalan dalam mengukur kekuatan perempuan dalam pengambilan
keputusan di tingkat rumah tangga (domestik) juga menjadi salah satu kelemahan GEM (Beteta,
2006 dalam Jager & Rohwer, 2009).
Sementara itu GDI memiliki kelemahan dalam mengukur angka harapan hidup yang
digunakan sebagai ukuran gender gap padahal ada perbedaan aspek biologis/genetis antara laki-
laki dan perempuan. Di sisi lain, pendapatan dalam bentuk nilai nominal dapat menarik IPM
perempuan menjadi jauh lebih rendah dari IPM laki-laki (Klasen, 2006). Selain itu, di beberapa
negara, data pendapatan tidak tersedia sehingga lebih banyak dilakukan imputasi.
Untuk mengakomodir kelemahan GDI dan GEM, GII menawarkan perbaikan metodologi
dan alternatif indikator untuk mengukur ketidaksetaraan gender dalam tiga dimensi, yaitu
kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan partisipasi di pasar tenaga kerja. Dimensi pertama
(kesehatan reproduksi) adalah isu gender yang timbul akibat adanya ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender, yaitu adanya diskriminasi dan kegagalan negara dan masyarakat dalam
pemenuhan hak-hak seksual dan reproduksi perempuan. Aspek inilah yang menjadi ukuran khas
dari GII yang tidak terdapat dalam GEM dan GDI.
Dimensi kesehatan dalam GII mengukur ketimpangan gender sebagai perbedaan sosial
antara laki-laki dan perempuan yang berdampak terhadap outcome kesehatan. Lebih luas lagi,
ketidaksetaraan gender yang dimaksud adalah adanya perbedaan peran antara laki-laki dan
perempuan, ketidaksamaan hubungan kekuasaan di antara mereka, sehingga mengakibatkan
perbedaan terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan mereka. Ukuran kesehatan inilah
yang kemudian dikembangkan dalam pengukuran GII.
Pada pengukuran GII, komponen pendapatan yang bias negara maju, bias kelompok elit,
atau bias daerah perkotaan, tidak lagi dimasukkan. Disamping itu, metode atau formula
penghitungan GII sudah mempertimbangkan berbagai komponen seperti pembobotan dan
pengaggregasian. Pencapaian nilai yang sangat tinggi dalam satu dimensi tidak akan menutup
pencapaian yang rendah di dimensi lainnya. UNDP mengakui bahwa dari waktu ke waktu GII
terus menerus mengalami perbaikan pengukuran.
Seiring dengan pengembangan pengukuran ketimpangan gender yang dilakukan UNDP,
maka BPS melakukan kajian awal penyusunan GII atau Indeks Ketimpangan Gender (IKG). Hal
ini perlu dilakukan untuk memperoleh IKG yang sesuai dengan kondisi Indonesia namun tetap
ilmiah dan memerhatikan aspek konseptual.
Salah satu aspek yang dihasilkan dari kajian ini adalah metodologi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara statistik. Hal ini dilakukan sebagai dampak dari metodologi GII
UNDP tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Faktor penyebab permasalahan ini
adalah adanya komponen indikator yang tidak tersedia secara berkala dan tidak tersedia sampai
level kabupaten/kota di Indonesia. Dengan demikian, harapannya kajian awal ini dapat
menghasilkan indikator komposit yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan
mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kondisi wilayah di Indonesia/local specific issues,
ketersediaan data, maupun metodologi yang tepat secara statistik.

A. KONSEP KETIMPANGAN GENDER


Paradigma yang muncul dibenak masyarakat saat ini menerjemahkan gender sebagai
jenis kelamin. Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis
kelamin (Echols dan Shadily, 1983). Namun, seiring dengan perkembangan konsep gender, maka
gender merujuk pada laki-laki dan perempuan, status keduanya dan posisi relative antar
keduanya (Lopez-Carlos and Zahidi, 2005). Gender merupakan sebuah variabel sosial ekonomi
yang muncul sebagai akibat dari hubungan berbagai faktor seperti ras, umur, kelompok sosial
dan etnis.
Konsep gender bermula dari adanya pengakuan berbagai ahli bahwa perbedaan
kepribadian dan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidak bersifat universal, tetapi
ditentukan oleh kebudayaan, sejarah, dan struktur sosial masyarakat tertentu. Gender merupakan
perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan jenis kelamin. Sehingga gender
diartikan sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh
kebudayaan (Oakley dalam Daulay, 2007).
Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar berperan dan berpartisipasi
dalam berbagai aspek kehidupan. Kesetaraan gender adalah kondisi perempuan dan laki-laki
untuk menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara
penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan.
Amartya Sen (1989) mengemukakan pembangunan manusia adalah perluasan kebebasan
yang nyata yang dinikmati oleh manusia dan melekat pada berbagai aspek, yaitu pemberdayaan,
partisipasi dan kerjasama, keamanan, keberlanjutan, dan kesetaraan. Meningkatkan kapabilitas
perempuan untuk memperluas pilihannya tidak hanya berdampak bagi perempuan itu sendiri
namun pada pembangunan keseluruhan. Oleh sebab itu, kesetaraan gender harus menjadi bagian
integral dari pembangunan manusia yang berkelanjutan (UNDP, 1995). Kesetaraan peluang laki-
laki dan perempuan dalam mencapai kesejahteraan merupakan kunci dari pembangunan
manusia. Dengan demikian, konsep pembangunan manusia sebagai gambaran kesejahteraan
perlu dijabarkan lebih rinci antara laki-laki dan perempuan.

