Anda di halaman 1dari 31

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

PENURUNAN KESADARAN PADA KASUS PENYAKIT DALAM

Penyebab metabolik atau


No Keterangan
sistemik
1 Elektrolit imbalans Hipo- atau hipernatremia
2 Endokrin Hipoglikemia, ketoasidosis diabetik
3 Gagal organ Gagal hepar (Ensefalopati hepatik), Syok.

3.1 ELEKTROLIT IMBALANS

3.1.1 Gangguan Keseimbangan Natrium

3.1.1.1. Hiponatremia

Hiponatremia didefinisikan sebagai kadar Na+ plasma <135

mEq/L. Hiponatremi berat didefinisikan sebagai konsentrasi Na+

plasma <120 mEq/L. Hiponatremi dapat dibagi menjadi :

a. Hiponatremi akut, bila berlangsung <48 jam. Biasanya

terdapat gejala yang berat seperti kejang atau penurunan

kesadaran

b. Hiponatremia kronis, bila berlangsung >48 jam. Biasanya

menunjukkan gejala ringan, seperti lemas.

14
Tanda dan gejala hiponatremi ringan yaitu: mual, muntah,

letargi, disorientasi, kebingungan (confusion). Sedangkan

hiponatremia berat/mendadak terjadi kejang, edema serebri, herniasi

otak, koma, kematian.

Pada tatalaksana hiponatremia secara garis besar terdiri atas

dua hal utama yaitu: keoreksi kadar Natrium (Na+) serum dan

mengatasi etiologi yang mendasari. Tatacara koreksi kadar natrium

serum bergantung dari kondisi pasien:

 Hiponatremi asimtomatik: koreksi Na+ dengan kecepatan <0,5

mEq/L/jam dengan larutan NA isotonik IV (NaCl 0,9%).

 Hiponatremi akut: koreksi Na dilakukan secara cepat dengan

pemberian larutan Na hipertonik IV (NaCl 3%). Kadar Na

plasma ditingkatkan sebanyak 5 mEq/L dari kadar Na awal

dalam waktu 1 jam. Setelah itu kadar Na plasma di tingkatkan

sebesar 1 mEq/L setiap jam sampai mencapai 130 mEq/L.

 Hiponatremi kronik (>48 jam): koreksi dilakukan secara

perlahan, kecepatan koreksi 0,5-1 mEq/L/jam. Biasanya total

koreksi maksimal 10-12 mEq/24jam dan <18mEq/48jam

pertama untuk menghindarkan sindrom demyelinasi osmotik

atau serebelopontin mielinolisis.

Rumus kebutuhan koreksi


Na+ = 0,5 x berat badan (kg) x (target (Na+) – konsentrasi (Na+))

15
Koreksi dilakukan dengan larutan Na hipertonik untuk

hiponatremi akut sedangkan larutan Na untuk hiponatremi kronik.

Jenis cairan Kandungan Na+ (mEq/Liter)

NaCl 3% 513

NaCl 0,9% 154

Ringer Laktat 130

3.1.1.2. Hipernatremia

Hipernatremi didefinisikan sebagai kadar Na+ plasma >145

mmol/L. Pada umumnya diakibatkan oleh hilangnya cairan tubuh,

kurangnya asupan cairan, atau bertambahnya asupan Na+. Etiologi

hipernatremi diantaranya adalah :

Kehilangan / Defisit Cairan (penyebab Bertambahnya Asupan / Masukan

tersering) Na+

Ekstrarenal(U0sm > 700-800 mOsm) Infus NaCl hipertonik

Diare osmotik dan sekretorik, insensible water Infus NaHCO3

loss (meningkat dengan demam, latihan fisik, Asupan garam yang tinggi

oaparan panas, lukabakar parah, dan dengan

ventilitas mekanik)

Keterangan :

Uosm osmolalitas urin (mOsm)

Renal (UOsm <700-800 mOsm)

16
o Diuresis osmotik (pada pasien

hiperglikemia dan glukosuria, pasien

yang mendapatkan manitol IV, atau

diet tinggi protein)

o Diuresis nonosmotik

 Diabetes insipidus sentralis ec,

trauma, tumor, kongenital, post-

operatif intrakranial atau

idiopatik

 Diabetes insipidus nefrogenik

ec, kongenital, penggunaan

litium atau amfoterisin,

hiperkalsemia, hiperkalemia

berat, malnutrisi protein, post-

obstruksi, atau kehamilan

o Obat-obatan (loop diuretic)

Hipernatremi merupakan kondisi hiperosmolaritas

plasma.Manifestasi klinis Hipernatremia menyebabkan hipertonisitas

plasma sehingga cairan akan keluar dari sel, termasuk sel saraf otak.

