Anda di halaman 1dari 13

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) menjadi salah satu sumber pembiayaan yang penting bagi wilayah yang
sedang berkembang dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi
pembangunan. Sebagai salah satu komponen aliran modal, PMA dianggap sebagai
aliran modal yang relatif stabil dibandingkan dengan aliran modal lainnya,
misalnya investasi portofolio maupun utang luar negeri. Berbagai kebijakan telah
di lakukan oleh pemerintah Indonesia guna untuk mencapai suatu tujuan yaitu
menjadikan masyarakat Indonesia sejahtera dengan perekonomian yang ada saat
ini, salah satu caranya yaitu dengan investasi (penanaman modal) baik yang
dilakukan oleh investor Domestik maupun investor Asing.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana penyelesaian
sengketa di bidang investasi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing?
2. Apa yang dimaksud dengan Penanaman Modal Dalam Negeri?
3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal?

4
BAB II
Pembahasan

A. Penanaman Modal Asing


Pengertian dan Dasar Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia
Penanaman Modal Asing merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pihak asing
dalam rangka menanamkan modalnya disuatu negara dengan tujuan untuk
mendapatkan laba melalui penciptaan suatu produksi atau jasa.
Undang – undang nomor 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing
menyebutkan bahwa : “pengertian penanaman modal dalam undang – undang ini
hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan
menurut atau berdasarkan ketentuan – ketentuan undang – undang ini dan yang
digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam artian bahwa
pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal
tersebut”.
Sedangkan pengertian modal asing dalam undang – undang tersebut adalah:
1. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari
kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah
digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia.
2. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik
orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukkan dari luar ke dalam
wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan
devisa Indonesia.
3. Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan undang – undang ini
keuntungan yang diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk
membiayai perusahaan di Indonesia.

Aliran modal dari suatu negara ke negara lainnya bertujuan untuk


memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, yang lebih produktif dan juga sebagai
diversifikasi usaha. Hasil yang diharapkan dari aliran modal internasional adalah
meningkatnya output dan kesejahteraan dunia. Disamping peningkatan income
dan output, keuntungan bagi negara tujuan dari aliran modal asing adalah :
1. Investasi asing membawa teknologi yang lebih mutakhir. Besar kecilnya
keuntungan bagi negara tujuan tergantung pada kemungkinan penyebaran
teknologi yang bebas bagi perusahaan.

5
2. Investasi asing meningkatkan kompetisi di negara tujuan. Masuknya
perusahaan baru dalam sektor yang tidak diperdagangkan (non tradable
sector) meningkatkan output industri dan menurunkan harga domestik,
sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan.
3. Investasi asing dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan nilai tukar
dengan negara tujuan (investment gap).

B. Penanaman Modal Dalam Negeri


Pengertian dan Dasar Hukum
Dalam Undang-Undang no 6 tahun 1968 dan Undang-Undang nomor 12 tahun
1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), disebutkan terlebih dulu
definisi modal dalam negeri pada pasal 1, yaitu sebagai berikut :
a) Undang-undang ini dengan “modal dalam negeri” adalah : bagian dari
kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik
yang dimiliki Negara maupun swasta asing yang berdomosili di Indonesia
yang disisihkan atau disediakan guna menjalankan suatu usaha sepanjang
modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan pasal 2 UU No. 12
tahun 1970 tentang penanaman modal asing.
b) Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut dalam ayat 1
pasal ini dapat terdiri atas perorangan dan/ atau badan hukum yang
didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Kemudian dalam
Pasal 2 disebutkan bahwa, Yang dimaksud dalam Undang- Undang ini
dengan “Penanaman Modal Dalam Negeri” ialah penggunaan daripada
kekayaan seperti tersebut dalam pasal 1, baik secara langsung atau tidak
langsung untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan
ketentuanketentuan Undang-Undang ini.

Penyelenggaraan pembangunan ekonomi nasional adalah untuk


mempertinggi kemakmuran rakyat, modal merupakan faktor yang sangat penting
dan menentukan perlu diselenggarakan pemupukan dan pemanfaatan modal dalam
negeri dengan cara rehabilitasi pembaharuan, perluasan, pembangunan dalam
bidang produksi barang dan jasa. Perlu diciptakan iklim yang baik, dan ditetapkan
ketentuan-ketentuan yang mendorong investor dalam negeri untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Dibukanya bidang-bidang usaha yang diperuntukan bagi
sektor swasta. Pembangunan ekonomi selayaknya disandarkan pada kemampuan
rakyat Indonesia sendiri. Untuk memanfaatkan modal dalam negeri yang dimiliki
oleh orang asing.

6
Penanaman modal (investment), penanaman uang atau modal dalam suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan dari usaha tsb. Investasi sebagai
wahana dimana dana ditempatkan dengan harapan untuk dapat memelihara atau
menaikkan nilai atau memberikan hasil yang positif.
Pasal 1 angka 2 UUPM meneyebutkan bahwa PMDN adalah kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia
yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal
dalam negeri, Sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal dalam negeri
adalah perseorangan WNI, badan usaha Indonesia, Negara RI, atau daerah yang
melakukan penanaman modal di wilayah Negara RI (Pasal 1 angka 5 UUPM)

C. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal

Pada prinsipnya, investor yang menanamkan investasi selalu


mengharapkan bahwa investasi yang ditanamkan dapat dijalankan dengan sebaik-
baiknya tanpa menimbulkan sengketa/konflik. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri
pula bahwa di dalam menjalankan usahanya tidak tertutup kemungkinan
terjadinya suatu sengketa/konflik antara investor dengan pemerintah serta
masyarakat sekitarnya.
Pengertian penanaman modal yang termuat dalam Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dapat sangat
jelas dilihat bahwa investor yang menanamkan modalnya di Indonesia dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor asing.
Pembagian jenis investor tersebut tentunya membawa perbedaan dalam hukum
dan cara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara
investor dengan pihak pemerintah. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa
penanaman modal tersebut dapat dibagi menjadi:
1. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal yang Timbul antara Pemerintah
dengan Investor Domestik.
Apabila sengketa yang terjadi antara investor domestik dengan pihak
Pemerintah Indonesia dan masyarakat sekitarnya, hukum yang digunakan adalah
hukum Indonesia

Dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang


Penanaman Modal telah ditentukan cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam
penanaman modal antara pemerintah dengan investor domestik. Dalam ketentuan

7
itu, ditentukan empat cara dalam penyelesaian sengketa dalam penanaman modal.
Keempat cara itu, antara lain
a. Musyawarah dan mufakat;
b. Arbitrase;
c. Alternatif penyelesaian sengketa; dan
d. Pengadilan.
Penyelesaian dengan musyawarah dan mufakat merupakan cara untuk
mengakhiri sengketa yang timbul antara pemerintah dengan investor domestik,
dimana di dalam penyelesaian itu dilakukan pembahasan bersama dengan maksud
untuk mencapai keputusan dan kesepakatan atas penyelesaian sengketa secara
bersama-sama.
Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase merupakan cara untuk
mengakhiri sengketa dalam penanaman modal antara pemerintah Indonesia
dengan investor domestik, dimana dalam penyelesaian sengketa itu menggunakan
jasa arbiter atau majelis arbiter. Arbiter atau majelis arbiterlah yang
menyelesaikan sengketa penanaman modal tersebut.
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati antara pemerintah Indonesia
dengan investor domestik, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Ada lima cara
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, yaitu:120
a. konsultasi;
b. negosiasi;
c. mediasi;
d. konsiliasi;
e. penilaian ahli.
Penyelesaian sengeta melalui pengadilan merupakan cara untuk
mengakhiri sengketa yang timbul antar penyelesaian itu dilakukan di muka dan
dihadapan pengadilan. Dan pengadilan lah yang nantinya akan memutuskan
tentang perselisihan tersebut. Ada tiga tingkatan pengadilan yang harus diikuti
oleh salah satu pihak, apakah pemerintah Indonesia atau investor domestik, yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

8
2. Penyelesaian Sengketa Penanam Modal yang Timbul Antara Pemerintah
dengan Investor Asing

Dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang


Penanaman Modal dikatakan bahwa:[8]
“Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut
melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.”

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara


untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan
investor asing, dimana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase
atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia.
Dalam rangka penyelesaian sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan bahwa
hukum yang berlaku dan yang menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam
menyelesaikan sengketa tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para pihak.
Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1968 (Lembaran Negara No. 32 Tahun 1968) yakni undang-undang
persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan
warga negara asing mengenai penanaman modal. Undang-undang ini singkat saja,
hanya berisi 5 Pasal 125. Dengan telah diratifikasinya konvensi tersebut, secara
yuridis Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
konvensi tersebut, sehingga setiap penyelesaian perselisihan atau penyelesaian
sengketa penanaman modal asing akan dilakukan menurut tata cara dan prosedur
yang diatur dalam International Centre for the Settlement of Investment Dispute
(ICSID).

International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) terdiri atas
9 bab (chapter) dan 75 pasal (artikel). Hal-hal yang diatur dalam ICSID ini,
meliputi:127
a) Chapter I International Centre for the Settlement of Investment Dispute
(ICSID) (Artikel 1 sampai dengan Artikel 24);
b) Chapter II Jurisdiction of the Centre (Artikel 25 sampai dengan Artikel 27);
c) Chapter III Conciliation (Artikel 28 sampai dengan Artikel 35);
d) Chapter IV Arbitration (Artikel 36 sampai dengan Artikel 55);

9
e) Chapter V Replacement and Disqualification of Conciliators and Arbitrator
f) (Artikel 56 sampai dengan Artikel 58);
g) Chapter VI Cost of Procedings (Artikel 59 sampai dengan Artikel 63);
h) Chapter VII Disputes between Contracting States (Artikel 64);
i) Chapter VIII Amandment (Artikel 65 sampai dengan Artikel 66);
j) Chapter IX Final Provisions (Artikel 67 sampai dengan Artikel 75)
Penyelesaian dengan menggunakan arbitrase diatur dalam Artikel 36 sampai
dengan Artikel 55 ICSID. Sementara itu, tata cara pengajuan permohonan sampai
dengan pengambilan putusan disajikan berikut ini:
1. Tata Cara Pengajuan Permohonan Arbitrase
Dalam Artikel 36 ICSID telah ditentukan tata cara pengajuan permohonan
penyelesaian sengketa kepada Centre, melalui forum Arbitrase (Arbitral
tribunals). Dalam ketentuan itu, ditentukan tata cara sebagai berikut:
i. Pengajuan permohonan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Dewan
Administratif Centre.
ii. Permohonan diajukan secara tertulis,
iii. Permohonan membuat penjelasan tentang:
ü pokok-pokok perselisihan;
ü identitas para pihak; dan
ü mengenai adanya persetujuan mereka mengajukan perselisihan yang timbul
menurut ketentuan Centre.
Setelah menerima permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar
permohonan, kecuali dia menemukan dalam penjelasan permohonan bahwa
perselisihan yang timbul nyata-nyata berada di luar yuridiksi Centre, Dalam hal
perselisihan yang diajukan berada di luar yuridiksi Centre, Sekretaris Jenderal
menolak untuk mendaftar. Untuk itu, Sekretaris Jenderal membuat dan
menyampaikan penolakan dalam bentuk “pemberitahuan” atau notice kepada para
pihak. Dalam permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah didaftar,
maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “pemberitahuan” kepada para pihak dan
salinan permohonan kepada pihak lain.

10
2. Pembentukan Tribunal Arbitrase
Apabila Sekretaris Jenderal telah menerima dan mendaftar permohonan
perselisihan yang diajukan salah satu pihak, Centre harus sesegera mungkin
membentuk Mahkamah Arbitrase (Tribunal Arbitral).Menurut Artikel 37 ayat (2)
ICSID, telah ditentukan pembentukan Mahkamah Arbitrase yang dilakukan
Centre. Mahkamah Arbitrase:
a. boleh hanya terdiri dari seorang arbiter (arbitrator) saja;
b. tetapi boleh juga arbiternya terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil
(any uneven number of arbitrator).

Jika para pihak menyetujui jumlah arbiter yang ditunjuk atau mereka tidak dapat
menerima tata cara penunjukkan yang dilakukan Centre, cara lain penunjukan
arbiter merujuk kepada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf b ICSID, dengan
acuan penerapan:
a. anggota harus terdiri dari tiga orang arbiter;
b. masing-masing menunjuk seorang arbiter; dan
c. anggota yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari tribunal
arbitrase yang bersangkutan.

Para pihak dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya


dapat menolak apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila
metode dan tata cara penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang
demikian, pengangkatan anggota arbiter sepenuhnya menjadi hak dan
kewenangan para pihak untuk mengangkat masing-masing seorang arbiter.
Sementara itu, pengangkatan atau penunjukan arbiter ketiga harus atas persetujuan
bersama dari semua pihak. Dan anggota yang ketiga ini langsung akan bertindak
sebagai Ketua (Presiden).

Selanjutnya menurut Artikel 38 ICSID, apabila dalam tempo 90 hari dari


tanggal pemberitahuan pendaftaran permohonan tribunal arbitrase belum
dibentuk, Ketua Dewan Administratif Centre (Chairman of the Administratif
Council) berwenang menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter. Kewenangan
yang demikian ada pada diri Ketua Dewan Administratif apabila telah ada
permohonan dari salah satu pihak. Di samping itu, kewenangan penunjukkan
arbiter yang seperti itu tidak boleh diambil dari negara peserta konvensi yang
sedang berselisih.

11
Satu hal lagi yang perlu diketahui dalam komposisi anggota arbiter, yaitu
mayoritas anggota arbitrase harus ditunjuk dari luar negara peserta Konvensi yang
sedang berselisih. Hal itu ditegaskan dalam Artikel 39 Konvensi. Namun
demikian, ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila para pihak menyetujui
bahwa arbiter tunggal ditunjuk dari salah satu negara para pihak atau mereka
setuju mayoritas anggota arbiter dapat ditunjuk dari salah satu negara para pihak.

3. Kewenangan dan Fungsi Tribunal Arbitrase

Arbitrase Centre merupakan mahkamah yang bersifat internasional.


Kewenangan dari Arbitrase Centre adalah untuk mengadili atau memutus
perselisihan sesuai dengan kompetensinya (Artikel 40 ICSID). Berarti, selama apa
yang disengketakan para pihak masih termasauk yuridiksi yang ditentukan Pasal
32 dan Artikel 25 ICSID. Para anggota arbiter sepenuhnya berwenang untuk
memutus perselisihan.
Dalam hal ada bantahan (objection) dari salah satu pihak yang menyatakan
apa yang diperselisihkan adalah diluar yuridiksi Centre atau berdasar alasan lain
yang memperlihatkan apa yang diperselisihkan di luar kewenangan tribunal
arbitrase yang dibentuk, tribunal yang bersangkutan lebih dahulu
mempertimbangkan dan memutus tentang hal tersebut dalam bentuk putusan
pendahuluan (preliminary). Akan tetapi, bisa juga hal itu dipertimbangkan dan
diputus bersamaan dengan pokok persengketaan apabila tata cara yang demikian
lebih bermanfaat.
Sehubungan dengan kewenangan dan fungsi memutus perselisihan yang terjadi,
lebih lanjut diuraikan dalam hal-hal di bawah ini:
a) Memutus sengketa menurut hukum
Menurut Artikel 42 Konvensi, arbitrase Centre terikat pada ketentuan hukum
(rules of law) dalam memutus perselisihan yang terjadi. Prinsip ini merupakan
patokan utama yang acuan penerapannya dapat dijabarkan secara ringkas, sebagai
berikut:
ü Centre harus memutus berdasarkan hukum yang telah disepakati para pihak
dalam perjanjian.
ü Dalam perjanjian tidak menentukan tata hukum mana yang akan diterapkan,
Centre menerapkan tata hukum dari negara peserta yang sedang berselisih.
ü Centre dilarang menerapkan hukum yang tidak dikenal oleh para pihak-pihak
yang berselisih.