B. CAPAIAN PEMBANGUNAN MANUSIA SEBAGAI UKURAN KESEJAHTERAAN


Pembangunan manusia merupakan proses perluasan pilihan, yaitu kebebasan berpolitik,
partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, pilihan untuk berpendidikan, bertahan hidup dan
sehat, menikmati standard hidup layak (Haq, 1995). Berdasarkan paradigma yang dikemukakan
oleh Amartya Sen (1989), pembangunan manusia adalah perluasan kebebasan yang nyata yang
dinikmati oleh manusia. Kebebasan bergantung pada faktor sosial ekonomi seperti akses pada
pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan politik. Pembangunan manusia adalah mean and
end, yang berarti cara dan tujuan akhir (Sen, 1989).
Dari beberapa terminologi pembangunan manusia di atas, dalam HDR pembangunan
manusia diartikan sebagai proses dimana masyarakat dapat memperluas berbagai pilihan-
pilihannya. Pendapatan merupakan salah satu penentu pilihan, tetapi faktor yang lebih penting
lainnya adalah kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik yang baik serta kebebasan dalam
bertindak (UNDP, 1996).
Konsep ini berbeda dibanding kosep klasik pembangunan yang memberikan perhatian
utama pada pertumbuhan ekonomi. Pembangunan manusia memfokuskan tujuan akhir dari
pembangunan. Untuk menghidari kekeliruan dalam memaknai konsep ini, perbedaan antara cara
pandang pembangunan manusia terhadap pembangunan dengan pendekatan konvensional yang
menekankan pertumbuhan ekonomi, pembentukan modal manusia, pembangunan sumber daya
manusia, kesejahteraan rakyat, dan pemenuhan kebutuhan dasar, perlu diperjelas. Konsep
pembangunan manusia mempunyai cakupan yang lebih luas dari teori konvensional
pembangunan ekonomi.
Model ‘pertumbuhan ekonomi’ lebih menekankan pada peningkatan pendapatan nasional
daripada memperbaiki kualitas hidup manusia. ‘Pembangunan sumber daya manusia’ cenderung
untuk memperlakukan manusia sebagai input dari proses produksi – sebagai alat, bukan sebagai
tujuan akhir. Pendekatan ‘kesejahteraan’ melihat manusia sebagai penerima dan bukan sebagai
agen dari perubahan dalam proses pembangunan.
Adapun pendekatan ‘kebutuhan dasar’ terfokus pada penyediaan barangbarang dan jasa-
jasa untuk kelompok masyarakat tertinggal, bukannya memperluas pilihan yang dimiliki manusia
di segala bidang.
Dalam Publikasi HDR yang pertama tahun 1990, pembangunan manusia didekati dengan
perluasan pilihan untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk
mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak (UNDP,
1996). Oleh sebab itu, ukuran pembangunan manusia mempertimbangkan dimensi kesehatan,
pendidikan dan ekonomi yang tidak hanya sematamata merujuk pada konsep lama yang hanya
memandang pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran kesejahteraan.
Pembangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya, yaitu gender. Kesetaraan
gender dalam pembangunan manusia adalah terpenuhinya hak dasar yang setara bagi laki-laki
maupun perempuan. Dengan hak dasar ini, maka laki-laki dan perempuan memiliki hak yang
sama dalam meningkatkan kapabilitasnya dalam menciptakan pembangunan sosial ekonomi
suatu negara, selain mendapatkan manfaat dari partisipasinya dalam masyarakat. Hak dasar yang
dicakup diantaranya terpenuhinya pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan, dan
lingkungan sosial yang layak. Namun, dalam pengukuran pembangunan manusia, hanya tiga
dimensi yang diukur, yaitu kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak. Ketiga dimensi
tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor.

C. KONSEP PEMBERDAYAAN GENDER


Dalam kamus bahasa Indonesia, pemberdayaan berasal dari kata dasar
“daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian
tersebut maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses
menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/
kemampuan. Pengertian “proses” menunjukan pada serangkaian tindakan
atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang
mencerminkan pertahapan upaya mengubah kaum yang kurang atau
belum berdaya menuju keberdayaan. Oleh sebab itu, pemberdayaan
gender lebih mengacu pada konsep adanya proses “opportunity” bukan
pada hasil akhir atau outcome. Hal ini sesuai dengan konsep UNDP (1995)
yang memfokusken makna pemberdayaan pada “opportunity” bukan pada
kapabilitas, yang menjadi ukuran well-being.
14 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Pelibatan perempuan dalam berbagai aktivitas telah menjadi bagian
komitmen dari berbagai organisasi dunia. Salah satu Konferensi
Perempuan yang diselenggarakan UNDP di Beijing menghasilkan
kesepakatan bahwa pemberdayaan perempuan dan partisipasi dalam
setiap aspek kehidupan, termasuk pengambilan keputusan dan akses
terhadap kekuasaan merupakan dasar bagi kesetaraan, pembangunan
dan perdamaian di dunia (UN, 1995). Selanjutnya, pengarusutamaan
gender menjadi salah satu agenda penting dalam setiap penentuan
kebijakan. Hal ini didasari atas pemikiran bahwa pemberdayaan gender
bukan sesuatu hal yang bisa datang dengan sendirinya tanpa campur
tangan eksternal (inisiatif khusus). Oleh sebab itu, program pemerintah
perlu disusun untuk menciptakan kondisi bahwa perempuan diberikan
kesempatan untuk menjadi agen dalam pembangunan.
