Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH BUDIDAYA PAKAN ALAMI

Tubifex sp

Disusun Oleh :

Bima Wahyu Utomo (201610260311032)


Muhammad Abdul Aziz (201610260311033)

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

MALANG

2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budidaya ikan semakin berkembang, kebutuhan akan pakan mejadi salah satu
masalah yang menjadi perhatian serius dari akuakulturis yang bergerak di bidang ini.
Salah satu pakan yang menjadi kebutuhan bagi kegiatan budidaya adalah pakan alami.
Ada berbagai macam pakan alami yang menjadi perhatian para akuakulturis, seperti
fitoplankton, zooplankton, cacing, dan maggot. Pakan alami dikembangkan dengan
berbagai tujuan seperti pemenuhan kebutuhan nutrisi, sebagai first feeding dalam
pembenihan ikan, dan lain sebagainya.
Pengembangan pakan alami yang masih tergolong tradisional adalah cacing
sutera. Sebagian besar pemenuhan kebutuhan akan cacing sutera didapat dari alam. Hal
tersebut dikarenakan teknologi budidaya dari cacing sutera ini belum berkembang dengan
baik, sehingga masih mengandalkan tangkapan dari alam. Kebutuhan cacing sutera
berasal dari sentra-sentra pembenihan ikan konsumsi dan budidaya ikan hias air tawar.
Proses pengambilan cacing sutera dari alam membutuhkan penaganan khusus dan
ketelatenan agar didapatkan cacing yang tahan dan dapat hidup di luar habitatnya hingga
dapat didistribusaikan kepada konsumen.

B. Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah agar setiap mahasiswa dapat mengetahui tentang
teknik kultur masal Tubifex, sehingga nantinya setiap mahasiswa lebih mengerti tentang
bagaimaana cara mengkultur Tubifex sp dengan baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tubifex


Cacing sutra atau cacing rambut termasuk kedalam kelompok cacing–
cacingan (Tubifex sp). Dalam ilmu taksonomi hewan, cacing sutra digolongkan
kedalam kelompok Nematoda. Embel–embel sutra diberikan karena cacing ini
memiliki tubuh yang lunak dan sangat lembut seperti halnya sutra. Sementara itu
julukan cacing rambut diberikan lantaran bentuk tubuhnya yang panjang dan sangat
halus tak bedanya seperti rambut (Khairuman et al., 2008).

Cacing sutra (Tubifex sp) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Phylum : Annelida
Class : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Tubificidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp
Cacing ini memiliki bentuk dan ukuran yang kecil serta ramping dengan
panjangnya 1-2 cm, sepintas tampak seperti koloni merah yang melambai-lambai
karena warna tubuhnya kemerah-merahan, sehingga sering juga disebut dengan
cacing rambut. Cacing ini merupakan salah satu jenis benthos yang hidup di dasar
perairan tawar daerah tropis dan subtropis, tubuhnya beruas-ruas dan mempunyai
saluran pencernaan, termasuk kelompok Nematoda. Cacing sutera hidup diperairan
tawar yang jernih dan sedikit mengalir. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur
dan mengandung bahan organik. Makanan utamanya adalah bagian-bagian organik
yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan tersebut (Djarijah 1996).

2.2 Morfologi Tubifex sp


Secara umum cacing sutra atau cacing rambut terdiri atas dua lapisan otot
yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Panjangnya 10–30 mm dengan
warna tubuh kemerahan, saluran pencernaannya berupa celah kecil mulai dari mulut
sampai anus. Spesies ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil mulai dari
mulut sampai anus. Cacing sutra (Tubifex sp) ini hidup berkoloni bagian ekornya
berada dipermukaan dan berfungsi sebagai alat bernafas dengan cara difusi langsung
dari udara.
Menurut Pennak (1978), Cacing sutra (Tubifex sp) tidak mempunyai insang
dan bentuk tubuh yang kecil dan tipis. Karena bentuk tubuhnya kecil dan tipis,
pertukaran oksigen dan karbondioksida sering terjadi pada permukaan tubuhnya yang
banyak mengandung pembuluh darah. Kebanyakan Tubifex membuat tabung pada
lumpur di dasar perairan, di mana bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar
dari tabung bergerak bolak-balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air,
sehingga terjadi sirkulasi air dan cacing akan memperoleh oksigen melalui
permukaan tubuhnya. Getaran pada bagian posterior tubuh dari Tubifex dapat
membantu fungsi pernafasan.
Hampir semua oligochaeta bernafas dengan cara difusi melalui seluruh
permukaan tubuh. Hanya beberapa yang bernafas dengan insang. Cacing sutra ini bisa
hidup diperairan yang berkadar oksigen rendah, bahkan beberapa jenis dapat bertahan
dalam kondisi yang tanpa oksigen untuk jangka waktu yang pendek. Cacing sutra
dapat mengeluarkan bagian posteriornya dari tabung, guna mendapatkan oksigen
lebih banyak, apabila kandungan oksigen dalam air sangat sedikit.

