Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Definisi

Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan
ditandai dengan uremia (Urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam
darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal)
(Nursalam, 2009).
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur
ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (Toksik
uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011).
Menurut Mary Baradero, (2008) gagal ginjal kronik terjadi apabila kedua
ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk
kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal ireversibel, kerusakan vaskular
akibat diabetes melitus, dan hipertensi yang berlangsung terus menerus dapat
mengakibatkan pembentukan jaringan parut pembuluh darah dan hilangnya fungsi
ginjal secara progresif.
Menurut Muhammad (2012), gagal ginjal kronis adalah proses kerusakan
ginjal selama rentang waktu lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Gagal Ginjal
Kronik adalah perkembangan gagal ginjal yang progresif dan ditandai dengan
fungsi nefron yang berkurang. Dapat disimpulkan pula bahwa pada penderita
gagal ginjal kronis terjadi penurunan fungsi ginjal secara perlahan-lahan. Dengan
demikian, gagal ginjal merupakan stadium terberat dari ginjal kronis. Oleh karena
itu, penderita harus menjalani terapi pengganti ginjal, yaitu cuci darah
(Hemodialisis) atau cangkok ginjal yang memerlukan biaya mahal.
2.1.2 Etiologi
Menurut Muttaqin, (2011) begitu banyak kondisi klinis yang bisa
menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronis. Akan tetapi, apa pun sebabnya,
respons yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi
klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan Gagal Ginjal Kronis adalah:
1. Penyakit dari ginjal
1) Penyakit pada saringan (Glomerulus): glomerulonefritis.
2) Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis.
3) Batu ginjal: nefrolitiasis.
4) Kista di ginjal: polcystis kidney.
5) Trauma langsung pada ginjal.
6) Keganasan pada ginjal.
7) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur.
2. Penyakit umum di luar ginjal
1) Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
2) Dyslipidemis (Kolesterol atau lemak/lipid yang tidak normal di dalam
darah)
3) Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis.
4) Preeklamsi.
5) Obat-obatan.
6) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (Luka bakar).
2.1.3 Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer (2011) manifestasi klinis gagal ginjal kronik yaitu:
1. Kardiovaskuler
Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema periorbital,
pembesaran vena leher.
2. Integumen
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering bersisik, pruritus, ekimosis, kuku
tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
3. Pulmoner
Krekels, sputum kental, napas dangkal, pernapasan kusmaul.
4. Gastrointestinal
Napas berbau amoniak, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual
dan muntah, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran gastrointestinal.
5. Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan perilaku.
6. Muskuloskeletal
Kram otot, kekakuan otot hilang, dan fraktur tulang.
7. Reproduktif
Amenore, dan atrofi testikuler.
2.1.4 Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2011) patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai dari fungsi
renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan
kedalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
system tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan
semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
Gangguan Klirens renal, banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai
akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya
filtrasi glomerulus (Akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan
menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen
urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator
yang paling sensitive dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara
konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (Jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid.
Retensi cairan dan natrium, ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan
atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon
ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat
terjadi akibat aktivasiaksis renin angiotensin dan kerja sama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk
kehilangan garam, mencetus risiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah
dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
Asidosis, dengan semakin berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis
metabolic sering dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam
yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan
tubulus ginjal untuk menyekresi ammonia dan mengabsorpsi natrium bikarbonat.
Penurunan ekskresifosfat dan asma organik lain juga terjadi.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi normal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal
ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan,
angina, dan sesak napas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat, abnormalitas utama yang lain pada
gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum
kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah
satunya meningkat maka yang lain akan turun. Menurunnya filtrasi melelui
glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya
penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan
sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian, pada gagal ginjal
tubuh berespons secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan
akibatnya, kalsium ditulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktif vitamin D yang secara normal dibuat di
ginjal menurun seiring dengan berkembang gagal ginjal. Penyakit tulang uremik,
sering disebut osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat,
dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan
gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein
dalam urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekskresikan secara signifikan
sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan
cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalami kondisi ini.
WOC Vesikuler

Infeksi Arterio Skerosis Zat Toksik Obstruksi Saluran Kemih

Reaksi Antigen Antibodi Suplai Darah Ginjal Turun Tertimbun Diginjal Retensi Urin