Konsep pemberdayaan juga bermakna suatu proses pembangunan
kapasitas yang mengarah pada partisipasi, pengambilan keputusan,
kontrol, dan tindakan perubahan ke arah yang lebih luas (Karl, 1995).
Dengan demikian, kesetaraan pemberdayaan gender ditujukan untuk
tercapainya kesamaan akses laki-laki dan perempuan dalam pengambilan
keputusan, pelibatan dalam berbagai aspek kehidupan baik dalam lingkup
publik maupun domestik.
Berbagai indikator yang umum yang digunakan dalam mengukur
pemberdayaan diantaranya:
1. Partisipasi dalam pendidikan dan pelatihan
2. Partisipasi dalam dunia kerja, seperti tingkat partisipasi angkatan
kerja, pekerja pada posisi tertentu seperti posisi manajerial,
administratif, dan tenaga profesional
3. Partisipasi dalam jabatan publik, seperti anggota parlemen, dan
pekerja pemerintah
D. BERBAGAI UKURAN KETIMPANGAN GENDER DENGAN INDEKS
KOMPOSIT
Untuk mengevaluasi sejauh mana gambaran ketidaksetaraan gender
diperlukan sebuah indikator. Indeks komposit umumnya dipilih sebagai
suatu ukuran yang menganggregasikan berbagai indikator multi dimensi.
Beberapa institusi internasional telah melakukan berbagai pengukuran
indeks dengan berbagai versi dan pendekatan. World Economic Forum
(WEF) menyusun Global Gender Gap Index (GGGI), Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD) Development Centre
memiliki Social Institutions and Gender Index (SIGI), Social Watch menyusun
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH
INDIKATOR 15
Tabel 2.1 Berbagai Ukuran Kesetaraan Gender
No Institusi Indikator Komponen Konsep/
Pendekatan Publikasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1
United Nations
Development Programs
(UNDP).
Gender
Development
Index (GDI)
4 Indikator 3
Dimensi
Pembangunan
manusia
Tahunan,
1995-2009
2
United Nations
Development Programs
(UNDP).
Gender
Empowerment
Measure (GEM)
4 Indikator 3
Dimensi Pemberdayaan Tahunan,
1995-2009
3
United Nations
Development Programs
(UNDP).
New Gender
Development
Index (nGDI)
4 Indikator 3
Dimensi
Pembangunan
manusia
Tahunan,
2010 -
sekarang
4 World Economic Forum
(WEF)
Global Gender
Gap Index
(GGGI)
14 Indikator
5 dimensi
Disparitas
gender
Tahunan,
2006 -
sekarang
5 OECD Development
Centre
Social
Institutions and
Gender Index
(SIGI)
14 Indikator
5 dimensi
Norma sosial
dan diskriminasi
dalam institusi
sosial
2009, 2012,
2014
6 Social Watch Gender Equity
Index (GEI)
11 Indikator
3 dimensi
Disparitas
gender
2004-2007,
2008, 2009,
2012
7 European Institute for
Gender Equality (EIGE)
European
Union - Gender
Equity Index
(EU-GEI)
20 Indikator,
8 dimensi
Kesetaraan
gender
multidimensi
Dua tahunan
sejak 2013
Sumber: Gender Equality in Human Development-Measurement Revisited, UNDP (2015)
Gender Equity Index (GEI). Sedangkan European Institute for Gender Equality
(EIGE) memiliki European Union-Gender Equity Index (EU-GEI).
Di Indonesia, pengukuran kesetaraan gender merujuk pada UNDP.
UNDP memiliki GDI dan GEM yang telah disusun sejak tahun 1995. Latar
belakang penyusunan GDI adalah adanya kelemahan HDI yang hanya
menggambarkan pencapaian rata-rata seluruh penduduk, tanpa melihat
adanya kesenjangan antar kelompok penduduk, termasuk gender. GDI
kemudian diperbaiki tahun 2010 dengan adanya metode pengukuran
baru yang disebabkan adanya berbagai permasalahan konseptual,
metodologi dan ketersediaan data, diantaranya permasalahan komponen
pendapatan (Klasen, 2009). Uraian lebih rinci mengenai berbagai ukuran
tersebut akan dibahas secara detail pada ulasan berikut.
16 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Dimensi Indikator Indeks Dimensi
(1) (2) (3)
Kesehatan Angka Harapan Hidup Indeks Kesehatan
Pendidikan 1. Angka melek huruf
2. Rata-rata lama sekolah Indeks Pendidikan
Ekonomi Sumbangan pendapatan Indeks distribusi pendapatan
Tabel 2.2 Komponen Penyusun GDI UNDP
menyebutkan bahwa GDI adalah ukuran yang kurang tepat sebagai
sebuah ukuran ketimpangan gender. Salah satu penyebabnya adalah
penggunaan indikator pendapatan yang memiliki gap cukup besar
antara laki-laki dan perempuan. Sehingga ukuran tersebut kurang valid.
Di sisi lain, formula pengukuran GDI yang tidak dapat terpisahkan dari
HDI menjadi salah satu penyebab munculnya new GDI (nGDI) yang akan
dibahas pada ulasan berikutnya.
Sumber: UNDP (2010)
1. Gender Development Index (GDI)
GDI mengukur pencapaian pembangunan manusia tetapi mengungkapkan
ketidakadilan pencapaian kesejahteraan laki-laki dan perempuan.
