Anda di halaman 1dari 46

IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN DI

PUSKESMAS KABUPATEN KEEROM PROVINSI PAPUA 2013

OLEH : TURAS
B. Kebijakan Publik

Kebijakan publik yaitu suatu pengaturan yang diperlukan untuk

merencanakan kegiatan formulasi, implementasi, dan evaluasi hasil

kebijakan publik dengan memanfaatkan sumber daya secara efektif dan

efisien serta memperhatikan lingkungan internal dan eksternal dalam

rangka mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu

proses kebijakan publik itu sangat rumit dan kompleks, membutuhkan

sumber daya, waktu dan keterlibatan banyak orang, sehingga

membutuhkan adanya suatu manajemen kebijakan publik. Tanpa

manajemen keijakan publik, akan menimbulkan resiko antara lain, proses

yang berlarut-larut dan tidak terselesaikan, pemborosan penggunaan dana

dan waktu serta kesimpangsiuran pemikiran yang dilandasi oleh perbedaan

kepentingan antara pelaku yang terlibat (stakeholders) (pusdiklat Spinmas,

2013).

Menurut Dye (Dunn, 1981) suatu sistem kebijakan dapatlah

diperlihatkan dalam pola sebagaimana pada gambar berikut:


Stakeholder

Stakeholder Stakeholder

Gambar 3 Sistem Kebijakan


Pola yang diperlihatkan oleh sistem kebijakan menunjukan bahwa

ada 3 sub sistem yang saling berinteraksi dalam satu kesatuan sistem

tindakan. Terlihat sub sistem stakeholder atau para pelaku kabijakan

berinteraksi dengan lingkungan kebijakan (pilicy enviroment) dan dengan

kebijakan publik yang diperlakukan (public policy). Interaksi berlangsung

secara timbal balik dalam pengertian stakeholder yang mempengaruhi

lingkungan dan sebaliknya lingkungan akan mempengaruhi para pelaku

kebijakan. Artinya, para pelaku kebijakan terhadap lingkungan berupaya

mempengaruhi, mengendalikan, merencanakan, mengatur dan bisa

mungkin memaksakan kehendaknya, sebaliknya lingkungan kebijakan

akan mempengaruhi pemikiran para pelaku kebijakan, memberi warna

terhadap apa yang dilakukan oleh para pelaku kebijakan dan bisa mungkin

akan dapat menentukan dan dapat memaksakan kehendaknya terhadap

para pelaku kebijakan. Lingkungan kebijakan dapat berupa manusia dalam

berbagai statusnya seperti para administrator, para pemerintahan dalam

berbagai eselon, para publik dalam berbagai peran sebagai kelompok

sasaran (target group), dapat berupa alam seperti lingkungan alamiah,

geografis dan aspek alam lainnya. (Ali, Alam, Wantu, 2012)

Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) yang dikutip Winarno

(2012) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak

melakukan (Whatever goverment choose to do or not to do). Definisi ini

menunjukan bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah dan

kebijakan publik juga menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan. Segala keputusan yang diambil pemerintah adalah kebijakan,

namun tidak mengambil keputusan adalah suatu kebijakan.

Sebelumnya, Rose (1969) yang dikutip oleh Winarno (2012)

mendefinisikan kebijakan publik sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit

banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi yang

bersangkutan.

Selanjutnya, menurut James Anderson (1979) yang dikutip oleh

Subarsono (2009), kebijakan publik adalah serangkaian kegiatan yang

mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah

aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Definisi lain diungkapkan Nugroho (2008) yang dikutip oleh Hidayah

(2011), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu keputusam yang

dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk

merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan untuk mengantar

masyarakat menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.

Sementara menurut William Dunn (1995) kebijakan publik adalah

pedoman yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai

kewenangan untuk mendukung tindakan-tindakan pemerintah dalam

wilayah yurisdiksinya.

Kebijakan publik muncul dari adanya permasalahan publik dan

kebijakan yang dihasilkan merupakan upaya penyelesaian masalah

tersebut. Namun tidak semua permasalahan menjadi permasalahan publik


yang dianggap membutuhkan suatu kebijakan. Lahirnya suatu kebijakan

akan melalui suatu proses yang disebut siklus kebijakan publik.

William Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam 5 tahap

yaitu : (1) Penyusunan agenda (agenda setting) yaitu agar suatu proses

masalah biasa mendapatkan perhatian dari pemerintah; (2) Formulasi

Kebijakan (Policy Formulation), merupakan proses perumusan pilihan-

pilihan kebijakan oleh pemerintah; (3) Pembuatan kebijakan (decision

making) merupakan proses ketika pemerintah membuat pilihan untuk

melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan; (4) Implementasi

kebijakan (policy implementation) yaitu proses melaksanakan kebijakan

supaya mencapai hasil; (5) Evaluasi kebijakan yaitu proses untuk menilai

hasil atau kinerja kebijakan yang telah dibuat. James Anderson (1979) yang

dikutip Subarsono (2009), juga menetapkan bahwa proses kebijakan publik

dibagi atas 5 tahapan yaitu : 1) Formulasi masalah (problem formulation),

2) Formulasi kebijakan (Formulation), 3) Penentuan Kebijakan (adoption) ,

4) Implementasi (Implementation) dan 5) Evaluasi (evaluation).

Dari berbagai pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

suatu kebijakan dihasilkan melalui suatu proses yang kompleks dan saling

berkaitan serta saling mempengaruhi.

1. Formulasi Kebijakan Publik

Tjokroamidjojo (Islamy; 1991,24) mengatakan bahwa policy

formulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan


serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan

secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini

didalamnya termasuk pembuatan keputusan. Lebih jauh tentang proses

pembuatan kebijakan negara (public), Udoji (Wahab; 2001,17)

merumuskan bahwa pembuatan kebijakan negara sebagai.