GFR Turun

GGK

B1 B2 B3 B4 B5 B6 Sindrom Uremia
Retensi Na

Tek. Kapiler naik Sekresi eritropoitin Vol. Intersial naik Obstruksi Ginjal Sekresi protein terganggu Perporasi Ospaleimia

Beban Jantung Naik Produksi Hb Turun Vol. Intersial Naik Fungsi Ginjal Menurun Gangguan Keseimbangan Pruritis
Asam Basa
Tek. Vena Oksigen Hemoglobin Turun Suplai O2 jaringan turun GFR Gangguan
pulmonalis Asam Lambung Naik integritas kulit
Suplai O2 ke otot Timb. Asam Retensi air dan
Kapiler paru naik dan jaringan turun Laktat natrium Iritasi Lambung

Penurunan ekspansi paru Resiko perfusi -Fatigue Mual, muntah


Defisit nutrisi
(Edema Paru) renal tidak efektif -Nyeri sendi Penurunan
haluaran urine
Pola nafas
tidak efektif Intoleransi Aktivitas
Resiko ketidak
seimbangan
cairan
2.1.5 Klasifikasi
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan
pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus) :
1. Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
2. Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -
89 mL/menit/1,73 m2)
3. Stadium 3: kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
4. Stadium 4: kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
5. Stadium 5: kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
2.1.6 Komplikasi
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi gagal ginjal kronik yang memerlukan
pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup:
1. Hiperkalemia
Diakibatkan penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme, dan masukan
diet berlebihan.
2. Perikarditis
Efusi perikardial, dan temponade jantung akibat retensi produk sampah uremik
dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi
Disebabkan oleh retensi cairan dan natrium, serta malfungsi sistem renin
angioaldosteron.
4. Anemia
Disebabkan oleh penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah merah, dan
pendarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan kehilangan darah
selama hemodialisa.
5. Penyakit Tulang
Hal ini disebabkan oleh retensi fosfat kadar kalium serum yang rendah,
metabolisme vitamin D, abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Muttaqin (2011), pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan gagal
ginjal kronik adalah:
1. Laju Endap Darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia,dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang
rendah.
2. Uremia dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3. Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya
terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya diuresis.
4. Hipokaslemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis
vitamin D3 pada GGK.
5. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal (Resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
6. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan peninggian
hormon insulin dan menurunya lipoprotein lipase.
7. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang
menurun, BE yang menurun disebabkan retensi asam-asam organik pada gagal
ginjal.
8. Foto polos abdomen
Untuk menilai bentuk dan besar ginjal (Adanya batu atau adanya suatu
obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu
penderita diharapkan tidak puasa.
9. Intra Vena Pielografi (IVP)
Untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai
risiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu, misalnya: usia lanjut,
diabetes melitus, dan nefropati asam urat.
10. USG
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandungan
kemih, dan prostat.
11. Renogram
Untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan (Vaskular,
parenkim, ekskresi), serta sisa fungsi ginjal.

12. EKG
Untuk melihat kemungkinan: hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (Hiperkalemia).
2.1.8 Penatalaksanaan Medis
Menurut Muttaqin (2011:173), tujuan dari penatalaksanaan medis pada pasien
dengan gagal ginjal kronik untuk menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan
mencegah komplikasi.
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah
jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah,
hiperkalemia juga dapat di diagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi
hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium,
pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3. Koreksi anemia
Usaha pertama harus di tunjukan untuk mengatasi faktor defisiensi, kemudian
mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian
gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Transfusi darah
hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada insufisiensi
koroner.
4. Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus di hindari.natrium
bikarbonat dapat di berikan peroral atau perenteral. Pada permulaan 100 mEq
natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat
diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.

5. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan
mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati
karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6. Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh faal
ginjal dengan ginjal yang baru.
2.1.9 Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Price (2005) prinsip-prinsip dasar penatalaksanaan konservatif
sangat sederhana dan didasarkan pada pemahaman mengenai batas-batas ekskresi
yang dapat dicapai oleh ginjal yang terganggu. Selain itu, terapi diarahkan pada
pencegahan dan pengobatan komplikasi yang terjadi, yaitu:
1. Pengaturan diet protein
Pengaturan diet penting sekali pada pengobatan gagal ginjal kronik.
Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan dan
memperlambat terjadinya gagal ginjal. Kemungkinan mekanisme yang terkait
dengan fakta bahwa asupan rendah protein mengurangi beban ekskresi
sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus, dan
cedera sekunder pada nefron intak.
2. Pengaturan diet kalium
Hiperkalemia umumnya menjadi masalah dalam gagal ginjal lanjut, dan juga
menjadi penting untuk membatasi asupan kalium dalam diet. Tindakan yang
harus dilakukan adalah dengan tidak memberikan obat-obatan atau makanan
yang tinggi kandungan kalium. Makanan atau obat-obatan ini mengandung
tambahan garam (Yang mengandung amonium klorida dan kalium klorida),
ekspektoran, kalium sitrat, dan makanan seperti sup, pisang dan jus buah
murni. Pemberian makanan atau obat-obatan yang tidak diperkirakan akan
menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya.
3. Pengaturan diet natrium dan cairan
Pengaturan Natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal.
Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan terjadinya retensi cairan, edema
perifer, edema paru, hipertensi, dan gagal jantung kongestif. Asupan cairan
membutuhkan regulasi yang hati-hati dalam gagal ginjal lanjut, karena rasa
haus pasien merupakan panduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan
hidrasi pasien. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan beban
sirkulasi, edema, dan intoksikasi cairan. Asupan yang kurang optimal dapat
menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan pemburukan fungsi ginjal. Aturan
umum untuk asupan cairan adalah keluaran urine dalam 24 jam lebih dari 500
ml.
2.2 Konsep Dasar Hemodialisa
2.2.1 Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah, dan dialysis yang
berarti pemisahan atau filtrasi. Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh
akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap
akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu
singkat (Nursalam, 2006).
Hemodialisa adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser
yang terjadi secara difusi dan ultrafikasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam
tubuh pasien (Baradero Mary, dkk., 2009).
Hemodialisis adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih ; zat sisa
nitrogen yang terdiri atas ureum, kreatinin, serta asam urat ; dan elektrolit seperti
kalium, fosfor, dan lain-lain yang berlebihan pada klien gagal ginjal kronik,
khususnya pada gagal ginjal terminal (GGT) (Hartono, 2008).
2.2.2 Tujuan Hemodialisa
Tujuan hemodialisa adalah untuk memindahkan produk-produk limbah yang
terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin dialysis
(Muttaqin & Sari, 2011).
Menurut Nurdin (2009), sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa
mempunyai tujuan:
1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asamurat.
2. Membuang kelebihan air.
3. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
5. Memperbaiki status kesehatan penderita.
2.2.3 Prinsip Hemodialisa
Menurut Muttaqin & Sari (2011) disebutkan bahwa ada tiga prinsip yang
mendasari kerja hemodialisa, yaitu:
1. Difusi
Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di
dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.
2. Osmosis
Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu
perbedaan osmolalitas dan dialisat.
3. Ultrafiltrasi
Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena perbedaan
hidrostatik di dalam darah dan dialisat.
2.2.4 Dosis dan Kecukupan Dosis Hemodialisa
1. Dosis hemodialisa
Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu
dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali seminggu dengan
setiap hemodialisa selama 4 jam (Suwitra, 2006).
2. Kecukupan dosis hemodialisa
Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi
hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction
ratio (URR) dan urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan
mencari nilai rasio antara kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum
pascadialisis dengan kadar ureum pascadialisis. Kemudian, perhitumgan nilai
Kt/V juga memerlukan kadar ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badan