Melalui angka GDI, kesenjangan atau gap kemampuan dasar antara
laki-laki dan perempuan mampu dijelaskan dengan melihat rasio antara
GDI dengan HDI. Semakin tinggi rasionya maka semakin rendah gap
kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan, sebaliknya semakin
rendah rasio maka semakin tinggi gap kemampuan dasar antara laki-laki
dan perempuan. Apabila nilai GDI sama dengan HDI, maka dapat dikatakan
tidak terjadi kesenjangan gender. Sebaliknya, GDI lebih rendah dari
HDI meNunjukkan kesenjangan gender yang tinggi. Dengan demikian,
interpretasi GDI tidak terpisahkan dari analisis HDI.
GDI disusun dari komponen kesehatan, pendidikan, dan hidup layak sama
halnya dengan HDI. Angka harapan hidup mewakili dimensi kesehatan,
angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mewakili dimensi
pengetahuan, serta sumbangan pendapatan mewakili dimensi ekonomi
yang disajikan menurut jenis kelamin. Dengan kata lain, dinamika GDI dari
waktu ke waktu sangat dipengaruhi oleh perubahan dari tiga komponen
tersebut.
Pengukuran GDI dengan penggunaan indikator dan teknis pengukurannya
yang kurang tepat menuai reaksi dari berbagai pakar. Klasen (2006)
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH
INDIKATOR 17
Kelemahan lain adalah penggunaan indikator kesehatan dalam GDI yang
sejauh ini masih menggunakan angka harapan hidup (AHH). Kelemahan
pengukuran ketimpangan gender dengan menggunakan AHH dinilai
memiliki bias yang disebabkan faktor genetik atau alamiah. Sehingga
untuk menggambarkan gender gap kurang tepat (Jager & Rohwer, 2009).
Indikator ini juga tidak menggambarkan konstruksi sosial yang dapat
membedakan capaian pembangunan gender (Klasen, 2004).
Keberlangsungan hidup laki-laki dan perempuan yang tergambar
dalam harapan hidup berkaitan erat dengan aspek biologis. Hal ini telah
dibuktikan dengan barbagai penelitian. Perempuan memiliki umur
yang lebih panjang. Aspek tersebut kemudian disebut dengan “Female
Advantages” (FA) atau kelebihan perempuan (Lemaire, 2002). Perempuan
memiliki gen dan hormon yang menguntungkan untuk hidup lebih lama.
Sedangkan secara gaya hidup, laki-laki lebih memiliki risiko kematian
lebih tinggi karena stress, kebiasaan merokok dan pekerjaan berat. Namun
demikian, secara praktik di beberapa wilayah, tindakan diskriminasi,
kekerasan, agama dan budaya acap kali menyebabkan rendahnya peluang
akses perempuan dalam bidang kesehatan (Lemaire, 2002). Penelitian lain
yang mendukung diantaranya Apfel (1982) yang menyebutkan bahwa
perempuan memiliki umur yang panjang tetapi lebih sering mengalami
sakit. Sedangkan menurut Verbrugge (1985) laki-laki memiliki peluang
yang lebih tinggi dalam hal menderita penyakit kronis atau fatal yang tibatiba.
2. Gender Empowerment Measure (GEM)
GEM memperlihatkan sejauh mana peran aktif perempuan dalam
kehidupan ekonomi dan politik. Peran aktif perempuan dalam kehidupan
ekonomi dan politik mencakup partisipasi berpolitik, partisipasi ekonomi
dan pengambilan keputusan serta penguasaan sumber daya ekonomi
yang disebut sebagai dimensi GEM.
GEM diukur berdasarkan tiga komponen, yaitu keterwakilan perempuan
dalam parlemen; perempuan sebagai tenaga profesional, manajer,
administrasi, dan teknisi; dan sumbangan pendapatan. Dengan demikian,
arah dan perubahan GEM sangat dipengaruhi oleh ketiga komponen
tersebut.
Dalam penghitungan GEM, terlebih dahulu dihitung EDEP (Equally
Distributed Equivalent Persentage) yaitu indeks untuk masing-masing
komponen berdasarkan persentase yang ekuivalen dengan distribusi
penduduk yang merata. Penghitungan sumbangan pendapatan untuk
18 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Dimensi Indikator Indeks Dimensi
(1) (2) (3)
Keterwakilan di
Parlemen
Persentase anggota parlemen; lakilaki
& perempuan
Indeks keterwakilan
perempuan dalam parlemen
Pengambilan
keputusan
Persentase pejabat tinggi, manajer,
pekerja profesional dan teknisi; lakilaki
& perempuan
Indeks pengambilan
keputusan
Distribusi
Pendapatan
Persentase upah buruh non
pertanian disesuaikan; laki-laki &
perempuan
Indeks sumbangan
pendapatan
Tabel 2.3 Komponen Penyusun GEM UNDP
Sumber: UNDP (2010)
GEM sama dengan penghitungan untuk GDI. Selanjutnya, masing-masing
indeks komponen, yaitu nilai EDEP dibagi 50. Nilai 50 dianggap sebagai
kontribusi ideal dari masing-masing kelompok gender untuk semua
komponen GEM.
