Salah satu faktor penentu daya saing suatu negara adalah kualitas sumber daya manusia, baik dalam hal kemampuan, skill, maupun produktivitasnya. Jika melihat komposisi jumlah penduduk, sumber daya manusia laki-laki dan perempuan hampir setara. Artinya, pembangunan yang dicapai, separuhnya ditentukan oleh perempuan. Untuk meningkatkan daya saing negara dan pembangunan, sebuah negara perlu meningkatkan kesetaraan gender, yaitu meningkatkan hak, tanggung jawab, kapabilitas dan peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Sayangnya, potret kesetaraan ini masih tercoreng oleh berbagai diskriminasi yang masih terus dialami oleh perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam proses yang cukup panjang. Paham patriarki yang membentuk pemikiran bahwa laki-laki dianggap lebih superior dalam semua lini kehidupan telah menjadi pemicu terjadinya diskriminasi. Perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan menjadi hal yang turun temurun dipraktikkan di masyarakat. Ketidakadilan gender tersebut termanifestasi dalam bentuk stereotype, marjinalisasi, subordinasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan. Stereotype yang selama ini melekat dalam benak masyarakat adalah perempuan hanya identik dengan kegiatan domestik atau rumah tangga. Sedangkan laki-laki dianggap sebagai pelaku sentral dalam keluarga. Kaum perempuan juga mengalami marjinalisasi atau proses peminggiran. Dalam dunia kerja, perempuan mendapatkan upah yang jauh di bawah upah rata- rata laki-laki dan memiliki peluang lebih rendah dalam memasuki pasar tenaga kerja (BPS & KPPPA, 2016a). Dalam pengambilan keputusan, perempuan pun masih termarginalisasi. Sebagai contoh, berdasarkan hasil pemilu 2014-2019 persentase anggota parlemen perempuan hanya mencapai 17,32 persen (BPS, 2017). Dalam pengambilan kebijakan di sektor kepemerintahan, perempuan yang menduduki jabatan structural PNS tidak sampai 30 persen (BPS & KPPPA, 2016b). Dalam tindak kekerasan, perempuan kerap menjadi objek. Hasil pendataan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/ atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir (BPS, Maret 2017). Dengan adanya berbagai fakta indikasi ketimpangan pencapaian dan pemberdayaan antara laki-laki dan perempuan, kesetaraan gender masih menjadi target penting dalam pembangunan manusia. Kesetaraan gender yang dimaksud menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) adalah pandangan bahwa semua orang menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan jenis kelamin mereka. Hal ini diduga masih ditemukannya diskriminasi perempuan dalam berbagai lini kehidupan yang tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi di berbagai belahan bumi lainnya. PBB pada September 2015 meluncurkan program pembangunan berkelanjutan yang diberi nama “Sustainable Development Goals” (SDGs) untuk menggantikan program sebelumnya “Millennium Development Goals” (MDGs) yang telah berakhir 2015 (BPS, 2015a). SDGs memiliki 17 program dan berlaku bagi semua negara, termasuk Indonesia. Isu gender masuk dalam agenda pembangunan Tujuan 5. Isi tujuan tersebut diantaranya mencapai kesetaraan gender, memberdayakan perempuan, dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Di Indonesia, isu kesetaraan gender juga tertuang dalam visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa adil berarti tidak ada pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apapun, baik individu, wilayah, maupun jenis kelamin. Penghapusan diskriminasi gender di semua bidang kemudian menjadi isu yang terus menerus dibahas sebagai target pembangunan. Dalam RPJMN 2014-2019 (Bappenas, 2014) perspektif gender di semua bidang dan tahapan pembangunan sangat ditekankan. Kesetaraan dalam pembangunan tersebut tidak lain untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembangunan yang berkelanjutan. Target pembangunan dalam hal kesetaraan gender adalah peningkatan kualitas hidup perempuan, peningkatan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan, pengintegrasian perspektif gender di semua tahapan pembangunan, dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender, baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara spesifik, program kesetaraan gender merupakan bagian tugas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Dalam program Three Ends, kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan manusia, dan kesenjangan ekonomi merupakan tiga permasalahan yang harus diselesaikan dalam rangka meningkatkan pemberdayaan dan kualitas hidup perempuan. Untuk mengevaluasi sejauh mana kesetaraan dan pemberdayaan gender yang sudah tercapai dapat dilihat dari berbagai ukuran. Indikator-indikator yang menunjukkan capaian- capaian pembangunan berbasis gender akan memberikan gambaran yang nyata tentang pengarusutamaan gender di Indonesia.
B. INDIKATOR PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER
Penguatan sistem penyediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data terpilah gender sangatlah penting untuk penyusunan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan/program/kegiatan pembangunan. Oleh sebab itu, pengukuran pencapaian pembangunan manusia berbasis gender menjadi hal yang sangat diperlukan. Pengukuran pembangunan gender di Indonesia dimulai sejak United Nations Development Program (UNDP) mengeluarkan laporan berkalanya yaitu Human Development Report (HDR) di tahun 1990 yang mencantumkan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai ukuran kemajuan suatu negara (BPS, 2015b). Lima tahun kemudian, UNDP menambah konsep HDI dengan kesetaraan gender (Gender Equality). Sejak UNDP memasukkan kesetaraan gender dalam HDR, faktor kesetaraan gender selalu diikutsertakan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan setiap negara. Ukuran kesetaraan gender yang disusun UNDP sejak tahun 1995 adalah Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerement Measure (GEM). Ukuran-ukuran tersebut bertitik tolak pada konsep kesetaraan. Perhitungan GDI mencakup kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal capaian kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Sedangkan GEM mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan pemberdayaan dalam sektor sosial-ekonomi. Di Indonesia, GDI atau Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan GEM atau Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) telah dihitung Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2009 atas kerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Pada tahun 2010, UNDP melakukan perubahan metodologi pengukuran GDI disertai dengan penghitungan HDI laki-laki dan perempuan. Menyesuaikan perubahan ini, pada tahun 2015 Indonesia merilis IPG metode baru dengan backcasting data hingga tahun 2010. Sementara itu, metode penghitungan IDG belum berubah hingga saat ini meskipun sejak tahun 2010 UNDP telah menghilangkan GEM dalam publikasi tahunannya (HDR). Pada saat yang bersamaan, UNDP mempublikasikan Gender Inequality Index (GII) sebagai salah satu ukuran yang dianggap lebih tepat menggambarkan pemberdayaan sekaligus kesejahteraan antara laki-laki dan perempuan.