12
ü Akan tetapi Centre dapat memutus perselisihan berdasar “kepatutan” atau “ex
aequo et bono”, jika hal itu disepakati para pihak dalam perjanjian.
b) Memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat
Dalam Artikel 43 ICSID telah ditentukan kewenangan Tribunal. Kewenangan itu
meliputi:
ü memanggil atau meminta pihak-pihak untuk menyerahkan dokumen atau alat
bukti yang dianggap penting,
ü melakukan pemeriksaan setempat atau memeriksa langsung barang, orang, serta
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap patut dan bermanfaat dalam
penyelesaian perselisihan. Kewenangan itu akan gugur jika hal para pihak
menentukan lain dalam perjanjian.
ü Putusan Provisi
Dalam Artikel 47 ICSID telah ditentukan kewenangan dari Centre. Kewenangan
itu adalah menjatuhkan:
1) putusan pendahuluan; atau
2) putusan provisi; maupun
3) tindakan sementara.
Penjatuhan putusan itu didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi
dan menghormati hak dan kepentingan salah satu pihak. Dalam tindakan atau
putusan sementara, dapat dimasukkan penyitaan barang-barang yang
disengketakan, agar gugatannya tidak mengalami illusoir dikemudian hari. Bisa
juga pelarangan penjualan atau pemindahan barang, asalkan itu merupakan objek
yang langsung terlibat dalam persetujuan.

4. Putusan Arbitrase Centre


Tujuan utama arbitrase Centre ialah memutus perselisihan yang timbul
apabila perselisihan itu telah diajukan kepadanya. Dalam Artikel 48 ICSID telah
ditentukan tata cara pengambilan putusan. Tata cara pengambilan keputusan oleh
Arbitrase Centre disajikan berikut ini
a) Putusan diambil berdasar suara mayoritas anggota arbiter.
b) Putusan arbiter yang sah ialah:
ü dituangkan dalam putusan secara tertulis; dan
ü ditandatangani oleh anggota arbiter yang menyetujui putusan.

13
ü Putusan memuat segala segi permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut
dasar pertimbangan putusan.
c) Setiap anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat pribadi (individual
opinion) dalam putusan, meskipun pendapat tersebut berbeda dan menyimpang
dari pendapat mayoritas anggota. Bahkan, boleh juga seorang anggota
mencantumkan suatu pernyataan mengapa dia berbeda pendapat dengan mayoritas
anggota arbiter.
d) Centre tidak boleh memublikasi putusan, tanpa persetujuan para pihak.

Selanjutnya, Sekretaris Jenderal harus segera mengirimkan salinan putusan


kepada para pihak. Putusan dianggap memiliki daya mengikat atau binding
terhitung dari tanggal pengiriman salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari
dari tanggal dimaksud, para pihak dapat mengajukan pertanyaan yang berkenaan
dengan kesalahan pengetikan, perhitungan atau kekeliruan lain yang sejenis.
Walaupun putusan itu telah diputuskan oleh Centre, namun para pihak atau salah
satu pihak diperkenankan melakukan:
a) interprestasi putusan;
b) revisi putusan; atau
c) pembatalan putusan.

14
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan & Saran
Kesimpulan
1. Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan suatu usaha yang dilakukan
oleh pihak asing dalam rangka menanamkan modalnya disuatu negara
dengan tujuan untuk mendapatkan laba melalui penciptaan suatu produksi
atau jasa;
2. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah kegiatan menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal
dalam negeri, sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal dalam
negeri adalah perseorangan WNI, badan usaha Indonesia, Negara RI, atau
daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara RI;
3. Cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman modal antara
pemerintah dengan investor domestik adalah Musyawarah dan mufakat,
Arbitrase, Alternatif penyelesaian sengketa, dan Pengadilan;
4. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para
pihak.
Saran
1. Tingkatkan jumlah Investor Asing dan Domestik untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
2. Sebagai Pengelolah Modal Investor Asing/Domestik diharapkan kita
mampu untuk menjalankan usaha tanpa menimbulkan sengketa/konflik;
3. Dalam hal terjadi suatu sengketa disarankan agar dapat diselesaikan pada
tahap musyawarah dan mufakat agar permasalahan tidak berlangsung
terlalu lama.

15
Daftar Pustaka

https://supardisaminja.wordpress.com/2014/05/30/makalah-kelompok-6/
https://strategihukum.net/prosedur-penyelesaian-sengketa-melalui-arbitrase/
https://evaruth.wordpress.com/2011/05/08/ penanamann-modal-asing-pma/
http://harryhidayat.wordpress.com/2013/06/13/penanaman-modal-dalam-negeri-
pmdn/

16

Anda mungkin juga menyukai