“The whole process of articulating and defining problems,

formulating posibble solutions into political demands, channelling those

demands into the political systems, seeking sanctions or legitimation of

the preferred course of action, legitimation and implementation,

monitoring dan review (feedback)”.

Islamy (1991,77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam

tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah,

perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan

kebijakan dan penilaian kebijakan.

a. Perumusan masalah kebijakan. Kegiatan ini merupakan upaya

untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih

dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut

sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses

perumusan kebijakan.

b. Penyusunan agenda pemerintah. Para pembuat keputusan harus

memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya

memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan


aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini mempunyai sifat

yang khas, lebih kongkrit dan terbatas jumlahnya.

c. Perumusan usulan kebijakan. Tahap ini merupakan kegiatan

penyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu

untuk memecahkan masalah, meliputi identifikasi alternative,

mendefinisikan dan merumuskan alternatif yang memuaskan.

d. Pengesahan kebijakan. Pengesahan kebijakan merupakan proses

penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-

prinsip yang diakui dan diterima (comforming to recognized

principles or accepted standards)

2. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan publik merupakan tahapan yang krusial

dalam proses kebijakan publik. Implementasi dianggap sebagai wujud

utama dan sangat menentukan dalam proses suatu kebijakan. Suatu

program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak

atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2012)

3. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan dalam perspektif alur proses/siklus kebijkan

publik, menempati posisi terakhir setelah implementasi kebijakan,

sehingga sudah sewajarnya jika kebijakan publik yang telah dibuat dan

dilaksanakan lalu dievaluasi. Dari evaluasi akan diketahui keberhasilan

atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga secara normatif akan


diperoleh rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan; atau perlu

perbaikan sebelum dilanjutkan, atau bahkan harus dihentikan. Evaluasi

juga menilai berkaitan antara teori (kebijakan) dengan prakteknya

(implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah dampak

tersebut sesuai dengan yang diperkirakan atau tidak.

4. Analisis Kebijakan Publik

Analisis kebijakan publik adalah ilmu yang menghasilkan informasi

yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan publik

adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai biaya dan

manfaat sosial tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif

menguntungkan suatu kelompok dan relatif merugikan kelompok

lainnya.

Analisis kebijakan publik mempunyai tujuan yang bersifat

penandaan (designative) dengan pendekatan empiris (berdasarkan

fakta), bersifat penilaian dengan pendekatan evaluatif dan bersifat

anjuran dengan pendekatan normatif. Prosedur analisis berdasarkan

letak waktu dalam hubungannya dengan tindakan dibagi dua yaitu ex

ante dan ex post. Prediksi dan rekomendasi digunakan sebelum

tindakan diambil atau untuk masa datang (ex ante), sedangkan

deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi atau dari

masa lalu (ex post). Analisis ex post berhubungan dengan analisis

kebijakan retrospektif yang biasa dilakukan oleh ahli-ahli ilmu sosial dan
politik, sedangkan analisis ex ante berhubungan dengan analisis

kebijakan prospektif yang biasa dilakukan oleh ahli-ahli ekonomi, sistem

analisis dan operations research analysis kebijakan biasanya terdiri dari

perumusan masalah, peliputan, peramalan, evaluasi, rekomendasi dan

kesimpulan.

C. Implementasi Kebijakan Publik

Sebagaimana yang dirumuskan dalam kamus webster (dalam

wahab, 2001:64) bahwa : “to implement berarti to provide the means for

carying but”; yang menekankan bahwa implementasi itu menimbulkan

dampak terhadap sesuatu. Kalau pemandangan ini diikuti, maka

implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses untuk

melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk undang-

undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif,

atau dekrit presiden).

Mazmanian dan sabatier (dalam hamdi; 1994, 14) memberikan

penjelasan mengenai makna implementasi tersebut sebagai berikut:

memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian

implementasi kebijakan. Yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan

yang timbul sesudah disahkan pedoman-pedoman kebijaksanaan negara.

Yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun


untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-

kejadian.

Meter dan Horn (dalam Wahab; 2011,65) secara konsepsial

memberi rumusan atau batasan tentang implementasi kebijakan sebagai

berikut: “those action by publiks are private individuals (or group) that are

directed at the achievement of obyectives set forth in prior policy decisions”

(tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-

pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan

pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam putusan

kebijakan).

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses

kebijakan publik. Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan sangat

menentukan dalam proses suatu kebijakan. Suatu program kebijakan harus

diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan

(Winarno,2012). Menurut Akib (2010) yang mengutip pernyataan Edwards

III (1984) menyatakan bahwa tanpa implementasi yang efektif keputusan

pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi

kebijakan merupakan aktifitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan

yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk

menghasilkan output atau outcome bagi masyarakat (Akib, 2010)

Menurut Winarno (2012) yang mengutip pendapat Ripley dan

Franklin (1982) bahwa implementasi adalah apa yang telah terjadi setelah
undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan,

keuntungan (benefit) atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output).

Implementasi menunjukan pada sejumlah kegiatan yang mengikuti

pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang

diinginkan oleh para pejabat pemerintah menurut Akib (2010) yang

mengutip pendapat Grindle (1980) bahwa implementasi merupakan proses

umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program

tertentu. Proses implementasi dimulai apabila tujuan dan sasaran telah

ditetapkan, program kegiatan telah tersusun, dana telah siap dan disalurkan

untuk mencapai sasaran (Akib, 2010)

Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn (1975) yang dikutip oleh

Winarno (2012) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok

pemerintah ataupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan

yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang telah digariskan.

Dari definisi-definisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

proses implementasi kebijakan diawali dari adanya tujuan atau sasaran,

kemudian proses pelaksanaan untuk mencapai tujuan dan akhirnya

diperoleh hasil atau dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Hal ini

senada dengan pandangan Van Meter dan Van Horn (1980) yang dikutip

oleh Akib (2010), bahwa tgas implementasi adalah membangun jaringan

yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktifitas

instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.