C. INDEKS KETIMPANGAN GENDER SEBAGAI PERBAIKAN INDIKATOR
SEBELUMNYA UNDP memperkenalkan GII sebagai ukuran ketimpangan gender pada tahun 2010. GII menggambarkan deprivasi pembangunan manusia sebagai dampak dari ketimpangan pencapaian pembangunan antara lakilaki dan perempuan (UNDP, 2016). GII dapat menyempurnakan kelemahan GEM dan GDI yang diduga memiliki berbagai kelemahan baik dalam hal teknis maupun konseptual. Dalam hal teknis pengukuran, GEM menggunakan bobot yang sama (equal weighting) untuk setiap komponen penyusunnya padahal setiap komponen indeks memiliki varians yang berbeda (Djikstra, 2002 dalam Jager & Rohwer, 2009). Dalam hal konsep, GEM merefleksikan urban elite bias dengan menggunakan indikator yang hanya relevan bagi negara maju (Klasen, 2006). Di sisi lain, kegagalan dalam mengukur kekuatan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga (domestik) juga menjadi salah satu kelemahan GEM (Beteta, 2006 dalam Jager & Rohwer, 2009). Sementara itu GDI memiliki kelemahan dalam mengukur angka harapan hidup yang digunakan sebagai ukuran gender gap padahal ada perbedaan aspek biologis/genetis antara laki- laki dan perempuan. Di sisi lain, pendapatan dalam bentuk nilai nominal dapat menarik IPM perempuan menjadi jauh lebih rendah dari IPM laki-laki (Klasen, 2006). Selain itu, di beberapa negara, data pendapatan tidak tersedia sehingga lebih banyak dilakukan imputasi. Untuk mengakomodir kelemahan GDI dan GEM, GII menawarkan perbaikan metodologi dan alternatif indikator untuk mengukur ketidaksetaraan gender dalam tiga dimensi, yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan partisipasi di pasar tenaga kerja. Dimensi pertama (kesehatan reproduksi) adalah isu gender yang timbul akibat adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, yaitu adanya diskriminasi dan kegagalan negara dan masyarakat dalam pemenuhan hak-hak seksual dan reproduksi perempuan. Aspek inilah yang menjadi ukuran khas dari GII yang tidak terdapat dalam GEM dan GDI. Dimensi kesehatan dalam GII mengukur ketimpangan gender sebagai perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan yang berdampak terhadap outcome kesehatan. Lebih luas lagi, ketidaksetaraan gender yang dimaksud adalah adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, ketidaksamaan hubungan kekuasaan di antara mereka, sehingga mengakibatkan perbedaan terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan mereka. Ukuran kesehatan inilah yang kemudian dikembangkan dalam pengukuran GII. Pada pengukuran GII, komponen pendapatan yang bias negara maju, bias kelompok elit, atau bias daerah perkotaan, tidak lagi dimasukkan. Disamping itu, metode atau formula penghitungan GII sudah mempertimbangkan berbagai komponen seperti pembobotan dan pengaggregasian. Pencapaian nilai yang sangat tinggi dalam satu dimensi tidak akan menutup pencapaian yang rendah di dimensi lainnya. UNDP mengakui bahwa dari waktu ke waktu GII terus menerus mengalami perbaikan pengukuran. Seiring dengan pengembangan pengukuran ketimpangan gender yang dilakukan UNDP, maka BPS melakukan kajian awal penyusunan GII atau Indeks Ketimpangan Gender (IKG). Hal ini perlu dilakukan untuk memperoleh IKG yang sesuai dengan kondisi Indonesia namun tetap ilmiah dan memerhatikan aspek konseptual. Salah satu aspek yang dihasilkan dari kajian ini adalah metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara statistik. Hal ini dilakukan sebagai dampak dari metodologi GII UNDP tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Faktor penyebab permasalahan ini adalah adanya komponen indikator yang tidak tersedia secara berkala dan tidak tersedia sampai level kabupaten/kota di Indonesia. Dengan demikian, harapannya kajian awal ini dapat menghasilkan indikator komposit yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kondisi wilayah di Indonesia/local specific issues, ketersediaan data, maupun metodologi yang tepat secara statistik.
A. KONSEP KETIMPANGAN GENDER
Paradigma yang muncul dibenak masyarakat saat ini menerjemahkan gender sebagai jenis kelamin. Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (Echols dan Shadily, 1983). Namun, seiring dengan perkembangan konsep gender, maka gender merujuk pada laki-laki dan perempuan, status keduanya dan posisi relative antar keduanya (Lopez-Carlos and Zahidi, 2005). Gender merupakan sebuah variabel sosial ekonomi yang muncul sebagai akibat dari hubungan berbagai faktor seperti ras, umur, kelompok sosial dan etnis. Konsep gender bermula dari adanya pengakuan berbagai ahli bahwa perbedaan kepribadian dan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidak bersifat universal, tetapi ditentukan oleh kebudayaan, sejarah, dan struktur sosial masyarakat tertentu. Gender merupakan perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan jenis kelamin. Sehingga gender diartikan sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan (Oakley dalam Daulay, 2007). Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar berperan dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. Kesetaraan gender adalah kondisi perempuan dan laki-laki untuk menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Amartya Sen (1989) mengemukakan pembangunan manusia adalah perluasan kebebasan yang nyata yang dinikmati oleh manusia dan melekat pada berbagai aspek, yaitu pemberdayaan, partisipasi dan kerjasama, keamanan, keberlanjutan, dan kesetaraan. Meningkatkan kapabilitas perempuan untuk memperluas pilihannya tidak hanya berdampak bagi perempuan itu sendiri namun pada pembangunan keseluruhan. Oleh sebab itu, kesetaraan gender harus menjadi bagian integral dari pembangunan manusia yang berkelanjutan (UNDP, 1995). Kesetaraan peluang laki- laki dan perempuan dalam mencapai kesejahteraan merupakan kunci dari pembangunan manusia. Dengan demikian, konsep pembangunan manusia sebagai gambaran kesejahteraan perlu dijabarkan lebih rinci antara laki-laki dan perempuan.
