Anda di halaman 1dari 5

Tugas Keperawatan Gawat Darurat

“Management Kecelakaan Dislokasi”


Nama : Legowo Satrio
Kelas : Bisma
NIM : P1337420715016

A. Pengertian Dislokasi
Dislokasi sendi merupakan keadaan di mana tulang- tulang yang
membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis. Dislokasi ini
dapat terjadi pada komponen tulangnya saja yang bergeser atau seluruh
komponen tulang terlepas dari tempat yang seharusnya (Mansjoer dkk.,
2000).
Subluksasi sendi atau Disloaksi sendi adalah kondisi di mana masih
terdapat kontak antara permukaan tulang-tulang penyusun sendi. Ketika
kontak tersebut sudah tidak ada, sendi tersebut dikatakan mengalami
dislokasi. Sama seperti patah tulang, subluksasi dan dislokasi sendi juga
terjadi karena ketidakseimbangan antara gaya yang didapat oleh sendi
dengan gaya yang dapat ditahan oleh sendi.
Dislokasi sendi atau luksasio adalah tergesernya permukaan tulang
yang membentuk persendian terhadap tulang lain. (Sjamsuhidajat, 2011).
Dislokasi terjadi saat ligarnen rnamberikan jalan sedemikian rupa
sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi.
Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena dapatan
(acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).

B. Jenis Jenis Dislokasi Sendi


1. Dislokasi Kongenital
2. Dislokasi Patologik
3. Dislokasi Traumatik
a. Dislokasi Akut
b. Dislokasi Berulang
Berdasarkan Tempat terjadinya :
a. Dislokasi Sendi Rahang
b. Dislokasi Sendi Bahu
c. Dislokasi Sendi Siku
d. Dislokasi Sendi Jari
e. Dislokasi Sendi Metacarpophalangeal
f. Dislokasi Panggul
g. Dsilokasi Pattela
C. Penyebab Terjadinya Dislokasi
Dislokasi disebabkan oleh :
1. Cedera olahraga.
Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola
dan hoki, serta olahraga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok
akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan keeper pemain
sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari
karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
2. Trauma
Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga. Benturan keras
pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
3. Terjatuh.
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang
licin.
4. Patologis.
Terjadinya ‘tear’ ligament dan kapsul articuler yang merupakan
komponen vital penghubung tulang.

D. Tanda dan Gejala Dislokasi


Pada keterangan yang diberikan korban, dapat ditemukan riwayat
trauma, rasa nyeri dan gangguan pergerakan sendi. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan bengkak, perubahan bentuk, gangguan pergerakan, serta
nyeri tekan pada sendi yang cedera.
Tanda dan gejala pergeseran sendi memang mirip dengan patah
tulang, yang membedakannya adalah lokasi dan jenis trauma. Lokasi
ditemukannya tanda-tanda tersebut memang bisa mirip antara pergeseran
sendi atau patah tulang di dekat persendian. Mengenai riwayat trauma,
pergeseran sendi biasanya didahului oleh pergerakan sendi, sementara patah
tulang biasanya didahului oleh gaya dari luar seperti pukulan benda keras
atau terjatuh.

E. Komplikasi yang terjadi pada dislokasi


1. Komplikasi Dini
a. Cedera Syaraf
saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot
deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot
tesebut.
b. Cedera Pembuluh Darah
2. Kompilasi Lanjut
a. Kekakuan Sendi
Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu,
terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan
rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi
b. Dislokasi Berulang
terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian
depan leher glenoid
c. Kelemahan Otot