Oleh karena itu, gejala hipernatremia dapat berupa gangguan atau

perubahan status mental, kelemahan, defisit neurologis fokal,

penurunan kesadaran, atau kejang. Pasien juga biasanya mengalami

17
poliuria dan sering mengeluhkan haus. Hipernatremi kronik biasanya

bersifat asimtomatis.

Pemeriksaan penunjang: pengukuran volume dan

osmolaritas urin. Apabila volume urin <500 ml/hari dan osmolalitas

>800 mosmol/kg, diperkirakan kehilangan cairan diakibatkan oleh

etiologi eksternal atau pemberian cairan hipertonik.

Tatalaksana hipernatremi adalah menghentikan hilangnya

air sesuai dengan etiologi yang mendasari serta mengoreksi defisit air.

Langkah-langkah perhitungan koreksi hipernatremi adalah sebagai

berikut:

1. Defisit Air

a. Estimasi jumlah total cairan tubuh: 50-60% x KgBB

b. Hitung defisit air: [(Na+ plasma -140)/140] x jumlah

total air dalam tubuh

c. Hasil defisit air (poin 1b) diberikan dalam 48-72 jam

untuk menghindari terjadinya komplikasi neurologis

2. Ongoing water loss (OWL)

Bersihan air = v [1 – (UNa + UK/SNa)]

Keterangan v= volume urin, UNa= kadar natrium urin, UK=

kadar kalium urin, SNa=kadar natriun serum

3. Insensible water loss (IWL)

5-10 ml/KgBB/hari (lebih banyak jika pasiennya demam)

18
4. Jumlah OWL dan IWL diberikan/setiap hari

Rute pemberian cairan yang paling aman adalah per oral atau

melalui selang nasigastrik (NGT). Apabila tidak

memungkinkan, pemberian cairan dapat dilakukan melalui

intravena. Jenis cairan yang digunakan adalah salin hipotonik

(NaCl 0,45% atau dekstrosa 5%). Pantau kadar gula darah

secara rutin jika menggunakan cairan dekstrosa5%. Koreksi

hiponatremia sebaiknya tidak lebih dari 15 mEq/L/hari.

3.2 Endokrin
3.2.1 Hipoglikemia
3.2.1.1 Definisi
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah
< 70 mg/dl. Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum
dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya
whipple’s triad:
a. Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
b. Kadar glukosa darah yang rendah
c. Gejala berkurang dengan pengobatan.
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala
glukosa darah rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal.
Di lain pihak, tidak semua pasien diabetes mengalami gejala
hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar glukosa darahnya
rendah. Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes
harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea
dan insulin.

19
Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja
obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan
selama 24-72 jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau
yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang.
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran
mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Pasien dengan resiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai
kemungkinan hipoglikemia simtomatik ataupun asimtomatik pada
setiap kesempatan.

2.1.1.2. Tanda dan gejala Hipoglikemia


Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, Pucat, takikardia,
berkeringat, gelisah, widened
paresthesia, palpitasi, pulsepressure
Tremulousness
neuroglikopenik Lemah, lesu, Cortical-blindness,
dizziness, pusing, hipotermia, kejang,
confusion, perubahan koma
sikap, gangguan
kognitif, pandangan
kabur, diplopia

3.1.1.3. Klasifikasi
Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian
terakit dengan derajat keparahannya, yaitu :
a. Hipoglikemia berat: Pasien membutuhkan bantuan orang lain
untuk pemberian karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.

20
b. Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70mg/dL disertai
gejala hipoglikemia.
c. Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS 70mg/dL dengan gejala
hipoglikemia.
d. Probable hipoglikemia apabila gejala hipogllikemia tanpa
pemeriksaan GDS.

Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan,


antara lain:
a. Kendali glikemik terlalu ketat
b. Hipoglikemia berulang
c. Hilangnya respon glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5
tahun terdiagnosis DMT1
d. Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone,
cortisol responses
e. Neuropati otonom
f. Tidak menyadari hipoglikemia
g. End Stage Renal Disease (ESRD)
h. Penyakit / gangguan fungsi hati
i. Malnutrisi
j. Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat

3.1.1.4. Diagnosis Banding


 Hipoglikemia karena Obat:
o Sering: insulin, sulfonlurea, alkohol,
o Kadang: kinin, pentamidine
o Jarang: salisilat, sulfonamide.
 Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, kelainan sel B jenis lain,
sekretagogue (sulfonylurea), autoimun, sekresi insulin ektopik
 Penyakit kritis: gagal hati ,gagal ginjal, sepsis, starvasi, dan inasasi
 Defisiensi endokrin: Kortisol, growth hormone, glukagon, epnefrin