B. CAPAIAN PEMBANGUNAN MANUSIA SEBAGAI UKURAN KESEJAHTERAAN
Pembangunan manusia merupakan proses perluasan pilihan, yaitu kebebasan berpolitik, partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, pilihan untuk berpendidikan, bertahan hidup dan sehat, menikmati standard hidup layak (Haq, 1995). Berdasarkan paradigma yang dikemukakan oleh Amartya Sen (1989), pembangunan manusia adalah perluasan kebebasan yang nyata yang dinikmati oleh manusia. Kebebasan bergantung pada faktor sosial ekonomi seperti akses pada pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan politik. Pembangunan manusia adalah mean and end, yang berarti cara dan tujuan akhir (Sen, 1989). Dari beberapa terminologi pembangunan manusia di atas, dalam HDR pembangunan manusia diartikan sebagai proses dimana masyarakat dapat memperluas berbagai pilihan- pilihannya. Pendapatan merupakan salah satu penentu pilihan, tetapi faktor yang lebih penting lainnya adalah kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik yang baik serta kebebasan dalam bertindak (UNDP, 1996). Konsep ini berbeda dibanding kosep klasik pembangunan yang memberikan perhatian utama pada pertumbuhan ekonomi. Pembangunan manusia memfokuskan tujuan akhir dari pembangunan. Untuk menghidari kekeliruan dalam memaknai konsep ini, perbedaan antara cara pandang pembangunan manusia terhadap pembangunan dengan pendekatan konvensional yang menekankan pertumbuhan ekonomi, pembentukan modal manusia, pembangunan sumber daya manusia, kesejahteraan rakyat, dan pemenuhan kebutuhan dasar, perlu diperjelas. Konsep pembangunan manusia mempunyai cakupan yang lebih luas dari teori konvensional pembangunan ekonomi. Model ‘pertumbuhan ekonomi’ lebih menekankan pada peningkatan pendapatan nasional daripada memperbaiki kualitas hidup manusia. ‘Pembangunan sumber daya manusia’ cenderung untuk memperlakukan manusia sebagai input dari proses produksi – sebagai alat, bukan sebagai tujuan akhir. Pendekatan ‘kesejahteraan’ melihat manusia sebagai penerima dan bukan sebagai agen dari perubahan dalam proses pembangunan. Adapun pendekatan ‘kebutuhan dasar’ terfokus pada penyediaan barangbarang dan jasa- jasa untuk kelompok masyarakat tertinggal, bukannya memperluas pilihan yang dimiliki manusia di segala bidang. Dalam Publikasi HDR yang pertama tahun 1990, pembangunan manusia didekati dengan perluasan pilihan untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak (UNDP, 1996). Oleh sebab itu, ukuran pembangunan manusia mempertimbangkan dimensi kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang tidak hanya sematamata merujuk pada konsep lama yang hanya memandang pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran kesejahteraan. Pembangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya, yaitu gender. Kesetaraan gender dalam pembangunan manusia adalah terpenuhinya hak dasar yang setara bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan hak dasar ini, maka laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam meningkatkan kapabilitasnya dalam menciptakan pembangunan sosial ekonomi suatu negara, selain mendapatkan manfaat dari partisipasinya dalam masyarakat. Hak dasar yang dicakup diantaranya terpenuhinya pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan, dan lingkungan sosial yang layak. Namun, dalam pengukuran pembangunan manusia, hanya tiga dimensi yang diukur, yaitu kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor.
C. KONSEP PEMBERDAYAAN GENDER
Dalam kamus bahasa Indonesia, pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/ kemampuan. Pengertian “proses” menunjukan pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pertahapan upaya mengubah kaum yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Oleh sebab itu, pemberdayaan gender lebih mengacu pada konsep adanya proses “opportunity” bukan pada hasil akhir atau outcome. Hal ini sesuai dengan konsep UNDP (1995) yang memfokusken makna pemberdayaan pada “opportunity” bukan pada kapabilitas, yang menjadi ukuran well-being. 14 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016 Pelibatan perempuan dalam berbagai aktivitas telah menjadi bagian komitmen dari berbagai organisasi dunia. Salah satu Konferensi Perempuan yang diselenggarakan UNDP di Beijing menghasilkan kesepakatan bahwa pemberdayaan perempuan dan partisipasi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pengambilan keputusan dan akses terhadap kekuasaan merupakan dasar bagi kesetaraan, pembangunan dan perdamaian di dunia (UN, 1995). Selanjutnya, pengarusutamaan gender menjadi salah satu agenda penting dalam setiap penentuan kebijakan. Hal ini didasari atas pemikiran bahwa pemberdayaan gender bukan sesuatu hal yang bisa datang dengan sendirinya tanpa campur tangan eksternal (inisiatif khusus). Oleh sebab itu, program pemerintah perlu disusun untuk menciptakan kondisi bahwa perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi agen dalam pembangunan. Konsep pemberdayaan juga bermakna suatu proses pembangunan kapasitas yang mengarah pada partisipasi, pengambilan keputusan, kontrol, dan tindakan perubahan ke arah yang lebih luas (Karl, 1995). Dengan demikian, kesetaraan pemberdayaan gender ditujukan untuk tercapainya kesamaan akses laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan, pelibatan dalam berbagai