2.3 Ekologi Tubifex sp


Cacing sutra (Tubifex sp) umumnya ditemukan pada daerah air perbatasan
seperti daerah yang terjadi polusi zat organik secara berat, daerah endapan sedimen
dan perairan oligotropis. Ditambahkan bahwa spesies cacing Tubifex sp ini bisa
mentolerir perairan dengan salinitas 10 ppt (Khairuman dan Amri : 2002). Dua faktor
yang mendukung habitat hidup cacing sutra (Tubifex sp) ialah endapan lumpur dan
tumpukan bahan organik yang banyak. (Chumaidi (1986)
Dari setiap tubuh cacing sutra (Tubifex sp) pada bagian punggung dan perut
kekar serta ujung bercabang dua tanpa rambut. Sementara sifat hidup cacing sutra
(Tubifex sp) menunjukan organisme dasar yang suka membenamkan diri dalam
lumpur seperti benang kusut dan kepala terkubur serta ekornya melambai-lambai
dalam air kemudian bergerak berputar-putar. (Departemen Pertanian : 1992)

2.4 Cacing sutera sebagai bioindikator pencemaran organik dan “first feeding”

Di alam, cacing sutera hidup di perairan tawar mengalir dengan substrat lunak
dan kaya akan bahan organik dan hidupnya berkoloni. Kandungan bahan organik
perairan yang tinggi dapat berasal dari pencemaran lokal maupun peternakan, misal :
kotoran hewan ternak, daun-daun busuk, maupun bahan organik lain yang akhirnya
mendukung perkembangbiakan cacing sutra, sehingga dapat juga dijadikan sebagai
indikator pencemaran organik di perairan tawar. Untuk itu cacing sutera dapat
berkembang baik pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut (DO)
berkisar antara 2,75 – 5, kandungan amonia < 3,6, suhu air 28 – 30oC, serta 6 – 8 pH
air.

Dalam bidang perikanan, cacing sutera dikenal sebagai pakan alami yang
sangat baik untuk bibit atau larva ikan karena memiliki kandungan protein cukup
tinggi sehingga dapat membantu mempercepat pertumbuhan ikan. Salah satu pakan
yang menjadi kebutuhan bagi kegiatan budidaya adalah pakan alami. Pakan alami
cacing sutera perlu dikembangkan dengan berbagai tujuan seperti, sebagai first
feeding, pemenuhan kebutuhan nutrisi dalam pembenihan ikan, dan lain sebagainya.
Selain sebagai pakan alami juga dapat dibuat menjadi pakan buatan dengan disimpan
dalam bentuk cacing beku maupun dibuat pelet.

Cacing sutera hidup berkoloni di perairan mengalir yang kaya akan bahan
organik. Di dalam tubuh cacing sutera terkandung sekitar 57% protein dan 13%
lemak, oleh karena itu merupakan pakan yang baik untuk bibit ikan, tidak terkecuali
untuk ikan yang dipelihara dan dibudidaya manusia baik ikan konsumsi maupun ikan
hias.
2.5 Reproduksi Tubifex sp

Cacing sutera bersifat hermaprodit yaitu pada satu organisme mempunyai 2


alat kelamin. Telur dihasilkan oleh induk cacing yang telah mengalami kematangan
kelamin betina dan dibuahi oleh cacing lain yang mengalami kematangan sel kelamin
jantan. Induk cacing sutra dapat menghasilkan kokon setelah berumur 40-45 hari.