21
 Tumor non-sel B: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma,
leukemia, limfoma, melanoma
 Pasca – prandial; reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol

3.1.1.5. Pemeriksaan penunjang

 Kadar glukosa darah (GD),

 Tes fungsi ginjal,

 Tes fungsi hati

 C- peptide

3.1.1.6. Terapi

A. Pengobatan pada Hipoglikemia Ringan:

a) Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat

sederhana)

b) Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk

karbohidrat lain yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan

glukosa darah.

c) Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon

kenaikkan glukosa darah.

d) Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air

adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih

sadar

e) Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan

setelah 15 menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring

22
glukosa darah 15 menit setelah pengobatan hipoglikemia masih

tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali.

f) Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai

normal, pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack

untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.

B. Pengobatan pada Hipoglikemia Berat:

a) Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan

berupa pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa

bisa diberikan dextore 40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus

D5% atau D10%.

b) Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila

kadar glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang

pemberian dextrose 20%.

c) Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1- 2 jam

kalau masih terjadi hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose

20% dapat diulang

d) Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia

Pada penderita yang dalam keadaan koma segera diberikan suntikan


intra vena dektrosa 40% sebanyak 50ml. Bila masih belum sadar pemberian
dekstrosa 40% dapat diulangi. Dilanjutkan dengan pemberian infuse
dektrosa 10%, khusus pada mereka yang mendapat obat sulfonylurea
sebaiknya infuse dektrosa 10% diteruskan selama 48 jam.

23
3.2.2. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang
ditandai akibat defisiensi insulin absolut atau relatif yang merupakan
komplikasi akut diabetes. Manifestasi klinis utama KAD berupa
hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik. KAD pada DM terjadi
bila ada faktor pencetus:
 Infeksi
 Infark miokard akut
 Pankreatitis akut
 Penggunaan obat golongan steroid
 Menghentikan atau mengurangi dosis insulin
Selain KAD, komplikasi akut diabetes yang juga dapat
membahayakan adalah hyperglycemic hyperosmolar state (HHS).

3.2.2.1. Klasifikasi Keto Asidosis Diabetik (KAD)


Stadium Macam KAD pH Darah Bikarbonat
Darah BIK
Ringan KAD ringan 7,30-7,35 15-20 mEq/L
Sedang Prekoma Diabetik 7,20-7,30 12-15 mEq/L
Berat Koma diabetik 6,90-7,20 8-12 mEq/L
Sangat Berat Koma diabetik <6,90 <8 mEq/L
berat

3.2.2.2. Patofisiologi
KAD terjadi oleh menurunnya konsentrasi insulin efektif dan
meningkatnya hormon kontra insulin (glukagon, katekolamin,
kortisol, dan growth hormone) keadaan tersebut menyebabkan
terjadinya hiperglikemia dan ketosis. Hiperglikemia terjadi sebagai
dampak dari tiga prose: meningkatnya proses glukoneogenesis,
meningkatnya glikogenolisis, menurunnya ambilan glukosa di
jaringan perifer. Keadaan ini terjadi oleh adanya ketidakseimbangan

24
hormone tersebut diatas yang menyebabkan meningkatnya resistensi
insulin sementara disertai dengan meningkatnya kadar asam lemak
bebas (free fatty acid).
Kombinasi defisiensi insulin dan meningkatnya hormone
kontra insulin pada KAD memyebabnya pelepasan asam lemak bebas
yang tidak terkendali dari jaringan adipose ke dalam sirkulasi
(lipolisis) dan terjadi oksidasi asam lemak bebasdalam hepar menjadi
benda keton (β-hydroxybutyrate dan acetoacetate), menyebabkan
terjadinya ketonemia dan asidosis metabolik.
Hiperglikemi pada pasien krisis hiperglikemia dihubungkan
dengan kondisi inflamasi berat yang ditandai dengan meningkatnya
sitokin proinflamasi (TNF-α,interlekin-β,interlekin-6,interlekin-8),
CRP, reaktif oksigen spesies(ROS),peroksidasi lipi, faktor resiko
kardiovaskuler plasminogen activatorninhibitor-1 (PAI-1), free fatty
acid (FFA) pad5a keadaantidak didapatkan infeksi yang jelas atau
patologi kardiovaskuler. Semua parameter tersebut diatas akan
kembali mendekati nilai normaldengan terapi insulin dan rehidrasi
dalam waktu 24 jam.Penyebab terjadinya kondisi tersebut diatas
disebabkan oleh karena fenomena stress nonspesifik.

