Anda di halaman 1dari 3

Nama : Puspita Dwi Widyastuti

Kelompok : 7
Hari/ Tanggal : Ahad, 4 December 2016
Tema : Managemen Keuangan
Pembicara : Ustadz Mugi Harsono

MANAJEMEN KEUANGAN KELUARGA


Manajemen keuangan keluarga islami harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa
penentu dan pemberi rezki adalah Allah dengan usaha yang diniati untuk memenuhi
kebutuhan keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu’ sehingga memiliki
komitmen dan prioritas penghasilan halal yang membawa berkah dan menghindari
penghasilan haram yang membawa petaka. Rasulullah bersabda: “Barang siapa
berusaha dari yang haram kemudian menyedekahkannya, maka ia tidak mempunyai
pahala dan dosa tetap di atasnya.”
Seorang wanita shalihah akan selalu memberi saran kepada suaminya ketika
hendak mencari rezki, “Takutlah kamu dari usaha yang haram sebab kami masih
mampu bersabar di atas kelaparan, tetapi tidak mampu bersabar di atas api neraka.”
Demikian pula sebaliknya suami akan berwasiat kepada istrinya untuk menjaga
amanah Allah dalam mengurus harta yang dikaruniakan-Nya, agar dibelanjakan secara
benar tanpa boros, kikir maupun haram. Dalam mencari pendapatan, Islam tidak
memperkenankan seseorang untuk ngoyo dalam pengertian berusaha di luar
kemampuannya dan terlalu terobsesi sehingga mengorbankan atau menelantarkan hak-
hak yang lain baik kepada Allah, diri maupun keluarga seperti pendidikan dan
perhatian kepada anak dan keluarga. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus
engkau penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Allah telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batas-
batas kemampuan manusia.(QS.Al-Baqarah:286). Namun bila kebutuhan sangat
banyak atau pasak lebih besar daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama yang baik
dan saling membantu antara suami istri dalam memperbesar pendapatan keluarga dan
melakukan efisiensi dan penghematan sehingga tiang penyangga lebih besar dari pada
pasak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu bebani
mereka dengan apa-apa yang mereka tidak sanggup memikulnya.
Dan apabila kamu harus membebani mereka di luar kemampuan, maka
bantulah mereka.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam manajemen keuangan keluarga juga tidak dapat dilepaskan dari
optimalisasi potensi keluarga termasuk anak-anak untuk menghasilkan rezki Allah.
Islam senantiasa memperhatikan masalah pertumbuhan anak dengan anjuran agar
anak-anak dilatih mandiri dan berpenghasilan sejak usia remaja di samping berhemat
agar pertumbuhan ekonomi keluarga muslim dapat berjalan lancar yang merupakan
makna realisasi keberkahan secara kuantitas maka Islam melarang orang tua untuk
memanjakan anak-anak sehingga tumbuh menjadi benalu, tidak mandiri dan
bergantung kepada orang lain. Firman Allah Swt. di awal (QS. An-Nisa [4]:6)
mengisyaratkan bahwa kita wajib mendidik dan membiasakan anak-anak untuk cakap
mengurus, mengelola dan mengembangkan harta, sehingga mereka dapat hidup
mandiri yang nantinya akan menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki dan pengurus
keuangan keluarga bagi perempuan, di samping anak terlatih untuk bekerja,
meringankan beban dan membantu orang tua.
Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur pembelanjaan
keluarga muslim, di antaranya secara garis besar adalah:
1. Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah kewajiban suami
2. Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan
3. Istri Boleh Membantu Keuangan Suami
4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur Keuangan Rumah Tangga
5. Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis.
6. Seimbang Antara Pendapatan dan Pengeluaran yang Bermanfaat
7. Skala Prioritas Pengeluaran (Perlu/Needs Vs Ingin/Wants)
Islam mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih
mengutamakan pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan
syariat. Ada tiga jenis kebutuhan rumah tangga, yaitu:
a. Kebutuhan primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan
dapat mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa, akal, agama,
keturunan dan kehormatan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan,
minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan untuk memudahkan hidup agar jauh dari
kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer
terpenuhi. Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima tujuan syariat.
c. kebutuhan pelengkap yaitu kebutuhan yang dapat menambah kebaikan dan
kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung
pada kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan
syariat.
8. Bersikap Pertengahan dalam Pembelanjaan

Anda mungkin juga menyukai

  • Kartu Soal Pilihan Ganda
    Kartu Soal Pilihan Ganda
    Dokumen46 halaman
    Kartu Soal Pilihan Ganda
    Puspita Dwi Widyastuti
    100% (4)
  • 1
    1
    Dokumen1 halaman
    1
    Puspita Dwi Widyastuti
    Belum ada peringkat
  • M. Dedy Saputro, S.Si.
    M. Dedy Saputro, S.Si.
    Dokumen4 halaman
    M. Dedy Saputro, S.Si.
    Puspita Dwi Widyastuti
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Puspita Dwi Widyastuti
    Belum ada peringkat
  • BabIII - 1 - 2 - 3 15
    BabIII - 1 - 2 - 3 15
    Dokumen15 halaman
    BabIII - 1 - 2 - 3 15
    Puspita Dwi Widyastuti
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen1 halaman
    1
    Puspita Dwi Widyastuti
    Belum ada peringkat
  • Latihan 3.2
    Latihan 3.2
    Dokumen9 halaman
    Latihan 3.2
    Puspita Dwi Widyastuti
    100% (1)
  • CoA Widya
    CoA Widya
    Dokumen15 halaman
    CoA Widya
    Puspita Dwi Widyastuti
    Belum ada peringkat
  • Soal Dan Rubrik Pretest
    Soal Dan Rubrik Pretest
    Dokumen7 halaman
    Soal Dan Rubrik Pretest
    Puspita Dwi Widyastuti
    Belum ada peringkat