Jika divisualisasikan akan terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki

tujuan yang jelas yang diformulasikan ke dalam program pelaksanaan yang

dilaksanakan berpedoman pada rencana. Keseluruhan implementasi

kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran (output) program

berdasarkan tujuan program. Luaran program dilihat melalui dampaknya

terhadap sasaran yang dituju baik individu, kelompok maupun masyarakat.

luaran implementasi kebijakan adalah adanya perubahan dan diterimanya

perubahanoleh kelompok sasaran (Akib, 2010).

Keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa

faktor yang saling berkaitan. Ada banyak faktor yang dinyatakan oleh para

ahli, diantaranya menurut Edwards III (1984) yang dikutip oleh Tangkilisan

(2003) bahwa ada 4 faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan

dalam implementasi kebijakan yakni faktor sumberdaya, birokrasi,

komunikasi dan disposisi.

Pendapat lain diutarakan oleh Grindle (1980) yang dikutip

Subarsono (2009), menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan

dipengaruhi oleh 2 variabel besar yakni isi kebijakan (content of policy) dan

lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan

mencakup:

1) Kepentingan kelompok sasaran atau target group,

2) Jenis manfaat yang diterima oleh target groups (masyarakat),


3) Perubahan yang diinginkan dan sebuah kebijakan,

4) Letak pengambilan keputusan,

5) Pelaksanaan program, dan

6) Sumber daya yang dilibatkan.

Sedangkan variabel lingkungan (context) mencakup.

1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat,

2) Karakteristik lembaga dan penguasa,

3) Kepatuhan dan daya tanggap.

Mazmanian dan Sabatier (1983) juga mengemukakan pendapatnya

yang dikutip oleh Subarsono (2005), bahwa implementasi kebijakan

dipegaruhi oleh 3 variabel yaitu :

1) Karakteristik dari masalah (iractability of problems),

Karakteristik mencakup:

a. Tingkat kesulitan taknis dari masalah yang bersangkutan,

b. Keragaman prilaku kelompok sasaran,

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi,

d. Cakupan perubahan perilaku.


2) Karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statue to

structure implementation)

Karakteristik kebijakan mencakup

a. Kejelasan isi kebijakan,

b. Dukungan teoritis,

c. Besarnya alokasi sumber daya,

d. Keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi

pelaksana,

e. Kejelasan dan konsistensi aturan,

f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, dan

g. Akses formal.

3) Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting

implementation)

Sementara variabel lingkungan meliputi:

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat,

b. Dukungan publik terhadap kebijakan,

c. Sikap dari kelompok pemilih,


d. Tingkat komitmen dan keterampilan implementor.

Selain faktor-faktor diatas, Korte (1980) menambahkan pendapat

yang dikutip oleh Akib (2010), bahwa suatu program akan berhasil

dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari 3 unsur implementasi program.

Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian

antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan

oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program

dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang

dipersyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana.

Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi

pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi

untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan

oleh kelompok sasaran program.

Berdasarkan pola pikir Korten dapat dipahami bahwa jika tidak

terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi kebijakan maka kinerja

program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika

output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran maka

jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana

program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang diisyaratkan

oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output

program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi

pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka


kelompok sasaran tidak dapat output program. Oleh karena itu, kesesuaian

antara 3 unsur implementasi kebijakan mutlaj diperlukan agar program

berjalan sesuai rencana yang telah dibuat (Akib,2010).

Hampir sama dengan Korten, Grindle (1980) dan Quade(1984) yang

dikutip oleh Akib (2010) juga menyatakan bahwa dalam implementasi

kebijakan memerlukan 3 variabel yang bekerja sinergis demi keberhasilan

implementasi kebijakan tersebut. Konfigurasi ketiga variabel itu disebut

hubungan segitiga variabel yaitu variabel kebijakan, organisasi dan

lingkungan kebijakan. Melalui pemilihan kebijakan yang tepat, maka

masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi dalam mencapai

tujuan kebijakan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang

terpilih perlu diwadahi oleh organisasi pelaksana yang memiliki

kewenangan dan sumber daya yang mendukung pelaksanaan program.

Penciptaan situasi dan lingkungan kebijakan yang mendukung sangat

dibutuhkan dalam pencapaian keberhasilan. Karena diasumsikan bahwa

jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan maka

diharapkan akan menghasilkan dukungan positif yang sangat berpengaruh

terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebalikya, jika lingkungan

berpandangan negatif akan dapat mengancam kesuksesan implementasi

kebijakan (Akib, 2010).


a. Model – model implementasi

1. Model George Edwards III

Teori yang dikemukakan oleh Edwards ini disebut juga dengan

direct and indirect impact on implementation. Menurut Edwards,

ada 4 (empat) faktor yang memengaruhi implementasi suatu

kebijakan yang antara satu faktor dengan faktor lain saling

memengaruhi, yaitu:

a) Faktor Komunikasi

Suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas

bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian

informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang

disampaikan (Akib, 2010). Semua hal tersebut dapat diperoleh

melalui komunikasi yang efektif. Ada beberapa hal yang

memengaruhi komunikasi, yaitu:

1) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat

menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali

terjadi hambatan dalam mentransmisi perintah-perintah

implementasi. Hambatan-hambatan tersebut dapat terjadi antara

lain karena adanya pertentangan pendapat antara pelaksana

dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambilan kebijakan,

penyampaian informasi yang melewati berlapis-lapis hierarki


birokrasi dan adanya persepsi dan ketidakmauan para pelaksana

untuk mengetahui persyaratan suatu kebijakan (Winarno, 2012).

2) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh implementor haruslah

jelas, akurat, dan tidak membingungkan, sehinga dapat dihindari

terjadi interpretasi yang salah. Menurut Edwards ada 6 faktor yang

mendorong ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu :

kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu

kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya kosensus mengenai

tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu

kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan

sifat pembentukan kebijakan pengadilan (Winarno, 2012)

3) Konsistensi; perintah-perintah yang diberikan harus konsisten

dan jelas karena perintah yang tidak konsisten akan mendorong

pelaksana mengambill tindakan yang sangat longgar dalam

menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin

cermat keputusan dan perintah pelaksanaan diteruskan kepada

pelaksana, maka semakin tinggi probabilitas keputusan dan perintah

kebijakan tersebut untuk dilaksanakan dengan baik (Winarno, 2012).


b) Faktor Sumber Daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas

dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya

untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif

(Subarsono, 2009). Indikator untuk menilai kecukupan sumber

daya adalah:

1) Staf; Sumber daya yang paling esensial dalam

mengimplementasikan kebijakan adalah staf. Sumber daya yang

efektif tidak hanya dinilai dari sisi jumlah staf namun juga

kompetensi atau kecakapan sumber daya manusianya.

2) Informasi; dalam mengimplementasikan suatu kebijakan,

informasi ada dalam 2 bentuk. Pertama, informasi mengenai

bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Kedua, data dalam

bentuk peraturan pemerintah. Para implementor mesti mengetahui

apakah orang lain yang terlibat didalam mengimplementasikan

kebijakan melengkapi undang-undang yang diperlukan sebagai

dasar legitimasi.

3) Wewenang; kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi

para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang telah

ditetapkan secara politik, kewenangan harus bersifat formal untuk

menghindari gagalnya proses implementasi karena dipandang

oleh publik implementor tersebut tidak terlegitimasi.


4) Fasilitas; Fasilitas juga menjadi sumber daya yang sangat penting

dalam melaksanakan suatu kebijakan karena walaupun sudah

disertai dengan SDM yang cukup dan berkualitas namun bila tidak

disertai dengan fasilitas pendukung untuk melaksanakan tugas

maka tujuan tidak akan tercapai.

c) Faktor Disposisi

Disposisi diartikan sebagai sikap atau perspektif implementor

dalam melaksanakan kebijakan. Jika para implementor bersikap

baik atau mendukung suatu kebijakan maka kemungkinan besar

mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang

diinginkan oleh pembuat kebajikan. Namun sebaliknya, bila tingkah

laku atau perspektif implementor berbeda dengan pembuat

kebijakan maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan sulit.

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan

disposisi adalah :

1) Pengangkatan birokrat; dalam memilih atau mengangkat pejabat

pelaksana kebijakan sebaiknya berdasarkan kemampuan atau

kapabilitas bukan berdasarkan atas kepentingan-kepentingan lain.

Karena personil yang tidak mendukung akan menghambat dalam

pelaksanaan kebijakan.

2) Insentif; mengubah personil dalam birokrasi pemerintah

merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses


implementasi dapat berjalan lancar. Salah satu teknik yang

dikemukakan Edwards adlah dengan memanipulasi insentif.

Dengan memberikan insentif diharapkan akan menjadi faktor

pendorong yang membuat implementor melaksanakan perintah

dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi

kepentingan-kepentingan pribadi (seft-interest, Organisasi atau

kebijakan substantif.

d) Faktor Struktur Birokrasi

Pada dasarnya, para implementor mungkin mengetahui apa

yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan serta

mempunyai cukup sumberdaya dan keinginan namun terkadang

mereka masih terhambat dengan struktur birokrasi dimana mereka

menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards III ada 2

karakteristik yang dapat meningkatkan kinerja struktur birokrasi,

yaitu membuat Standart Operating Procedure (SOP) dan

fragmentasi (Winarno, 2012 dan Tangkilisan, 2003).

Faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan

publik. Menurut Edwards III dalam Winarno (2015: 150) terdapat 2

karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”standartd operational

Procedure (SOP) dan fragmentasi”.


a) Standard Operational Procedure (SOP)

“Standard operating procedure (SOP) merupakan perkembangan

dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta

kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks

dan luas” (Winarno, 2005: 150). Ukuran dasar SOP atau prosedur

kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan

umum diberbagai sektor publik dan swasta. Dengan

menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan

waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan

tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan

tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang

besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.

Berdasarkan hasil penelitian Edwards III yang dirangkumkan oleh

Winarno (2005: 152) menjelaskan bahwa :

“SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi

kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe

personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu,

semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang

lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP

menghambat implementasi”

“Namun demikian, disamping menghambat implementasi kebijakan

SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-


prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program

yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggungjawab

yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti:

a) Fragmentasi

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam

pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi. Edward III dalam Winarno

(2005: 155) menjelaskan bahwa “fragmentasi merupakan penyebaran

tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda

sehingga memerlukan kordinasi”. Pada umumnya, semakin besar kordinasi

yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan. Semakin berkurang

kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari

banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok

yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut

hambatan-hambatan yang terjadi dalam fragmentasi birokrasi berhubungan

dengan implementasi kebijakan publik (Budi Winarno, 2005: 153-154)

Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan

karena terpecahnya fungsi-fungsi tertentu kedalam lembaga atau badan

yang berbeda-beda. Disamping itu, masing-masing badan mempunyai

yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting

mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang

menumpuk.
Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang memungkinkan juga

akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas

yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha

mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang

kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.

2. Model Donald Van Meter dan Carel Van Horn

Van meter dan Van Horn (dalam Wibawa et al., 1994: 19),

“merumuskan sebuah abstraksi yang menunjukan hubungan antar

berbagai variabel yang mempengaruhi kinerja suatu kebijakan.”