aspek kehidupan baik dalam lingkup publik maupun domestik. Berbagai indikator yang umum yang digunakan dalam mengukur pemberdayaan diantaranya: 1. Partisipasi dalam pendidikan dan pelatihan 2. Partisipasi dalam dunia kerja, seperti tingkat partisipasi angkatan kerja, pekerja pada posisi tertentu seperti posisi manajerial, administratif, dan tenaga profesional 3. Partisipasi dalam jabatan publik, seperti anggota parlemen, dan pekerja pemerintah D. BERBAGAI UKURAN KETIMPANGAN GENDER DENGAN INDEKS KOMPOSIT Untuk mengevaluasi sejauh mana gambaran ketidaksetaraan gender diperlukan sebuah indikator. Indeks komposit umumnya dipilih sebagai suatu ukuran yang menganggregasikan berbagai indikator multi dimensi. Beberapa institusi internasional telah melakukan berbagai pengukuran indeks dengan berbagai versi dan pendekatan. World Economic Forum (WEF) menyusun Global Gender Gap Index (GGGI), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Development Centre memiliki Social Institutions and Gender Index (SIGI), Social Watch menyusun KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR 15 Tabel 2.1 Berbagai Ukuran Kesetaraan Gender No Institusi Indikator Komponen Konsep/ Pendekatan Publikasi (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 United Nations Development Programs (UNDP). Gender Development Index (GDI) 4 Indikator 3 Dimensi Pembangunan manusia Tahunan, 1995-2009 2 United Nations Development Programs (UNDP). Gender Empowerment Measure (GEM) 4 Indikator 3 Dimensi Pemberdayaan Tahunan, 1995-2009 3 United Nations Development Programs (UNDP). New Gender Development Index (nGDI) 4 Indikator 3 Dimensi Pembangunan manusia Tahunan, 2010 - sekarang 4 World Economic Forum (WEF) Global Gender Gap Index (GGGI) 14 Indikator 5 dimensi Disparitas gender Tahunan, 2006 - sekarang 5 OECD Development Centre Social Institutions and Gender Index (SIGI) 14 Indikator 5 dimensi Norma sosial dan diskriminasi dalam institusi sosial 2009, 2012, 2014 6 Social Watch Gender Equity Index (GEI) 11 Indikator 3 dimensi Disparitas gender 2004-2007, 2008, 2009, 2012 7 European Institute for Gender Equality (EIGE) European Union - Gender Equity Index (EU-GEI) 20 Indikator, 8 dimensi Kesetaraan gender multidimensi Dua tahunan sejak 2013 Sumber: Gender Equality in Human Development-Measurement Revisited, UNDP (2015) Gender Equity Index (GEI). Sedangkan European Institute for Gender Equality (EIGE) memiliki European Union-Gender Equity Index (EU-GEI). Di Indonesia, pengukuran kesetaraan gender merujuk pada UNDP. UNDP memiliki GDI dan GEM yang telah disusun sejak tahun 1995. Latar belakang penyusunan GDI adalah adanya kelemahan HDI yang hanya menggambarkan pencapaian rata-rata seluruh penduduk, tanpa melihat adanya kesenjangan antar kelompok penduduk, termasuk gender. GDI kemudian diperbaiki tahun 2010 dengan adanya metode pengukuran baru yang disebabkan adanya berbagai permasalahan konseptual, metodologi dan ketersediaan data, diantaranya permasalahan komponen pendapatan (Klasen, 2009). Uraian lebih rinci mengenai berbagai ukuran tersebut akan dibahas secara detail pada ulasan berikut. 16 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016 Dimensi Indikator Indeks Dimensi (1) (2) (3) Kesehatan Angka Harapan Hidup Indeks Kesehatan Pendidikan 1. Angka melek huruf 2. Rata-rata lama sekolah Indeks Pendidikan Ekonomi Sumbangan pendapatan Indeks distribusi pendapatan Tabel 2.2 Komponen Penyusun GDI UNDP menyebutkan bahwa GDI adalah ukuran yang kurang tepat sebagai sebuah ukuran ketimpangan gender. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan indikator pendapatan yang memiliki gap cukup besar antara laki-laki dan perempuan. Sehingga ukuran tersebut kurang valid. Di sisi lain, formula pengukuran GDI yang tidak dapat terpisahkan dari HDI menjadi salah satu penyebab munculnya new GDI (nGDI) yang akan dibahas pada ulasan berikutnya. Sumber: UNDP (2010) 1. Gender Development Index (GDI) GDI mengukur pencapaian pembangunan manusia tetapi mengungkapkan ketidakadilan pencapaian kesejahteraan laki-laki dan perempuan. Melalui angka GDI, kesenjangan atau gap kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan mampu dijelaskan dengan melihat rasio antara GDI dengan HDI. Semakin tinggi rasionya maka semakin rendah gap kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan, sebaliknya semakin rendah rasio maka semakin tinggi gap kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan. Apabila nilai GDI sama dengan HDI, maka dapat dikatakan tidak terjadi kesenjangan gender. Sebaliknya, GDI lebih rendah dari HDI meNunjukkan kesenjangan gender yang tinggi. Dengan demikian, interpretasi GDI tidak terpisahkan dari analisis HDI. GDI disusun dari komponen kesehatan, pendidikan, dan hidup layak sama halnya dengan HDI. Angka harapan hidup mewakili dimensi kesehatan, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mewakili dimensi pengetahuan, serta sumbangan pendapatan mewakili dimensi ekonomi yang disajikan menurut jenis kelamin. Dengan kata lain, dinamika GDI dari waktu ke waktu sangat dipengaruhi oleh perubahan dari tiga komponen tersebut. Pengukuran GDI dengan penggunaan indikator dan teknis pengukurannya yang kurang tepat menuai reaksi dari berbagai pakar. Klasen (2006) KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR 17 Kelemahan lain adalah penggunaan indikator kesehatan dalam GDI yang sejauh ini masih menggunakan angka harapan hidup (AHH). Kelemahan pengukuran ketimpangan gender dengan menggunakan AHH dinilai memiliki bias yang disebabkan faktor genetik atau alamiah. Sehingga untuk menggambarkan gender gap kurang tepat (Jager & Rohwer, 2009). Indikator ini juga tidak menggambarkan konstruksi sosial yang dapat membedakan capaian pembangunan gender (Klasen, 2004). Keberlangsungan hidup laki-laki dan perempuan yang tergambar dalam harapan hidup berkaitan erat dengan aspek biologis. Hal ini telah dibuktikan dengan barbagai penelitian. Perempuan memiliki umur yang lebih panjang. Aspek tersebut kemudian disebut dengan “Female Advantages” (FA) atau kelebihan perempuan (Lemaire, 2002). Perempuan memiliki gen dan hormon yang menguntungkan untuk hidup lebih lama. Sedangkan secara gaya hidup, laki-laki lebih memiliki risiko kematian lebih tinggi karena stress, kebiasaan merokok dan pekerjaan berat. Namun demikian, secara praktik di beberapa wilayah, tindakan diskriminasi, kekerasan, agama dan budaya acap kali menyebabkan rendahnya peluang akses perempuan dalam bidang kesehatan (Lemaire, 2002). Penelitian lain yang mendukung diantaranya Apfel (1982) yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki umur yang panjang tetapi lebih sering mengalami sakit. Sedangkan menurut Verbrugge (1985) laki-laki memiliki peluang yang lebih tinggi dalam hal menderita penyakit kronis atau fatal yang tibatiba. 2. Gender Empowerment Measure (GEM) GEM memperlihatkan sejauh mana peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik. Peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik mencakup partisipasi berpolitik, partisipasi ekonomi dan pengambilan keputusan serta penguasaan sumber daya ekonomi yang disebut sebagai dimensi GEM. GEM diukur berdasarkan tiga komponen, yaitu keterwakilan perempuan dalam parlemen; perempuan sebagai tenaga profesional, manajer, administrasi, dan teknisi; dan sumbangan pendapatan. Dengan demikian, arah dan perubahan GEM sangat dipengaruhi oleh ketiga komponen tersebut. Dalam penghitungan GEM, terlebih dahulu dihitung EDEP (Equally Distributed Equivalent Persentage) yaitu indeks untuk masing-masing komponen berdasarkan persentase yang ekuivalen dengan distribusi penduduk yang merata. Penghitungan sumbangan pendapatan untuk 18 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016 Dimensi Indikator Indeks Dimensi (1) (2) (3) Keterwakilan di Parlemen Persentase anggota parlemen; lakilaki & perempuan Indeks keterwakilan perempuan dalam parlemen Pengambilan keputusan Persentase pejabat tinggi, manajer, pekerja profesional dan teknisi; lakilaki & perempuan Indeks pengambilan keputusan Distribusi Pendapatan Persentase upah buruh non pertanian disesuaikan; laki-laki & perempuan Indeks sumbangan pendapatan Tabel 2.3 Komponen Penyusun GEM UNDP Sumber: UNDP (2010) GEM sama dengan penghitungan untuk GDI. Selanjutnya, masing-masing indeks komponen, yaitu nilai EDEP dibagi 50. Nilai 50 dianggap sebagai kontribusi ideal dari masing-masing kelompok gender untuk semua komponen GEM. Dari berbagai ukuran tersebut, berbagai ahli mengemukakan bahwa GEM mengandung banyak kelemahan. Penggunaan indikator parlemen dan tenaga manajerial/profesional dianggap hanya relevan bagi negara maju (bias kelompok elit, dan bias daerah perkotaan) (Klasen, 2006). Penggunaan proporsi pekerja profesional, dan manajer juga bukan menggambarkan power dalam pengambilan keputusan, namun lebih merefleksikan power dalam ekonomi (Gaye, dkk, 2010). Selain itu, penggunaan indikator pendapatan juga sama lemahnya dengan pendapatan dalam penghitungan GDI (Djikstra, 2002 dalam Jager & Rohwer, 2009). Kelemahan lain adalah penggunaan indikator pengambilan keputusan yang hanya dilihat dari aspek ekonomi semata. Padahal ketimpangan gender lebih banyak terjadi pada aspek non-ekonomi seperti pengambilan keputusan dalam rumah tangga, seksualitas, pemilihan kontrasepsi, dan aspek lain yang sesungguhnya memiliki konsep partisipasi yang berdampak pada ketimpangan power antara laki-laki dan perempuan (Beteta, 2006). Beberapa studi mendalam berskala kecil, antara lain oleh A. Mustika dkk (2013) dan M.A.P. Palit (2009), menunjukkan bahwa perempuan mempunyai peran yang dominan dalam banyak keputusan rumah tangga, seperti memutuskan menu makanan, pembelian alatalat rumah tangga, pemeliharaan kesehatan anggota rumah tangga, dan mengatur pembayaran sekolah. Bahkan dalam usaha rumah tangga, perempuan juga berperan sebagai pengambil keputusan yang penting. Dalam rumah tangga nelayan, misalnya, A. Azizi dkk (2012) mengutarakan KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR 19 Dimensi Indikator Indeks Dimensi (1) (2) (3) Kesehatan Angka Harapan Hidup Indeks Kesehatan Pendidikan/ Pengetahuan 1. Harapan lama sekolah 2. Rata-rata lama sekolah Indeks Pendidikan Ekonomi/Standard hidup layak Pendapatan Nasional Bruto Indeks Pendapatan Tabel 2.4 Komponen Penyusun nGDI UNDP Sumber: UNDP (2010) bahwa para isteri nelayan di Semarang Utara merupakan pengambil keputusan yang dominan dalam pengolahan hasil tangkapan ikan dan pemasaran hasil olahan tersebut. Sementara itu U.P. Astuti dkk (2012) menyebutkan bahwa di kalangan keluarga petani budidaya padi sawah di Kepahiang, Bengkulu, perempuan adalah pengambil keputusan utama dalam pembelian sarana produksi, kegiatan budidaya, kegiatan panen dan pasca panen, serta pemasaran hasil. 