Dari berbagai ukuran tersebut, berbagai ahli mengemukakan bahwa GEM
mengandung banyak kelemahan. Penggunaan indikator parlemen dan
tenaga manajerial/profesional dianggap hanya relevan bagi negara maju
(bias kelompok elit, dan bias daerah perkotaan) (Klasen, 2006). Penggunaan
proporsi pekerja profesional, dan manajer juga bukan menggambarkan
power dalam pengambilan keputusan, namun lebih merefleksikan
power dalam ekonomi (Gaye, dkk, 2010). Selain itu, penggunaan
indikator pendapatan juga sama lemahnya dengan pendapatan dalam
penghitungan GDI (Djikstra, 2002 dalam Jager & Rohwer, 2009).
Kelemahan lain adalah penggunaan indikator pengambilan keputusan
yang hanya dilihat dari aspek ekonomi semata. Padahal ketimpangan
gender lebih banyak terjadi pada aspek non-ekonomi seperti pengambilan
keputusan dalam rumah tangga, seksualitas, pemilihan kontrasepsi,
dan aspek lain yang sesungguhnya memiliki konsep partisipasi yang
berdampak pada ketimpangan power antara laki-laki dan perempuan
(Beteta, 2006). Beberapa studi mendalam berskala kecil, antara lain
oleh A. Mustika dkk (2013) dan M.A.P. Palit (2009), menunjukkan bahwa
perempuan mempunyai peran yang dominan dalam banyak keputusan
rumah tangga, seperti memutuskan menu makanan, pembelian alatalat
rumah tangga, pemeliharaan kesehatan anggota rumah tangga, dan
mengatur pembayaran sekolah. Bahkan dalam usaha rumah tangga,
perempuan juga berperan sebagai pengambil keputusan yang penting.
Dalam rumah tangga nelayan, misalnya, A. Azizi dkk (2012) mengutarakan
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH
INDIKATOR 19
Dimensi Indikator Indeks Dimensi
(1) (2) (3)
Kesehatan Angka Harapan Hidup Indeks Kesehatan
Pendidikan/
Pengetahuan
1. Harapan lama sekolah
2. Rata-rata lama sekolah Indeks Pendidikan
Ekonomi/Standard
hidup layak Pendapatan Nasional Bruto Indeks Pendapatan
Tabel 2.4 Komponen Penyusun nGDI UNDP
Sumber: UNDP (2010)
bahwa para isteri nelayan di Semarang Utara merupakan pengambil
keputusan yang dominan dalam pengolahan hasil tangkapan ikan dan
pemasaran hasil olahan tersebut. Sementara itu U.P. Astuti dkk (2012)
menyebutkan bahwa di kalangan keluarga petani budidaya padi sawah
di Kepahiang, Bengkulu, perempuan adalah pengambil keputusan utama
dalam pembelian sarana produksi, kegiatan budidaya, kegiatan panen
dan pasca panen, serta pemasaran hasil.
3. New Gender Development Index (nGDI)
Penghitungan GDI berhenti dilakukan oleh UNDP mulai tahun 2010 hingga
2013. Pada tahun 2014, UNDP kembali melakukan penghitungan GDI
dengan menggunakan metode baru. Perubahan metode ini merupakan
penyesuaian dengan perubahan yang terjadi pada HDI. Selain sebagai
penyempurnaan dari metode sebelumnya. nGDI merupakan pengukuran
langsung terhadap ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam
pencapaian pembangunan manusianya. Pada metode baru ini digunakan
rasio HDI perempuan dengan HDI laki-laki, sehingga bisa terlihat
pencapaian pembangunan manusia antara perempuan dengan laki-laki.
Dalam metode baru ini, dimensi yang digunakan masih sama seperti
yang GDI sebelumnya, yaitu: 1) umur panjang dan hidup sehat 2)
pengetahuan; dan 3) standar hidup layak. Menurut UNDP, ketiga dimensi
tersebut digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kualitas hidup,
dimana hakikatnya adalah mengukur capaian pembangunan manusia.
Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait
banyak faktor. Adapun yang disempurnakan dari GDI sebelumnya adalah
penggantian beberapa indikator untuk menyempurnakan metodologi
yang digunakan. Dimensi pengetahuan menggunakan angka harapan
lama sekolah dan angka rata-rata lama sekolah. Selanjutnya untuk
20 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
mengukur dimensi standar hidup layak digunakan Produk Nasional Bruto
(PNB) per kapita.
Pengukuran nGDI dianggap lebih baik karena memisahkan capaian
pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan. Namun
kelemahan dari nGDI ini adalah pendapatan umumnya tersedia pada level
rumah tangga, sehingga disaggregasi laki-laki perempuan akan menjadi
sulit (Akder, 1994 dalam Klasen & Schuler, 2009). Selain itu konsekwensi dari
pengggunaan rasio pencapaian HDI perempuan terhadap laki-laki adalah
interpretasi hasilnya yang memerlukan kehati-hatian. Nilai nGDI yang
besar belum tentu menunjukkan kondisi pembangunan manusia yang
tinggi. nGDI yang tinggi bisa terjadi karena HDI laki-laki dan perempuan
sama-sama rendah.
4. Gender Inequality Index (GII)
Berawal dari reaksi mengenai pengukuran GDI yang dianggap bukanlah
indeks untuk mengukur ketidaksetaraan dan pengukuran GEM yang
menuai banyak kritik para pakar, UNDP memperkenalkan GII tahun 2010.