Selanjutnya Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005:99)

mengemukakan ada 6 variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi,

yakni:

1) Standar dan sasaran kebijakan,

2) Sumberdaya,

3) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas,

4) Karakteristik agen pelaksana

5) Lingkungan ekonomi, sosial dan politik,

6) Sikap para pelaksana.


3. Model Merilee S. Grindle

Grindle (dalam wibawa, 1990:127) mengemukakan teori implementasi

sebagai proses politik dan administrasi. Dalam teori ini Grindle memandang

bahwa suatu implementasi sangat ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks

implementasinya. Dalam teorinya itu, Grindle mengemukakan bahwa

proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan

dan sasaran-sasaran yang semula telah diperinci, program-program aksi

telah dirancang dan sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan

tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Isi kebijakan menurut Grindle

mencakup:

1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan,

2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan,

3) Derajat perubahan yang diinginkan,

4) Kedudukan pembuat kebijakan,

5) Siapa pelaksana program,

6) Sumberdaya yang dikerahkan.


4. Model David L. Weimer dan Aidan R. Vining

Pandangan David L. Weimer dan Aidan R. Vining (dalam Subarson,

2005:103) yang mengemukakan ada 3 kelompok variabel bedar yang dapat

mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, yakni:

a) Logika kebijakan

b) Lingkungan tempat kebijakan dioperasionalkan, dan

c) Kemampuan implementator kebijakan.

Tiga kelompok diatas masing-masing logika kebijakan, lingkungan

tempat kebijakan dan kemampuan implementor kebijakan harus senantiasa

menjadi fokus perhatian dari pengambil kebijakan.

5. Model Charles O. Jones

Jones (1996:165) mengatakan bahwa : implementasi kebijakan adalah

suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program

dengan memperhatikan tiga aktivitas utama kegiatan. Menurut jones ketiga

aktivitas tersebut dapat mempengaruhi implementasi kebijakan. Tiga

aktivitas dimaksud adalah:

a. Organisasi, pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-

unit serta metode untuk menunjang agar program berjalan,


b. Interpretasi, menafsirkan agar program menjadi rencana dan

pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan, dan

aplikasi (penerapan), berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan rutin

yang meliputi penyediaan barang dan jasa.

b. Memilih Model

Michael Hill dan Peter Hupe (2006) dalam Nugroho (2012)

mengembangkan diskusi meta teori yang komprehensif tentang teori-teori

implementasi. Sebagaimana lazimnya diskusi meta teori, dasar metodenya

adalah skeptis dan mengemukakan bahwa antara satu teori dan teori lain

saling mengungguli. Hasil persaingan terkini adalah bahwa model yang top

down semakin tergeser oleh yang bottom up dengan berkembangnya

demokrasi. Karena itu, model yang disimak sebagai “sintesis” adalah model

yang bersifat bottom up dan jaringan.

Pada dasarnya, tidak terdapat proses kompetisi ataupun kontestasi di

antara model implementasi kebijakan karena isu yang lebih relevan adalah

kesesuaian implementasi dengan kebijakannya itu sendiri. Perlu dicatat,

setelah mengetahui model-model implementasi kebijakan, masalah penting

adalah model mana yang terbaik yang hendak dipakai. Jawabannya adalah

tidak ada yang terbaik. Setiap jenis kebijakan publik memerlukan model

implementasi kebijakan yang berlainan. Namun, sebenarnya pilihan yang

paling efektif adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi

kebijakan publik yang partisipatif, artinya bersifat top-downer dan bottom-


upper. Model seperti ini biasanya lebih dapat pula dilaksanakan untuk hal-

hal yang bersifat nasional yang disebut pertahanan rakyat semesta. Konsep

ini menghendaki implementasi pertahanan nasional melibatkan kerjasama

antara militer dan rakyat.

Pada dasarnya ada “lima tempat” yang perlu dipenuhi dalam hal

keefektifan implementasi kebijakan.

Pertama. Apakah kebijakan sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan

ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal

yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.

Pertanyaannya adalah how excellent is te policy. Sisi kedua kebijakan

adalah apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan

karakter masalah yang hendak dipecahkan. Sisi ketiga adalah apakah

kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi

kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakannya.

Kedua. Yang kedua adalah “tepat pelaksananya”. Aktor implementasi

kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang dapat menjadi

pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-

masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan.

Ketiga. Tepat ketiga adalah “tepat target”. Ketepatan berkenaan

dengan tiga hal. Pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan

yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi

lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Kedua


apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi. Ataukah tidak.

Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi

target ada dalam konflik atau harmoni dan apakah kondisi target ada dalam

kondisi mendukung atau menolak. Ketiga, apakah intervensi implementasi

kebijakan bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijakan

sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun

prinsipnya mengulang kebijakan lama dengan hasil yang sama tidak

efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.

Keempat. Tepat keempat adalah “tepat lingkungan”. Ada dua

lingkungan yang paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan, yaitu

interaksi di antara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan

dengan lembaga lain yang terkait. Donald J. Calista dalam Nugroho (2006)

menyebutnya sebagai variabel endogaen, yaitu authoritative arrangement

yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari kebijakan, network

composition yang berkenaan dengan komposisi jejaring dari berbagai

organisasi yang terlibat dengan kebijakan, baik dari pemerintah maupun

masyarakat dan implementation setting yang berkenaan dengan posisi

tawar menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring

yang berkenaan dengan implementasi kebijakan lingkungan kedua adalah

lingkungan eksternal kebijakan yang disebut Calista variabel eksogen, yang

terdiri atas publik opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan

implementasi kebijakan, interpretive instutions yang berkenaan dengan

interpretasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media


massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, dalam

menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan dan individuals,

yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting

dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.

