Asfiksia

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara

berkembang lainnya. Angka kematian bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi

dalam usia 28 hari pertama kehidupan per 1000 kelahiran hidup (Hincllif, 1999).

Angka ini merupakan salah satu indikator derajat kesehatan bangsa. Tingginya angka

kematian bayi ini dapat menjadi petunjuk bahwa pelayanan maternal dan neonatal

kurang baik, untuk itu dibutuhkan upaya untuk menurunkan angka kematian bayi

tersebut. SUSENAS (2005) menunjukkan bahwa AKB di Indonesia adalah 35 bayi

per 1000 kelahiran hidup, sedangkan AKB di propinsi Sumatera Utara mencapai 44

bayi per 1000 kelahiran hidup. Ini menunjukkan bahwa AKB di propinsi Sumatera

Utara masih di atas angka rata-rata nasional. Padahal pada tahun 2015 Indonesia

telah menargetkan AKB menurun menjadi 17 bayi per 1000 kelahiran hidup (Syafei,

dikutip dari kompas 2008).

Rencana strategi nasional Making Pregnancy Safer (MPS) Indonesia 2001-

2010, dalam konteks rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010,

mempunyai visi “ Kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman dan bayi

yang dilahirkan hidup sehat”. Sedangkan salah satu misi MPS adalah

mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Perlu adanya program kesehatan

ibu dan bayi baru lahir (BBL) yang dapat menurunkan AKB (Syafei, dikutip dari

kompas 2008). Periode BBL (neonatal) adalah masa 28 hari pertama kehidupan

manusia. Pada masa ini terjadi proses penyesuaian sistem tubuh bayi dari kehidupan

intra uteri ke kehidupan ekstra uteri. Masa ini adalah masa yang perlu mendapatkan

perhatian karena pada masa ini terdapat mortalitas paling tinggi (Rudolf, 2006).

1
Penyebab kematian bayi ini adalah berat badan lahir rendah, asfiksia, tetanus, infeksi

dan masalah pemberian Asi (Syafei, dikutip dari kompas 2008).

Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian asfiksia dan klasifikasinya

2. Untuk mengetahui perubahan patofisiologis dan gambaran klinis

3 Untuk mengetahui gejala dan tanda-tanda asfiksia

4. Untuk mengetahui persiapan resusitasi pada bayi baru lahir

5. Untuk mengetahui diagnosis pada bayi asfiksia

6. Untuk mengetahui langkah-langkah umum resusitasi BBL dengan asfiksia

7. Untuk mengetahui Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia berat

8. Untuk mengetahui Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia ringan

9. Untuk mengetahui asuhan yang diberikan pasca resusitasi pada bayi asfiksia

2
ASFIKSIA

Pengertian

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara

spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan

mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan

gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi

kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan.

Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan

sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang.

Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut

menjadi asfiksia bayi baru lahir (Asuhan persalinan normal, 2007)

Menurut Hanifa Wiknjosastro (2002) asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai

keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah

lahir. Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir mengalami

gangguan pertukaran gas dan transport O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2 (A.H

Markum, 2002).

Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang tidak segera

bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. (Mochtar, 1989)

Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan

teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang

menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 1998)

Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas

secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2000)

3
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila

proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau

kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saiffudin,

2001).

Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada

bayi baru lahir, diantaranya:

1. faktor ibu:

 preeklampsia dan eklampsia

 perdarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

 partus lama atau partus macet

 demam selama persalinan

 infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

 kehamilan lewat waktu

2. faktor tali pusat:

 lilitan tali pusat

 tali pusat pendek

 simpul tali pusat

 prolapsus tali pusat

3. faktor bayi:

 bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

 persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,

ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)

 kelainan bawaan (kongenital)

4
 air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi

untuk menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor resiko tersebut maka

hal itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya

tindakan resusitasi. Akan tetapi ada kalanya faktor resiko menjadi sulit dikenali atau

tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena itu, penolong harus selalu

siap melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan persalinan. Ada beberapa

jenis klasifikasi dari asfiksia itu sendiri, diantaranya adalah :

a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3

b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6

c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9

Tabel untuk menentukan afgar score pada bayi baru lahir :

Klinis 0 1 2

Detik jantung Tidak ada Kurang dari lebih dari


100/menit 100/menit
Pernapasan Tidak ada Tidak teratur Tangis kuat
Refl waktu jalan Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin
napas
dibersihkan
Tonus otot Lunglai Fleksi Fleksi kuat
ekstermitas Gerak aktif
(lemah)
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah Merah seluruh
Ekstermitas biru Tubuh

Perubahan Patofisiologis dan Gambaran Klinis

5
Pernafasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan

dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama

kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan

mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian

Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya

berada dalam periode apnue. Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penurunan TD.

Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-

basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respioratorik. Bila

berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme anaerobic yang berupa

glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati

akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang

disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya :

1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung sehingga mempengaruhi fungsi jantng

2. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot jantung.

3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap

tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan ke

sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan. (Rustam, 2007).

Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia

 Tidak bernafas atau bernafas megap-megap

 Warna kulit kebiruan

 Kejang, Penurunan kesadaran

Persiapan Resusitasi pada Bayi Baru Lahir

6
Di dalam setiap persalinan, penolong harus selalu siap melakukan tindakan

resusitasi bayi baru lahir. Kesiapan untuk bertindak dapat menghindarkan kehilangan

waktu yang sangat berharga bagi upaya pertolongan. Walaupun hanya beberapa

menit tidak bernapas, bayi baru lahir dapat mengalami kerusakan otak yang berat

atau meninggal.

Persiapan yang dilakukan:

1. Persiapan keluarga

Sebelum menolong persalinan, bicarakan dengan keluarga mengenai

kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu dan bayinya serta

persiapan yang dilakukan oleh penolong untuk membantu kalancaran

persalinan dan melakukan tindakan yang diperlukan.

2. Persiapan tempat resusitasi

Persiapan yang diperlukan meliputi ruang bersalin dan tempat resusitasi.

Gunakan ruangan yang hangat dan terang. Tempat resusitasi hendaknya rata,

keras, bersih dan kering, misalnya meja, dipan atau diatas lantai beralas tikar.

Kondisi yang rata diperlukan untuk mengatur posisi kepala bayi. Tempat

resusitasi sebaiknya di dekat sumber pemanas (misalnya: lampu sorot) dan

tidak banyak tiupan angin (jendela atau pintu yang terbuka). Biasanya

digunakan lampu sorot atau bohlam berdaya 60 watt atau lampu gas minyak

bumi (petromax). Nyalakan lampu menjelang kelahiran bayi.

3. Persiapan alat resusitasi

Sebelum menolong persalinan, selain peralatan persalinan, siapkan juga alat-

alat resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu:

a. 2 helai kain / handuk

7
b. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos,

selendang, handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah

disesuaikan untuk mengatur posisi kepala bayi

c. Alat penghisap lendir De Lee atau bola karet

d. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal

e. Kotak alat resusitasi

f. Jam atau pencatat waktu

Diagnosis pada bayi asfiksia

Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia /

hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan

dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat

perhatian yaitu :

1. Denyut jantung janin

Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan

tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan

lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya

2. Mekonium dalam air ketuban

Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada

presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus

diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat

8
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan

mudah.

3. Pemeriksaan pH darah janin

Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat

sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini

diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun

sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin

disertai asfiksia (Sarwono, 2007)

Langkah-langkah Umum Resusitasi BBL dengan asfiksia

Resusitasi BBL bertujuan untuk memulihkan fungsi pernapasan bayi baru

lahir yang mengalami asfiksia dan terselamatkan hidupnya tanpa gejala sisa

dikemudian hari. Kondisi ini merupakan dilema bagi penolong tunggal peralinan

karena disamping menangani ibu bersalin, ia juga harus menyelamatkan bayi ang

mengalami asfiksia. Resusitasi pada APN ini dibatasi pada langkah-langkah

penilaian, langkah awal dan ventilasi untuk inisiasi dan pemulihna pernapasan.

Langkah awal perlu dilakukan secara cepat (dalam waktu 30 detik). Secara

umum, 6 langkah awal di bawah ini cukup untuk merangsang bayi baru lahir untuk

bernapas spontan dan teratur. Langkah awal terdiri dari:

1. Jaga bayi tetap hangat:

 Letakkan bayi di atas kain yang ada di perut ibu atau dekat perineum.

 Selimuti bayi dengan kain tersebut, potong tali pusat.

 Pindahkan bayi ke atas kain ke tempat resusitasi.

9
2. Atur posisi bayi

 Baringkan bayi terlentang dengan kepala di dekat penolong.

 Ganjal bahu agar kepala sedikit ekstensi.

3. Isap lendir

 Isap lendir di dalam mulut, kemudian baru isap lendir di hidung.

 Hisap lendir sambil menarik keluar penghisap (bukan pada saat

memasukkan).

 Bila menggunakan penghisap lendir De Lee, jangan memasukkan ujung

penghisap terlalu dalam (lebih dri 5 cm ke dalam mulut atau 3 cm ke dalam

hidung) karena dapat menyebabkan denyut jantung bayi melambat atau henti

nafas bayi.

4. Keringkan dan rangsangan taktil

 Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya dengan

sedikit tekanan. Rangsangan ini dapat memulai pernapasan bayi atau

bernapas lebih baik.

 Lakukan rangsangan taktil dengan menepuk tau menyentil telapak kaki,

menggosok punggung, perut, dada atau tungkai bayi dengan telapak tangan.

5. Reposisi

 Ganti kain yang telah basah dengan kain bersih dan kering yang baru

(disiapkan).

 Selimuti bayi dengan kain tersebut, jangn tutupi bagian muka dan dada agar

pemantauan pernapasan bayi dapat diteruskan.

 Atur kembali posisi terbaik kepala bayi (sedikit ekstensi)

10
6. Lakukan penilaian bayi

Lakukan penilaian apakah bayi bernapas normal, megap-megap atau tidak

bernapas.

 Bila bayi bernapas normal, berikan pada ibunya dan letakkan bayi di atas

dada ibu dan selimuti keduanya untuk menjaga kehangatan tubuh bayi

melalui persentuhan kulit ibu dan bayi kemudian menganjurkan ibu ibu untuk

menyusukkan bayi sambil membelainya.

 Bila bayi tidak bernapas atau megap-megap segera lakukan tindakan

ventilasi.

Ventilasi adalah bagian dari tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah

udara ke dalam paru-paru dengan tekanan positif yang memadai untuk membuka

alveoli agar bayi bisa bernapas spontan dan teratur.

Langkah-langkah melakukan ventilasi:

1. Pasang sungkup, perhatikan lekatan.

2. Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi

 Lakukan tiupan udara dengan tekanan 30 cm air

 Melihat apakah dada bayi mengembang, bila tidak mengembang periksa

posisi kepala, pastikan posisinya telah benar, periksa pemasangan sungkup

dan pastikan tidak terjadi kebocoran, periksa ulang apakah jala napas

tersumbat cairan atau lendir. Bila dada mengembang, lakukan tahap

berikutnya.

3. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20 cm air

dalam 30 detik.

11
4. Lakukan penilaian:

 Bila bayi sudah bernapas normal, hentikan ventilasi dan pantau bayi. Bayi

diberikan asuhan pasca resusitasi.

 Bila bayi belum bernapas atau megap-megap lanjutkan ventilasi. Lanjutkan

ventilasi dengan tekanan 20 cm air, 20x untuk 30 detik berikutnya, evaluasi

hasil ventilasi tiap 30 detik, lakukan penilaian bayi apakah bernapas, tidak

bernapas, atau megap-megap, bila bayi sudah bernapas normal hentikan

ventilasi dan pantau bayi dengan seksama dan memberikan asuhan pasca

resusitasi, bila bayi tidak bernapas atau megap-megap, teruskan ventilasi

dengan tekanan 20 cm air, 20x untuk 30 detik berikutnya dan nilai hasilnya

yiap 30 detik.

 Siapkan rujukan bila bayi belum bernapas normal sesudah 2 menit diventilasi,

mintalah keluarga membantu persiapan rujukan, teruskan resusitasi sementara

persiapan rujukan dilakukan.

 Bila bayi tidak bisa dirujuk lanjutkan ventilasi sampai 20 menit,

pertimbangkan untuk menghentikan tindakan resusitasi jika setelah 20 menit

upaya ventilasi tidak berhasil.

Bayi yang tidak bernapas normal setelah 20 menit diresusitasikan akan

mengalami kerusakan otak sehingga bayi akan menderita kecacatan yang berat

atau meninggal.

Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia berat

Resusitasi aktif dalam keadaan ini harus segera dilakukan. Langkah utama

adaah memperbaiki ventilasi paru-paru dengan memberikan oksigen secara secara

12
tekanan langsung dan berulang-ulang. Cara yang terbaik adalah melakukan intubasi

endotrakeal dan setelah kateter dimasukkan ke dalam trakea, oksigen diberikan

dengan tekanan tidak lebih dari 30 ml air. Tekanan positif diberikan dengan

meniupkan udara yang telah diperkaya dengan oksigen melalui kateter tadi. Untuk

mencapai tekanan 30 ml air peniupan dapat dilakukan dengan kekuatan kurang lebih

sepertiga sampai seperdua dari tiupan maksimal yang dapat dikerjakan.

Secara ideal napas buatan harus dilakukan dengan terlebih dahulu memasang

manometer. Selanjutnya untuk memperoleh tekanan positif yang lebih aman dan

efektif, dapat digunakan pompa resusitasi. Pompa ini dihubungkan dengan kateter

trakea, kemudian udara dengan oksigen dipompakan secara teratur dengan

memperhatikan gerakan-garakan dinding toraks. Bila bayi telah memperlihatkan

pernapasan spontan, kateter trakea segera dikeluarkan.

Keadaan asfiksia berat ini hampir selalu disertai asidosis yang membutuhkan

perbaikan segera, karena itu bikarbonas natrikus 7,5% harus segera diberikan dengan

dosis 2-4 ml/kg berat badan. Disamping itu glukosa 40% diberikan diberikan pula

dengan dosis 1-2 ml/kg berat badan. Obat-obat ini harus diberikan secara berhati-hati

dan perlahan-lahan. Untuk menghindarkan efek samping obat, pemberian harus

diencerkan dengan air steril atau kedua obat diberikan bersama-sama dalam satu

semprit melalui pembuluh darah umbilikus.

Bila setelah beberapa waktu pernapasan spontan tidak timbul dan frekuensi

jantung menurun (kurang dari 100 permenit) maka pemberian obat-obat lain serta

mssage jantung sebaiknya segera dilakukan. Massage jantung dikerjakan dengan

malakukan penekanan di atas tulang dad secara teratur 80-100 kali per menit.

Tindakan ini dilakukan berselingan dengan nafas buatan, yaitu setiap 5 kali massage

13
jantung diikuti dengan satu kali pemberian nafas buatan. Hal ini bertujuan untuk

menghindarkan kemungkinan timbulnya komplikasi pneumotoraks atau

pneumomediastinum apabila tindakan dilakukan secara bersamaan. Disamping

massage jantung ini obat-obat yang dapat diberikan antara lain ialah larutan 1/10.000

adrenalin dengan dosis 0,5-1 cc secara intravena/intrakardial (untuk meningkatkan

frekuensi jantung) dan kalsium glukonat 50-100 mg/kg berat badan secara perlahan-

lahan melalui intravena (sarwono, 2007).

Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia ringan-sedang

Di sini dapat dicoba melakukan rangsangan untuk menimbulkan refleks

pernapasan. Hal ini dapat dikerjakan selama 30-60 detik setelah penilaian menurut

apgar 1 menit. Bila dalam waktu tersebut pernapasan tidak timbul, pernapasan buatan

harus segera dimulai. Pernapasan aktif yang sederhana dapat dilakukan secara

pernafasan kodok. Cara ini dikerjakan dengan memasukkan pipa kedalam hidung,

dan oksigen dialirkan dengan kecepatan 1-2 liter dalam satu menit. Agar saluran

napas bebas, bayi diletakkan dengan kepala dalam dorsofleksi. Secara teratur

dilakukan gerakan membuka dan menutup lubang hidung dan mulut dengan disertai

menggerakkan dagu ke atas dan ke bawah dalam frekuensi 20 kali semenit. Tindakan

ini dilakukan dengan memperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi

mulai memperlihatkan gerakan pernapasan, usahakanlah supaya gerakan tersebut

diikuti. Pernapasan ini dihentikan bila setelah 1-2 menit tidak juga dicapai hasil yang

diharapkan, dan segera dilakukan pernapasan buatan dengan tekanan tekanan positif

sacara tidak langsung. Pernapasan ini dapat dilakukan dahulu dengan pernapasan dari

mulut ke mulut. Sebelum tindakan dilakukan, kedalam bayi dimasukkan pharyngeal

airway yang berfungsi mendorong pangkal lidah ke depan, agar jalan napas berada

14
dalam keadaan sebebas-bebasnya. Pada pernapasan dari mulut ke mulut, mulut

penolong diisi terlebih dahulu dengan oksigen sebelum peniupan. Peniupan

dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20-30 kali semenit dan diperhatikan

gerakan pernapasan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil

apabila setelah dilakukan beberapa saat, terjadi penurunan frekuensi jantung atau

pemburukan tonus otot. Dalam hal ini bayi harus diperlakukan sebagai penderita

asfiksia berat. (Sarwono,2007)

Asuhan Pasca Resusitasi

Asuhan pasca resusitasi diberikan sesuai dengan keadaan bayi setelah

menerima tindakan resusitasi. Asuhan pasca resusitasi dilakukan pada keadaan:

1. Resusitasi berhasil:

 Konseling

 Lakukan asuhan bayi baru lahir normal

 Lakukan pemantauan seksama terhadap bayi pasca resusitasi selama 2 jam

pertama

 Menjaga agar bayi tetap hangat dan kering

2. Bayi perlu rujukan

 Konseling

 Asuhan bayi baru lahir yang dirujuk

 Asuhan lanjutan

3. Resusitasi tidak berhasil

 Dukungan moral

 Asuhan lanjutan bagi bayi

 Asuhan tindak lanjut: kunjungan ibu nifas (prawirohardjo, 2007)

15
DAFTAR PUSTAKA

JNPK_KR, 2007, Asuhan Persalinan Normal, JNPK_KR, Jakarta

Mochtar, Rustam, (2007), Sinopsis Obstetri: Obstetri Patologi, Edisi 2, Jakarta: EGC.

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2007), Ilmu Kebidanan, Jakarta:

JNPKKR-POGI

Winkjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : YBP-SP

http://teguhsubianto.blogspot.com/2009/06/prosedur-penatalaksanaan-asfiksia.html

. A.H Markum, (2002). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: FKUI.

16

Anda mungkin juga menyukai