Oleh:
11.2016.010
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu kewajiban dalam rangka
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Makalah ini dibuat dengan pendekatan kedokteran keluarga. Semoga laporan yang saya buat ini
dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas segala bimbingan dan bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian makalah
ini kepada dr. E. Irwandy Tirtawidjaja dan semua pihak yang turut membantu terselesainya makalah ini.
Saya juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah yang saya buat ini, oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga di masa mendatang dapat
ditingkatkan menjadi lebih baik.
Penyusun
Bab I
Pendahuluan
Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang letaknya berada paling dekat di
tengah-tengah masyarakat dan mudah dijangkau dibandingkan dengan unit pelayanan
kesehatan lainnya (rumah sakit swasta maupun negeri). Fungsi puskesmas adalah
mengembangkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh seiring dengan misinya.
Secara umum pelayanan kesehatan dibagi dua yaitu pelayanan kesehatan personal atau
pelayanan kedokteran dan pelayanan kesehatan lingkungan atau pelayanan kesehatan
masyarakat. Sasaran kedua pelayanan ini berbeda, sasaran utama pelayanan kedokteran adalah
perseorangan dan keluarga. Sedangkan sasaran utama pelayanan kesehatan masyarakat adalah
kelompok dan masyarakat. Pelayanan kedokteran yang sasaran utamanya adalah keluarga
disebut dengan nama pelayanan dokter keluarga.
Dalam Epidemiologi pengertian penyebab timbulnya penyakit adalah suatu proses
interaksi antara: Pejamu (host), Penyebab (agent), dan Lingkungan (environment). Hendrik L.
Blum, menggambarkannya sebagai hubungan antara 4 faktor yaitu keturunan, lingkungan,
perilaku dan pelayanan kesehatan.
Termasuk kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta
orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta
terkena dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan
keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang
berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka
panjang.1
Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai
sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan
jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk.1
Skizofrenia termasuk jenis psikosis yang menempati urutan atas dari seluruh gangguan
jiwa yang ada. Selain karena angka insidennya di dunia cukup tinggi yakni satu per seribu,
hampir 80% penderita skizofrenia juga mengalami kekambuhan secara berulang.2
Skizofrenia yang menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di bawa
umur 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenal orang dari semua kelas sosial. Baik
pasien maupun keluarga sering mendapatkan pelayanaan yang buruk dan pengasingan sosial
karena ketidaktahuan yang meluas akan gangguan ini. Meski didiskusikan seolah-olah sebagai
suatu penyakit tunggal, skizofrenia mungkin terdiri dari sekumpulan gangguan dengan etiologi
yang heterogen dan mencakup pasien dengan presentasi klinis, respons terhadap terapi, dan
perjalanan penyakit yang bervariasi. Klinisi seyogianya menyadari bahwa diagnosis skizofrenia
sepenuhnya didasarkan pada riwayat psikiatri dan pemeriksaan status mental. Tidak ada uji
laboratorium untuk skizofrenia.3
Bab II
Tinjauan Pustaka
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):4
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda atau “thought insertion or withdrawal” yang
merupakan isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau
isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
“thought broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar atau “delusion of passivitiy” merupaka waham
tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang ”dirinya” diartikan secara jelas merujuk kepergerakan tubuh/anggota
gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus), atau “delusional
perception”yang merupakan pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah ini:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan
dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :4
e. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
h. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).4
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.4
2. Skizofrenia Hebefrenik
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia hebefrenik dapat didiganosis apabila terdapat
butir-butir berikut :4
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenikbiasanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda
(onset biasanya mulai 15-25 tahun)..
Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendiri
(self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa
menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau
(pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
(reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling)
serta inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak
menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan
kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran
ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya
suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat
dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran
pasien.
3. Skizofrenia Katatonik
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila terdapat
butir-butir berikut :4
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
- Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
- Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
- Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
- Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan
kearah yang berlawanan);
- Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya);
- Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak
dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
- Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat.
- Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda
sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
- Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan
oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan,
serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
5. Depresi Pasca-skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :4
Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit
2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi
episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :4
Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan
inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal
yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi
tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
(minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis
atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.
7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :4
a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan disertai
dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
hidup, dan penarikan diri secara sosial.
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia
lainnya.