Indeks ini menyempurnakan GDI dan GEM. Perhitungan GII tidak lagi
menggunakan indikator pendapatan sebagai salah satu komponennya,
karena adaya berbagai kritik terhadap gap pendapatan yang cukup tinggi
antara laki-laki dan perempuan dan ketersediaan data yang tidak terpenuhi
sampai tingkatwilayah tertentu. Selain itu, GII juga menggunakan formula/
teknis pengukuran yang lebih baik, dimana nilai yang tinggi dalam satu
dimensi tidak akan terlalu mendominasi hasil akhir.
GII memperlihatkan besarnya kegagalan/kerugian (loss) yang terjadi dalam
aspek-aspek pembangunan yang diukur akibat adanya ketidaksetaraan
gender. GII memiliki hasil antara 0-1. Angka 0 mencerminkan adanya
kesetaran gender yang sempurna yang menyebabkan pencapaian
pembangunan ada pada tingkat optimalnya, dan angka 1 mencerminkan
kesenjangan gender yang sempurna yang menyebabkan kerugian total
dalam pencapaian pembangunan akibat adanya ketidaksetaraan gender
tersebut.
Selanjutnya, GII menjadi tolok ukur bagi kualitas hidup dan peran
perempuan dalam pembangunan dengan menggunakan 3 aspek utama:
kesehatan, pemberdayaan, dan angkatan kerja. Aspek tersebut disusun
dari lima indikator seperti tergambar pada Tabel 2.5.
Hal yang berbeda dalam GII adalah penggunaan indikator kesehatan
yang tidak berlaku pada gender laki-laki. Dalam dimensi ini, kesehatan
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH
INDIKATOR 21
Dimensi Indikator Indeks Dimensi
(1) (2) (3)
Kesehatan
1. Angka Kematian Ibu
2. Angka Fertilitas Remaja
Indeks Kesehatan Reproduksi
Pemberdayaan
1. Persentase penduduk lakilaki
dan perempuan dengan
pendidikan minimal SMP
2. Persentase laki-laki dan
perempuan yang duduk di
parlemen
1. Indeks Pemberdayaan
Perempuan
2. Indeks Pemberdayaan Lakilaki
Pasar Tenaga Kerja 1. TPAK laki-laki dan perempuan
1. Indeks Pasar Tenaga Kerja
Perempuan
2. Indeks Pasar Tenaga Kerja
Laki-laki
Tabel 2.5 Komponen Penyusun GII UNDP
Sumber: UNDP (2010)
reproduksi ditujukan untuk melihat tujuan akhir dari pembangunan
kesehatan reproduksi adalah tidak adanya kasus kematian ibu dan
kehamilan usia dini. Rasionalisasi dari penggunaan kedua indikator ini
adalah bahwa keselamatan ibu hamil dalam melahirkan adalah gambaran
dari fungsi kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu, kesehatan
reproduksi juga sangat berisiko jika terjadi terlalu dini. Risiko ini akan
berdampak pada kondisi kesehatan secara umum dan masa depan
perempuan di masa depan. Kelahiran yang terlalu dini yang diukur dari
tingkat fertilitas remaja sangat berkaitan dengan risiko kesehatan ibu dan
bayinya. Selain itu, dalam jangka panjang pengaruh kelahiran usia dini
akan menyebabkan putus sekolah dan menimbulkan efek lain seperti
terciptanya pekerja dengan kemampuan rendah.
Meskipun UNDP merilis GII sejak tahun 2010, namun UNDP mengakui
bahwa GII merupakan salah satu indeks percobaan dalam mengukur
pembangunan manusia disamping dua ukuran lainnya, yaitu Inequalityadjusted
Human Development Index (IHDI) dan kemiskinan multidimensi
(Multidimentional Poverty Index). Kedepannya, GII akan terus disempurkan
dengan melihat ketersediaan data diberbagai negara dan perkembangan
konsep terkini.
5. Global Gender Gap Index (GGGI)
Pada tahun 2006 the World Economic Forum memperkenalkan the Global
Gender Gap Index (GGI). Indeks ini memfokuskan pada outcome. Dimensi
22 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Dimensi Indikator Indeks Dimensi
(1) (2) (3)
Partisipasi
dan
kesempatan
dalam
ekonomi
1. Rasio tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan
terhadap laki-laki
2. Rasio upah pada tingkat pekerjaan yang sama
perempuan terhadap laki-laki
3. Rasio pendapatan perempuan terhadap laki-laki
4. Rasio tenaga kerja perempuan terhadap lakilaki
pada jabatan senior dan manajer dalam
administrasi
5. Rasio perempuan terhadap laki-laki tenaga
profesional dan teknis
Indeks Ekonomi
Pendidikan
1. Rasio angka melek huruf perempuan terhadap
laki-laki
2. Rasio partisipasi sekolah perempuan terhadap lakilaki
pada tingkat pendidikan dasar
3. Rasio partisipasi sekolah perempuan terhadap lakilaki
pada tingkat pendidikan menengah
4. Rasio partisipasi sekolah perempuan terhadap lakilaki
pada tingkat pendidikan atas
Indeks Pendidikan
Kesehatan
1. Rasio angka harapan hidup perempuan terhadap
laki-laki
2. Sex rasio saat lahir perempuan terhadap laki-laki
Indeks Kesehatan
Politik
1. Rasio jumlah anggota parlemen perempuan
terhadap laki-laki
2. Rasio jumlah pekerja perempuan terhadap laki-laki
dalam tingkat pemerintahan/kementerian
3. Rasio lamanya waktu kepala negara perempuan
terhadap laki-laki dalam kurun waktu 50 tahun
Indeks
Pemberdayaan
Politik
Tabel 2.6 Komponen Penyusun GGGI UNDP
Sumber: Sumber: World Economic Forum (2006)
yang digunakan mencakup: partisipasi dan kesempatan dalam ekonomi,
pendidikan, kesehatan dan harapan hidup, dan politik. :
Kelemahan pengukuran GGGI menurut Klasen & Schuler (2009) adalah
penggunaan aggregasi yang sangat sederhana dari empat dimensi
yang ada. Selain itu, penimbang yang digunakan cukup kompleks
namun tidak mempertimbangkan perbandingan hasil antarwaktu.