3. New Gender Development Index (nGDI) Penghitungan GDI berhenti dilakukan oleh UNDP mulai tahun 2010 hingga 2013. Pada tahun 2014, UNDP kembali melakukan penghitungan GDI dengan menggunakan metode baru. Perubahan metode ini merupakan penyesuaian dengan perubahan yang terjadi pada HDI. Selain sebagai penyempurnaan dari metode sebelumnya. nGDI merupakan pengukuran langsung terhadap ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam pencapaian pembangunan manusianya. Pada metode baru ini digunakan rasio HDI perempuan dengan HDI laki-laki, sehingga bisa terlihat pencapaian pembangunan manusia antara perempuan dengan laki-laki. Dalam metode baru ini, dimensi yang digunakan masih sama seperti yang GDI sebelumnya, yaitu: 1) umur panjang dan hidup sehat 2) pengetahuan; dan 3) standar hidup layak. Menurut UNDP, ketiga dimensi tersebut digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kualitas hidup, dimana hakikatnya adalah mengukur capaian pembangunan manusia. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Adapun yang disempurnakan dari GDI sebelumnya adalah penggantian beberapa indikator untuk menyempurnakan metodologi yang digunakan. Dimensi pengetahuan menggunakan angka harapan lama sekolah dan angka rata-rata lama sekolah. Selanjutnya untuk 20 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016 mengukur dimensi standar hidup layak digunakan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. Pengukuran nGDI dianggap lebih baik karena memisahkan capaian pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan. Namun kelemahan dari nGDI ini adalah pendapatan umumnya tersedia pada level rumah tangga, sehingga disaggregasi laki-laki perempuan akan menjadi sulit (Akder, 1994 dalam Klasen & Schuler, 2009). Selain itu konsekwensi dari pengggunaan rasio pencapaian HDI perempuan terhadap laki-laki adalah interpretasi hasilnya yang memerlukan kehati-hatian. Nilai nGDI yang besar belum tentu menunjukkan kondisi pembangunan manusia yang tinggi. nGDI yang tinggi bisa terjadi karena HDI laki-laki dan perempuan sama-sama rendah. 4. Gender Inequality Index (GII) Berawal dari reaksi mengenai pengukuran GDI yang dianggap bukanlah indeks untuk mengukur ketidaksetaraan dan pengukuran GEM yang menuai banyak kritik para pakar, UNDP memperkenalkan GII tahun 2010. Indeks ini menyempurnakan GDI dan GEM. Perhitungan GII tidak lagi menggunakan indikator pendapatan sebagai salah satu komponennya, karena adaya berbagai kritik terhadap gap pendapatan yang cukup tinggi antara laki-laki dan perempuan dan ketersediaan data yang tidak terpenuhi sampai tingkatwilayah tertentu. Selain itu, GII juga menggunakan formula/ teknis pengukuran yang lebih baik, dimana nilai yang tinggi dalam satu dimensi tidak akan terlalu mendominasi hasil akhir. GII memperlihatkan besarnya kegagalan/kerugian (loss) yang terjadi dalam aspek-aspek pembangunan yang diukur akibat adanya ketidaksetaraan gender. GII memiliki hasil antara 0-1. Angka 0 mencerminkan adanya kesetaran gender yang sempurna yang menyebabkan pencapaian pembangunan ada pada tingkat optimalnya, dan angka 1 mencerminkan kesenjangan gender yang sempurna yang menyebabkan kerugian total dalam pencapaian pembangunan akibat adanya ketidaksetaraan gender tersebut. Selanjutnya, GII menjadi tolok ukur bagi kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan dengan menggunakan 3 aspek utama: kesehatan, pemberdayaan, dan angkatan kerja. Aspek tersebut disusun dari lima indikator seperti tergambar pada Tabel 2.5. Hal yang berbeda dalam GII adalah penggunaan indikator kesehatan yang tidak berlaku pada gender laki-laki. Dalam dimensi ini, kesehatan KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR 21 Dimensi Indikator Indeks Dimensi (1) (2) (3) Kesehatan 1. Angka Kematian Ibu 2. Angka Fertilitas Remaja Indeks Kesehatan Reproduksi Pemberdayaan 1. Persentase penduduk lakilaki dan perempuan dengan pendidikan minimal SMP 2. Persentase laki-laki dan perempuan yang duduk di parlemen 1. Indeks Pemberdayaan Perempuan 2. Indeks Pemberdayaan Lakilaki Pasar Tenaga Kerja 1. TPAK laki-laki dan perempuan 1. Indeks Pasar Tenaga Kerja Perempuan 2. Indeks Pasar Tenaga Kerja Laki-laki Tabel 2.5 Komponen Penyusun GII UNDP Sumber: UNDP (2010) reproduksi ditujukan untuk melihat tujuan akhir dari pembangunan kesehatan reproduksi adalah tidak adanya kasus kematian ibu dan kehamilan usia dini. Rasionalisasi dari penggunaan kedua indikator ini adalah bahwa keselamatan ibu hamil dalam melahirkan adalah gambaran dari fungsi kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu, kesehatan reproduksi juga sangat berisiko jika terjadi terlalu dini. Risiko ini akan berdampak pada kondisi kesehatan secara umum dan masa depan perempuan di masa depan. Kelahiran yang terlalu dini yang diukur dari tingkat fertilitas remaja sangat berkaitan dengan risiko kesehatan ibu dan bayinya. Selain itu, dalam jangka panjang pengaruh kelahiran usia dini akan menyebabkan putus sekolah dan menimbulkan efek lain seperti terciptanya pekerja dengan kemampuan rendah. Meskipun UNDP merilis GII sejak tahun 2010, namun UNDP mengakui bahwa GII merupakan salah satu indeks percobaan dalam mengukur pembangunan manusia disamping dua ukuran lainnya, yaitu Inequalityadjusted Human Development Index (IHDI) dan kemiskinan multidimensi (Multidimentional Poverty Index). Kedepannya, GII akan terus disempurkan dengan melihat ketersediaan data diberbagai negara dan perkembangan konsep terkini. 5. Global Gender Gap Index (GGGI) Pada tahun 2006 the World Economic Forum memperkenalkan the Global Gender Gap Index (GGI). Indeks ini memfokuskan pada outcome. Dimensi 22 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016 Dimensi Indikator Indeks Dimensi (1) (2) (3) Partisipasi dan kesempatan dalam ekonomi 1. Rasio tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan terhadap laki-laki 2. Rasio upah pada tingkat pekerjaan yang sama perempuan terhadap laki-laki 3. Rasio pendapatan perempuan terhadap laki-laki 4. Rasio tenaga kerja perempuan terhadap lakilaki pada jabatan senior dan manajer dalam administrasi 5. Rasio perempuan terhadap laki-laki tenaga profesional dan teknis Indeks Ekonomi Pendidikan 1. Rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki 2. Rasio partisipasi sekolah perempuan terhadap lakilaki pada tingkat pendidikan dasar 3. Rasio partisipasi sekolah perempuan terhadap lakilaki pada tingkat pendidikan menengah 4. Rasio partisipasi sekolah perempuan terhadap lakilaki pada tingkat pendidikan atas Indeks Pendidikan Kesehatan 1. Rasio angka harapan hidup perempuan terhadap laki-laki 2. Sex rasio saat lahir perempuan terhadap laki-laki Indeks Kesehatan Politik 1. Rasio jumlah anggota parlemen perempuan terhadap laki-laki 2. Rasio jumlah pekerja perempuan terhadap laki-laki dalam tingkat pemerintahan/kementerian 3. Rasio lamanya waktu kepala negara perempuan terhadap laki-laki dalam kurun waktu 50 tahun Indeks Pemberdayaan Politik Tabel 2.6 Komponen Penyusun GGGI UNDP Sumber: Sumber: World Economic Forum (2006) yang digunakan mencakup: partisipasi dan kesempatan dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan dan harapan hidup, dan politik. : Kelemahan pengukuran GGGI menurut Klasen & Schuler (2009) adalah penggunaan aggregasi yang sangat sederhana dari empat dimensi yang ada. Selain itu, penimbang yang digunakan cukup kompleks namun tidak mempertimbangkan perbandingan hasil antarwaktu. Sedangkan kelemahan secara konseptual, GGGI mencampuradukan konsep kesejahteraan dengan pemberdayaan dalam sebuah ukuran. KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR 23 Dimensi Indikator Indeks Dimensi (1) (2) (3) Diskriminasi dalam norma keluarga 1. Legalitas pernikahan 2. Pernikahan dini 3. Pola asuh orang tua (parental authority) 4. Hukum adat waris (inheritance) Indeks norma keluarga Kekerasan 1. Kekerasan terhadap perempuan 2. Sunat perempuan 3. Kebebasan dalam reproduksi Indeks kekerasan Bias gender 1. Preferensi fertilitas (anak kali-laki atau perempuan) 2. Missing women (peluang kematian perempuan yang disebabkan faktor multidimensi) Indeks bias gender Akses terhadap akses 1. Akses terhadap tanah 2. Akses terhadap aset non-tanah 3. Akses terhadap modal Indeks akses terhadap aset Tabel 2.7 Komponen Penyusun SIGI OECD Development Centre Sumber: OECD (2014) Kelemahan lain terletak pada penggunaan indikator pendapatan yang memiliki banyak keterbatasan baik dari segi kelengkapan data maupun konsepnya. Selain itu, indikator yang digunakan mencampuradukan indikator spesifik perempuan dengan indikator yang terpilah gender (lakilaki dan perempuan) (Gaye, dkk, 2010). Adapun indikator yang digunakan disajikan pada Tabel 2.6. 6. Social Institutions and Gender Index (SIGI) SIGI disusun oleh OECD sejak tahun 2009. Namun dipublikasikan tidak setiap tahun. Pendekatan yang digunakan dalam mengukur ketimpangan gender adalah kelembagaan, norma sosial dan diskriminasi. Kelebihan dari SIGI adalah memasukkan institusi sosial (norma, budaya dan nilai) yang mempengaruhi ketidaksetaraan gender. Hal ini tidak memfokuskan hasil outcome tetapi faktor institusional yang mempengaruhi outcome tersebut (Klasen & Schuler, 2009). Namun demikian, ukuran yang digunakan tidak bersifat global dan terlalu mengacu pada isu yang sangat spesifik. Misalnya saja penggunaan indikator sunat perempuan yang mungkin tidak bisa diterapkan untuk semua wilayah. Selain itu, indikator ini masih menjadi hal yang diperdebatkan (UNDP, 2015). Selain itu, kelemahan SIGI adalah kesulitan dalam interpretasi hasilnya karena indikator komponennya yang menggabungkan gender gap sekaligus indikator yang hanya berlaku bagi perempuan saja (Gaye, akk, 2010). 