- secara relatif tidak nyata / tidak menonjol.4
3.4 Epidemiologi
3. Distribusi Geografik
Skizofrenia tidak terdistribusi secara merata di seluruh penjuru Amerika Serikat
maupun dunia. Secara historis, prevalensi skizofrenia di bagian timur laut dan barat
Amerika Serikat lebih besar daripada di daerah lain, meski distribusi yang tidak
merata ini telah terkikis. Sejumlah regio geografis bumi, seperti Irlandia, memiliki
prevalensi skizofrenia yang luar biasa tinggi, dan penelitian menginterpretasikan
kantung skizofrenia geografis ini sebagai kemungkinan dukungan terhadap teori
kausa skizofrenia infektif (contohnya, viral).3
4. Faktor Reproduktif
Penggunaan obat psikoterapeutik, kebijakan terbuka di rumah sakit,
deinstitusionalisasi di rumah sakit, dan perawatan berbasis masyarakat untuk pasien
skizofrenia, semuanya telah menyebabkan peningkatan angka pernikahan dan
kesuburan di antara pasien skizofrenia. Akibat faktor tersebut, jumlah anak yang
dilahirkan dari orang tua skizofrenik terus meningkat. Angka kesuburan pasien
skizofrenik mendekati angka populasi umum. Terdapat hubungan antara angka
kesuburan dengan tramisi genetik. Keluarga biologi derajat pertama pasien
skizofrenik memiliki resiko terkena penyakit sepuluh kali lebih besar dibanding
populasi umum.3
5. Penyakit Medis
Orang dengan skizofrenia memiliki angka kematian akibat kecelakaan dan
penyebab alami yang lebih tinggi dari pada populasi umum. Sejumlah studi
menunjukkan bahwa hingga 80 persen dari semua pasien skizofrenik mengalami
penyakit medis yang signifikan pada saat bersamaan dan bahwa hingga 50 persen
kondisi ini mungkin tidak terdiagnosis.3
7. Penggunaan Zat
Sejumlah studi melaporkan bahwa merokok kretek dikaitkan dengan penggunaan
obat antipsikotik dalam dosis yang lebih tinggi, mungkin karena merokok kretek
meningkatkan laju metabolisme obat-obatan tersebut. Di lain pihak, merokok kretek
dikaitkan dengan penurunan parkinsonisme terkait obat antipsikotik, mungkin
karena aktivitasi neuron dopamin yang bergantung nikotin. Studi terkini
menunjukkan bahwa nikotin dapat menurunkan gejala positif, seperti halusinasi,
pada pasien skizofrenik karena efeknya terhadap reseptor nikotin di otak yang
mengurangi persepsi stimulus luar, khususnya bising. Komorbiditas skizofrenia
dengan gangguan terkait zat lain lazim dijumpai, meski dampak penyalahgunaan
obat pada pasien skizofrenik masih belum jelas. Kurang lebih 30 sampai 50 persen
pasien skizofrenia mungkin memenuhi kriteria penyalahgunaan atau
ketergantungan alkohol, dua zat lain yang paling sering digunakan adalah kanabis
dan kokain. Pasien melaporkan bahwa dirinya menggunakan zat tersebut untuk
memenuhi kenikmatan dan mengurangi depresi dan ansietas. 3
8. Faktor Populasi
Prevalensi skizofrenia senantiasa berkorelasi dengan kepadatan populasi lokal di
kota dengan populasi lebih dari 1 juta orang. Efek kepadatan penduduk sejalan
dengan pengalaman bahwa insiden skizofrenia pada anak dengan salah satu atau
kedua orangtua skizofrenik dua kali lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di
masyarakat perdesaan. 3
3.5 Etiologi
1. Model Diatesis-Stres
Menurut model diatesis-stres terhadap integrasi faktor biologis, psikososial dan
lingkungan, seseorang mungkin memiliki kerentanan spesifik (diatesis) yang, bila
diaktifkan oleh pengaruh yang penuh tekanan, memungkinkan timbulnya gejala
skizofrenia. Pada model diatesis-stres yang paling umum, diatesis atau stres dapat
berupa stres biologis, lingkungan, atau keduanya. Komponen lingkungan dapat bersifat
biologis (contohnya, infeksi) atau psikologis (contohnya, situasi keluarga yang penuh
tekanan atau kematian kerabat dekat). Dasar biologis diatesis dapat terbentuk lebih
lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial, dan
trauma.3
2. Faktor Genetik
Serangkainan studi genetik secara meyakinkan mengusulkan adanya komponen genetik
dalam pewarisan sifat skizofrenia. Pada tahun 1930-an, studi klasik mengenai genetika
skizofrenia menunjukkan bahwa seseorang memiliki kecendrungan menderita
skizofrenia bila terdapat anggota keluarga yang mengidap gangguan tersebut dan
kecendrungan seseorang mengalami skizofrenia berkaitan dengan dekatnya
hubungannya (sebagai contoh, kerabat derajat pertama atau kedua). Kembar
monozigotik memiliki angka kejadian bersama yang paling tinggi. Pada studi terdapat
kembar monozigotik yang diadopsi, kembar dibesarkan orangtua asuh tampak
mengalami skizofrenia dalam jumlah yang sama dengan kembarannya yang dibesarkan
orangtua biologisnya. Temuan ini mengemukakan bahwa pengaruh genetik lebih besar
daripada pengaruh lingkungan, suatu temuan yang dikuatkan dengan pengamatan
bahwa semakin parah skizofrenianya, semakin besar kemungkinan kembarannya
mengalami gangguan yang sama. Satu studi menyokong model diatesis-stres dan
menunjukkan bahwa kembaran monozigotik yang diadopsi dan kemudian mengaami
skizofrenia ternyata sangat mungkin merupakan anak yang diadopsi keluarga yang
memiliki gangguan psikologis. Telah banyak dilaporkan adanya hubungan antara lokasi
kromosom dan skizofrenia sejak penerapan teknik biologi molekuler dilakukan secara
luas. Lebih dari separuh dari seluruh kromosom dikaitkan dengan skizofrenia pada
berbagai laporan, namun lebih panjang kromosom 5,11, dan 18, lengan pendek
kromosom 19, serta kromosom X paling sering disebut. Lokus pada kromosom 6,8, dan
22 dianggap terlibat. Literatur tersebut paling baik dirangkum sebagai indikasi adanya
potensi dasar genetik yang heterogen untuk skizofrenia.3
Tabel 1. Konseling Genetika Resiko Seumur Hidup Terjadinya Skizofrenia3
Populasi Umum 1%
Kembar monozigot2 40-50%
Kembar dizigot 10%
Saudara kandung dari penderita skizofrenia 10%
Orangtua dari penderita skizofrenia 5%
Anak dari salah satu orangtua skizofrenia 10-15%
Anak dari kedua orangtua skizofrenia 30-40%
*Perhatikan bahwa : 50% kembar monozigot tidak keduanya menderita skizofrenia;
sehingga jelaslah bahwa faktor lingkungan juga memegang peran. Terjadinya penyakit
merefleksikan adanya faktor bawaan dari pengasuhan
3. Faktor Psikososial
Jika skozofrenia merupakan penyakit otak, maka penyakit ini mungkin sejalan dengan
penyakit organ lain (contohnya, infark miokardium dan diabetes) yang perjalanan
penyakitnya dipengaruhi stres psikososial. Seperti halnya penyakit kronis lain
(misalnya, penyakit paru kongestif kronik), terapi obat sendiri jarang memadai untuk
memperoleh perbaikan klinis maksimal. Oleh sebab itu, klinis sebaiknya
mempertimbangkan faktor psikososial yang mempengaruhi skizofrenia. Meskipun,
secara historis, para pembuat teori menyatakan faktor psikososial berperan dalam
terjadinya skizofrenia, klinis masa sekarang dapat memanfaatkan penggunaan teori dan
pedoman yang relevan yang dibuat berdasarkan pengamatan dan hipostesis di masa
lampau ini.3
1. Status fisik
Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya suatu
pemeriksaan fisik lengkap. Gejala fisik seperti nyeri kepala dan palpitasi memerlukan
pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk menentukan bagian dari proses somatik.
Bila ada, yang berperan menyebabkan penderitaan tersebut. Hal yang sama dapat
digunakan pada gejala mental misalnya depresi, ansietas, halusinasi, dan waham kejar,
yang bisa jadi merupakan ekspresi dan proses somatik. Terkadang keadaan
menyebabkan kita perlu menunda pemeriksaan medis lengkap. Misalnya, pasien
dengan waham atau panik dapat menunjukkan perlawanan sikap bertahan atau
keduanya. Pada keadaan ini, riwayat medis harus diperoleh dari anggota keluarga bila
memungkinkan. Namun, kecauali ada alasan mendesak untuk melanjutkan
pemeriksaan fisik, hal itu sebaiknya ditunda sampai pasien menurut.
Pemeriksaan Neurologis
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan atensi pasien
terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah, cara bicara, postur, dan cara
berjalan perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk dua tujuan.
Tujuan pertama dicapai melalui pemeriksaan neurologis rutin, yaitu terutama
dirancang untuk mengungkap asimetri fungsi motorik, persepsi, dan refleks pada kedua
sisi tubuh yang disebabkan oleh penyakit hemisferik fokal. Tujuan kedua tercapai
dengan mencari untuk memperoleh tanda yang selama ini dikaitkan dengan disfungsi
otak difus atau penyakit lobus frontal. Tanda ini meliputi refleks mengisap, mencucur,
palmomental, dan refleks genggam serta menetapnya respons terhadap ketukan di dahi.
Sayangnya, kecuali refleks genggam, tanda seperti itu tidak berkaitan erat dengan
patologi otak yang mendasari.2
2. Status mental
Deskripsi umum
o Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien skizofrenia
dapat berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-jerit, dan
teragitasihingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan
imobil.
3. Pemeriksaan tambahan
Tes psikologis: tes inteligensi, tes kepribadian, tes ketangkasan atau bakat, dan tes
neuropsikologis.
Tes inteligensi
Dapat ditentukan HI (hasil bagi inteligensi) atau IQ (Intelligence Quotient) sebagai
suatu cara numerik untuk menyatakan taraf inteligensi. Rumusnya sebagai berikut:
Umur mental
HI= ------------------------- x 100
Umur kalender
Umur mental didapat dari tes inteligensi. Umur kalender diambil paling tinggi 15
(biarpun sebenarnya lebih), karena tes inteligensi yang ada sekarang sukar untuk
mengukur perbedaan inteligensi di atas umur 15 tahun.
Tes kepribadian
Tes kepribadian lebih sukar dibuat, dipakai dan dinilai sehingga reliabilitas dan validitas
kurang dari tes inteligensi. Hal ini disebabkan antara lain karena begitu banyaknya sifat
kepribadian manusia dan sukarnya mencari parameter atau indikatro yang tepat dan
dapat diukur untuk suatu sifat kepribadian tertentu. Kepribadian adalah keseluruhan
perilaku manusia atau perannya dalam hubungan antar manusia, pribadinya dapat
dibedakan dari pribadi lain. Peran ini bukan saja perilaku yang nyata, tetapi juga sikap
internal, kecenderungan bertindak dan hambatan. Kepribadian dapat dievaluasi dengan
cara observasi, wawancara, atau melalui daftar pertanyaan, tes melengkapi kalimat atau
tes proyeksi.
Tes neuropsikologis
Tes neuropsikologis merupakan tes yang mempelajari hubungan antara otak dan
perilaku dengan menggunakan prosedur tes yang terstandarisasi dan objektif. Tes ini
menguji kemampuan kognitif. Tujuan tes neuropsikologis adalah identifikasi,
kuantifikasi, dan deskripsi perubahan kognitif dan perilaku yang disebabkan oleh
disfungsi otak. Dalam hal ini, ranah (domain) yang dievaluasi adalah kemampuan
berbahasa, memori, penalaran dan pertimbangan intelektual, fungsi visual-motor, fungsi
sensori-perseptual, dan fungsi motorik.2,3
1. Medicalmentosa
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan
gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama:
antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
a. Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama
terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama.
Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat
memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor
dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek
yang paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-parkinsonian
berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda
dan sindrom neuroleptik maligna.
b. Antagonis Serotonin-Dopamin
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada,
berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding
antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun
glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan
endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala
negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal ini
tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas
dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan
ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif
skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada,
menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah disetujui di
antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin, dan
ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor
dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik, pada
subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah penggunaan antipsikotik.
Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan mengobati keadaan skizofrenia.5,6,7
2. Terapi Psikososial
a. Pelatihan keterampilan social
Pelatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi
keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan berguna
untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang biasa
tampak pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas terlihat
melibatkan hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk kontak mata
yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang aneh,
kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi yang tidak akurat atau
kurangnya persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan keterampilan perilaku
diarahkan ke perilaku ini melalui penggunaan video tape berisi orang lain dan si
pasien, bermain drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk
keterampilan khusus yang dipraktekkan.
b. Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok dapat
berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.
d. Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk membangun
hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman. Reliabilitas terapis, jarak
emosional antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis sebagaimana
yang diartikan oleh pasien, semuanya mempengaruhi pengalaman terapeutik.
Psikoterapi untuk pasien skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan untuk
dilakukan dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa sesi, bulan,
atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti menekankan bahwa
kemampuan pasien skizofrenia utnuk membentuk aliansi terapeutik dengan
terapis dapat meramalkan hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu
membentuk aliansi terapeutik yang baik cenderung bertahan dalam psikoterapi,
terapi patuh pada pengobatan, serta memiliki hasil akhir yang baik pada evaluasi
tindak lanjut 2 tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal
merupakan bentuk penanganan individual untuk pasien skizofrenia yang baru-
baru ini terbentuk. Tujuannya adalah meningkatkan penyesuaian personal dan
sosial serta mencegah terjadinya relaps. Terapi ini merupakan metode pilihan
menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi
diri, kesadaran diri, serta eksplorasi kerentanan individu terhadap stress. 8,9
3.8 Komplikasi
Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan mengalami
kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang skizofrenia dan
penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami penderita yang tidak
memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi sosial, dimana penderita
dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga menjadi korban kekerasan dan melukai
diri sendiri. Pada komplikasi depresi, penderita dapat melakukan tindakan bunuh diri.
Disamping bunuh diri karena depresi dan halusinasi, penderita skizofrenia yang tadinya
tidak merokok, banyak menjadi perokok berat ini diperkirakan karena faktor obat, yang
memblok satu reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang menimbulkan rasa
senang, pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya penderita skizofrenia mencari
kompensasi dengan mengambil nikotin dari luar, dari rokok. Dan resiko dari perokok
memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran pernapasan, kanker, jantung, dan
penyakit fisik lainnya. Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap
hormon estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi tulang sehingga
dapat terjadi osteoporosis.8
3.9 Prognosis
Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun setelah rawat
inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20% persen yang dapat
dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan
memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap berulang, eksaserbasi gejala, episode
gangguan mood mayor, dan percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak selalu
memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan dengan
prognosis yang baik. Angka pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan taksiran
yang masuk akal adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala sedang, dan 40-60%
pasien tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama hidup
mereka.3
3.10 Pencegahan
Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa
dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting,
terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila telah
didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah terjadinya gejala
skizofrenia berkelanjutan.
Bab III
Laporan Kunjungan Rumah
X. Keluhan Tambahan
Mengamuk ± 2 bulan yang lalu.
Pemeriksaan Umum
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia, serumen +/+
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, Septum deviasi –
Bibir : Merah muda, tidak kering, sianosis (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB dan kelenjar tiroid
Paru : Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung : Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur -, gallop –
Abdomen : Tampak datar, teraba supel, nyeri tekan (-), timpani,
bising usus normal
Ekstremitas : Akral hangat +/+ (pada ekstremitas atas dan bawah), bengkak -/-
Kulit : Turgor kulit baik
Status Motorik
Superior Inferior
Pemeriksaan
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Tonus Otot (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal
Atrofi Otot (-) (-) (-) (-)
Refleks Fisiologis (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal
Refleks Patologis (-) (-) (-) (-)
Sensibilitas (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal
Status Mental
a. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Pasien tampak sehat, berpakaian rapi sesuai dengan usianya. Rambut pasien pendek.
Wajah pasien sesuai dengan usianya, kontak mata dengan pemeriksa baik. Gigi
pasien terlihat lengkap.
2. Kesadaran
a. Kesadaran sensorium / neurologik : Compos mentis
b. Kesadaran Psikiatrik : tidak tampak terganggu
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
Sebelum wawancara : pasien sedang duduk di teras depan rumah
Selama wawancara : pasien tidak kooperatif dan tidak mau menjawab
pertanyaan yang di ajukan.