Sedangkan kelemahan secara konseptual, GGGI mencampuradukan
konsep kesejahteraan dengan pemberdayaan dalam sebuah ukuran.
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH
INDIKATOR 23
Dimensi Indikator Indeks Dimensi
(1) (2) (3)
Diskriminasi dalam
norma keluarga
1. Legalitas pernikahan
2. Pernikahan dini
3. Pola asuh orang tua (parental authority)
4. Hukum adat waris (inheritance)
Indeks norma
keluarga
Kekerasan
1. Kekerasan terhadap perempuan
2. Sunat perempuan
3. Kebebasan dalam reproduksi
Indeks kekerasan
Bias gender
1. Preferensi fertilitas (anak kali-laki atau
perempuan)
2. Missing women (peluang kematian
perempuan yang disebabkan faktor
multidimensi)
Indeks bias
gender
Akses terhadap
akses
1. Akses terhadap tanah
2. Akses terhadap aset non-tanah
3. Akses terhadap modal
Indeks akses
terhadap aset
Tabel 2.7 Komponen Penyusun SIGI OECD Development Centre
Sumber: OECD (2014)
Kelemahan lain terletak pada penggunaan indikator pendapatan yang
memiliki banyak keterbatasan baik dari segi kelengkapan data maupun
konsepnya. Selain itu, indikator yang digunakan mencampuradukan
indikator spesifik perempuan dengan indikator yang terpilah gender (lakilaki
dan perempuan) (Gaye, dkk, 2010). Adapun indikator yang digunakan
disajikan pada Tabel 2.6.
6. Social Institutions and Gender Index (SIGI)
SIGI disusun oleh OECD sejak tahun 2009. Namun dipublikasikan tidak
setiap tahun. Pendekatan yang digunakan dalam mengukur ketimpangan
gender adalah kelembagaan, norma sosial dan diskriminasi. Kelebihan dari
SIGI adalah memasukkan institusi sosial (norma, budaya dan nilai) yang
mempengaruhi ketidaksetaraan gender. Hal ini tidak memfokuskan hasil
outcome tetapi faktor institusional yang mempengaruhi outcome tersebut
(Klasen & Schuler, 2009). Namun demikian, ukuran yang digunakan tidak
bersifat global dan terlalu mengacu pada isu yang sangat spesifik. Misalnya
saja penggunaan indikator sunat perempuan yang mungkin tidak bisa
diterapkan untuk semua wilayah. Selain itu, indikator ini masih menjadi
hal yang diperdebatkan (UNDP, 2015). Selain itu, kelemahan SIGI adalah
kesulitan dalam interpretasi hasilnya karena indikator komponennya yang
menggabungkan gender gap sekaligus indikator yang hanya berlaku bagi
perempuan saja (Gaye, akk, 2010).
24 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
Dimensi Indikator Indeks Dimensi
(1) (2) (3)
Pendidikan
1. Angka melek huruf
2. Penduduk yang menamatkan pendidikan dasar
3. Penduduk yang menamatkan pendidikan menengah
4. Penduduk yang menamatkan pendidikan atas
Indeks
pendidikan
Ekonomi
1. Ketimpangan tingkat partisipasi angkatan kerja
2. Ketimpangan pendapatan
3. Jumlah tenaga kerja yang berkategori tidak rentan
Indeks ekonomi
Pemberdayaan
1. Jumlah kursi di parlemen
2. Tenaga kerja pada jabatan senior dan manajer
dalam administrasi
3. Tenaga profesional dan teknis
4. Tenaga kerja dalam pemerintahan
Indeks
pemberdayaan
Tabel 2.8 Komponen Penyusun GEI Social Watch
7. Gender Equity Index (GEI)
Organisasi internasional lain yang mengukur kesetaraan gender melalui
indeks komposit adalah Social Watch pada tahun 2005. Social Watch
mengembangkan GEI sebagai ukuran kesetaraan dengan menggunakan
tiga dimensi: pendidikan, partisipasi ekonomi dan pemberdayaan.
Pendekatan yang digunakan adalah konsep disparitas gender untuk
setiap ukuran. Masing-masing komponen menggunakan indikator rasio,
sehingga memiliki nilai 0-100. Publikasi GEI tidak disusun setiap tahun.
Adapun indikator yang tercakup dalam pengukuran adalah sebagai
berikut:
Menurut Klasen & Schuler (2009), kelemahan GEI terletak pada metodologi
yang terlalu sederhana dalam mengagregasi indikator dimensi. Selain
itu, kerangka konseptualnya menyatukan konsep kesejahteraan dengan
pemberdayaan secara bersamaan dalam pengukuran. Namun dibalik
kesederhanaan tersebut justru melahirkan keunggulan tersendiri.
Indeks yang dihasilkan sangat mudah untuk dimengerti karena hanya
menggambarkan ranking tanpa melihat level/nilai (Gay,e dkk, 2010).
Sumber: Social Watch (2012)
8. European Union - Gender Equity Index (EU-GEI)
Indeks komposit yang dihitung oleh European Institute for Gender
Equality (EIGE) merupakan salah satu ukuran yang menggunakan konsep
multidimensi dalam menggambarkan kesetaraan gender. Indeks ini diukur
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH
INDIKATOR 25
Dimensi Indikator Indeks Dimensi
(1) (2) (3)
Pekerjaan
1. Partisipasi
2. Segregasi
3. Kualitas pekerjaan
Indeks Pekerjaan
Keuangan 1. Sumber keuangan
2. Situasi ekonomi Indeks Keuangan
Pengetahuan
1. Tingkat pendidikan
2. Segregasi dalam pendidikan
3. Lifelong learning
Indeks Pengetahuan
Waktu yang digunakan
1. Aktivitas ekonomi
2. Kegiatan perawataan diri
3. Kegiatan sosial
Indeks Waktu yang
Digunakan
Kekuasaan
1. Kekuasaan politik
2. Kekuasaan sosial
3. Kekuasaan ekonomi
Indeks Kekuasaan
Kesehatan
1. Status
2. Prilaku
3. Akses
Indeks Kesehatan
Ketidaksetaraan
1. Populasi penduduk menurut umur,
kelompok kelas tertentu, orientasi
seksual, etnis, status perkawinan,
kewarganegaraan, agama,
kemampuan fisik
2. Kausus diskriminasi
Indeks Ketidaksetaraan
Kekerasan 1. Kekerasan langsung
2. Kekerasan tidak langsung Indeks Kekerasan
Tabel 2.9 Komponen Penyusun EU-GEI EIGE
Sumber: European Institute for Gender Equality (EIGE) (2013)
dari 8 dimensi dengan total komponen sebanyak 21 indikator. Adapun
rincian indikator tersebut adalah seperti pada tabel berikut:
Keunggulan dari EU-GEI adalah penggunaan penimbang yang berbeda
setiap level pengukuran, baik pada tahapan anggrgasi sub dimensi
maupun dimensinya. Selain itu, dalam uji kekuatan (robustness analysis)
EIGE menggunakan kombinasi dari metode Analytic Hierarchy Process
(AHP) dengan menggunakan pendapat para pakar serta bobot yang
setara (UNDP, 2015). Namun penggunaan indikator yang cukup banyak
bisa berdampak pada inefisiensi pengukuran.
26 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016
E. UKURAN KETIMPANGAN GENDER YANG MENJADI RUJUKAN
Berbagai ukuran kesetaraan gender yang telah dibangun meskipun
menggunakan indikator komponen berbeda, namun memberikan hasil
yang relatif sama. Hasil kajian UNDP (2015) yang menggunakan pair-wise
correlation analysis, menggambarkan bahwa berbagai ukuran yang dikaji
(GII, nGDI, SIGI, GGGI, GEI, EU-GEI, GDI dan GEM) memiliki korelasi rendah
hingga tinggi. Korelasi yang sangat rendah (0,131) hanya terjadi pada
hubungan nGDI dan EU-GEI. Namun demikian, korelasi tersebut dapat
dijelaskan secara konsep. Ukuran yang digunakan pada EU-GEI lebih
menggambarkan kondisi negara-negara maju. Sebaliknya, nGDI lebih
universal.
Kesimpulan dalam penelitian UNDP tahun 2015 tersebut menggambarkan
bahwa sesungguhnya dalam memotret kesetaraan gender ukuran apapun
yang digunakan memberikan informasi yang cukup identik. Oleh sebab
itu, aplikasi di Indonesia bisa menggunakan ukuran yang lebih sederhana.
Dalam hal ini, pengukuran kesetaraan/ketimpangan gender dapat
menggunakan GII dengan cakupan indikator yang lebih sedikit.
Namun demikian, UNDP (1995) menyarankan bahwa indeks atau indikator
komposit yang digunakan harus memenuhi berbagai persyaratan,
diantaranya:
1. Memiliki dasar teori yang kuat
2. Memiliki kemudahan dalam intrepretasi
3. Memiliki hubungan antardimensi yang sesuai dengan fakta di
lapangan
4. Memiliki ukuran yang terbanding untuk setiap wilayah
5. Memiliki kemampuan untuk menstimulasi kebijakan
6. Tidak bersifat reduktif, namun terus melakukan penyempurnaan
dengan melihat indeks yang sudah ada dan menyesuaikan
dengan perubahan/fenomena terkini.
Dalam kajian ini, ukuran ketimpangan gender merujuk pada GII.
Alasannya adalah:
1. Hasil kajian UNDP 2015 menunjukkan bahwa semua ukuran
yang ada merujuk pada satu hasil yang cukup identik.
2. Dari sisi kesederhanaan pengukuran, GII menggunakan jumlah
indikator komponen yang sedikit. Hal ini sesuai dengan pendapat
Bossel (1999) yang menyatakan bahwa jumlah indikator dalam
KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH
INDIKATOR 27
sebuah indeks komposit seharusnya seminimal mungkin tetapi
tidak meminimalkan urgensinya. Indikator yang digunakan
harus komprehensif, padat, dan relevan terhadap isu yang dikaji.
3. Selama ini BPS menggunakan GDI dan GEM dalam mengukur
pencapaian pembangunan manusia. Dengan demikian, UNDP
menjadi rujukan dalam pengukuran indikator pembangunan
manusia lainnya.

Anda mungkin juga menyukai