3.2.2.3. Diagnosis
Kriteria diagnosis KAD adalah sebagai berikut:
1. Klinis :
- Poliuria
- Polidipsia
- Mual dan atau muntah
- Pernapasan Kussmaul (dalam dan frequen)
- Lemah
- Dehidrasi
- Hipotensi sampai syok

25
- Kesadaran terganggu sampai koma
2. Darah:
- Hiperglikemi > 300mg/dL (biasanya melebihi 500 mg/dL).
- Bikarbonat < 20 mEq/L (dan pH < 7.35), ketonemia
3. Urin: Glukosuria dan ketonuria

3.2.2.4. Terapi Ketoasidosis Diabetik


Perbedaan derajat terapi KAD tergantung pada stadiumnya.
Terapi KAD terdiri atas 2 fase yaitu: fase I (fase gawat) dan fase II (fase
rehabilitasi) dengan batas kadar glukosa darah antara kedua fase
tersebut sekitar 250 mg/dL.

Gambar . Terapi Ketoasidosis Diabetik

3.3. Gagal Organ

26
3.3.1. Koma Hepatik (Ensefalopati Hepatikum)

Ensefalopati Hepatikum merupakan suatu komplikasi serius

sistemik dari penyakit hati kronik. Didefinisikan sebagai manifestasi

neuropsikiatrik yang ditandai dengan perubahan status mental, intelektual,

psikomotor, dan fungsi kognitif disertai dengan kegagalan hati dan

mengeksklusi penyakit otak lainnya. Ditemukan 70% pasien dengan sirosis.

3.3.1.1. Patofisiologi

Beberapa substansi neurotoksin mempengaruhi morfologi astrosit

yang berperan dalam menjaga penyediaan nutrisi, prekursor

neurotransmiter, dan detoksifikasi bebrapa zat kimia, termasuk amonia.

Keadaan ensefalopati hepatikum adalah hasil akhir dari akumulasi

substansi neurotksik di dalam otak. Beberapa teori yang menjadi dasar

berkembangnya ensefalopati hepatikum adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis Amonia

Amonianterutama diproduksi di kolon sebagai hasil

metabolisme protein dan urea oleh bakteri dan digunakan dalam

konversi glutamat menjadi glutamin oleh enzim glutamin sintetase.

Otot dan ginjal juga memproduksi amonia, namun tidak bermakna jika

dibandingkan dengan saluran cerna. Secara normal, amonia akan

didetoksifikasi amonia. Kemudian terjadi pirau portosistemik yang

mengalihkan aliran darah dari hati yang mengandung amonia ke

sirkulasi sitemik.

27
 Normalnya sel otot skeletal tidak memiliki enzim siklus urea,

namun memiliki glutamin sintetase. Aktivitas enzim glutamin

sintetase meningkat pada sirosis dengan pirau portosistemik.

Namun, muscle wasting yang sering ditemukan pada pasien

sirosis menurunkan kapasitas enzim tersebut.

 Ginjal memiliki glutaminase yang berperan dalam produksi

amonia.Namun ginjal memiliki glutamin sitetase sehingga

berperan juga dalam metabolisme dan ekskresi amonia.

 Astrosit juga memiliki glutamin sintetase. Namun pada keadaan

hipermonemia, astrosit tidak dapat meningkatkan aktifitas

glutamin sintetase karena tingginya amonia. Kadar amonia yang

tinggi menginduksi berbagai pembengkakan astrosit karena

terjadi ketidakseimbangan osmotik, yang menyebabkan enderma

serebal dan hipertensi intraknarial.

Amonia memiliki berbagai efek toksin, antara lain.

 Mengganggu transit asam amin, air, dan elektrolit yang melewati

astrosit dan neuron

 Merusak metaboisme asam amino dan penggunaan energi di otak

 Menghambat produksi potensi postsinaptik ekstasi dan inhibisi

Meskipun demikian terdapat sekitar 10% pasien ensefalopati

dengan kadar amonia serum normal.

28
2. Hipotesis GABA

Gamma Amino Butiric Acid (GABA) merupakan

neurotransmiter inhibitor yang diproduksi saluran cerna. Sekitar 24-

45% neuron sistem saraf pusat (SPP) merupakan neuron GABA-

ergik. Pada proses sirosis, terdapat peningkatan kadar GABA dan

benzodiazepin perifer pada astrosit, yang kemudian melewati bundle

branch block (BBB).

Penelitian menunjukkan bahwa neurotoksin seperti monia

dan mangan dapat meningkatkan produksi reseptor enzodiazepin

perifer pada astrosit yang kemudian menghasilkan neurosteroid.

Neurosteroid tersebut dapat berikatan ke kompleks reseptor GABA

sehingga meningkatkan neurotransmisi inhibisi.

3. Hasil Produk Bakteri dan Infeksi Bakteri

Sekitar 10% pasien ensefalopati hepatikum memiliki kadar

amonia darah yang normal. Pasien dengan kadar amonia yang tinggi

tidak selalu mengalami ensefalopati. Diduga beberapa produk

bakteri, seperti merkaptan dan fenol (hasil metabolisme asam

amino), bersifat neurotoksik pada ensefalopati hepatikum. Pada

penyakit hati kronis, didapatkan peningkatan kadar fenol dan

merkaptan. Kedua senyawa tersebut diproduksi diusus halus dan

diabsorbsi melalui aliran vena porta.Toksin tersebut tidak dapat

dikatabolisme karena hati telah mengalami kerusakan, sehingga

29
akhirnya masuk ke dalam pirau portosistemik. Toksin kemudian

menembus sawar darah otak dan menyebabkan gangguan fungsi

seberal. Perdarahan gastrointestinal dapat meningkatkan absorpsi

toksin.

3.3.1.2. Gejala dan Tanda

Pada pasien dengan gagal hati akut, dapat terjadi di perubahan

mental dalam hitungan minggu hingga bulan. Pada ensefalopati berat

dapat terjadi edema otak pada substansi abu dan mengakibatkan hernia

serebral.

Berdasarkan klasifikasi West-Haven, ensefalopati hepatikum dapat

dikategorikan dalam berbagai tingkatan sebagai berikut:

1. Derajat 0 : minimal atau subklinis. Susah ditemukan perubahan

perilaku. Perubahan minimal dalam ingatan, konsentrasi, fungsi

intelektual, dan koordinasi. Tidak sitemukan asteriksis.

2. Derajat 1 : kemampuan mempertahankan konsentrasi memendek.

Hipersomnia, insomnia, ataupun peruabahan dalam pola tidur. Euforia

depresi, atau gampang teriritasi. Kebingungan ringan. Kemampuan

melakukan tugas mental melambat. Dapat ditemukan asteriksis.

3. Derajat 2 : letargi atau apatis, berbicara cadel, asteriksis jelas.

Tampak mengantuk, kesulitan mengerjakan pekerjaan mental,

perubahan perilaku yang jelas, perilaku tidak seusai, disorientasi,

khusunya mengenai orientasi waktu.

30
4. Derajat 3 : somnolen tapi masih dapat dibangunkan, tidak dapat

mengerjakan tugas mental, disorientasi tempat dan waktu,

kebingungan yang jelas, amnesia, bicara tidak komperhensif.

5. Derajat 4 : koma dengan atau tanpa respon terhadap stimulus nyeri.

Pada pasien dengan ensefalopati biasanya ditemukan anteriksis,

yakni liver flap yang muncul pergerakan maju tiba-tiba dari pergelangan

tangan setelah dilakukan ekstensi. Diagnosis membutuhkan pengalaman

yang menyatukan berbagai gambaran klinis.

3.3.1.3. Pencetus

Pada pasien sirosis, ensefalopati sering dicetuskan oleh keberadaan

kondisi medis lainnya, seperti:

1. Gagal ginjal. Mengurangi laju ekskresi urea, amonia, ataupun

komponen nitrogen lainnya.

2. Perdarahan saluran cerna. Meningkan jumlah nitrogen dan amonia

yanf dapat diabsirbsi di intestin. Perdarahan juga menjadi faktor

predisposisi hipoperfusi ginjal dan gangguan fungsi ginjal.

3. Transfusi darah dapat menyebabkan hemolisis ringan dengan

peningkatan kadar amonia.

4. Konstipasi. Meningkatkan absorbsi dan produksi amonia

31
5. Infeksi. Faktor predisposisi gangguan ginjal dan meningkatkan

katabolisme jaringan. Pada pasien dengan asites, cairan harus

dikeluarkan untuk menghilangkan infeksi.

6. Obat-obatan dapat beraksi di sistem saraf pusat seperti opiat,

benzodiazepin, anti depresan dan antipsikotik.