Selanjutnya perkembangan telur terjadi di dalam kokon yaitu suatu bangunan


berbentuk bulat telur, panjang 1 mm dan diameter 0,7 mm yang dihasilkan oleh
kelenjar epidermis dari salah satu segmen tubuh yang disebut klitelum. Telur yang
ada di dalam tubuh mengalami pembelahan, selanjutnya tubuh berkembang
membentuk segmen-segmen. Setelah beberapa hari embrio akan keluar dari kokon.
Jumlah telur dalam setiap kokon cacing sutera berkisar antara 4 – 5 buah. Siklus
hidup cacing sutera relatif singkat yaitu 50 – 57 hari.

Cacing sutera dewasa dapat menghasilkan kista pada telurnya yang dapat bertahan
dalam kekeringan selama dua minggu dan lebih lama lagi pada daerah pembuangan yang
ditutupi oleh sampah organik.

2.6 Cara mendapatkan nutrisi

Cacing sutera adalah golongan oligochaeta, yang berarti hanya memiliki beberapa
bulu kaku pada tubuhnya. Bulu-bulu kaku tersebut dapat bergerak dengan kontraksi
peristaltik otot. Seperti anggota dari filum Annelida lainnya bahwa kontraksi otot
melingkar dan pemanjangan segmen tubuh adalah hal terpenting dalam merangkak
perlahan dan selalu menghasilkan tekanan cairan tubuh. Kontraksi otot memanjang
berperan penting pada saat cacing menggali lubang, memperluas galian atau melekatkan
diri pada dinding liang yang digali.

Pertukaran gas oksigen dan CO2 pada tubuh cacing sutera dilakukan secara difusi
melalui permukaan tubuh. Kebanyakan cacing sutera membangun suatu bangunan
sedimen menyerupai tabung pada substrat tempat hidupnya. Penyerapan oksigen
dilakukan dengan cara bagian ekornya melambai-lambai, sementara kepala didalam
substrat sehingga bisa membuat sirkulasi air dan membuat oksigen lebih banyak untuk
diterima oleh permukaan tubuh. Tabung dari substrat tersebut berfungsi untuk
mendapatkan nutrien dengan tersaringnya makanan atau terkumpulkannya partikel
organik halus dipermukaan yang terbawa oleh debit air.

Jumlah makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh cacing sutra (Tubifex sp)
adalah 2-8 kali bobot tubuh (Monakov, 1972). Menurut Pondubnaya dan Sorokin (1961)
dalam Monakov (1972) cacing tersebut hanya makan pada lapisan tipis di bawah
permukaan pada kedalaman 2cm-5cm. Dijelaskan pula bahwa pada lapisan tersebut
banyak zat-zat makanan yang tertimbun akibat dekomposisi anaerobik.

Selain makanan, pertumbuhan populasi cacing sutra juga ditentukan oleh faktor–
faktor lain seperti ruang (tempat) dan lingkungan. Pennak (1978) dalam Febrianti (2004)
menyatakan bahwa tubificidae memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm dari
permukaan substrat.
2.7.Kultur Tubifex sp
Tubifex sp yang hidup di perairan alam dapat ditangkar ditempat-tempat
terkontrol, misalnya kubangan tanah. Di alam kubangan ini kondisi (habitat) dibuat
mirip dengan habitat alam berlumpur. Kubangan diisi campuran pupuk kandang
(kotoran ayam) dan dedak halus setebal 1 cm. Pupuk dicampurkan dengan dedak
halus. Untuk membudidayakannya bahan organik yang biasa dipakai adalah kotoran
ternak seperti kotoran ayam, kambing, sapi, kuda, kerbau, babi dan lain sebagainya.
Selanjutnya diratakan dan diisi air. Biarkan rendaman ini sampai mengendap.
Kemudian dimasukan klon cacaing tubifex. Aliran air dibesarkan sedikitt setelah bibit
ditanam. Aliran ini dibutuhkan untuk mengganti air yang ada secara kontinyu
(Yurisman dan Sukendi, 2004).
Untuk kultur Tubifex sp skala laboratorium dapat dikultur pada media
akuarium atau wadah lain yang diisi dengan lumpur dan pupuk kandang sehingga
menyerupai habitat aslinya. Sedangkan untuk alirannya dapat menggunakan sistem
sirkulasi, namun debit air untuk pemeliharaan jangan terlau besar karena dapat
menghilangkan bahan-bahan organik sehingga terjadi pencucian nutrisi yang
berakibat kurangnya nutrisi pada media (Kordi, 2009).