Kelima. Tepat kelima adalah “tepat proses”. Secara umum,

implementasi kebijakan publik terdiri atas tiga proses, yaitu :

1) Policy acceptance. Disini publik memahami kebijakan sebagai

sebuah “aturan main” yang diperlukan untuk masa depan, disisi

lain pemerintah memahami kebijakan sebagai tugas yang harus

dilaksanakan.

2) Policy adoption. Di sini publik menerima kebijakan sebagai sebuah

“aturan main” yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain

pemerintah menerima kebijakan sebagai tugas yang harus

dilaksanakan.

3) Strategic readiness. Di sini publik siap melaksanakan atau menjadi

bagian dari kebijakan, disisi lain birokrat on the street (atau birokrat

pelaksana) siap menjadi pelaksana kebijakan


D. Kajian Teori

Suatu kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah

merupakan upaya pemecahan masalah publik yang timbul. Program

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dibuat oleh pemerintah

adalah salah satu upaya pemerintah untuk membantu Puskesmas yang

diharapkan dapat berperan sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan

pembangunan kesehatan dengan paradigma sehat yang memprioritaskan

pada upaya promotif dan preventif. Sehingga dengan meningkatnya

kemampuan Puskesmas dalam melaksanakan fungsinya, maka

pembangunan kesehatan yang dilakukan dapat mencapai target sesuai

standar Pelayanan Minimal bisang kesehatan dan mempercepat

pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015.

Setelah suatu kebijakan diformulasikan atau ditetapkan selanjutnya

akan memasuki tahap implementasi kebijakan, yang dianggap sebagai

tahap yang paling menentukan dalam proses suatu kebijakan. Menurut Akib

(2010) bahwa implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat

setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang

meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcome

bagi masyarakat.

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh banyak

faktor. Menurut Edwards III (1984) yang dikutip oleh Tangkilisan (2003), ada

4 faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam


implementasi kebijakan yakni faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi

dan disposisi. Keempat faktor tersebut tidak berdiri sendiri namun saling

berkaitan dalam memengaruhi proses implementasi sebagaimana

digambarkan dalam bagan berikut.

Komunikasi

Sumber Daya
Implementasi

Struktur Birokasi Sikap

Gambar 4 Model Implementasi Menurut George Edwards III

Sumber : Subarsono (2005)

Setiap kebijakan publik yang telah diimplementasikan semestinya

memerlukan evaluasi untuk mengukur sejauh mana efektivitas dan

efisiensinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Tuckman (1985) yang

mengemukakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk

mengetahui/menguji apakah suatu kegiatan, proses kegiatan, keluaran

suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan yang telah

ditentukan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Rossi (2004) yang dikutip
oleh Harris (2010) yang menyatakan bahwa evaluasi adalah penggunaan

pengujian atau penelitian untuk mengetahui efektifitas suatu program.

Penilaian efektifitas suatu program perlu dilakukan untuk mengetahui

sejauhmana dampak dan manfaat yang dihasilkan oleh program tersebut,

karena efektifitas merupakan gambaran keberhasilan dalam mencapai

sasaran yang telah ditetapkan. Melalui penilaian efektifitas juga dapat

menjadi pertimbangan kelanjutan suatu program.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi Kebijakan

Program Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) di 6 puskesmas

kabupaten Keerom dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) terhadap pencapaian

target standar Pelayanan Minimal bidan kesehatan di kabupaten Keerom.

Untuk menganalisa faktor-faktor yang memengaruhi implementasi

kebijakan, peneliti menggunakan teori George Edwards III yang

menyatakan bahwa ada 4 faktor yang memengaruhi keberhasilan dan

kegagalan implementasi kebijakan yaitu : 1) Komunikasi, 2) Sumber Daya,

3) Disposisi dan 4) Struktur Birokrasi.

Untuk mengevaluasi kebijakan BOK ini peneliti mengambil salah satu

indikator menurut William Dunn yaitu efektifitas. Penilaian efektifitas

dilakukan peneliti dengan menggunakan pendekatan efektifitas menurut

Martani dan Lubis (1987), yaitu :


a) Pendekatan Sumber (Resource Approach) yakni mengukur efektifitas

dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi

untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun non fisik yang sesuai

dengan kebutuhan organisasi agar dapat menjadi efektif. Pengukuran

efektifitas dengan pendekatan sumber ini mampu memberikan alat ukur

yang sama dalam mengukur efektifitas berbagai lembaga yang jenis dan

programnya berbeda dan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan

pendekatan sasaran.

b) Pendekatan proses (process Approach) adalah untuk melihat sejauh

mana efektifitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses

internal atau mekanisme organisasi.

c) Pendekatan Sasaran (Goals Approach) memusatkan perhatian pada

output, mengukut keberhasilan organisasi untuk mencapai output yang

sesuai dengan rencana.

Evaluasi efektifitas kebijakan dilakukan dengan menilai output dari

program yakni pencapaian target Standar Pelayanan Minimal bidang

kesehatan.

E. Kerangka Berfikir

Dengan menganalisa kendala-kendala yang dihadapi dalam program

tersebut, tujuannya adalah meneliti lebih mendalam permasalahan dan

hambatan yang ada dalam pelaksanaan program Bantuan Operasional


Kesehatan (BOK) di Kabupaten Keerom. Adapun kerangka pikir

penelitian ini adalah sebagai berikut.

INPUT OUTPUT
1. Komunikasi - Cakupan
Program
- Transmisi terpenuhi
- Kejelasan - Realisasi Dana
- Konsistensi PROSES sesuai alokasi

2. Sumber Daya Pelaksanaan BOK


- Staff - Penyusunan
perencanaan
- Informasi
- Pencairan dana
- Wewenang
- Pemanfaatan
3. Disposisi
dana
- Pengangkatan
- Pencatatan dan
Birokrat
Pelaporan
- Insentif
4. Struktur
Birokrasi
- SOP
- Fragmentasi

Gambar 5 Skema Kerangka Pikir Penelitian


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif level analysis

explanatory dengan memilih model implementasi George C. Edwards III.