7. Hipokalemia. Biasanya akibat penggunaan diuretik. Hipokalemia

memicu alkalosis, yang mencetuskan perubahan NH4+ menjadi NH3

(amonia),

8. Diet tinggi protein

9. Keadaan lain seperti trombosis vena porta, hipoksia atau gangguan

elektrolit.

3.3.1.4. Pemeriksaan Penunjang

1. Peningkatan kadar amonia darah. Bermakna bila ditemukan pada

pasien dengan sirosis dengan perubahan mental status. Pemeriksaan

amonia serial tidak diperlukan dalam mengevaluasi perbaikan atau

perburukan pasien.

2. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan gelombang amplitudo

tinggi dengan frekuensi rendah dan gelombang trifasik. Namun tidak

spesifik untuk ensefalopati hepatikum.

3. CT scan dan MRI untuk mengeksklusi lesi intrakranial.

3.3.1.5. Tatalaksana

32
1. Secara umum tata laksana ensefalopati hepatikum adalah sebagai

berikut:

a. Eksklusi penyebab perubahan status mental non hepatik

b. Pertimbangan pemeriksaan kadar amonia arteria sebagai

pemeriksaan awal, khususnya pasien rawat inap

c. Tata laksana pencetus yang mendasari. Baik rehidrasi ataupun

perbaikan elektrolit

d. Hindari penggunaan obat-obatan yang mensupresi sistem saraf

pusat, khususnya golongan benzodiazepin. Bila dibutuhkan agen

sedatif. Pilihlah obat golongan lain seperti Haloperidol

e. Pada pasien dengan ensefalopati berat (derajat 3 dan 4) sebaiknya

dirawat diluar unit perwatan intensif

2. Terapi - Untuk menurunkan produksi amonia

a. Diet. Pembatasan asupan protein sebaiknya dilakukan khususnya

pada pasien dengan derajat yang berat, namun dengan tetap

memperhatikan status nutrisi pasien. Umumnya pasien ensefalopati

masih dapat menoleransi asupan 60-80 g per hari

b. Obat pencahar.Dosis yang diberikan sebaiknya 30-45 ml(20-30g)

per oral. Dosis disesuaikan dengan keluar feses lunak 2-3 kali per

hari. Laktosa dan laktilol merupakan disakarida yang tidak diserap

dan akan didegradasi oleh bakteri didalam usus menjadi asam laktat

akan menurunkan pH lumen usus yang dapat menghambat

proliferasi bakteri koliform amoniagenik sehingga meningkatkan

33
jumlah laktobasilus non-amoniagenik. Hati-hati dalam

penggunaanya karena dosis berlebihan dapat menyebabkan ileus,

diare berat, gangguan elektrolit, dan hipovolemia yang dapat

memperberat gejala ensefalopati

c. Antibiotik. Untuk mengurangi konsentrasi bakteri amoniagenik.

Dapat diberikan neomisin 2-4 kali 250 mg tiap harinya atau

metronizadol 3x500 mg. Rifaximin merupakan antibiotik spektrum

luas oral derivat rifamisisn yang tidak diserap dengan baik sehingga

terdeposisi di dalam traktus gastrointensial

3. Terapi - Untuk Meningkatkan Bersihan Amonia

a. L-ornitin L-aspartat. Meningkatkan kadar glutamat untuk

menignkatkan penggunuaan amonia untuk mengubah glutamat

menjadi glutamin oleh glutamin sintetase

b. Zink - Pada umunya pasien sirosis mengalami defisiensi besi.

Pemberian zink dapat meningkatkan aktivasi ornitin

transkarbamilase, enzim yang dibutuhkan dalam siklus urea untuk

ureagenesis dan berefek hilangnya ion amonia .Dosis yang diberikan

dapat 600mg per oral tiap harinya

c. Natrium benzoat, natrium fenilbutirat, natrium fenilasetat.

Natrium benzoat diberikan 2x5 g tiap harinya. Natrium benzoant

akan berinteraksi tiap hari dengan glisisn membentuk hipurat,

senyawa yang membutuhkan amonia ketika diekskresi oleh renal

34
d. L-Carnitine. Merupakan rantai pendek ester dari karnitin yang

secara endogen diproduksi didalam mitokondria dan peroksism.

Bekerja dengan menginduksi uregenesis yang mengurangi kadar

amonia di darah dan otak. Dapat memperbaiki aktifitas

neuropsikologi, menurunkan derajat kelelahan mental dan fisik,

kerusakan depresi kognitif dan memperbaiki kwalitas hidup.

3.3.2. Syok

Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil

akhirnya berupa lemahnya aliran darah yang merupakan petunjuk yang

umum, walaupun ada bermacam-macam penyebab. Syok dihasilkan oleh

disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling berkaitan yaitu ; jantung,

volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas vena. Jika salah

satu faktor ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka

akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai

kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut,

curah jantung menurun dan vasokontriksi perifer meningkat.

3.3.2.1. Klasifikasi

Syok secara umum dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Syok Hipovolemik

Syok yang disebabkan karena tubuh :

- Kehilangan darah/syok hemoragik

35
· Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal

· Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks

- Kehilangan plasma : luka bakar

- Kehilangan cairan dan elektrolit

· Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih

· Internal : asites, obstruksi usus

2. Syok Kardiogenik

Kegagalan kerja jantungnya sendiri. Gangguan perfusi

jaringan yang disebabkankarena disfungsi jantung misalnya :

aritmia, IMA (Infark Miokard Akut).

3. Syok Distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer)

 Syok Septik

Syok yang terjadi karena penyebaran atau invasi

kuman dan toksinnya didalam tubuhyang berakibat

vasodilatasi.

 Syok Anafilaktif

Gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi

antigen antibodi yang mengeluarkanhistamine dengan

akibat peningkatan permeabilitas membran kapiler dan

terjadi dilatasiarteriola sehingga venous return menurun.

Misalnya : reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan

ular berbisa.

 Syok Neurogenik

36
Pada syok neurogenik terjadi gangguan perfusi

jaringan yang disebabkan karenadisfungsi sistim saraf

simpatis sehingga terjadi vasodilatasi.Misalnya : trauma

pada tulang belakang, spinal syok.

4. Syok Obtruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar

jantung)

Ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama

diastol sehingga secara nyatamenurunkan volume sekuncup dan

endnya curah jantung. Misalnya : tamponade kordis, koarktasio

aorta, emboli paru, hipertensi pulmoner primer.

3.3.2.2. Patofisiologi

Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :

1. Fase Kompensasi

Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian

rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup

untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi

dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke

jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat

yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan

vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air.

37
Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan

kadar oksigen didaerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi

peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan

curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaikiventilasi

alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal

mempunyai cararegulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi

glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi

glomeruler juga menurun.

2. Fase Progresif

Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu

mengkompensasi kebutuhan tubuh.Faktor utama yang berperan

adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehinggaterjadi

gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri

menurun, alirandarah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,

gangguan seluler, metabolismeterganggu, produk metabolisme

menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.

Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu

berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous

return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikutidengan aliran

darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini

dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi

koagulopati intravasa yang luas Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan

38
kerusakan pusat vasomotor danrespirasi di otak. Keadaan ini

menambah hipoksia jaringan.

Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan

bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin)yang ikut

memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung).

Iskemia dananoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa

usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi.Invasi

bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek

keadaan.

Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim

retikuloendotelial rusak, integritasmikro sirkulasi juga rusak.

Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari

aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,

terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam

karbonat di jaringan.

3. Fase Irrevesibel/Refrakter

Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas

sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat

timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung

tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku,

timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya

anoksia dan hiperapnea.

39
3.3.2.3. Tingkat syok

1. Syok ringan; kehilangan volume darah dibawah 20% dari

volume total. Hipoperfusihanya terjadi pada organ non vital

seperti kulit, jaringan lemak, otot rangka, dantulang. Gambaran

klinik perasaan dingin, hipotensi postural, takikardi, pucat,

kulitlembab, kolaps vena-vena leher, dan urin yang pekat.

Kesadaran masih normal,diuresis mungkin berkurang sedikit

dan belum terjadi asidosis metabolik.

2. Syok sedang; kehilangan 20% sampai 40% dari volume darah

total. Hipoperfusimerambat ke organ non vital seperti hati, usus

dan ginjal, kecuali jantung dan otak.Gambaran klinik haus,

hipotensi telentang, takikardi, liguria atau anuria, dan

asidosismetabolik. Kesadaran relatif normal.

3. Syok berat; kehilangan lebih dari 40% dari volem darah total.

Hipoperfusi terjadi juga pada janberattung atau otak. Gambaran

klinik; penurunan kesadaran (agitasi ataudelirium), hipotensi,

takikardia, nafas cepat dan dalam, oliguria, asidosis metabolik.

3.3.2.4. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok

neurogenik) yang meliputi :

1. Sistem pernafasan : nafas cepat dan dangkal

40
2. Sistem sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat

dingin, nadi cepat dan lemah,tekanan darah turun bila kehilangan

darah mencapai 30%.

3. Sistem saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita

bervariasi tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung

sampai keadaan tidak sadar.

4. Sistem pencernaan : mual, muntah

5. Sistem ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1

cc/kgBB/jam).

6. Sistem kulit/otot : turgor menurun, mata cekung, mukosa lidah

kering.

7. Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan

denyut jantung yangnormal atau melambat, tetapi akan hangat

dan kering apabila kulitnya diraba.

3.3.2.5. Penatalaksanaan

1. Terapi umum

a. Letakkan pasien pada posisi telentang kaki lebih tinggi agar

aliran darah otak maksimal.Gunakan selimut untuk

mengurangi pengeluaran panas tubuh.

b. Periksa adanya gangguan respirasi. Dagu ditarik kebelakang

supaya posisi kepalamenengadah dan jalan nafas bebas, beri

O2, kalau perlu diberi nafas buatan.

41
c. Pasang segera infus cairan kristaloid dengan kanukl yang

besar (18, 16).

d. Lakukan pemeriksaan fisik yang lengkap termasuk kepala

dan punggung. Bila tekanandarah dan kesadaran relatif

normal pada posis telentang, coba periksa dengan posisi

duduk atau berdiri.

e. Keluarkan darah dari kanul intravena untuk pemeriksaan

laboratorium : darah lengkap, penentuan golongan darah,

analisis gas darah elektrolit. Sampel darah sebaiknya

diambilsebelum terapi cairan dilakukan.

 Pada syok hipovolemik, kanulasi dilakukan pada

v.safena magna atau v.basilikadengan kateter nomor 16

perkutaneus atau vena seksi. Dengan memakai kateter

yang panjang untuk kanulasi v.basilika dapat sekaligus

untuk mengukur tekanan venasentral (TVS).

 Pada kecurigaan syok kardiogenik, kanulasi vena

perkutan pada salah satu venaekstrimitas atas atau vena

besar leher dilakukan dengan kateter nomor 18-20.

f. Peubahan nilai PaCO2, PaO2, HCO3, dan pH pada analisis

gas darah dapat dipakaisebagai indikator beratnya gangguan

fungsi kardiorespirasi, derajat asidosis metabolik,dan

hipoperfusi jaringan.

42
g. Beri oksigen sebanyak 5-10 L/menit dengan kanul nasal atau

sungkup muka dan sesuaikankebutuhan oksigen PaO2.

Pertahankan PaO2 tetap di atas 70 mmHg.

h. Beri natrium bikarbonat 1 atau 2 ampul bersama cairan infus

elektrolit untuk mempertahankan nilai pH tetap di atas 7,1,

walaupn koreksi asidosis metabolik yangterbaik pada syok

adalah memulihkan sirkulasi dan perfusi jaringan.

i. Terapi medikamentosa segera

 Adrenalin dapat diberikan jika terdapat kolaps

kardivaskuler berat (tensi/nadi hampir tidak teraba)

dengan dosis 0,5-1 mg larutan 1 : 1000 intra muskuler

atau 0,1-0,2 mglarutan 1 : 1000 dalam pengenceran

denan 9 ml NaCl 0,9 % intra vena. Adrenalin jangan

dicampur dengan natrium bikarbonat karena adrenalin

dapat menyebabkaninaktivasi larutan basa.

 Infus cepat dengan Ringer’s laktat (50 ml/menit)

terutama pada syok hipovolemik.Dapat dikombinasi

dengan cairan koloid (dextran L).

 Vasopresor diberikan pada syok kardiogenik yang tidak

menunjukkan perbaikandengan terapi cairan. Dopamin

dapat diberikan dengan dosis 2,5 Ug/kg/menit(larutkan

dopamin 200 mg dalam 500 ml cairan dekstrosa 5%.

Setiap ml larutan mengandung 400 Ug dopamin). Dosis

43
dopamin secara bertahap dapat ditingkatkanhingga 10-

20 Ug/kg/menit. Pemberian vasopresor pada

hipovolemia sedang sampai berat tidak bermanfaat.

j. Pantau irama jantung dan buat rekaman EKG (terutama syok

kardiogenik). Syok adalahsalah satu predisposisi aritmia

karena sering disertai gangguan keseimbangan

elektrolit,asam dan basa.

k. Pantau diuresis dan pemeriksaan analisis urin.

l. Pemeriksaan foto toraks umumnya bergantung pada

penyebab dan tingkat kegawatansyok.Semua pasien syok

harus dirujuk ke rumah sakit, terutama untuk perawatan

intensif

44

Anda mungkin juga menyukai