F. Penanganan Pasien yang mengalami Kecelakaan Dislokasi


Selama korban masih di tempat kejadian cedera, ada pertolongan
pertama yang dapat dilakukan oleh masyarakat awam. Tatalaksana tersebut
adalah pemasangan bidai sederhana. Pemasangan bidai dilakukan setelah
dipastikan tidak ada gangguan pada pernapasan dan sirkulasi korban dan
luka sudah ditangani. Bidai bertujuan untuk mencegah pergerakan
(imobilisasi) pada tulang dan sendi yang mengalami cedera. Imobilisasi ini
menghindari pergerakan yang tidak perlu, sehingga mencegah perburukan
patah tulang dan cedera sendi serta menghindari rasa nyeri. Pemasangan
bidai juga akan memberikan gaya tarik dengan perlahan namun konsisten
sehingga membantu mereposisi bagian yang cedera mendekati posisi
normalnya.
Bidai sederhana dapat dibuat dari bahan apapun yang kaku, seperti
kayu, penggaris, atau tongkat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemasangan bidai, yaitu:
 Bidai harus cukup panjang. Pada kasus patah tulang: Melewati sendi
yang ada di pangkal dan ujung tulang yang patah. Pada kasus cedera
sendi: Mencapai dua tulang yang mengapit sendi yang cedera
 Bidai harus cukup kuat untuk menghindari gerakan pada bagian
yang patah tulang atau sendi yang cedera, namun tidak mengganggu
sirkulasi.
 Bila tidak ada alat yang kaku untuk dijadikan bidai, bagian tubuh
yang cedera bisa diikatkan dengan bagian tubuh yang sehat,
misalnya dengan membalut lengan ke tubuh, atau membalut kaki ke
kaki yang sehat.
 Jangan meluruskan (reposisi) tangan atau kaki yang mengalami
deformitas, pasang bidai apa adanya.

Berikut adalah langkah-langkah pemasangan bidai:


1. Pastikan lokasi luka, patah tulang atau cedera sendi dengan
memeriksa keseluruhan tubuh korban (expose) dan membuka
segala jenis aksesoris yang menghalangi (apabila tidak melukai
korban lebih jauh)
2. Perhatikan kondisi tubuh korban, tangani perdarahan jika perlu.
Bila terdapat tulang yang mencuat, buatlah donat dengan
menggunakan kain dan letakkan pada tulang untuk mencegah
pergerakan tulang.
3. Memeriksa PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang
cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan
(M, Motorik), dan masih dapat merasakan sentuhan (S,
Sensorik) atau tidak.
4. Tempatkan bidai di minimal dua sisi anggota badan yang cedera
(misal sisi samping kanan, kiri, atau bagian bawah). Letakkan
bidai sesuai dengan lokasi cedera.
5. Hindari mengangkat tubuh pasien untuk memindahkan pengikat
bidai melalui bawah bagian tubuh tersebut. Pindahkan pengikat
bidai melalui celah antara lekukan tubuh dan lantai. Hindari
membuat simpul di permukaan patah tulang.
6. Buatlah simpul di daerah pangkal dan ujung area yang patah
berada pada satu sisi yang sama. Lalu, pastikan bidai dapat
mencegah pergerakan sisi anggota badan yang patah. Beri
bantalan/padding pada daerah tonjolan tulang yang bersentuhan
dengan papan bidai dengan menggunakan kain.
7. Memeriksa kembali PMS korban, apakah pada ujung tubuh
korban yang cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat
digerakkan (M, Motorik), dan masih dapat merasakan sentuhan
(S, Sensorik) atau tidak. Bandingkan dengan keadaan saat
sebelum pemasangan bidai. Apabila terjadi perubahan kondisi
yang memburuk (seperti: nadi tidak teraba dan / atau tidak dapat
merasakan sentuhan dan / atau tidak dapat digerakkan) maka
pemasangan bidai perlu dilonggarkan.
8. Tanyakan kepada korban apakah bidai dipasang terlalu ketat atau
tidak. Longgarkan balutan bidai jika kulit disekitarnya menjadi:
 Pucat atau kebiruan
 Sakit Bertambah
 Kulit di ujung tubuh yang cedera menjadi dingin
 Ada kesemutan atau mati rasa
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth, (2002) Buku Ajar Keperawatan-Medikal Bedah, Edisi 8 Volume
3, EGC : Jakarta

Balai pelatihan kesehatan batam. (2016). modul pelatihan emergency nursing


intermediate level ,batam,kementrian kesehatan republik indonesia

Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa


Keperawatan, EGC : Jakarta.

Muttaqin.A , (2008) , Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskletal,Jakarta :EGC

Pamela L.swearingen , (2000) Keperawatan Medikal –Bedah .E/2, jakarta :EGC

Tim Bantuan Medis BEM IKM FKUI, “Modul Penanganan Patah Tulang dan
Cedera Sendi”
Dikutip dari Jurnal “Dislokasi Sendi Bahu: Epidemiologi Klinis dan Tinjauan
Anatomi” Oleh Legiran, Nur Rachmat Lubis, Fadli Aufar Kasyfi. Fakultas
Kedokteran, Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai