Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi patogen dan kompleks imun.
Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi sebagai “lesi kulit seperti
kupu-kupu” di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala

susunan saraf pusat1.

Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang
merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460-370 s.m)
sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus Lusitanus (1510-1568).
Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu seborhea kongestif yang diyakini
adalah suatu lupus eritematosus dengan gambaran seperti kupu-kupu (butterfly rash) pada
daerah pipi dan hidung. Adanya manifestasi sistemik dan komplikasi serebral yang serius
diperkenalkan oleh William Osler (1895-1903). Keterlibatan kardiovaskuler seperti adanya
vaskulitis dan endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923), sedangkan
gambaran patologi glomelurus ginjal diperkenalkan oleh Baehr, Klemperer dan Schifrin

serta Gross, Keith dan Rowntree2.

Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan

rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat data epidemiologi LES

yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291
Pasien LES atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama
2010.

Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat, dimana dapat
melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks,
sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, terkendali ataupun
remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul, LES dibagi menjadi 3 tingkatan

yaitu ringan, sedang, dan berat4.

Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, berdasarkan data yang
diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian pasien dengan LES
hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama
mortalitas LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M.
tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan
penyakit vaskular aterosklerosis5.

Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam dan risiko
kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang
tepat, untuk inilah referat ini dibuat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang


ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun

sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan1.

Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai


dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan

disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh4. Perjalanan

penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap
penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit
bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan,
tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan
penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak
diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab
terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi
sistem imun.

2.2 Etiologi

1. Autoimun ( kegagalan toleransi diri)


2. Cahaya matahari ( UV)
3. Stress
4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus, klebsiella)
5. Obat – obatan : Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine, Isoniazid
6. Zat kimia : merkuri dan silikon
7. Perubahan hormon
2.3 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama didunia.
Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering ditemukan pada ras
tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi geografi tidak mempengaruhi
distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada
usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar

antara 5,5-9 : 11.

Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat dirumah sakit.
Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada periode 1969-1990
didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan. Insidensi di Yogyakarta antara
tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi

sebesar 1,3 per 10.000 perawatan1.

2.4 Patogenesis
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak
bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor
lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang
peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung
dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan
terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen
respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2
dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi
ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai

ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin6.

Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus
(kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15.
Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem
fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q
menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear

akan menimbulkan respon imun6.

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra
violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya
toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan
pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi
yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila
normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya
yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena
lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik
aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh
obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya
yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus

rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis 6.

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.


Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan
terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun.
Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi

berlebihan pada pasien LES7. Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi

antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel
lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan
kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon

inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal9.

2.5 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat
dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang
kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks,
atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat
terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan.
Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-
pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.

1. Manifestasi konstitusional1

Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia,
meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti perdnison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab

lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa adanya bukti

infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.

2. Manifestasi Muskuloskeletal1

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering


terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri otot
(myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana tampak jelas
bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi Artritis
Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES tidak
ditemukan adanya deformitas , kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan
sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas
penyakit dan terapi steroid.

3. Manifestasi Kulit9

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,


butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform
dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda
vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.

4. Manifestasi Paru9

Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang
interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, atau
perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara
kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan
mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun
pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.
5. Manifestasi Kardiologis1,9

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat


berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif.
Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan
jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.
6. Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal
pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
7. Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, secara
klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis,
inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat berupa
hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik.
Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap
kemungkinan hepatitis autoimun.
8. Manifestasi Hemopoetik9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.
Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada
LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES
setelah ditemukan gambaran LES yang lain.
9. Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus.
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga
dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik.
CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.

2.6 Penegakan Diagnosis


Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih
kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia,
fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10.Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11.Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboraturium.
American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk
klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis LES dapat ditegakan (lihat
tabel 1).

Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik10

No Kriteria Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
1. Ruam malar
Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada
2. Ruam diskoid
LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,
3. fotosensitivitas
baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
4. Ulkus mulut
dokter pemeriksa.
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
5. Artitritis
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
6. serositis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh
a. Pleuritis
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
b. Perikarditis

terdapat bukti efusi perikardium


Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif. atau
Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran.
7 Gangguan renal
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
8. Gangguan neurologimetabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit). atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
Gangguan
9. a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. atau
hematologi
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih. atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih. atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal.
10.
imunologik Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan
atas:
1) kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda standard,
atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis sekurang-
kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfi rmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi an• bodi treponema.
11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan

antinuklear positif imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
(ANA) perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain
tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik
(LES) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada
penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs
test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum
globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan
adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme
granular atau sel darah merah pada urin.
2. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria,
peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada
urin.
3. Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES adalah
tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya
pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat
positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES
misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective
tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada
orang normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali
dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan
datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA
dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak
sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan. Beberapa tes lain yang perlu
dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik,
termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan
ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik
untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer
anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan
titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya LES.
Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% - 30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada
penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat
digunakan untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES.
Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.

Anda mungkin juga menyukai