pradialisis dan pascadialisis dalam satuan kilogram, dan lama proses
hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa dengan dosis 2 kali
seminggu, dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan nilai Kt/V 1,2-
1,4 (Swartzendruber et al., 2008).
2.2.5 Terapi Hemodialisa
Selama tindakan hemodialisa dilakukan, darah yang kontak dengan
dialyzer dan selang dapat menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini
dapat mengganggu cara kerja dialyzer dan proses hemodialisis itu sendiri. Untuk
mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses hemodialisis, maka perlu
diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer dan selang tetap
lancar. Terapi yang digunakan selama proses hemodialisis, yaitu:
1. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena
mudah diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan
oleh tubuh. Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang
ditentukan oleh faktor kebutuhan pasien dan faktor prosedur yang telah
ditetapkan oleh rumah sakit yang menyediakan hemodialisa, yaitu :
2. Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-50
U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dmulai. Kemudian dilanjutkan
750-1250 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian
heparin dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.
3. Repeated bolus
Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum
hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal 30-50
U/kg berulang-ulang sampai hemodialisa selesai.
4. Tight heparin (heparin minimal)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan ringan
sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan lebih rendah
daripada routine continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum
hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 500 U/kg/jam selama proses
hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum
hemodialisa selesai.
5. Heparin-free dialysis (Saline).
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan berat atau
tidak boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi hal tersebut diberikan
normal saline 100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan dengan arteri
setiap 15-30 menit sebelum hemodialisa. Heparin-free dialysis sangat sulit
untuk dipertahankan karena membutuhkan aliran darah arteri yang baik (>250
ml/menit), dialyzeryang memiliki koefisiensi ultrafiltrasi tinggi dan
pengendalian ultrafiltrasi yang baik.
6. Regional Citrate
Regional Citrate diberikan untuk pasien yang sedang mengalami perdarahan,
sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau pasien yang tidak boleh menerima
heparin. Kalsium darah adalah faktor yang memudahkan terjadinya
pembekuan, maka dari itu untuk mengencerkan darah tanpa menggunakan
heparin adalah dengan jalan mengurangi kadar kalsium ion dalam darah. Hal
ini dapat dilakukan dengan memberikan infus trisodium sitrat dalam selang
yang berhubungan dengan arteri dan menggunakan cairan dialisat yang bebas
kalsium. Namun demikian, akan sangat berbahaya apabila darah yang telah
mengalami proses hemodialisis dan kembali ke tubuh pasien dengan kadar
kalsium yang rendah. Sehingga pada saat pemberian trisodium sitrat dalam
selang yang berhubungan dengan arteri sebaiknya juga diimbangi dengan
pemberian kalsium klorida dalam selang yang berhubungan dengan vena.
(Swartzendruber et al., 2008).
2.2.6 Komplikasi Tindakan Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) dalam Havens dan Terra (2005) selama
tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
1. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
2. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati
otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
3. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan
kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh
terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan
dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat
dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara
kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan
perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini
tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa
pertama dengan azotemia berat.
5. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
6. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
7. Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
8. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
9. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
Menurut Rendy dan Margareth (2012), komplikasi dalam pelaksanaan
hemodialisa yang sering terjadi pada saat terapi seperti: hipotensi, kram otot, mual
atau muntah, sakit kepala, sakit dada, gatal-gatal, demam dan menggigil, kejang.
2.3 Konsep Dasar Manajemen Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian
Menurut Doenges (2009), pengkajian pada pasien gagal ginjal adalah sebagai
berikut:
