PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi patogen dan kompleks imun.
Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi sebagai “lesi kulit seperti
kupu-kupu” di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala
Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang
merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460-370 s.m)
sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus Lusitanus (1510-1568).
Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu seborhea kongestif yang diyakini
adalah suatu lupus eritematosus dengan gambaran seperti kupu-kupu (butterfly rash) pada
daerah pipi dan hidung. Adanya manifestasi sistemik dan komplikasi serebral yang serius
diperkenalkan oleh William Osler (1895-1903). Keterlibatan kardiovaskuler seperti adanya
vaskulitis dan endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923), sedangkan
gambaran patologi glomelurus ginjal diperkenalkan oleh Baehr, Klemperer dan Schifrin
Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan
rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat data epidemiologi LES
yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291
Pasien LES atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama
2010.
Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat, dimana dapat
melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks,
sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, terkendali ataupun
remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul, LES dibagi menjadi 3 tingkatan
Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, berdasarkan data yang
diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian pasien dengan LES
hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama
mortalitas LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M.
tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan
penyakit vaskular aterosklerosis5.
Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam dan risiko
kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang
tepat, untuk inilah referat ini dibuat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh4. Perjalanan
penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap
penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit
bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan,
tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan
penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak
diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab
terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi
sistem imun.
2.2 Etiologi
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah sakit.
Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada periode 1969-1990
didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan. Insidensi di Yogyakarta antara
tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi
2.4 Patogenesis
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak
bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor
lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang
peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung
dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan
terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen
respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2
dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi
ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai
ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin6.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus
(kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15.
Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem
fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q
menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra
violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya
toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan
pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi
yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila
normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya
yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena
lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik
aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh
obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya
yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus
berlebihan pada pasien LES7. Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi
antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel
lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan
kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon
1. Manifestasi konstitusional1
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia,
meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti perdnison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal1
3. Manifestasi Kulit9
4. Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, atau
perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara
kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan
mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun
pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.
5. Manifestasi Kardiologis1,9
No Kriteria Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
1. Ruam malar
Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada
2. Ruam diskoid
LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,
3. fotosensitivitas
baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
4. Ulkus mulut
dokter pemeriksa.
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
5. Artitritis
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
6. serositis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh
a. Pleuritis
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
b. Perikarditis
antinuklear positif imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
(ANA) perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain
tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.