Metode penelitian dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) dan

hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap apa yang

ditemukan dilapangan. Metode ini digunakan unutk meneliti pada kondisi

objek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan). Analisis data

bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna

daripada generalisasi.

B. Alokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 6 puskesmas dan Dinas Kesehatan

Kabupaten Keerom Propinsi Papua. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas

pertimbangan 3 puskesmas di wilayah daerah tertinggal, perbatasan, dan

kepulauan (DTPK) dan 3 puskesmas di wilayah non daerah tertinggal,

perbatasan dan kepulauan (DPTK).

C. Informasi Penelitian
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi, sedangkan

data sekunder adalah data yang diperoleh melalui telaah dokumen yang

berhubungan dengan penilitian.

Sumber informan ditentukan secara sengaja (purposive sampling) dan

bola salju (snow ball sampling). Teknik Purposive sampling yang dimaksud

adalah informan yang diwawancarai ditentukan secara sengaja oleh peneliti

karena informan tersebut terlibat langsung terdiri dari informan kunci adalah

pengelola di Dinas Kesehatan dan informan biasa yakni yang bertanggung

jawab dalam pelaksanaan Program Bantuan Operasional Kesehatan di

Puskesmas.

Tabel 3.1. Kriteria Informan Kunci dan Informan Biasa

Metode
No Informan Wawancara Telaah
Observasi
Mendalam Dokumen
A. Informan Kunci
1 Kepala Dinas / KPA V V
2 Sekretaris/PPSPM V V
3 Kabid. Kesga/PPK V V
4 Kabid. Yankes/Ketua Tim V V
5 Kasie. Imuniasai/Sekretaris Tim V
6 Kasie. Bina Pkm/Koordinator V
7 Kasubag. Program V
8 Bendahara BOK V V
9 Petugas Verifikator V V
B Informan Biasa
1 Kepala Puskesmas V V V
2 Kepala TU Puskesmas V V V
3 Bendahara Puskesmas V V V
4 Penanggung jawab di puskesmas V V V
D. Fokus Penelitian

Penetapan fokus penelitian pada penelitian kualitatif menurut Moleong

(2001) yang dikutip oleh Wisakti (2008), bertujuan untuk membatasi studi,

dalam hal ini membatasi penggunaan teori hanya pada yang sesuai dengan

masalah yang diteliti dan untuk memenuhi kriteria inklusi seperti perolehan

data yang baru dilapangan. Dengan adanya fokus penelitian, maka peneliti

akan memiliki panduan mana data yang perlu dikumpulkan dan mana data

yang tidak perlu dimasukkan.

Menurut Sygiono (2005) penetapan fokus dapat dilakukan

berdasarkan permasalahan penelitian. Dengan mengacu pada

permasalahan penelitian, maka peneliti mengarahkan fokus penelitian

pada:

1. Implementasi Program Bantuan Operasional Kesehatan di

puskesmas Kabupaten Keerom.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan di

puskesmas Kabupaten Keerom.

Sesuai dengan fokus penelitian, maka penelitian ini akan

memfokuskan pada hal berikut, yaitu:

1. Implementasi program BOK yang akan diamati adalah:

a) Proses Perencanaan di puskesmas meliputi:


1) Pelaksanaan Minilokakarya

2) Mekanisme Perencanaan kesehatan

3) Penentuan prioritas masalah

4) Adanya POA dan RPK

b) Pencairan dana, meliputi:

1) Mekanisme pencairan

2) Waktu tunggu yaitu waktu antara penyerahan Surat Permintaan

Uang (SPU) dengan keluarnya dana.

c) Pemanfaatan, meliputi:

1) Penggunaan dana BOK

2) Alokasi dana BOK untuk kegiatan promotif dan preventif

d) Pencatatan dan Pelaporan

1) Pembuatan laporan pelaksanaan kegiatan dan laporan

keuangan.

2) Pembuatan laporan tahunan.

3) Pembuatan buku kas tunai dan dokumen pertanggung jawaban

keuangan.
4) Pembuatan dokumen laporan pelaksanaan tugas untuk setiap

pelaksanaan kegiatan.

5) Adanya verifikasi seluruh dokumen pertanggung jawaban

keuangan di puskesmas.

2. Faktor yang mempengaruhi Implementasi Program BOK, yaitu:

a) Komunikasi, dalam penelitian ini komunikasi yang dimaksud adalah

proses komunikasi antara pembuat kebijakan dan pelaksana

kebijakan yang akan diamati adalah:

1) Kejelasan informasi tentang kebijakan BOK serta

pelaksanaannya.

2) Intensitas sosialisasi kebijakan kepada pelaksana kebijakan di

puskesmas.

b) Sumber daya, meliputi:

1) Kecukupan sumber daya manusia (SDM) puskesmas meliputi

jumlah dan kualifikasi pendidikan.

2) Kecukupan fasilitas puskesmas

3) Kecukupan dana untuk operasional puskesmas


c) Disposisi atau sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

sikap pelaksana kebijakan (implementor) terhadap kebijakan BOK,

yang diteliti adalah:

1) Respon implementor terhadap kebijakan BOK.

2) Kejujuran implementor dalam melaksanakan kebijakan BOK.

3) Adanya komitmen implementor untuk melaksanakan kebijakan

dengan baik.

d) Struktur Birokrasi, dalam penelitian ini struktur birokrasi yang

dimaksud adalah struktur organisasi pelaksana kebijakan BOK,

yang akan diteliti adalah:

1) Pembentukan dan dasar pemilihan anggota struktur organisasi

pelaksana kebijakan.