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala: Kelelahan ekstrem, kelemahan,malaise.
Gangguan tidur (Insomnia/gelisah atau somnolen)
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2. Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat
Palpitasi : nyeri dada (Angina)
Tanda: Hipertensi: nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki,
telapak, tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus, hipertensi ortostatik
menunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir, pucat (kulit
coklat kehijauan, kuning)dan kecenderungan perdarahan.
3. Integritas Ego
Gejala: Faktor stres, contoh finansial, hubungan, dan sebagainya Perasaan
tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
4. Eliminasi
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (Gagal tahap lanjut).
Abdomen kembung, diare, atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, berawan.
Oliguria, dapat menjadi anuria.
5. Makanan/Cairan
Gejala: Peningkatan berat badan cepat (Edema), penurunan berat badan
(Malnutrisi) Anoreksia. Nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap
pada mulut (Pernapasan amonia).
Tanda: Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (Tahap akhir)
Perubahan turgor kulit/kelembaban.
Edema (Umum, tergantung).
Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah.
Penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga.
6. Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, penglihatan kabur.
Tanda: Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian.
7. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala;kram otot/nyeri kaki (Memburuk saat
malam hari)
Tanda: Perilaku berhati-hati/distraksi,gelisah
8. Pernapasan
Gejala: Napas pendek; dispnea noktural paroksimal; batuk dengan/tanpa
sputum kental dan banyak
Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman (Pernapasan
kusmaul), Batuk produktif dengan sputum merah muda encer (Edema paru).
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (Cetakan III, 2017), pasien gagal ginjal
kronis memerlukan asuhan keperawatan yang tepat untuk menghindari komplikasi
akibat menurunnya fungsi renal dan stress serta cemas dalam menghadapi
penyakit yang mengancam jiwa ini. Diagnosa keperawatan potensial untuk
pasien-pasien ini mencakup yang berikut:
1. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (edema paru)
2. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urin, diet berlebih dan retensi cairan serta natrium.
3. Resiko perfusi renal tidak efektif b.d menurunnya suplai O2 ke otot dan
jaringan
4. Defisit nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual dan muntah, pembatasan diet, dan perubahan membran mukosa mulut.
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan anemia, keletihan, retensi, produk
sampah prosedur dialisa.
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan uremia, adanya edema dan tirah
baring lama.
7. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
2.3.3 Intervensi Keperawatan
Perencanaan keperawatan dari diagnosa diatas adalah:
1. Diagnosa Keperawatan: Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru
(edema paru).
Tujuan:
Tidak terjadi gangguan pertukaran gas
Status pertukaran gas normal, saturasi oksigen 100%
Dyspnea saat istirahat
RR : 20 kali/menit, kedalaman nafas efektif,
Ekspansi paru simetris
Tidak mengalami nafas dangkal atau ortopnea
Intervensi:
1) Observasi dan pantau saturasi oksigen, pantau hasil gas darah,dan
pantau kesadaran.
R/ Mengetahui kondisi dasar dan menentukan intervensi yang
tepat.
2) Auskultasi suara nafas, tandai area penurunan atau hilangnya
ventilasi dan adanya bunyi tambahan.
R/ menentukan apakan ada penurunan pertukaran gas atau tidak.
3) Ajarkan teknik bernafas, relaksasi dan batuk efektif.
R/ Membantu jalannya pertukaran gas efektif
4) Ajarkan menggunakan inhaler yang dianjurkan sesuai kebutuhan
R/ Ketepatan benar prosedur.
5) Edukasi keluarga tentang alat bantu yang diperlukan missal nasal
canule, oksigen, spirometer, informasikan kepada klien dan
keluarga bahwa merokok itu dilarang.
R/ Benar pengetahuan akan meningkatkan kesadaran pasien dan
meningkatkan komunikasi efektif serta tingkat kooperasi.
6) Kolaborasi pemberian obat dan alat managemen jalan nafas seperti
bronkodilator, terapi aerosol, nebulasi ultrasonic dll.
R/ benar prosedur
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, diet
berlebih dan retensi cairan serta natrium.
Tujuan:
Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria hasil:
Klien tidak sesak napas, edema ekstrimitas berkurang, produksi urine >600
ml/hari.
Intervensi:
1) Kaji status cairan:
1) Timbang berat badan harian.
2) Keseimbangan masukan dan haluaran.
3) Turgor kulit dan adanya edema.
4) Distensi vena leher.
5) Tekanan darah, denyut dan irama nadi.
R/ Pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan untuk
memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