24 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016 Dimensi Indikator Indeks Dimensi (1) (2) (3) Pendidikan 1. Angka melek huruf 2. Penduduk yang menamatkan pendidikan dasar 3. Penduduk yang menamatkan pendidikan menengah 4. Penduduk yang menamatkan pendidikan atas Indeks pendidikan Ekonomi 1. Ketimpangan tingkat partisipasi angkatan kerja 2. Ketimpangan pendapatan 3. Jumlah tenaga kerja yang berkategori tidak rentan Indeks ekonomi Pemberdayaan 1. Jumlah kursi di parlemen 2. Tenaga kerja pada jabatan senior dan manajer dalam administrasi 3. Tenaga profesional dan teknis 4. Tenaga kerja dalam pemerintahan Indeks pemberdayaan Tabel 2.8 Komponen Penyusun GEI Social Watch 7. Gender Equity Index (GEI) Organisasi internasional lain yang mengukur kesetaraan gender melalui indeks komposit adalah Social Watch pada tahun 2005. Social Watch mengembangkan GEI sebagai ukuran kesetaraan dengan menggunakan tiga dimensi: pendidikan, partisipasi ekonomi dan pemberdayaan. Pendekatan yang digunakan adalah konsep disparitas gender untuk setiap ukuran. Masing-masing komponen menggunakan indikator rasio, sehingga memiliki nilai 0-100. Publikasi GEI tidak disusun setiap tahun. Adapun indikator yang tercakup dalam pengukuran adalah sebagai berikut: Menurut Klasen & Schuler (2009), kelemahan GEI terletak pada metodologi yang terlalu sederhana dalam mengagregasi indikator dimensi. Selain itu, kerangka konseptualnya menyatukan konsep kesejahteraan dengan pemberdayaan secara bersamaan dalam pengukuran. Namun dibalik kesederhanaan tersebut justru melahirkan keunggulan tersendiri. Indeks yang dihasilkan sangat mudah untuk dimengerti karena hanya menggambarkan ranking tanpa melihat level/nilai (Gay,e dkk, 2010). Sumber: Social Watch (2012) 8. European Union - Gender Equity Index (EU-GEI) Indeks komposit yang dihitung oleh European Institute for Gender Equality (EIGE) merupakan salah satu ukuran yang menggunakan konsep multidimensi dalam menggambarkan kesetaraan gender. Indeks ini diukur KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR 25 Dimensi Indikator Indeks Dimensi (1) (2) (3) Pekerjaan 1. Partisipasi 2. Segregasi 3. Kualitas pekerjaan Indeks Pekerjaan Keuangan 1. Sumber keuangan 2. Situasi ekonomi Indeks Keuangan Pengetahuan 1. Tingkat pendidikan 2. Segregasi dalam pendidikan 3. Lifelong learning Indeks Pengetahuan Waktu yang digunakan 1. Aktivitas ekonomi 2. Kegiatan perawataan diri 3. Kegiatan sosial Indeks Waktu yang Digunakan Kekuasaan 1. Kekuasaan politik 2. Kekuasaan sosial 3. Kekuasaan ekonomi Indeks Kekuasaan Kesehatan 1. Status 2. Prilaku 3. Akses Indeks Kesehatan Ketidaksetaraan 1. Populasi penduduk menurut umur, kelompok kelas tertentu, orientasi seksual, etnis, status perkawinan, kewarganegaraan, agama, kemampuan fisik 2. Kausus diskriminasi Indeks Ketidaksetaraan Kekerasan 1. Kekerasan langsung 2. Kekerasan tidak langsung Indeks Kekerasan Tabel 2.9 Komponen Penyusun EU-GEI EIGE Sumber: European Institute for Gender Equality (EIGE) (2013) dari 8 dimensi dengan total komponen sebanyak 21 indikator. Adapun rincian indikator tersebut adalah seperti pada tabel berikut: Keunggulan dari EU-GEI adalah penggunaan penimbang yang berbeda setiap level pengukuran, baik pada tahapan anggrgasi sub dimensi maupun dimensinya. Selain itu, dalam uji kekuatan (robustness analysis) EIGE menggunakan kombinasi dari metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan menggunakan pendapat para pakar serta bobot yang setara (UNDP, 2015). Namun penggunaan indikator yang cukup banyak bisa berdampak pada inefisiensi pengukuran. 26 KAJIAN AWAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER 2016 E. UKURAN KETIMPANGAN GENDER YANG MENJADI RUJUKAN Berbagai ukuran kesetaraan gender yang telah dibangun meskipun menggunakan indikator komponen berbeda, namun memberikan hasil yang relatif sama. Hasil kajian UNDP (2015) yang menggunakan pair-wise correlation analysis, menggambarkan bahwa berbagai ukuran yang dikaji (GII, nGDI, SIGI, GGGI, GEI, EU-GEI, GDI dan GEM) memiliki korelasi rendah hingga tinggi. Korelasi yang sangat rendah (0,131) hanya terjadi pada hubungan nGDI dan EU-GEI. Namun demikian, korelasi tersebut dapat dijelaskan secara konsep. Ukuran yang digunakan pada EU-GEI lebih menggambarkan kondisi negara-negara maju. Sebaliknya, nGDI lebih universal. Kesimpulan dalam penelitian UNDP tahun 2015 tersebut menggambarkan bahwa sesungguhnya dalam memotret kesetaraan gender ukuran apapun yang digunakan memberikan informasi yang cukup identik. Oleh sebab itu, aplikasi di Indonesia bisa menggunakan ukuran yang lebih sederhana. Dalam hal ini, pengukuran kesetaraan/ketimpangan gender dapat menggunakan GII dengan cakupan indikator yang lebih sedikit. Namun demikian, UNDP (1995) menyarankan bahwa indeks atau indikator komposit yang digunakan harus memenuhi berbagai persyaratan, diantaranya: 1. Memiliki dasar teori yang kuat 2. Memiliki kemudahan dalam intrepretasi 3. Memiliki hubungan antardimensi yang sesuai dengan fakta di lapangan 4. Memiliki ukuran yang terbanding untuk setiap wilayah 5. Memiliki kemampuan untuk menstimulasi kebijakan 6. Tidak bersifat reduktif, namun terus melakukan penyempurnaan dengan melihat indeks yang sudah ada dan menyesuaikan dengan perubahan/fenomena terkini. Dalam kajian ini, ukuran ketimpangan gender merujuk pada GII. Alasannya adalah: 1. Hasil kajian UNDP 2015 menunjukkan bahwa semua ukuran yang ada merujuk pada satu hasil yang cukup identik. 2. Dari sisi kesederhanaan pengukuran, GII menggunakan jumlah indikator komponen yang sedikit. Hal ini sesuai dengan pendapat Bossel (1999) yang menyatakan bahwa jumlah indikator dalam KONSEP KETIMPANGAN GENDER DAN REFLEKSINYA DALAM SEBUAH INDIKATOR 27 sebuah indeks komposit seharusnya seminimal mungkin tetapi tidak meminimalkan urgensinya. Indikator yang digunakan harus komprehensif, padat, dan relevan terhadap isu yang dikaji. 3. Selama ini BPS menggunakan GDI dan GEM dalam mengukur pencapaian pembangunan manusia. Dengan demikian, UNDP menjadi rujukan dalam pengukuran indikator pembangunan manusia lainnya.