Sesudah wawancara : Pasien duduk di pojok ruang tamu sambil menangis
4. Sikap terhadap pemeriksa : tidak kooperatif dan pertanyaan yang diajukan tidak mau
dijawab.
5. Pembicaraan :
A. Cara berbicara : Spontan, intonasi baik, volume cukup, dan artikulasi
tidak jelas.
B. Gangguan berbicara : tidak ada.
d.Gangguan Persepsi
f. Proses Pikir
1. Bentuk pikir
Produktivitas : tidak bisa dinilai
Kontinuitas : tidak relevan
Hendaya Bahasa : tidak ada
2. Isi pikir
Preokupasi : Tidak ada
Waham : Ada (waham kebesaran)
Obsesi : Tidak ada
Fobia : Tidak ada
Gagasan rujukan : Tidak ada
Gagasan pengaruh : Tidak ada
IX. Tilikan
Tilikan derajat 1, penyangkalan terhadap penyakitnya (pasien tidak menyadari bahwa
dirinya sakit)
X. Formulasi Diagnostik
Aksis I: Berdasarkan ikhtisar penemuan bermakna, maka kasus ini termasuk gangguan
jiwa karena adanya:
1. Gangguan kejiwaan karena pernah adanya :
Gejala kejiwaan berupa: halusinasi auditorik, waham kebesaran.
2. Gangguan ini sebagai Gangguan Mental Non Organik (GMNO) karena tidak adanya:
Gangguan kesadaran (pasien kompos mentis)
Gangguan kognitif (orientasi dan memori)
Gangguan fungsi intelektual
Kelainan faktor organik spesifik
Harus ada sedikitinya satu dari antara gejala berikut yang jelas:
Diagnosis Kerja:
F20 Skizofrenia, pasien ini dapat didiagnosis skizofrenia karena terdapat
Differential Diagnosis :
F25.1 Skizoafektif tipe depresi
Kategori ini dipakai pada keadaan di mana afek depresif ataupun perilaku menonjol
dan pada episode yang sama sedikitnya harus ada 1 gejala khas skizofrenia sesuai
dengan pedoman diagnostik skizofrenia
Disingkirkan dengan : Pada pasien, gejala skizofrenia lebih menonjol daripada
perilaku depresifnya
Aksis II :
Tidak ditemukan adanya gangguan kepribadian dan retardasi mental
Aksis III :
Tidak ditemukan adanya gangguan pada kondisi medik umum
Aksis IV :
Tidak diketahui dengan jelas stressor pada pasien
Aksis V :
Global Assessment of Functioning (GAF) Scale 60-51 gejala sedang (Moderate)
disabilitas sedang.
Terapi non-medikamentosa :
Rehabilitatif
Jika keluhan semakin memburuk, segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat
yang ada di wilayah Kecamatan Tirtajaya.
XIII. Prognosis
Penyakit : Dubia Ad Bonam
Keluarga : Dubia Ad Bonam
Masyarakat : Dubia Ad Bonam
Keadaan Rumah
Lokasi : Kondisi lingkungan sekitar berdebu karena jalanan masih berupa tanah
Kondisi : Jenis bangunan permanen, lantai rumah berupa keramik. Rumah
tampak kurang bersih.
Ventilasi : sirkulasi udara cukup baik, suasana rumah tidak terlalu nyaman.
Pencahayaan : di daerah berjendela dibagian depan rumah, pencahayaan kurang.
Kebersihan : kebersihan rumah kurang, barang-barang tidak tersusun rapi.
Sanitasi dasar : sumber air minum pasien dari air tanah.
Bab IV
Penutup
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
6.2.1 Puskesmas
Membuat jadwal secara tertulis untuk melakukan kunjungan rumah pada pasien dengan
gangguan kesehatan jiwa, khususnya gangguan jiwa berat, minimal 1 kali/bulan.
Meningkatkan pengawasan dalam pencatatan dan pelaporan pasien gangguan jiwa
6.2.2 Pasien
Edukasi pada pasien dan keluarga tentang pengetahuan penyakit skizofrenia, untuk
memantau pasien minum obat secara teratur dan rutin kontrol serta untuk selalu ada buat
pasien, tidak meninggalkan pasien dan perbanyak rekreasi.
Daftar Pustaka
40
Lampiran
Kunjungan rumah
41