2) Batasi masukan cairan.
R/ Pembatasan cairan akan menentukan berat badan ideal, haluaranurin, dan
respon terhadap alergi.
3) Identifikasi sumber potensial cairan:
1) Medikasi dan cairan yang di gunakan.
2) Makanan
R/ Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi.
4) Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan.
R/ Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan.
5) Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan
cairan.
R/ Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan diet.
6) Tingkatkan dan dorong higiene oral dengan sering.
R/ Hygiene oral mengurangi kekeringan mebran mukosa mulut.
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah, pembatasan
diet, dan perubahan membran mukosa mulut.
Tujuan:
Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil:
Asupan nutrisi tubuh pasien terpenuhi dengan baik.
Intervensi:
1) Kaji status nutrisi:
1) Perubahan berat badan.
2) Pengukuran antropometrik.
3) Nilai laboratorium (elektrolit serum,BUN, kreatinin, protein, tranferin,
dan kadar besi).
R/ Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan mengevaluasi
intervensi.
2) Kaji pola diet nutrisi pasien:
Riwayat diet.
1) Makanan kesukaaan.
2) Hitung kalori.
R/ Pola diet dahulu dan sekarang dapat dipertimbangkan dalam menyusun
menu.
3) Kaji faktor yang berperan dalam merubah masukan nutrisi:
1) Anoreksia, mual atau muntah.
2) Diet yang tidak menyenangkan bagi pasien.
3) Depresi.
4) Kurang memahami pembatasan diet.
5) Stomatitis.
R/ Menyediakan informasi mengenal faktor lain yang dapat diubah atau
dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
4) Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet.
R/ Mendorong peningkatan masukan diet.
5) Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi: telur,
produk susu, daging.
R/ Protein lengkap di berikan untuk mencapai keseimbangan nitrogen yang
di perlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan.
6) Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium diantara
waktu makan.
R/ Mengurangi makanan dari protein yang dibatasi dan menyediakan kalori
untuk energi, membagi protein untuk pertumbuhan dan penyembuhan
jaringan.
7) Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit ginjal
dan peningkatan urea dan kadar kreatinin.
R/ Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara diet, urea,
kadar kreatinin dengan penyakit renal.
8) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
R/ Faktor yang tidak menyenangkan yang berperan dalam menimbulkan
anoreksia dihilangkan.
9) Timbang berat badan harian.
R/ Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan anemia, keletihan, retensi, produk
sampah prosedur dialisa.
Tujuan:
Pasien dapat mandiri.
Kriteria:
- Pasien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri
- Melakukan aktivitas dan istirahat secara bergantian
- Berpartisipasi dalam beraktivitas perawatan mandiri
Intervensi:
1) Kaji aktivitas yang menimbulkan keletihan, anemia, ketidak seimbangan
cairan dan elektrolit, retensi produk sampah, depresi. Identifikasi faktor
yang dapat mendukung pasien untuk toleransi terhadap aktifitas.
R/ Menyediakan informasi tentang kegiatan pasien yang menyebabkan
keletihan.
2) Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi, bantu jika keletihan.
R/ Meningkatkan aktivitas ringan / sedang dan memperbaiki harga diri
3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
R/ Mendorong aktivitas dan latihan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi
dan istirahat yang adekuat.
4) Anjurkan untuk istirahat setelah dialisa.
R/ Istirahat yang adekuat dianjurkan setelah dialisa karena tindakan ini
sangat melelahkan bagi pasien.
5) Kaji jadwal pasien sehari untuk menghindari imobilisasi dan kelelahan .
R/ Imobilisasi dapat meningkatkan reabsorbsi kalsium dan tulang.
5. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak
seimbangan cairan dan elektrolit, kerja miokardial dan tekanan vaskuler
sistemik.
Tujuan:
Curah jantung dalam batas normal.
Kriteria:
- Curah jantung dalam batas normal dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal.
- Nadi kapiler kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler.
- Tidak cepat lelah.
Intervensi: NOC
1) Kaji auskultasi bunyi jantung dan paru.
R/ Takikardi, frekuensi jantung tidak teratur, takipnea, dispnea, mengi dan
edema menunjukan gagal ginjal.
2) Kaji adanya / derajat hipertensi: awasi tekanan darah, perhatikan postural,
contoh: duduk, berbaring dan berdiri.
R/ Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada system aldosteron, renin
angiostensin.
3) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi, beratnya (skala 0-10)
R/Hipertensi dan gagal jantung kongestif kronis dapat kurang lebih pada
pasien gagal ginjal kronik dengan dialisis mengalami perikarditis,
potensial resiko efusi takikardial / tamponade.
4) Kaji tingkat aktivitas respons terhadap aktivitas.
R/Kelelahan dapat menyertai gagal ginjal kongestif juga anemia.
5) Kolaborasi medis untuk pemberian anti hipertensi.
R/ Dengan menurunkan tekanan darah dapat mengurangi kerja jantung dan
mencegah resiko terjadinya infrak miokard.
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan uremia, adanya edema dan tirah
baring lama.
Tujuan:
Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil: Kulit tidak lecet, kulit lembab, dan kulit pasien tidak gatal.
Intervensi:
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, perhatikan kemerahan,
eksoriasi.
R/ Menandakan area sirkulasi buruk, yang dapat menimbulkan dekubitus.
2) Kaji keadaan kulit terhadap kemerahan dan adanya eksoriasi.
R/ Sirkulasi darah darah yang kurang menyebabkan kulit mudah rusak dan
memudahkan timbulnya dekubitus/infeksi.
3) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit, membran mukosa.
R/ Deteksi adanya dehidrasi yang mempengaruhi integritas jaringan pada
tingkat seluler.
4) Ganti posisi tiap 2 jam sekali beri bantalan pada tonjolan tulang, pelindung
siku dan tumit.
R/ Mengurangi/menurunkan tekanan pada daerah yang edema. Daerah yang
perfusinya kurang baik untuk mengurangi/menurunkan iskemia jaringan.
5) Jaga keadaan kulit tetap kering dan bersih.
R/ Kulit yang basah terus-menerus memicu terjadinya dekubitus.
6) Anjurkan pada klien untuk menggunakan pakaian tipis dan kering yang
menyerap keringat dan bebas keriput.
R/ Mencegah iritasi kulit dan meningkatkan evaporasi.
7. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi
Tujuan: Meningkatkan pengetahuan mengenal kondisi dan penanganan
yang bersangkutan.
Kriteria hasil:
Pasien mengetahui tentang kondisi dan penanganan yang diberikan dan
terpenuhinya informasi kesehatan.
Intervensi:
1) Kaji pemahaman mengenai penyebab gagal ginjal, konsekuensinya, dan
penanganannya:
1) Penyebab gagal ginjal pasien.
2) Pengertian gagal ginjal.
3) Pemahaman tentang fungsi renal.
4) Hubungan antara cairan, pembatasan diet dengan gagal ginjal.
5) Rasional penanganan (Hemodialisis, dialisis peritoneal, transplantasi).
R/ Merupakan instruksi dasar untuk penjelasan dan penyuluhan lebih lanjut.
2) Jelaskan fungsi renal dan konsekuensi gagal ginjal sesuai dengan tingkat
pemahaman dan kesiapan pasien untuk belajar.
R/ Pasien dapat belajar tentang gagal ginjal dan penanganan setelah mereka
siap untuk memahami dan menerima diagnosis dan konsekuensinya.
3) Sediakan informasi baik tertulis maupun secara oral dengan tepat tentang:
1) Fungsi dan kegagalan renal.
2) Pembatasan cairan dan diet.
3) Medikasi.
4) Melaporkan masalah, tanda dan gejala.
5) Jadwal tindak lanjut.
6) Sumber dikomunitas.
7) Pilihan terapi.
R/Pasien memiliki informasi yang dapat digunakan untuk klarifikasi
selanjutnya di rumah.
2.3.4 Implementasi Keperawatan
Menurut Nursalam (2009), implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi
untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah
intervensi disusun dan ditunjukkan pada nursing orders untuk membantu pasien
mencapai tujuan yang diharapkan. Intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan pasien. Dalam
melaksanakan tindakan keperawatan, selain melaksanakannya secara mandiri,
harus adanya kerja sama dengan tim kesehatan lainnya. Implementasi merupakan
realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan
menilai data yang baru. Implementasi tindakan dibedakan menjadi tiga kategori
yaitu: independent (mandiri), interdependent (bekerja sama dengan tim kesehatan
lainnya: dokter, bidan, tenaga analis, ahli gizi, apoteker, ahli fisioterapi dan
lainnya) dan dependent (bekerja sesuai instruktur atau delegasi tugas dari dokter).
2.3.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah adalah tindakan intektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari prognosis keperawatan, rencana
intervensi dan implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan perawat untuk
memonitor yang terjadi selama tahap pengkajian seperti analisis, perencanaan dan
implementasi intervensi. Tahap evaluasi diletakkan pada proses akhir keperawatan
tetapi tahap ini merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan.
Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan kecukupan data yang telah
dikumpulkan dan kesesuaian perilaku yang diobservasi. Evaluasi juga diperlukan
pada tahap intevensi untuk menentukan apakah tujuan intervensi tersebut dapat
dicapai secara efektif (Nursalam, 2009).
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan sebagai
pengukuran dari keberhasilan rencana tindakan keperawatan
Hasil evaluasi dapat berupa:
1. Tujuan tercapai
Jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan
2. Tujuan tercapai sebagian
Jika pasien menunjukkan perubahan sebagian dari standart yang telah
ditetapkan
3. Tujuan tidak tercapai
Pasien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali bahkan timbul
masalah baru.

Anda mungkin juga menyukai