2.8 Habitat dan Penyebaran

Habitat dan penyebaran cacing sutra (Tubifex sp) umumnya berada di daerah
tropis. Umumnya berada disaluran air atau kubangan dangkal berlumpur yang airnya
mengalir perlahan, misalnya selokan tempat mengalirnya limbah dan pemukiman
penduduk atau saluran pembuangan limbah peternakan. Selain itu, cacing sutra juga
ditemukan di saluran pembuangan kolam, saluran pembuangan limbah sumur atau
limbah rumah tangga umumnya kaya akan bahan organik karena bahan organik ini
merupakan suplai makanan terbesar bagi cacing sutra. (Khairuman et al., 2008)
Menurut Marian dan Pandian (1984), sekitar 90% Tubifex menempati daerah
permukaan hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian sebagai berikut : juvenile
(dengan bobot kurang dari 0,1 mg) pada kedalaman 0-2 cm, immature (0,1-5,0 mg)
pada kedalaman 0-4 cm, mature (lebih dari 5 mg) pada kedalaman 2-4 cm.
2.9 Budidaya Tubifex sp

Budidaya cacing sutra ini dapat dilakukan di parit beton maupun dikolam. Kolam
yang digunakan bisa berukuran kecil atau besar yang diberi petakan papan didalamnya.
Menurut Priyambodo dan Wahyuningsih (2001), wadah yang digunakan untuk budidaya
cacing sutra ini adalah parit beton atau kotak dari kayu dengan lebar 50 cm panjang 5-10
m dan tinggi 20-30 cm yang dilapisi plastik. Media pemeliharaan dapat berupa dedak,
kotoran ayam dan ampas tahu asalkan kondisinya sudah halus. Fungsinya sebagai sumber
makanan bagi cacing sutra (Khairuman dan Amri, 2008).

1. Persiapan wadah

Wadah pemeliharaan berupa kolam tanah kecil berukuran 1.5 x 1.5 m atau
maksimum 10 x 10 m. Dasar kolam dikeringkan dan dibersihkan dari kotoran-kotoran.
Bagian-bagian kolam yang bocor diperbaiki. Wadah tersebut harus mempunyai lubang
pemasukan air di satu sisi dan lubang pengeluaran di sisi yang lain. Wadah diletakkan di
tempat yang teduh. Pencangkulan dilakukan sampai dasar kolam, lalu digenangi atau diisi
air sampai ketinggian 5 cm selama 2 hari.

2. Penyiapan media kultur

Media kultur cacing Tubifex berupa lumpur selokan setebal 5 cm yang dicampur
rata dengan pupuk kandang sebanyak 100 g/m2 atau dedak sebanyak 200-250 g/m2,
dapat pula digunakan kotoran kambing. Rendam media tersebut selama 3-4 hari. Kotoran
ayam atau kambing yang akan dipakai sebagai media harus dibersihkan dari bahan-bahan
lain dan dijemur di bawah terik matahari selama 1 hari atau dalam kondisi kering. Dosis
kotoran ayam atau kambing yang dipakai adalah 100-250 g/m2.
Media kultur juga harus dialiri air secara kontinu dengan debit yang kecil

3. Penebaran bibit dan pemeliharaan

Bibit yang akan ditebar dapat dicari di selokan tempat pembuangan limbah rumah
tangga. Koloni cacing Tubifex dapat diambil dengan cangkul kecil. Pengambilan koloni
cacing harus dilakukan dengan cara mengambil tanah tempat cacing itu hidup. Sebelum
bibit ditebar, air yang mengalir harus memiliki debit air yang kecil hingga air media
terganti dalam waktu 30-35 menit dan sebaiknya dilakukan pengujian kualitas air
sehingga dapat dipastikan air tidak mengandung amoniak yang berasal dari kotoran
hewan (pupuk).

Penebaran bibit dilakukan dengan cara membuat lubang kecil di tanah dasar
kolam atau media. Bibit dimasukkan bersama dengan tanahnya ke dalam lubang tersebut.
Cacing tubifex akan berkembang dengan pesat dalam media yang cocok setelah
dipelihara selama 7-11 hari. Pertumbuhan cacing akan optimal apabila aliran air tetap
terjaga sepanjang waktu.