2) Adanya Standar Operational Procedure (SOP)

3) Adanya pembagian tugas di dalam struktur organisasi.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui telaah dokumen, pengamatan

langsung (Observasi) dan wawancara mendalam kepada informan. Data

yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder:

1. Data primer diperoleh dengan cara:


a. Wawancara mendalam (indept interview) dengan menggunakan

pedoman wawancara, untuk mendapatkan informasi mendalam

berkenaan dengan pembiayaan kesehatan dan faktor0faktor yang

mempengaruhi pelaksanaan Program Bantuan Operasional

Kesehatan di Kabupaten Keerom.

b. Observasi adalah data yang dikumpulkan melalui pengamatan

langsung dimana peneliti langsung terlibat dalam kegiatan tersebut

(participant observer) dengan menggunakan instrument guna

memvalidasi data yang didapat melalui wawancara.

2. Data Sekunder diperoleh dengan cara:

Melakukan telaah dokumen pelaksanaan program Bantuan

Operasional Kesehatan di Puskesmas dan Dinas Kesehatan untuk

mendapatkan gambaran pelaksanaan BOK.

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui

observasi, wawancara dan dokumentasi. Data primer diperoleh melalui

wawancara dan observasi sedangkan data sekunder diperoleh melalui

dokumentasi dan data primer langsung diambil oleh peneliti sendiri di 6

puskesmas yang ada di Kabupaten Keerom dengan menggunakan

wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan

pedoman wawancara dan observasi (pengamatan). Sedangkan data

sekunder diperoleh dari data-data yang ada di puskesmas dan Dinas

Kesehatan Kabupaten Keerom.


Tabel 3.2 Mapping pengamatan dan penilaian Implementasi program

Bantuan Operasional Kesehatan

Faktor yang Teknik


Fokus
dinilai dan Indikator Penilaian Pengambila Sumber Data
Penelitian
diamati n Data
Implementasi Perencanaan 1. Pelaksanaan Wawancara Kepala
Program Minilokakarya dan Puskesmas,
BOK 2. Mekanisme Observasi pengelola BOK
Perencanaan di puskesmas
3. Penentuan dan pengelola
Prioritas masalah BOK
4. Adanya POA, Kabupaten
RPK
Pencairan 1. Mekanisme Wawancara Kepala
Pencairan Puskesmas,
2. Waktu Tunggu pengelola BOK
di puskesmas
dan pengelola
BOK
Kabupaten
Pemanfaatan 1. Penggunaan Wawancara Kepala
Dana dan Telaah Puskesmas,
2. Alokasi dana Dokumen pengelola BOK
BOK yang di puskesmas
digunakan untuk dan pengelola
kegiatan promotif BOK
preventif Kabupaten
Pencatatan 1. Pembuatan Wawancara Kepala
dan laporan dan telaah Puskesmas,
Pelaporan pelaksanaan dokumen pengelola BOK
kegiatan dan LPJ di puskesmas
2. Pembuatan dan pengelola
laporan tahunan BOK
3. Pembukuan Kabupaten
BKU, BKT dan
dokumen
pertanggung
jawaban
keuangan
4. Pembuatan
dokumen laporan
pelaksanaan
5. Adanya verifikasi
seluruh dokumen
LPJ puskesmas
Faktor-faktor Komunikasi 1. Intensitas Wawancara Kepala
yang sosialisasi Puskesmas,
mempengaru kebijakan pengelola BOK
hi kebijakan 2. Kejelasan di puskesmas
BOK komunikasi dan pengelola
BOK
Kabupaten
Sumber 1. SDM meliputi Wawancara Kepala
Daya jumlah dan dan Puskesmas,
kualifikasi Observasi pengelola BOK
pendidikan di puskesmas
2. Kecukupan dan pengelola
fasilitas BOK
3. Kecukupan dana Kabupaten
operasional
puskesmas
Disposisi 1. Respon Wawancara Kepala
implementor Puskesmas,
terhadap pengelola BOK
kebijakan BOK di puskesmas
2. Kejujuran dan pengelola
implementor BOK
dalam Kabupaten
melaksanakan
kebijakan
3. Komitmen
implementor
untuk
melaksanakan
kebijakan
Struktur 1. Pembentukan Wawancara Kepala
Birokrasi struktur Puskesmas,
organisasi pengelola BOK
pelaksana di puskesmas
kebijakan dan pengelola
2. Adanya standart BOK
operational Kabupaten
procedure (SOP)
sebagai panduan
pelaksanaan
tugas
3. Adanya
pembagian tugas
didalam struktur
organisasi
F. Teknik Analisis Data

Data pada penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis

data kualitatif sesuai dengan konsep spradley. Menurut Sugiyono (2005)

yang mengutip pendapat Miles dan Huberman (1984) bahwa aktifitas dalam

analisis data kualitatif dilakukan secara interaksi dan berlangsung secara

terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan

datanya sampai jenuh. Aktifitas analisis data yang dilakukan adalah data

reduction, data display dan conclusion drawing/verification.

Sementara menurut spradley analisis data disesuaikan dengan

tahapan dalam penelitian. Diawali dengan analisis domain kemudian

analisis taksonomi, analisis komponensial dan analisis tema. Analisis

domain dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan

menyeluruh tentang objek penelitian. Untuk menemukan domain digunakan

analisis hubungan semantik antar kategori yang meliputisembilan tipe.

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis domain

yang dibuat berdasarkan hubungan semantik (semantic relationship) sebab

akibat (couse effect).

Untuk meningkatkan validitas data maka dilakukan triangulasi yaitu:

1) Triangulasi sumber yaitu menggali kebenaran informasi tertentu melalui

berbagai metode dan sumber perolehan data.


2) Triangulasi metode atau teknik dilakukan dengan cara membandingkan

informasi atau data dengan cara yang berbeda. (Raharjo, 2010)

3) Triangulasi waktu yang dilakukan dengan cara melakukan pengecekan

dengan wawancara, observasi dalam waktu atau situasi yang berbeda

Anda mungkin juga menyukai