Media kultur setelah diberi bibit cacing tubifex

Panen dilakukan setelah populasi cacing sutera atau tubifex melimpah atay setelah
budidaya berlangsung 2 bulan dan berturut-turut setiap 2 minggu. Cara pemanenan
cacing sutera yaitu menggunakan serokan atau terilin. Cacing sutera yang didapat dan
masih bercampur dengan media budidaya di masukkan ke dalam ember atau bak yang
diisi air, kira-kira 1 cm diatas media budidaya agar cacing sutera naik ke permukaan
media budidaya. Ember ditutup hingga bagian dalam menjadi gelap dan dibiarkan selama
6 jam. setelah 6 jam, cacing sutera yang menggerombol diatas media diambil dengan
tangan. Cacin tubifex yang sudah di panen dan dibersihkan siap dipakai untuk pakan
benih ikan.

cacing tubifex yang sudah di panen dan dibersihkan, siap dipakai untuk pakan benih ikan
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Cacing sutera (Tubifex sp) dikenal juga dengan nama cacing rambut atau cacing darah,
karena tubuh berukuran kecil seukuran rambut dan berwarna kemerahan dengan panjang sekitar
1-3 cm, dan tubuh terdiri dari 30 – 60 segmen atau ruas. Banyak ditemukan pada perairan tawar
mengalir dan kaya akan bahan organik. Secara spesifik masih banyak spesies cacing yang
merupakan anggota dan kerabat dari genus tubifex, karena ciri umum cacing dari genus tubifex
berwarna merah dan hidup di air tawar. Karena klasifikasi cacing pada umumnya berdasarkan
dari habitat alami, jumlah segmen, letak klitelum, ada tidaknya bulu dan lain-lain. Cacing sutera
merupakan salah satu alternatif pakan alami yang dapat dipilih untuk memberi makan ikan yang
anda pelihara, terutama pada saat fase larva hingga benih ataupun untuk ikan hias anda karena
memiliki kandungan nutrisi yang baik dan cenderung seimbang dan sangat baik untuk
pertumbuhan ikan.

Dalam bidang perikanan, cacing sutera dikenal sebagai pakan alami yang sangat baik untuk
bibit atau larva ikan karena memiliki kandungan protein cukup tinggi sehingga dapat membantu
mempercepat pertumbuhan ikan. Salah satu pakan yang menjadi kebutuhan bagi kegiatan
budidaya adalah pakan alami. Pakan alami cacing sutera perlu dikembangkan dengan berbagai
tujuan seperti, sebagai first feeding, pemenuhan kebutuhan nutrisi dalam pembenihan ikan, dan
lain sebagainya. Selain sebagai pakan alami juga dapat dibuat menjadi pakan buatan dengan
disimpan dalam bentuk cacing beku maupun dibuat pelet.

Kandungan sekitar 57% protein dan 13% lemak, oleh karena itu merupakan pakan yang
baik untuk bibit ikan, tidak terkecuali untuk ikan yang dipelihara dan dibudidaya manusia baik
ikan konsumsi maupun ikan hias.
DAFTAR PUSTAKA

Chumadi dan Suprapto. 1986. Pengaruh Berbagai Takaran Pupuk Kotoran Ayam
Terhadap Perkembangan Populasi Tubifex sp. Balai Penelitian Perikanan Air
Tawar. Depok, Bogor. 8 hal.

Departemen Pertanian. 1992. Pedoman Teknis Budidaya. Jakarta. 87 Hal.

Djarijah A S. 1996. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta: Kanisius.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Direktorat Pengembangan Sekolah Menengah


Kejuruan. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen
Pendidikan Nasional.

Isyaturradiyah. 1992. Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Tubiex sp pada Wadah Yang
Dialiri Air Limbah dari Budidaya Tubiex sp dengan panjang 3, 6 dan 9 meter.
Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Khairuman dan Khairul Amri. 2008. Membuat Pakan Buatan. PT. Gramedia Pustaka
Utama : Jakarta.

Kosiorek, D. 1974. Development Cycle of Tubifex tubifex Muller in Experimental


Culture. Pol. Arch. Hidrobiol. 21 (3/4) : 411-422.

Lukito A dan Surip P. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Pennak, R. W. 1978. Freswhere Invertebrates Of The United States. A Wilwy Intescience


Publication. John Willey and Sons, New York.
Yurisman dan Sukendi. 2004. Biologi dan Kulltur Pakan Alami. UNRI Press :
Pekanbaru.
Wardhana, W.A. 1994. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Ed. A. Willey Interscience Pbl. John Willey and Sons. New york. Priyambodo, K. dan
Wahyu ningsih, K. 2001. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. Pustaka Setia. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai